Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(5) PTSD

Segitu sulitnya curi waktu dan membangun mood untuk nulis pas lagi dikejar deadline skripsi juga (maaf, curhat.) Semoga part kali ini nggak mengecawakan ya.

Kutunggu vote dan komentarnya. Walaupun belum kubales, tapi semua komentar aku baca kok.

Ingetin aja, kalau mau baca kisah ini (terutama part ini) harus udah baca Marry Me If You Dare ya. Biar ga bingung.

So, happy reading good people!

***

Suara bising dengan pemandangan yang sudah tak asing bagi Ify lagi-lagi datang. Kepala Ify tertoleh ke kanan dan mendapati sebuah mobil melaju cepat dan bersiap menerjang tubuhnya seperti saat kejadian itu terjadi. Hari di saat Ify berpikir kematian jauh lebih baik daripada harus menghadapi kenyataan yang tak pernah diketahuinya selama ini.

Namun… tepat setelah mobil itu menembus tubuhnya. Ify melihat segala hal yang berada di depannya berubah. Bukan lagi keramaian jembatan di atas sungai yang mengalir deras, tapi padang rumput hijau yang berangin lembut menyapu kulit wajahnya. Rambut panjang hitamnya yang tergerai bergerak, membuat Ify merasa begitu nyaman hingga bibirnya melengkungkan senyuman.

“Wah, asyik!” Ify mengernyit saat mendengar suara bocah perempuan masuk ke indra pendengarannya. Dia pun mencari sumber suara dan mendapati seorang wanita berpakaian putih tengah mendorong anak kecil yang duduk di ayunan tepat di balik sebuah pohon besar nan rindang.

“Lebih kencang lagi, Ma!” katanya diakhiri dengan tawa gembira saat dirinya mengayun semakin tinggi. Tangan bocah itu merentang ke arah langit, mungkin berpikir bahwa dirinya dapat menyentuhnya. Atau mungkin… dia berharap dapat terbang ke langit dan merebahkan diri di atas awan putih yang tebal.

“Pegangan, Sayang. Nanti jatuh.”

Pelupuk Ify melebar mendengar suara wanita yang masih setia mendorong punggung bocah perempuan tadi. Tanpa sadar, Ify bergumam, “Mommy?”

Sosok yang dipanggil Ify menolehkan wajahnya perlahan. Namun, semakin jelas muka wanita yang diduganya sebagai Mommy, hati Ify justru semakin terpilin. Wanita itu benar-benar Mommynya. Dia Fifyana.

Lalu, siapa anak perempuan itu? Dia jelas bukan Ify kecil yang menghabiskan waktunya di panti asuhan bersama Alvin dan belasan anak lain yang membencinya. Apakah... apakah dia alasan mengapa Mommy memilih menitipkannya di Rumah Cinta?

"Mommy, anak itu siapa?"

Fifyana menatapnya dengan wajah tak seramah yang Ify kenal. Dia terlihat tak seperti Mommy yang dia lihat sebelumnya di alam mimpi, ketika Ify berada di antara batas kehidupan dan kematian.

Baru saja Ify hendak kembali berucap. Bunyi barang yang dibanting keras di balik punggungnya membuat dia refleks membalikkan tubuh. Kini Ify berada di masa lalu yang juga dia benci dan tak ingin Ify ingat lagi.

Sayap pesawat mainan milik Alvin yang dibeli dengan uang tabungannya itu patah karena harus beradu dengan rak cokelat, tempat semua baju Alvin--yang telah dikemas ke dalam koper--sebelumnya berada.

"Alvin jahat!!" seru Ify kecil yang kemudian berlari meninggalkan Alvin dan dua wanita lain di sana.

Ify bergeming. Masa lalu yang begitu menyesakkan ini tiba-tiba terulang dengan lancangnya.

Ini mimpi, pasti mimpi. Karena aku bertemu Alvin tadi, makanya--

"Alvin nggak mau kejar Ify dulu?" Teh Ana bertanya dengan berlutut di depan Alvin yang bertubuh pendek.

"Nggak," kata Alvin singkat dengan wajah menunduk.

Ify menahan napas ketika mendengar jawaban Alvin yang tak pernah Ify ketahui sebelumnya itu.

"Nanti, kalau Alvin sudah besar dan punya banyak uang. Alvin akan cari orang tua Ify supaya Ify bisa ketemu mereka. Supaya Ify mau maafin Alvin yang ninggalin Ify hari ini." Alvin mendongakkan wajahnya menghadap Teh Ana dengan binar keseriusan di matanya.

Tangan Teh Ana terulur ke puncak kepala Alvin dan dengan lembutnya, gadis dua puluhan itu berkata, "Teh Ana doakan, di masa depan. Kalian berdua bisa hidup bahagia selamanya."

Air mata Ify mengalir begitu saja. Ternyata itu alasan Alvin meninggalkannya. Sama seperti Mommy. Alvin pergi darinya demi kebahagiaan Ify di masa depan. Sayangnya, Ify terlambat mengetahui ini semua.

***

"Ify sering seperti itu satu bulan terakhir," kata Iren langsung saat mendapati putri sulungnya menangis dalam tidur sesaat setelah dokter memeriksa kondisinya. "Tapi baru kali ini dia menangis."

"Apa nggak sebaiknya kita bangunkan saja, Ma, Dok?" tanya Trio cemas. Wajah istrinya banjir peluh dan dia terlihat ketakutan dalam tidurnya.

"Percuma, dibangunkan pun Kak Ify nggak akan cerita dia mimpi apa, Kak." Ifa kembali duduk di atas ranjang menggantikan dokter yang sebelumnya memeriksa Ify.

Pria paruh baya dengan jas putih kebanggaan dokter seluruh dunia itu berdiri. "Apa kita bisa bicara di luar?" katanya sambil menatap Iren--Mama angkat Ify--dan Trio bergantian.

Setelah memberikan kode pada Ifa untuk menemani kakaknya yang tertidur dengan wajah berkeringat. Iren dan Trio keluar dari kamar.

"Apa Ify memiliki kejadian traumatis di masa lalunya, Bu?"

Iren memandang Trio ragu. Begitu juga Trio yang memperhatikan ibu mertuanya dengan raut bingung.

"Kejadian seperti kecelakaan, penyiksaan, atau--maaf--pelecehan seksual, dan sebagainya."

"Ify tidak..." Ucapan Iren terhenti sesaat setelah mengingat suatu hal. "Ify pernah tinggal di panti asuhan sampai berusia sembilan tahun. Ibu panti bilang kalau Ify anak yang tidak bisa dekat dengan banyak orang. Dia hanya berteman dengan seorang anak laki-laki dan ketika anak itu diadopsi, Ify jadi sering menyendiri."

"Sepertinya, Ify punya trauma untuk ditinggalkan," kata Trio tiba-tiba. Membuat Iren dan dokter menatapnya bersamaan. Sepertiku dulu.

"Kalau begitu, sebaiknya Ify segera menemui psikiater, Bu. Jika dugaan saya benar, Ify mengidap PTSD dan harus segera diterapi."

Pelupuk Trio melebar, sementara alis Iren menyatu.

"Apa itu PTSD?" sela Iren langsung.

"Post-traumatic Stress Disorder atau gangguan stres pascatrauma adalah kondisi kejiwaan yang dipicu oleh kejadian tragis yang pernah dialami atau disaksikan di masa lalu, Bu. Dan Ify mengalami gejala PTSD, mimpi buruk yang terus berulang."

Trio langsung memegang kedua bahu ibu mertuanya ketika tubuh wanita itu limbung saat mendengar penjelasan dokter.

"Seberapa parah PTSD Ify?" tanya Trio sambil merangkul erat tubuh Iren.

"Yang bisa memastikan hanya psikiater, jadi sebaiknya Ify segera berkonsultasi."

Trio menganggukkan kepalanya, mengingat keluarga Shuwan memiliki psikiater pribadi yang membantunya dan Dara sejak anak-anak, seharusnya masalah Ify bukanlah hal yang sulit untuk diselesaikan.

"Saya mengerti, terima kasih, Dokter."

Setelah pria paruh baya itu pamit untuk kembali ke rumah sakit tempatnya praktik. Trio menuntun ibu mertuanya untuk duduk di salah satu kursi yang ada di depan kamar.

Berlutut di depan Iren, Trio menundukkan wajah dan berkata, "Maafin saya, Ma. Saya bener-bener nggak bermaksud membuat Ify terluka."

Tangan Iren terulur ke puncak kepala Trio dan mengusapnya. "Rio, Mama percaya kamu bisa jaga Ify lebih baik dari Mama dan almarhum Papanya. Mama yakin mendiang ibu kandung Ify juga percaya sama kamu. Jadi Mama minta tolong, jangan sampai kejadian ini terulang lagi. Ify butuh waktu untuk menerima Daddynya."

Trio menganggukkan kepalanya. "Rio nggak akan buat Ify terluka lagi, Ma. Rio janji."

"Dan..." Iren menjeda ucapannya hingga Trio mendongak. "Apa yang akan kamu lakukan untuk menyembuhkan PTSD Ify?"

Trio bergeming sejenak. Sebelum menjabarkan semua hal yang terlintas begitu saja di otaknya untuk kebaikan Ify.

***

"Kak?" Ifa mendekatkan wajahnya ke depan muka Ify. Remaja itu takut salah melihat bahwa kakaknya sudah membuka mata. "Kakak mimpi buruk lagi?"

Ifa melihat kakaknya menarik napas panjang sembari menutup mata, kedua tangannya pun mengusap seluruh wajahnya yang basah.

Sadar kalau kakaknya tidak akan menjawab pertanyaannya, Ifa memilih kembali membuka mulut.

"Kak, tadi kakak pingsan dan buat kita semua khawatir. Pestanya juga jadi kacau. Parah deh pokoknya!" keluh Ifa dengan mulut mengerucut. "Lagian, mereka kenapa sih? Masa berantem di pesta pernikahan, balita aja nggak ada yang begitu!"

Ify hanya menarik kecil ujung kanan bibirnya mendengar Ifa bercerita dengan begitu menggebu.

"Nanti kalau kakak jadi pesek, suruh Kak Rio ajak bulan madu di Korea, sekalian buat operasi hidung!"

Ify tak bisa menahan tawanya mendengar ocehan Ifa. Adiknya ini tidak pernah berani memarahi Trio di depan lelaki itu langsung. Dia takut Trio akan memperlakukan Ify dengan buruk jika dirinya sampai melukai harga diri Trio.

Pintu langsung terbuka setelahnya. Sepertinya tawa Ify terdengar hingga keluar kamar.

"Sayang?" Mamanya tampak mendekati ranjang lebih dulu, dengan Trio di belakangnya yang menatap Ify dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

Ifa bangkit dari duduknya di ranjang, digantikan Iren yang sudah memeluk Ify erat.

"Maafin Ify ya, Ma. Ify nggak bermaksud buat Mama cemas."

Iren melepaskan pelukannya dan mengusap hidung Ify. "Iya, Sayang, tapi ini masih sakit nggak? Kalau masih sakit--"

"Nggak, Ma," sela Ifa langsung. Matanya menatap Trio yang berdiri di sebelah Ifa. "Ify baik-baik aja." Selama ada Rio, Ify akan baik-baik aja.

Mamanya yang mengikuti arah pandang Ify langsung mengerti, putri sulung dan menantunya butuh waktu berdua untuk bicara.

"Mama dan Ifa akan keluar untuk ambilin kamu minum." Iren bangkit dari duduk sambil melemparkan kode pada putri bungsunya.

Dengan merengut, Ifa melangkah tak rela keluar dari kamar. Meninggalkan kakaknya dengan suaminya untuk bicara empat mata.

***

Aku tahu ini pendek, tahu banget.
Tapi aku baru bisa segini dulu.

Btw buat yang anak psikologi, aku menerima kritik dan saran dari kalian lho. Atau ada yang pernah mengalami PTSD juga bisa kirim kritik dan saran padaku lewat pesan pribadi ya

Akan kuusahakan untuk publish kembali dalam waktu dekat. Mohon doanya. ^‿^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro