dia nyadar aku ada di situ
"Kak Aldrin mau jenguk Bang Paris?"
Dunia sedang berbaik hati padaku.
Aldrin yang kebingungan mendapati dirinya tahu-tahu saja tiba di pintu unit apartemen temannya itu melihat ke sekitar. Kemudian tatapnya berhenti pada gadis SD yang hendak keluar tersebut.
"Kok aku ada di sini?"
"Loh," Ginka ikutan heran. Dia masih menahan pintu agar tetap terbuka. "Bukannya mau jenguk Bang Paris?"
"Hah?"
Aku lupa apa dalam wujud transparan suaraku juga ikut tak terdengar atau tidak. Yang jelas aku kesusahan menahan tawa.
"Masuk aja." Calon adik iparku itu menyingkir dari garis pintu, memberi ruang untuk Aldrin masuk.
Merasa tak punya pilihan dan akan sangat melelahkan jika harus putar balik ke rumahnya, sambil menggaruk-garuk rambut Aldrin akhirnya masuk juga, menjadikannya perwakilanku sebagai penjenguk Zagi.
Aku mengepalkan tangan, menyuarakan seruan 'yes' secara bisu.
Kubiarkan Aldrin berjalan duluan, bergelagat seperti penjenguk sungguhan alias 'menghadirkan diri' dengan ikut melepas sepatu. Kamar Zagi dan Bon Jovi letaknya tak jauh dari pintu. Membuat beberapa langkah lambat Aldrin cepat sampai.
Aku diam di dekat rak sepatu, tak mampu menggerakkan tubuh.
"Lamain aja, Drin. Dari kemarin dia kesepian tuh."
Dari tempatku berdiri, kulihat Bon Jovi keluar ruangan. Dia tidak menutup pintunya lagi, menyebabkan suara obrolan Aldrin dan Zagi samar-samar terdengar sampai sini.
Tiba-tiba kudapati diriku tegang. Suhu badanku mendingin, serta detak jantungku bertambah cepat.
Kalau dipikir-dipikir, ini... ini akan menjadi perjumpaan pertama kami setelah insiden pencidukan aksi obsesiku. Perjumpaan pertama kami setelah untuk pertama kalinya dalam 24 jam terakhir, aku benar-benar tidak melihat Zagi.
Hari kemarin sehabis Xiera dan Yuyu pulang dari kunjungannya ke apartemenku, aku langsung mencopot semua foto Zagi yang menempel di dinding. Begitu tahu tindakanku ini memang telah menyakiti hati Zagi, aku segera melenyapkan keseluruhan barang buktinya. Barang penyebabnya. Barang yang meski selalu menyenangkanku, kini akan membuatku teringat juga bahwa aku pernah menyakiti Zagi.
Huh. Sudahlah, Sorin. Mumpung Aldrin ada di sini, manfaatkan momennya untuk mendengar cerita Zagi secara diam-diam.
Dan terlebih, aku bisa bertemu dengannya lagi setelah dua hari sepi yang membuatku mati-matian menahan rindu.
Aku akan bertemu Zagi.
Aku berhenti di mulut pintu tanpa berani mengangkat kepala.
"Si Devon duduk di kursimu."
"Loh, kenapa?"
Suara bertanyanya yang disertai kekehan kontan saja semakin mempercepat debar jantungku. Dan aku tahu hanya Zagi yang bisa membuat jantungku bereaksi begini.
"Tapi bukan itu yang mau kuomongin."
Aku masih bersembunyi dan menguping. Padahal aku tak perlu melakukannya dengan wujud tak terlihat ini.
Beberapa saat tak terdengar suara siapa-siapa, Aldrin lalu berkata, "Far, kamu sakit gara-gara lihat foto-foto itu?"
Tega banget sih Aldrin langsung bahas ke intinya. Kalau Zagi jadi makin sakit gimana!
Lalu aku pun tersadar atas omonganku sendiri.
Aku menyadari, memang menyadari, telah menyadari, dan benar-benar menyadari bahwa Zagi tersakiti karenaku.
Karenaku.
Karena ulah egoisku.
"Sorin udah cerita?"
Debar jantungku kembali bertambah cepat mendengar suaranya menyebut namaku.
Astaga, kenapa aku jadi makin cinta padanya setelah menyakitinya begini?
Kadar kegilaanku semakin meningkat saja.
Lihatlah, Zagi bahkan tidak terkejut melihat Aldrin sebenarnya telah mengetahui tentang hubungan rahasia itu. Pikirannya benar-benar terfokus pada permasalahan kami.
"Terus gimana? Jadi makin suka atau mau menjauh dulu?"
Jangan sakiti Zagi dengan pertanyaan-pertanyaan bodohmu itu dong! Pikir-pikir dulu sebelum bertanya ke orang yang lagi sakit. Huh.
Aku tak mendengar Zagi menjawab. Cukup lama sampai aku dibuat sangat penasaran.
Dengan begitu, tak memikirkan keteganganku lagi, aku melangkah cepat ke dalam, dan langsung melihat Zagi yang muram di detik pertama aku mendarat di kamarnya.
Tubuhku kembali membeku. Namun tatap ini tak bisa pergi darinya.
Zagi menutup sebagian tubuhnya dengan selimut, nyaris kelihatan seperti orang putus asa. Tak ada senyum atau keceriaan sedikit pun di wajahnya. Bahkan suasana gelap seolah melingkupi seluruh kamar ini. Mana gordennya tidak dibuka.
Dia masih Zagi yang kukenal. Namun aku baru melihat sisi Zagi yang seperti ini. Dan ironinya aku yang menyebabkannya begitu. Aku.
Air mataku menetes.
"Drin. Kebayang nggak sih kamu ngeliat foto-fotomu dipajang di kamar seorang gadis yang belum lama kamu kenal?"
"Aku bakal nganggap dia penipu." Aldrin berkata lurus. "Dia jelas-jelas terobsesi padamu, Far."
Zagi menekuk kedua lutut, menenggelamkan setengah wajah di sana. "Kok bisa sih, Drin?"
"Ya mana aku tahu."
"Katanya dia pernah nembak aku pas SD. Tapi kok aku nggak ingat."
"Wah, wah." Kepala Aldrin menggeleng-geleng. "Ajaib tuh cewek."
Zagi semakin mengerutkan tubuhnya.
"Tapi, Far," Aldrin melihat ke jendela, "kalau aku lihat, Sorin tuh... dia kelihatan kayak cewek polos. Kayak, dia majang foto-fotomu cuma karena dia seneng ngelihatin wajahmu aja. Nggak ada pikiran aneh-aneh."
"Kok kamu jadi ngasih pembenaran." Zagi menoleh ke Aldrin.
"Ya emang tetep salah, sih." Aldrin memperbaiki posisi duduk di kursi meja belajar Zagi. "Gini deh, dia pernah sengaja sentuh kamu nggak?"
"Biarpun nggak pernah, dia mungkin bakal ngelakuin itu di kemudian hari."
"Kalau kamu sendiri pernah?"
"Apa?"
"Nyentuh Sorin."
Wajah Zagi langsung memerah. "K-kenapa jadi bahas itu!"
Aldrin pun telah mengetahui jawabannya. "Oh, masih suka."
Zagi tidak membantah. Wajah yang memerahnya dia sembunyikan kembali di lipatan tangan seolah menegaskan dirinya yang memang masih menyukaiku.
Masih?
Apa.
Tunggu....
"Faris, Faris."
"Drin," Zagi berkata lirih. "Meski aku suka Sorin, aku nggak lantas suka ngeliat tindakannya yang berlebihan itu. Aku tiba-tiba jadi takut sama dia."
Benar ternyata.
"Takut kenapa?"
"Diapa-apain?"
"Contohnya?"
"Ya apa aja kek. Dia sedikit kelihatan berbahaya."
"Setuju."
"Lah terus, katamu tadi dia cewek polos?"
"Justru karena polos yang nggak ngerti apa-apa jadi tambah bahaya," kata Aldrin. "Dia aja sampai nggak ngerti gitu kan kalau majang ratusan foto gebetan di dinding kamar itu mirip stalker?"
Zagi mengusap belakang leher. "Kayaknya lumayan sadar. Tapi dia bodo amat."
"Nah, itu polos namanya. Dan bahaya."
Cowokku diam.
"Kesempatan tuh, Far." Aldrin menaik-naikkan alis.
Zagi memandangnya singkat, kemudian mendelik.
Iya, aku tahu Zagi tidak akan pernah mengambil kesempatan dariku. Dia bahkan memperingatiku untuk tidak mengaktifkan sihir penghenti waktu dan tubuh tembus pandang bersama-sama lagi. Bukankah pada saat seperti itu dia bisa lebih banyak mengambil kesempatan?
Aku tahu Zagi sebaik itu. Dan aku membalasnya dengan kelakuan yang sangat tidak patut.
Apa lebih baik aku tidak berurusan lagi dengannya? Demi kebaikan dia dan kebaikanku.
Pada saat itu, tiba-tiba Zagi mengusir Aldrin. Aku yang masih berdiri beberapa jauh dari pintu hampir tertabrak keduanya.
Zagi lalu menutup pintu dan menguncinya, menyebabkan ruangan bertambah gelap karena lampu tidak dinyalakan.
Ketika berbalik, punggungnya menempel ke pintu, kulihat dia mengatur napasnya; menarik dan mengembuskannya berulang-ulang.
Kemudian, saat kusadari posisi kami sejajar dalam jarak yang tak begitu jauh, mata Zagi tertuju padaku.
"Kamu ada di situ, kan? Sorin."
Jantungku kembali dibuat menggila.
fact.
sorin emang cewek polos. pas dinasihati, kalau nggak langsung melakukan nasihatnya itu, berarti bodo amat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro