Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bisa-bisanya aku dulu kayak gitu

"Panggil aku Zagi lagi, Sorin."

Aku tidak kenal dia siapa. Aku tidak tahu kepribadiannya bagaimana atau dia kelas berapa. Barangkali adik kelas. Dan pada impresi pertama ini, kuperkirakan dia tipe laki-laki yang agak polos dan mudah gugup.

Tetapi, pada kalimat yang dia ucapkan barusan, terdapat penekanan seolah aku tak boleh melanggarnya.

"Zagi...."

Satu detik senyum itu terukir, dia lalu membisikiku sesuatu.

"I love you."

Ini... apa-apaan ini!

Baru bertemu sudah ditembak!

Aku tak kuasa menahan debar jantungku saat dia memundurkan kepala, anehnya terus beradu tatap denganku biar kedua wajah kami memerah luar biasa. Aku sampai perlu mencengkeram bagian bawah rokku untuk menghentikan apa pun yang bisa dan ingin kulakukan saat itu.

Lalu aku teringat satu hal.

"Kamu tahu aku bisa sihir?"

Lelaki di depanku merengutkan kening lagi. "Kamu beneran amnesia?"

"Amnesia?"

"Oh, syukur. Kirain marah." Dia memundurkan punggung, melebarkan sedikit jarak di antara kami sekaligus melegakan saluran pernapasanku. "Eh. Amnesia?"

Kami berdua menatap satu sama lain.

"Atau, aku lagi pake sihir penghilang ingatan?" Aku bertanya pada diriku sendiri juga. Namun jelas aku tak mungkin tahu jawabannya sebab sihir penghilang ingatan itu tadi.

Tapi bukankah aku dan laki-laki ini saling kenal? Tapi kenapa aku memutuskan untuk memakai sihir tersebut pada diriku sendiri? Apa di antara kami sedang terjadi konflik?

Lupakan itu. Terpenting-

"Tadi kamu bilang kamu terkena kutukan?" tanyaku padanya. "Maksudnya kutukan apa? Dan pasti aku yang ngutuk kamu, kan?"

Dia mengusap leher, menghindari tatapanku. "Tiap ketemu kamu, aku bakal bilang 'I love you'?"

Kenapa menyertakan nada bertanya?

"Yang terakhir i love you ke berapa?"

"Nggak tahu. Nggak kehitung."

"Terus nyebut i love you-nya sekali dua kali?"

Dia diam. Dalam pengamatan cermatku, kutemukan segelintir keringat di sudut dahinya seolah terpojok.

Berbarengan dengan seringaianku yang keluar, dia memalingkan pandang. "Dua kali kok."

"Bohong."

"Beneran."

"Terus kapan kamu mau bilang i love you benerannya?"

Hitungan dalam hati mencapai angka sepuluh, dia akhirnya menjawab dengan wajah sampingnya yang terus kupandangi. "Nanti."

Hebat banget. Cuma nyebut satu kata aja udah melambungkan hatiku.

Padahal aku baru kenal.

Memang, ya. Sekali suka tetap bakalan suka lagi mau dibuat hilang ingatan pun.

"Padahal tadi kamu udah bilang, Zagi."

Zagi tersenyum. Kontan menularkannya pun padaku.

Apakah untuk ini aku merias wajahku?

Kemudian aku membatalkan rencana jalan-jalanku dengan ketiga temanku. Xiera dan Yuyu seperti sudah maklum. Namun Teressa malah terbengong-bengong.

"Kamu udah ada cowok, Sorin?"

Aku tersenyum sombong. "Iya dong. Udah ditembak berkali-kali malah."

Zagi menyikut lenganku, menyuruh segera pergi.

"Eh, tapi sebenernya aku yang lebih suka dia, sih. Zagi orangnya malu-malu." Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulutku seakan tertinggal dalam sisa ingatan yang lupa terhapus sihir.

Kutinggalkan ketiga temanku yang kompak terperangah tersebut, melambai-lambaikan tangan seperti akan memasuki jenjang kehidupan selanjutnya.

Kehidupan bersama laki-laki yang kembali membuatku jatuh cinta.

Aku meminta Zagi menceritakan tentang diriku yang dia kenal. Katanya perjumpaan pertama kami tuh aku menabrak punggungnya lalu kutukan i love you itu untuk pertama kalinya juga aktif.

Begitu terus sampai berkali-kali sampai aku mengaku telah memberinya sebuah kutukan. Dan terakhir, karena ulahku, Zagi menyuruh kami untuk saling menjauh dulu.

"Ulahku apa?"

Zagi seperti ragu saat mengatakan ini. Kusadari dia pun agak menjauhkan diri dariku. "Kamu... majang foto-fotoku di apartemenmu."

"Emangnya itu salah?"

"Jumlahnya ada ratusan."

Matahari siang yang bersinar menyemproti para pejalan kaki di sekitar sekolahku terasa lebih menyengat dari berdetik-detik lalu. Pada saat kakiku berhenti bergerak yang mana kukira sesungguhnya sekujur tubuhkulah yang membeku, aku ingin segera pergi dari situ.

Tiga detik kepalanya menengok ke sini, aku langsung mengencangkan lari sambil berharap dia tidak mengejarku.

Malu. Aku tidak punya muka lagi di hadapannya!

Apa-apaan memajang ratusan fotonya di apartemenku? Sorin masa lalu, apa sih yang kamu pikirkan!

Segitunya banget menyukai laki-laki.

Tidak.

Dia sudah tergila-gila!

Dan kenapa aku yang harus menanggung ini?

Aku tidak mau mendengar atau menoleh untuk mengetahui apa laki-laki itu mengejarku atau tidak. Aku terlalu panik dan malu. Hadirku di dunia itu saja sudah salah.

Langsung balik lagi ke duniaku saja gitu, ya?

Namun di tengah larian ini, aku sulit mengingat mantra sihir apa pun atau sihir apa yang bisa kugunakan saat itu untuk terbebas. Yang kubisa hanya terus berlari saja sampai tak seorang pun bisa menemukanku.

Memajang ratusan foto laki-laki yang disukai di kamar?

Memangnya apa kelebihan dia sampai aku rela berbuat sampai sejauh itu!

Tadi... ya, aku memang menyukainya lagi jika dulu aku memang menyukainya juga. Cuman sekadar menyukai karena dia bertingkah begitu padaku. Aku langsung baper. Itu saja.

Apa sih kelebihan dia?

Kemudian saat kukira mengapa jalur lariku mulus-mulus saja alias tidak menabrak satu pun orang, akhirnya tabrakan itu terjadi juga. Seorang cewek. Memakai seragam SMP-ku.

Kami berdua terjatuh dan mengaduh.

"Siapa sih yang lari-larian di sini." Dia melenguh, masih dalam posisi terduduk.

Walau nampaknya rokku kotor, aku tak mau memedulikannya dan lekas-lekas berdiri. Namun saat hendak menggerakkan kaki, kakiku tersebut langsung dicengkeram cewek itu seolah menirukan adegan dalam film-film horor yang kutonton di waktu-waktu gabut.

Dia memandangku dari bawah dengan tatapan 'akhirnya kau kudapatkan!'. "Kamu siswa sekolahku, ya?"

Seorang pangeran penyelamat datang. "Hala. Untung. Kamu. Tangkap. Dia."

Eh. Bukan pangeran penyelamat. Ini Dementor!

Sekuat tenaga kucoba melepaskan kakiku dari si korban tabrakanku. Tapi Faris kemudian menarik ranselku, membuat bahu kami sempat bertubrukan sebelum posisiku kini sejajar dengannya.

Cewek di depanku melongo sebentar, memandangi kami bergantian, kemudian berdiri, melakukan hal yang seharusnya kulakukan juga; mengepruk-ngepruk rok.

Aku diam. Meski keinginan melarikan diri masih tertanam dalam hati, entah mengapa aku tak bisa melakukannya. Eksistensi Faris di belakangku seakan mengunci seluruh pergerakanku.

"Cewekmu, Par?"

Masih saja aku tersipu karenanya. Sudah jelas-jelas tadi aku diserang rasa malu tiada tara!

"Iya."

Malah diiyakan pula. Tolong jangan buat aku susah bertingkah.

Temannya Faris itu mengamatiku dari atas ke bawah. "Ternyata Paris bisa dapetin cewek cantik juga, ya."

"Iya kan, dia cantik? Aku aja nggak percaya."

Apa, sih.

"Udah jadian?"

"Belum aku tembak."

Dadaku berdebar lagi.

Ah, bukannya dia telah menyatakan cinta padaku berulang kali meski itu cuma kutukan?

"Oh...." Seseorang di depan sepertinya hendak menggoda kami. "Selamat bersenang-senang kalau gitu. Dan jangan lari-larian lagi."

"Iya, nggak tahu nih Sorin. Main lari gitu aja."

Halami (nametag di seragamnya akhirnya kubaca) terbahak sekejap. "Ya udah, duluan, ya."

Sebenarnya sedari tadi aku terus menatap pada cewek itu, menghindari sesuatu atau seseorang yang sebaiknya kuhindari.

Namun kemudian sedikit-sedikit kualihkan tatap ke laki-laki di sebelahku. Yang pertama kulihat adalah bulir keringat di dahinya meluncur ke bawah. Lalu dia menyadari tatapku.

Segera kutundukkan kepala tanpa sepenuhnya menyesali perbuatan barusan.

Oke, wajah sampingnya memang semenarik itu.

Aku sudah gila.

"Yuk."

"Yuk ke mana?"

Faris sudah menggenggam lenganku, membawaku menuju perhentian yang diinginkannya. Perhentian yang kuinginkan soalnya bukan di mana pun yang ada dia-nya.

Faris memimpin di depan, membiarkanku bisa berlama-lama menatapnya dari belakang. Eh, tidak. Kamu seharusnya malu, Sorin!

"Mau ke mana?"

"Ke mana pun yang aku mau."

"Aku nggak mau."

"Harus mau."

Sangat tipikal pertengkaran anak SMP.

Aku mengembuskan napas, menyerah.

Jangan munafik kau, Sorin.

Diam-diam kamu menikmati perlakuannya ini kan biarpun beberapa saat lalu kamu merasa nggak punya muka lagi?

Dasar perempuan yang sedang jatuh cinta.

Silakan ubah panggilannya menjadi Zagi lagi.

Dia suka dipanggil Zagi.

Dia suka kamu memanggilnya Zagi.

"Zagi."

"Hm?"

"Maaf... maafin aku soal... yang kulakuin di masa lalu itu." Yah, nggak masa lalu banget, sih. Mungkin terjadinya baru beberapa minggu lalu.

Zagi tidak menjawab maupun menoleh. Dia malah menurunkan genggamannya ke tanganku. Aku terus dibuatnya kewalahan.

Jatuh cinta itu sangat menyenangkan, ya?

Kemudian bermenit-menit setelah itu, aku langsung ingin meralat ucapanku barusan.

Jatuh cinta itu menyenangkan?

Tidak.

Aku ragu pada persepsiku sendiri.

fact.
sorin versi lebih waras alias tidak terlalu bucin memang menganggap majang ratusan foto itu adalah perbuatan memalukan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro