dia... nembak aku!!!!
last chapter.
Sihir penghilang ingatan.
Ada dua jenis sihir penghilang ingatan. Pertama dalam jangka waktu tertentu. Biasanya singkat. Satu menit, satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun. Kedua dalam jangka waktu selamanya.
Dan aku tidak tahu sihir penghilang ingatan yang mana yang kugunakan hari kemarin untuk membuat diriku kehilangan ingatan tentang Zagi.
Iya. Aku yakin hanya bagian Zagi saja yang ingatannya kuhapus.
Alasannya sendiri aku masih tidak tahu.
Tapi dari yang Zagi bilang, kami sudah berjauhan selama seminggu karena Zagi masih syok soal tindakan anarki-ku. Mungkin saja, hanya mungkin saja, aku mencoba menebak dan mengenal diriku sendiri, aku menghapus ingatanku selama sehari karena tak kuat lagi berjauhan dengannya.
Tapi kenapa sehari? Besoknya aku akan merasakan sakit lagi dong?
Tapi jika selamanya pun, semudah itukah aku melenyapkan perasaanku untuk Zagi hanya karena satu konflik itu? Apa segitunya aku merasakan perasaan bersalah?
Lalu, kertas post-it yang tertempel di cermin riasku yang menyebutkan hari itu aku harus menghabiskan waktu dengan Xiera, Yuyu, dan Teressa... itu kenapa? Kenapa mesti pada hari itu aku menghabiskan waktu bersama mereka? Saat aku melupakan eksistensi Zagi selama sehari di dunia itu.
Apakah hal tersebut adalah kesengajaan?
Sumpah, ada apa sih dengan diriku hari kemarin?
Kenapa ingatan mengenai Zagi-nya harus dihapus?
Dan meski sekarang aku menyukai Zagi lagi, persisnya sepertinya aku menjadi lebih waras dan tidak terlalu bucin lagi, aku tidak tahu apa ini berarti sebuah kemajuan atau tidak.
Bagusnya aku bisa memperbaiki sikap berlebihanku di masa lalu kepadanya. Buruknya... apa itu berarti, rasa cintaku pada Zagi telah berkurang?
Apa Zagi tidak apa-apa?
Oh....
Mencintai Zagi secara berlebihan. Berkonflik dan berjauhan dengannya selama seminggu. Menghabiskan hari bersama teman-temanku pada saat aku melupakan laki-laki yang kucintai. Harusnya itu menandakan satu hal....
Aku berniat pergi meninggalkan dunia ini, termasuk Zagi dan ketiga temanku di dalamnya.
Yang artinya juga, aku akan kembali ke dunia asalku.
Begitukah yang sesungguhnya kuinginkan hari kemarin sehingga memutuskan menggunakan sihir penghilang ingatan sehari pada diriku sendiri? Aku ingin menghabiskan momen terakhir bersama orang terkasihku selain Zagi. Sebelum besoknya, aku meninggalkan mereka semua dengan sebuah perpisahan yang hanya dimengerti olehku.
Aku tidak menggunakan sihir penghilang ingatan selamanya karena aku tidak ingin sepenuhnya melupakan Zagi; aku menjadi tak punya alasan lagi pergi ke dunia ini. Dan tentu saja agar di tahun-tahun berikutnya aku bisa berjumpa dengannya kembali setelah jarak yang kubuat sendiri dari konflik yang kubuat sendiri.
Begitukah yang sesungguhnya kuinginkan?
Begitukah?
Hey, Sorin. Apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?
Kamu ingin berpisah dulu dari laki-laki yang kamu cintai ini?
Yakin?
Ya sudah, aku kabulkan.
"Hei." Zagi menyentakku dari lamunan. Aku melihat sekitar, segelas susu murni telah tersaji di hadapan kami masing-masing.
Zagi menyedot minumannya dengan gerak lambat, kemudian menggerak-gerakkan sedotannya juga dengan sama lambatnya. Setiap tiga detik, bola matanya mengarah padaku.
Dia sedang menyiapkan hati dan timing yang tepat untuk membicarakan apa pun yang ingin dibicarakannya, denganku.
Aku membiarkannya bergelagat seperti itu sekaligus sekali lagi memandanginya dari depan, menilai mengapa dan seberapa suka dulu aku padanya.
Zagi cenderung berkulit cerah. Paras wajahnya sangat kekanakan alias menyaratkan usia baru menginjak remaja. Tubuh tak terlalu tinggi untuk laki-laki seusianya, jemari di tangannya pendek-pendek, rambut tipis yang terlihat halus. Tiba-tiba aku ingin mengusap-ngusapnya.
Maka oleh sikap impulsifku, aku langsung berdiri dari kursi plastik tanpa sandaran, mendapatkan reaksi terkejutnya, dan semakin mendapatkan reaksi terkejutnya kala tanganku beneran mengusap rambut itu.
Memang halus.
Sementara di bawahnya ada yang berubah menjadi merah. Wajah Zagi.
Dia segera menjauhkan diri di tengah aku yang masih berdiri.
"Nga-ngapain?????"
Tanda tanyanya sengaja kubanyakkan karena dia memang sekebingungan itu.
Aku tersenyum. Reaksinya lucu. Zagi lucu.
Aku bisa mengerti mengapa diriku yang dahulu menyukainya. Zagi sangat amat mudah disukai oleh gadis sepertiku. Oleh gadis yang sangat membutuhkan hiburan dan sesuatu yang membuatnya tersenyum. Apa pun yang Zagi keluarkan di depanku, aku selalu merasa hari itu adalah hari terindahku.
Ah, rasa cinta ini sungguh membahagiakan.
Tapi.... Aku merasa rasa cinta ini tak sebesar dan semembahagiakan dulu.
Apa karena efek hilang ingatan?
Biarpun saat ini aku merasa senang luar biasa, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.
Seperti... aku belum merasakan ketulusan dari rasa cintaku ini.
Ketertarikanku pada Zagi saat ini hanyalah ketertarikan singkat akibat perlakuan spesial seorang laki-laki yang membuat baper. Sangat berbeda dari perasaan cintaku dulu untuknya yang pasti telah banyak melewati fase alasan dan kebersamaan.
Dan aku tidak tahu apa yang terbaik untukku saat ini.
Benar harus menuruti inginku di hari kemarin; berpisah dengannya untuk sementara waktu, atau, ya... tidak ada opsi lain, sih. Karena kini pun sepertinya rasa cintaku padanya... tidak sedalam itu.
Apalagi ketika tiba-tiba dia menyerukan permintaan itu.
Zagi menggaruk pelipisnya dengan jari tanpa melihat ke arahku. "Sorin. Kamu tertarik... pacaran?"
Ah.
Tapi bukankah seminggu kemarin kami saling berjauhan? Lalu kenapa ketika dia tiba-tiba mendekatiku lagi dia langsung ingin mengajak itu?
Secepat dan semudah itu dia memaafkanku? Menganggap kami telah berdamai?
Tapi, entah kenapa pula, aku tidak merasakan letupan kegembiraan yang dahsyat. Dia bagiku kini terlihat seperti cowok yang baru kutemui dan kutaksir. Dan mengingat keinginan diriku di masa lalu untuk berpisah, agaknya tak mungkin kan aku mengatakan iya?
Aku merasa diriku yang ini berbeda dengan diriku yang dulu.
Dan rasanya aku tak berhak mendengar kalimat itu dari Zagi. Harusnya diriku di hari esok yang mendapat letupan kegembiraan akibat pernyataan ajakan pacarannya tersebut.
Diriku sebelum terpengaruh sihir penghilang ingatan. Diriku yang benar-benar mengenal dan mencintai Zagi. Diriku yang benar-benar Zagi kenal dan Zagi cintai.
Aku telah merampok hak kebersamaan mereka.
Bukan diriku yang ini yang diinginkan Zagi. Bukan sekarang. Harusnya besok.
Tapi tidak ada hari esok untukku dan Zagi.
Aku akan pergi dari sini.
"Zagi."
Telat.
Sorin ingin berpisah darimu dulu, Zagi.
Kamu telat mengatakannya.
Kualihkan pandang ke samping, tahu-tahu mata sudah agak basah. "Aku... bukan aku yang ini yang Zagi kenal."
Zagi tidak menyembunyikan keterkejutannya. Tapi dalam situasi begini pun, masih saja aku menikmati perubahan ekspresi wajahnya dari grogi ke bingung. Dan setidaknya dari jawaban itu aku telah meningkatkan persentase penolakan sebanyak sepuluh persen.
"Maksudnya?" Dia memerlukan kejelasan. "Gara-gara kamu hilang ingatan yang mana sebenernya itu pake sihir penghilang ingatan, kamu ngira kamu bukan Sorin lagi?"
Aku tak menyangka dia berhasil menebak maksud tersembunyi dari ucapanku barusan hampir tepat sempurna.
Percakapan ini sejujurnya cukup mengundang perhatian. Aku dan Zagi duduk bersebelahan di salah dua kursi plastik yang disediakan penjual susu murni pinggir jalan. Memang tak ada pembeli lain selain kami. Tapi selain si penjualnya yang terkadang berdiam di dekat blender, area ini lumayan dipadati orang yang berlalu-lalang.
Ya paling-paling dikira chuunibyou. Zagi secara harfiah memang kelas dua SMP.
Setelah memandang matanya beberapa lama, aku mengangkat gelas susu murniku, menyedotnya. "Aku emang bukan Sorin yang kamu kenal meski sekarang aku suka kamu lagi."
"Nggak masalah."
"Masalah buat diri aku yang asli."
"Sorin yang ini juga asli."
"Nggak," tampikku. "Kamu tahu apa, sih?"
Yah. Kupikir Sorin yang dulu tidak akan berkata setinggi itu ke Zagi. Sekali lagi aku lumayan bisa mengira bagaimana diriku yang 'itu'.
"Kamu, hilang ingatannya berapa lama?" tanyanya dengan suara lebih kecil.
"Sehari. Kayaknya."
"Jadi kalau hari ini Sorin nolak, besok, dengan diri yang kamu kira asli itu, aku... bisa nembak kamu lagi?"
Aku terperangah.
Zagi yang mengucapkan kalimat tersebut, tetapi dia sendiri yang seolah mendengarnya dari orang lain. Biarpun wajahnya menyiratkan keseriusan, masih kutemukan segelintir merah di sana.
Sementara aku sendiri kesulitan merespons. Terlalu tidak menyangka di pertemuan pertama ini dia langsung ngegas.
Apa karena kelamaan menahan kangen?
Ah, tapi.
"Itu, masalahnya," aku mencoba menenangkan hati, "nggak ada hari besok buat kita."
Tak perlu dijelaskan seberapa Zagi terkejut lagi. Oke, pembicaraan ke depan sepertinya akan selalu mengandung kejutan.
Mulai detik itu, tak ada lagi setitik pun kegugupan di wajahnya.
Melalui arah matanya yang terus tertuju padaku, kebisuan Zagi seakan meminta penjelasan lebih banyak.
Maka aku memberitahunya. Yang kuketahui dari pemahamanku sendiri.
Setelah selesai, Zagi geleng-geleng kepala. Jika tidak dikiranya aku mengada-ngada, mungkin baginya pemikiranku ini tidak masuk akal. Dan memperumit diri.
"Kenapa harus pergi segala? Kita kan udah nggak jauhan lagi." Sekarang si sumber aku uring-uringan selama semingguan ini menarik pelatuknya kembali.
Aku sedikit tidak mengerti, sekaligus kesal.
"Jangan ngobrol di sini."
Sehabis membayar minuman, aku mengarahkan langkah kami ke tempat sepi. Sebuah gang tak terlalu sempit yang sering dijadikan jalan tikus sepeda.
Aku yang berdiri di depan membalikkan badan menghadap Zagi, mengambil lengannya untuk kualiri sihir tembus pandang. Begitu selesai, kembali membelakanginya, saat itu juga Zagi langsung memelukku dari belakang.
Kontak fisiknya yang tiba-tiba tersebut menghentikan seluruh kinerja sendiku. Aku merasa hangat, sekaligus ingin menangis.
Harusnya diriku yang 'itu' yang mendapatkan ini.
Zagi benar-benar salah mengambil timing.
"Jangan pergi, Sorin...."
Suaranya persis di dekat kupingku, menggetarkan pori-pori kulitku. Ah, mungkin ini reaksi bawaan yang dulu setiap mendapat perlakuan maupun perkataan spesial Zagi untukku.
"I love you. I love you. I love you."
Aku mohon berhenti....
"Sorin mau aku bilang begitu berapa kali? Aku kabulin."
"Jangan pernah bilang itu lagi!"
"Kenapa? Suka-suka aku. Mulut-mulut aku."
Kenapa dia jadi menyebalkan?
"Lepasin," pintaku.
"Sorin yang ini nggak tahu ya pas malam itu Sorin dorong sepedaku sambil bilang aku pangerannya Sorin, tahu nggak apa yang waktu itu ada di benak aku?"
"Apa?" Aku malah meladeninya.
Dia mengambil napas sejenak sebelum mengatakannya. Tetapi tak jadi. "Ah, nggak deh. Sebaiknya aku nggak kasih tahu kamu."
Zagi melepas peluknya, meninggalkan bekas panas di sekitaran leher dan bahuku. Sorin yang dulu ternyata menyukai laki-laki seperti ini? Laki-laki yang mendadak berubah menjadi lebih berani di kala kesan pertamaku padanya adalah laki-laki pemalu.
Aku mengambil napas sembari meletakkan tangan di dada. Tadi itu sangat amat membuat detak jantungku porak-poranda. Tak kusangka laki-laki seperti dia bisa melakukannya juga.
"Sorin."
Masih dalam posisi memunggungi, aku mendengar dia menyebut namaku. Nama yang seingatku bukan nama asliku.
Kuputar tubuh menghadapnya.
Zagi menatapku lekat.
Aku seperti tahu apa yang ingin dikatakannya.
"I have a crush on you."
"I don't have a crush on you."
Zagi tahu aku berbohong. Namun Zagi pun tahu jawabanku saat ini untuk diriku yang ini untuk permintaannya yang barusan, jawabanku tetap tidak berubah.
'Tidak'.
"Besok... besok ketemu lagi, kan?" Zagi menghibur dirinya sendiri. "Kasih kesempatan aku ketemu sama diri kamu yang itu."
"Zagi...." Kuangkat sebelah tanganku ke pipinya. "Ada alasan lain kenapa Sorin yang itu pengen pisah dulu dari kamu."
"Nggak. Dia itu bucin aku banget. Dia nggak mau pisah sama aku."
"Katamu Sorin yang itu udah bikin kesalahan besar sampai membuat kalian harus berjarak dulu? Dan melihat pagi ini aku bangun di apartemen sendirian, ngerasa tiba-tiba takut, bingung sendiri kenapa aku milih tinggal di sini sendirian daripada di istana bareng keluarga aku, kira-kira, kamu tahu apa alasannya?"
"Aku."
Aku tak tahu soal ini. Namun sepertinya laki-laki itu telah menyadari dan mengakui perihal rasa cinta Sorin untuknya.
Kutundukkan kepala, tak sanggup melihat apa pun di depanku. "Zagi, kamu nggak salah. Yang salah tuh perasaan cinta aku buat kamu. Yang berlebihan. Yang sampai bikin kamu nggak nyaman. Yang sampai bikin aku nggak nyaman karena maksain tinggal di sini sendirian dan akhirnya... kesepian? Apa dulu aku pernah bilang gitu ke kamu? Apa aku kesepian?"
"Iya. Kamu... kesepian."
Kurasakan sesuatu menetes ke tanganku yang menangkup pipinya.
Zagi menangis. Dan dia berusaha menahannya dengan mengalihkan bola mata. Sekarang yang merah bukan lagi wajahnya, tetapi kedua matanya.
Kemudian dia menyampingkan tubuh, membuat tanganku terlepas dari pipinya. "Kayaknya emang nggak mungkin ya, Sorin?"
"Nggak sekarang, Zagi."
"Kapan?"
"Mungkin besok aku tahu jawabannya."
"Kalau gitu, empat tahun."
Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
"Empat tahun, kita ketemu lagi. Di sini. Di dunia ini." Intonasinya sangat mantap saat mengatakan itu. "Sekarang mungkin kita masih kecil. Harusnya kemarin aku ngasih kamu kejelasan atau seenggaknya ngasih tahu batas maksimalnya dan bukannya ngebiarin kamu nunggu terlalu lama tanpa tahu pastinya kapan kita bisa ngelepas jarak itu. Aku belum bisa nentuin sikap terbaik buat nyelesein masalah."
"Hei." Kutaruh tanganku di pundaknya, mencegahnya bicara makin melantur.
Tapi kemudian dia tersenyum, dan menunduk. "Kamu harus balik lagi ke dunia asalmu. Sorin kan nggak kuat sama kesendirian? Jangan maksain lagi, ya. Bahagiain diri kamu dulu sebelum bahagiain orang lain."
Dari titiknya berdiri yang tak jauh dariku, Zagi mengamati wajahku. "Bisa lepas dulu sihir tembus pandangnya? Yang aku aja tapi."
Aku bingung. Tetapi tanpa bisa berpikir lebih jauh, kuturuti juga kemauannya.
Sekarang Zagi sudah kembali ke wujud semulanya; tak tembus pandang, alias seperti manusia normal.
"Malam itu pas kamu dorong sepedaku dan bilang aku berhasil jadi pangerannya Sorin, tahu nggak apa yang ada di benakku waktu itu?"
Aku menyatukan alis, tak berhentinya dibuat bingung. Dia mengulang pertanyaan tadi.
"Apa?"
"Ini."
Zagi mengecup pipiku. Tapi tidak kena karena wujud kami yang berbeda.
"Aku tunggu empat tahun lagi, my crush."
Kemudian besok paginya, aku menangis keras sekali di tempat tidur.
Ternyata benar.
Ingatan itu cuma dihapus sehari.
end.
fact.
nyatanya sorin versi ingatannya dihapus tentang zagi, lebih dewasa dari sorin versi bucin zagi. zagi benar-benar telah mengubah kepribadian sorin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro