datang aja semua ke rumahku
"Eh, pulangnya main ke rumah Sorin, yuk."
Aku seperti disadarkan oleh satu kalimat yang membuat setengah hari kemarinku hancur. Oke, aku pun punya andil salah karena menyetujui kunjungan itu.
"Boleh. Mumpung—"
"Aku nggak tinggal di rumah, tapi apartemen!" Suaraku tanpa sadar meninggi, sangat mengundang kecurigaan dan apalagi aku memotong perkataannya Yuyu.
Xiera dan Yuyu menatapku beberapa saat.
"Oke, apartemen. Apa bedanya?" Xiera mempertanyakan kalimat sanggahanku.
"Aku juga tinggal sendiri."
Baru mereka berdua memekik terkejut.
"Serius? Kamu tinggal sendiri, Sorin?" Aku merasa bersalah melihat ekspresi kasihan Xiera. Dia tiba-tiba memegang kedua tanganku. "Kamu nggak ada konflik sama orangtuamu, kan? Atau...."
"Turut berduka cita, Rin."
"Orangtua aku belum meninggal." Kulepaskan genggaman simpati tangan Xiera. "Mereka masih ada di istana."
"Hah?"
"Rumah aku yang asli suka aku sebut istana. Hehe." Aku nyengir.
"Ada apa, guys?" Teressa, teman sebangkuku, kembali dari kantin. Dia menyedot-nyedot es teh di mulut pintu sampai habis lalu membuangnya ke tong sampah dekat situ. Langkahnya kemudian membawanya ke bangku kami.
"Pulangnya main ke rumah Sorin, Sa."
"Tapi katanya Sorin tinggal sendiri di apartemen." Yuyu memberi info tak perlu.
Teressa hanya mengangkat alis sambil menolehku. "Orangtuamu ke mana?"
"Di istana."
"Yuyu, ih." Aku merengek ke cewek yang duduk di serong kananku itu. "Pokoknya kalian nggak boleh mampir." Kutempelkan dagu di meja, melenguh lesu.
"Larangan adalah perintah." Xiera kukuh dengan rencananya.
"Eh, sori aku nggak bisa ikut," sahut Teressa. "Disuruh pulang langsung sama mama."
Syukurlah. Berkurang satu.
"Btw, Rin. Udah ada cowok yang deketin belum?" Kalimat yang sama, godaan ke delapan, Teressa tak henti-hentinya berharap aku yang cantik seperti orang Korea ini bisa menjalin cinta dengan salah satu cowok keren di sekolah ini.
Tapi, tapi... cowok keren itu sedang marahan denganku.
"Belum." Aku pun menjawab dengan satu kata yang sama.
"Dia udah punya inceran kali."
"Nggak mungkin ah, Yu." Teressa bersikeras. "Sorin bukan tipe yang suka ngejar-ngejar cowok, kan? Yang ada mereka yang gencar-gencarnya ngedeketin kamu."
Sayang sekali. Teman sebangkuku ini begitu tidak peka.
"Kalian harus tetep temenan sama aku ya biarpun nanti kalian ngelihat sesuatu yang nggak biasa." Aku memperingati Xiera dan Yuyu sebelum membuka pintu unit apartemenku. Kejadian ini benar-benar membikinku déjà vu.
Mereka berdua tersenyum tipis seolah-olah menganggap perkataanku tak penting, yakin aku tak menyembunyikan apa pun yang aneh di dalam sana.
Ya memang tidak disembunyikan, sih. Dipajang banyak-banyak malah!
Kenopnya kutarik, dimulailah hari kedua penangkapan gadis stalker yang tergila-gila dengan adik kelasnya sendiri.
Aku diam di pembatas lorong dan unitku, membiarkan mereka masuk duluan, memikirkan opsi kabur jika jeritan itu mulai terdengar.
Beberapa langkah keduanya yang mendebarkan, aku masih menundukkan wajah di titik yang memudahkanku mengencangkan lari.
Satu detik, dua detik, tiga—
"AAAAAAAAA!!!!!!"
Xiera langsung mengejar larianku yang sudah dimulai di hitungan kedua.
Dan dengan mudahnya, walau tubuhku kecil hingga menyebabkanku bisa berlari dengan lebih leluasa, nyatanya Xiera yang lebih sering berolahraga.
Aku dipeluknya dari belakang. Tapi sungguh, adegan ini tidak seperti yang orang-orang kira!
"Jelasin, woy!"
"Suruh dulu Yuyu jangan teriak lagi. Nanti aku dimarahi tetangga."
Astaga, jantungku.
Rasanya seperti tiba-tiba dipeluk Zagi.
Eh, tidak.
Itu akan jauh lebih membuat berdebar.
Kemudian.
Yuyu terus-terusan bergidik ngeri melihati foto-foto Zagi yang kutempel di dinding. Mungkin jumlahnya yang terlalu banyak itu bagi mereka menjadikannya sebagai masalah.
Padahal biasa saja, menurutku.
"Ayo jelasin." Walau nada suaranya sedikit tegas, kuyakin Xiera tak benar-benar marah padaku.
"Cowok yang aku taksir," cicitku tanpa memandangi satu pun dari mereka. Posisinya sekarang Xiera dan Yuyu duduk di pinggiran tempat tidurku, sementara diriku berlutut di bawah seperti meminta pengampunan.
"Kamu stalker, ya?"
"Nggak!" Jawaban tandasku menaikkan tatapanku menuju Xiera. "Sumpah. Aku nggak ngintilin Zagi ke mana-mana."
Paling kadang malem-malem kalau lagi gabut, aku mampir diam-diam ke rumahnya terus mandangin dia tidur.
Itu namanya bukan ngintilin, kan?
Kan?
"Terus dari mana kamu dapetin semua foto ini?" Xiera bersedekap, arah matanya fokus kepadaku.
Aku menggulir bola mata ke samping, mencari balasan masuk akal.
Apa aku bilang saja ke mereka soal siapa aku sebenarnya?
Apa akan berisiko?
Apa aku akan dijauhi karena dianggap berbahaya?
"Angle-nya terlalu nggak mungkin Ra buat Sorin foto secara diem-diem." Yuyu mengamati salah satu foto di dekatnya. Pandangannya lalu tertuju ke arahku. "Gimana mungkin kamu bisa lakuin itu?"
"Pake sihir bisa." Aku menyahut kalem seakan itu adalah candaan.
Xiera tertawa mengejek. "Udahlah. Sekali stalker mah tetep stalker aja."
Perlahan aku berdiri, tangan mengepal di kedua sisi tubuh. Begitu Xiera dan Yuyu melihatku mengangkat pandangan, ada air mata yang sudah menetes di sana.
"Aku berani sumpah aku bukan stalker." Suaraku bergetar-getar. "Meski mungkin tindakanku ini bisa dibilang mirip penguntit, tapi aku nggak ada niatan buruk sedikit pun ke Zagi. Aku kesepian. Aku butuh melihat dia terus untuk merasa ditemani."
Xiera dan Yuyu terdiam. Raut keduanya agak melunak dan sedetik mereka saling pandang.
"Aku tahu mungkin bagi manusia-manusia dunia kalian perbuatanku ini tak pantas. Sangat-sangat tak pantas sampai bisa membuat orang lain yang melihatnya pun ngeri. Aku bilang soal diriku yang kesepian pun lantas tak bisa dijadikan pembenaran. Mungkin baiknya aku hanya mengoleksi foto cetaknya saja dan menyimpannya di laci atau setidaknya hanya di galeri ponsel. Tapi sumpah, aku betul-betul nggak tahan dengan keasingan sendirian di dunia ini. Meski aku ingin dan gembira bisa keluar dari statusku sebagai tuan putri kerajaan, umur memang tidak bisa membohongi. Aku belum benar-benar siap dan cuma memaksakan diri hanya demi bisa berjumpa kembali dengan Zagi."
Rasanya melegakan menumpahkan semuanya. Walau sepertinya Xiera dan Yuyu tidak akan sepenuhnya mengerti dengan pembelaan panjang lebarku barusan, aku senang akhirnya aku dapat mengeluarkan kecamuk keluh kesah yang terus bergumul di hati dan kepalaku.
Aku menahannya, pura-pura berpikir diri kuat demi lanjut memulai pertemuan demi pertemuan dengan kekasih hatiku.
Agaknya ini memang sebuah obsesi.
Sampai membuat diriku sendiri kepayahan.
Tapi sungguh. Aku senang saat diriku menyukai Zagi.
Aku menemukan kegembiraan terbesarku adalah saat aku memikirkan dia dan berjumpa dengannya.
Aku rela berjuang melawan ketakutanku demi kebahagiaan itu.
Tapi sekali lagi, agaknya aku terlalu memaksakan diri sampai melakukan hal segila ini.
Sorin memang orang yang bodoh.
Napasku ngos-ngosan. Melihat reaksi mereka pun entah kenapa akan membuatku semakin kelelahan. Jadi aku menundukkan kepala, sangat terlihat sebagai si pelaku kejahatan tak termaafkan.
Kemudian, tiba-tiba kurasakan pundakku ditepuk.
Tanpa kata-kata, belum sempat kepalaku menegak, aku sudah mendapat pelukan hangat dari orang yang semula melemparkan tawa mengejeknya kepadaku.
Tangisku makin luruh.
Dia mengusap-ngusap punggungku pelan. "Sorin. Kamu salah menunjukkan kesenangan pribadimu ini kepada kami. Kamu juga salah melakukan hal setidak sopan ini. Kamu bisa ngebayangin nggak gimana risinya cowok ini habis lihat potret-potretnya terpajang banyak banget di suatu kamar perempuan dan kamu pandangin terus? Hm? Kalau posisinya dibalik gimana? Foto-foto kamu yang dia pajang di kamarnya dan dia lihatin terus?"
"Nggak apa-apa, sih. Asal dia nggak ada niatan buruk."
"Niatan buruk bisa datang sewaktu-waktu karena kebiasaan itu," ucap Xiera. "Walau kamu bilang kamu nggak ada niatan buruk ke cowok itu, bukannya nggak mungkin niatan buruk itu bakal dateng ke pikiranmu karena terlalu sering mandangin foto dia yang istilahnya selalu nyenengin kamu ini."
Xiera melepas pelukan untuk memandangi wajah penuh tangisanku.
"Kamu nggak mau kan nyakitin cowok yang kamu cinta?"
Aku menggeleng.
"Cinta emang bisa bikin bodoh. Tapi kamu jangan biarin diri kamu jadi bodoh gitu aja dong untuk ngedapetin cinta itu. Kayak nggak ada cara lain aja."
"Iya, Rin." Yuyu menyusul berdiri. "Walau kamu suka majangin foto-foto dia kayak gini, tapi betul apa kata Xiera. Itu bakal nyakitin hati dia, Rin. Serius. Nggak ada yang suka sama cara berlebihan kayak gini."
Walau itu terhadap orang yang sangat menginginkan perhatian seperti Zagi?
Aku tidak tahu apa nasihat mereka akan kupatuhi meski telah masuk ke kepalaku. Paling-paling nanti juga akan terlupa sendiri.
Tapi jika itu berhubungan dengan Zagi, akan menyakiti Zagi, dan nyatanya telah menyakiti Zagi, diriku yang doyan melakukan hal-hal ekstrem ini mungkin bisa sedikit memperhalus caraku mencintai kekasih hatiku tersebut.
Tidak semua kesenangan adalah kebaikan.
Termasuk di dalamnya memajang ratusan foto laki-laki yang kamu taksir di dinding kamarmu.
Cintaku ke Zagi sepertinya sudah toxic.
Tidak. Ini bukan cinta.
Ini napsu.
fact.
sorin emang suka melakukan hal-hal esktrem. termasuk membiarkan teman-temannya melihat hobi-nya itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro