Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

di malam yang sesunyi ini

Ini memang bukan pengetahuan baru. Tetapi seseorang bisa jatuh cinta pada seseorang yang jatuh cinta padanya.

Apalagi laki-laki sepertiku yang sangat jarang sekali mendapat perhatian dari seorang gadis. Hanya saja jika gadis itu secantik Sorin, aku masih saja sulit mempercayainya.

Ditambah ternyata dia seorang putri dari kerajaan dunia lain?

Baiklah, cukup jalani saja. Tidak perlu dipikirkan sampai membuat stres.

Yang jelas kini aku menemukan senyumku lebih sering keluar dari biasanya. Menyebabkan kakak laki-laki dan adik perempuanku curiga.

"Bang Jovie udah punya berapa mantan?" Aku bertanya random pada suatu malam yang dipenuhi suara jangkrik.

Bonjovi yang pasti telah mengetahui diriku mulai mempunyai hubungan spesial dengan seorang gadis segera saja menjawab pertanyaan tersebut. "Lima."

Tidak perlu heran. Abangku itu memang memiliki wajah yang dengan mudahnya dapat memikat hati gadis-gadis.

"Paling lama berapa bulan tuh?"

"Tiga."

Sudah kuduga, tidak ada yang benar-benar awet.

"Emang hubunganmu itu udah jalan berapa hari, Far?" Bonjovi bertanya.

"Jalan apanya? Aku nggak nembak dia," akuku, sama sekali tidak merasa malu karenanya.

Bonjovi berdecak-decak menyayangkan. "Kalau dia udah suka kamu, dan kamu juga suka dia, apa lagi yang kamu tunggu?"

"Apaan sih, Bang. Aku nggak ada niatan ngejadiin dia pacar kali." Aku masih menjawab enteng. "Terlalu cepet."

"Yakin?" tantang abangku. "Emang kamu nggak bakal cemburu lihat dia sama cowok lain?"

Atas suatu kemungkinan yang dijabarkan Bonjovi tersebut, otakku tiba-tiba kepikiran hal-hal buruk.

Seperti perasaan suka Sorin selama ini untukku memang benar adalah suatu kebohongan. Aku cuma dikerjainya karena tahu aku ini laki-laki yang mudah dikibuli.

Sialan. 

"Udahlah!" teriakku di meja belajar yang turut mengagetkan Bonjovi. "Terserah mau suka atau nggak."

Bonjovi tertawa-tawa. Dan malam itu pun aku kembali overthinking.

Bagaimana cara mengetahui gelagat suka seorang gadis pada laki-laki yang ditaksirnya?

Aku tidak terlalu memerhatikan sikap-sikap Sorin selama ini ketika berdekatan denganku. Atau bisa saja dia pandai menyembunyikan perasaan hingga tidak mungkin bisa ditebak oleh orang paling jago meneliti ekspresi sekali pun.

Astaga. Aku betul-betul direpotkan oleh hal picisan semacam ini.

Tidak bisa dibiarkan.

Karena tidak mau mengakhiri hari dengan kecamuk pikiran yang mendera kepala, aku keluar malam-malam dan mengendarai sepeda ke lapangan basket tempat aku biasa menyendiri.

Sesampainya di sana yang tentu saja kosong dan sepi sebab sekarang nyaris pukul dua belas malam, aku menggumamkan sesuatu sambil menatap pada tiang ring basket yang masih mulus dari karatan-karatan besi.

"Sorin. Kalau kamu suka aku, ayo datang ke sini."

Jika dia memang seorang penyihir, yang bisa memberi kutukan i love you pada seorang laki-laki SMP tak berdosa, maka bukannya tak mungkin Sorin pun bisa membaca pikiranku dari jarak berkilo-kilo meter pun.

Dan dia memang datang setelah aku menunggunya selama lima menit.

Di tengah wajahku yang memerah akibat rasa kesal sekaligus malu tak terkira, Sorin menatapku lurus sembari tersenyum dari tempatnya berdiri.

"Kenapa sih Zagi perlu aku konfirmasi segala?" katanya, kedua tangannya seperti biasa dia sembunyikan di belakang tubuh. "Tapi mau yang mana, nih. Yang aku penyihir, atau yang aku suka kamu?"

Semakin kusembunyikan wajahku ke stang sepeda. Namun aku tetap diam di sana.

Sorin semakin memperpendek jarak di antara kami; dia maju selangkah. "Terserah sih kamu anggep perasaan sukaku ini bohong atau nggak. Yang jelas, aku bakal tetep deketin kamu."

"Oke-oke." Kuberhentikan dia dengan memajukan telapak tangan ke arahnya. "Aku percaya."

Sikap agresifnya ini benar-benar membuatku kewalahan.

Namun sepertinya ada yang terlewat.

Begitu Sorin sudah berada satu langkah di dekatku yang masih duduk di sepeda, kata-kata itu langsung meluncur dari bibirku.

"I love—"

Sorin menghentikannya dengan menutup mulutku. "Ayo kita jalan-jalan aja."

Tangannya terasa panas mengenai bibirku.

Beserta wajah yang terus-terusan menunduk seiring langkahnya menuju bangku belakang sepeda, aku telah menyadari satu hal.

Satu hal yang membuat senyumku seketika terbit kala kukayuh pedal sepeda itu untuk membawa kami meninggalkan lapangan basket.

Gadis ini memang menyukaiku.

Dan aku pun menyukainya.

Udara dingin malam itu terasa lebih menyejukkan kulit.

"Jam segini kok belum tidur?" Aku bertanya pada gadis yang duduk di bangku belakangku, senyumku belum luntur.

Entah suaraku kurang kencang, atau Sorin sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya melamun. "Aku sering nggak tidur seharian."

Oh... oke. Dia manusia dunia lain.

"Mikirin Zagi."

Aku langsung mengerem sepeda, menyebabkan decit yang memekakkan telinga, dan tubuhnya menghantam punggungku.

Aku kesulitan bertingkah.

Jadi kulajukan kembali saja sepeda yang sempat terhenti itu. Walau jalannya menjadi agak zig-zag.

"Yang benar dong jalannya." Sorin protes di belakang.

Lalu kuputuskan untuk kembali menghentikannya, membawanya sambil berjalan. Tapi karena Sorin masih duduk di situ, baru beberapa langkah aku sudah kelelahan.

Kutatap gadis itu di balik langit malam bertabur bintang. "Turun."

Dia tidak menurut.

Dan aku pun berpikir dia akan mengajukan permintaan aneh jika aku sampai memohon sekali lagi. Jadi yang kukatakan adalah, "Ya udah kamu aja yang jalanin."

Aku meninggalkannya sendirian di sana, kesal dengan segala tingkahnya yang membuat laki-laki pemalu ini malu.

Setelah aku berjalan cukup jauh di depannya, Sorin menyusul dengan sepedaku, lalu berhenti. "Butuh tumpangan?"

Itu sepedaku!

Dan harga diriku bisa terluka parah jika duduk di belakang gadis yang mengendarai sepeda.

"Maumu apa, sih?"

"Dirimu."

Aku bisa gila!

"Sebenarnya apa yang kamu suka dari aku?" Aku melanjutkan jalan saja, dan langsung dia imbangi dengan sepedaku yang dikayuhnya pelan.

"Mmm...."

Aku sangat yakin gadis itu telah menyimpan jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Dia hanya pura-pura berpikir saja.

"Karena cuma aku yang berpikir Zagi itu ganteng?" dia menjawabnya semudah mendapat soal kelas 1 SD. "Karena Zagi punya nama yang keren. Karena Zagi tidak banyak tingkah tapi selalu menginginkan perhatian."

"Woy," kuhentikan ucapan ngawurnya, "kapan aku gitu?"

"Pas kelas 4 SD. Pas Zagi jadi pohon di pentas drama. Zagi terus lari-larian di panggung seolah pengen diperhatiin. Padahal pohon kan kerjaannya cuma—"

Giliran aku yang menutup mulutnya dengan tanganku, tak kuasa lagi mendengar aib masa laluku yang selalu ingin kulupakan.

"Jangan diungkit lagi, please."

Jarak wajah kami menjadi dekat gara-gara posisi itu. Tapi aku tak berniat melepaskannya sebelum dia benar-benar akan diam setelahnya.

Kemudian tanganku tersebut Sorin singkirkan. Dia lalu melihat ke sembarang arah. "Waktu itu Zagi kesel gara-gara apa sampai lari-larian segala?"

Kupandangi wajahnya yang menghadap ke bawah.

Jika Sorin tahu kala itu aku sedang kesal makanya menghancurkan setengah isi pentas, maka dia pun pasti tahu alasan dari kekesalanku tersebut.

Tapi kenapa masih bertanya?

Ingin aku mengaku?

"Gara-gara gagal jadi pangeran."

Lambat, kepalanya pun menoleh. Lalu senyum itu membalas pandanganku.

"Berhasil. Zagi berhasil jadi pangerannya Sorin."

Pada detik itu, aku ingin mencium pipinya.

Dan tentu saja aku tidak melakukannya.

fact.
meski ngaku dia biasa saja, sebenernya faris selalu pengen jadi pemeran utama, alias sorotan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro