Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(2) Wedding Gift

Jangan baca ini sebelum baca Marry Me If You Dare, karena detail cerita di sini masih sangat terikat dengan cerita sebelumnya.

Selamat membaca!
Jangan lupa tekan tanda bintang dan komentar, ok?

Cerita ini belum punya jadwal post pasti, jadi masukkan saja ke Library kalian agar mendapatkan notification update setiap kali saya publish part terbaru. Terimakasih.

.
.
.

Trio yang mengikuti arah pandang istrinya terkejut bukan main. Sosok yang tak pernah tertulis namanya di daftar tamu undangan dari pihak rekan bisnisnya itu datang dengan setelan jas berwarna putih, mirip dengan tuksedo yang dia kenakan saat ini.

"Siapa yang undang dia?" gumam Trio tanpa sadar membuat kepala Ify langsung tertoleh ke arahnya.

"Bukannya kamu?" tanya gadis bermahkota bunga itu heran. "Kupikir, dia datang karena... kamu undang."

"Yang benar aja, kenapa aku harus mengundang masa lalu kamu ke sini?" kata Trio menahan kesal. "Tunggu, aku akan bicara−"

"Jangan!" sela Ify nyaris berseru. "Aku nggak mau kalian bertengkar di hari bahagia kita."

Trio memandangi istrinya dengan wajah tampak tak percaya.

"Aku serius, Rio. Jangan berkelahi di pernikahanmu sendiri. Apa kamu mau ditertawakan rekan bisnismu?"

"Kamu mengkhawatirkanku atau masa lalumu itu?" Trio yang sudah setengah berdiri kembali duduk di kursinya dengan merangkul pinggang Ify erat. Ingin menunjukkan kepemilikannya atas wanita ini pada sosok yang tengah mereka perbincangkan sekarang.

"Apa aku harus membuktikannya sekarang, kalau aku jelas mencemaskan suamiku?"

Mata Trio berbinar penuh minat dengan bibirnya yang tak henti melengkungkan aura kebahagiaan yang dapat menular pada siapa pun yang melihatnya. "Aku nggak akan pernah menolaknya, Nyonya Shuwan."

"You wish! Aku ke toilet dulu." Ify bangkit dari duduknya dan berjalan menjauhi area pesta yang terasa semakin bising dan ramai.

***

"Apa Kakak sudah gila!? Kenapa Kakak mengundang Alvin ke sini!?"

Suara Trio yang terdengar emosi menghentikan langkah Ify sebelum sampai di ujung belokan yang mengarah ke area pesta pernikahannya, yang diselenggarakan di hutan resort milik One Propertindo, anak perusahaan Shuwan Grup di bidang properti.

"Sengaja, supaya kamu berhenti mencampuradukkan urusan pribadi dengan bisnis seperti ini. Rio, tindakan kamu merugikan perusahaan, apa kamu tahu itu?"

Suara Dara−kakak iparnya−terdengar sama kesalnya seperti Trio saat ini.

"Aku nggak peduli."

Ify merapatkan punggungnya dengan dinding kayu salah satu kamar resort yang menjadi penghalang antara dirinya dengan kedua makhluk yang tengah berdebat itu sekarang. Dia tak bermaksud untuk mencuri dengar sebenarnya, tapi dia tak punya pilihan selain tetap berjalan dan memberikan mereka kejutan atau diam di tempat dan mengetahui segalanya.

"SKO dapat penalti puluhan juta karena ulahmu yang membatalkan kontrak kerja kalian secara sepihak. Tapi Harry yang harus putar otak karena hal itu!"

"Dan kenapa harus dibahas sekarang? Apa Kakak sengaja mau mengacaukan pernikahanku dengan Ify?!"

"Rio!" Dara terdengar nyaris berseru. Ify baru saja akan bergerak jika tidak mendengar kakak iparnya kembali bersuara, "temui mertuanya Alvin. Bicarakan baik-baik selagi mereka mau menyelesaikannya dengan jalur kekeluargaan. Jangan libatkan Ify dan masa lalunya dalam bisnis keluarga kita, Rio. Shuwan Grup nggak dibangun dalam semalam. Kamu harus ingat itu."

"Kak, aku cuma mau menjaga perasaan Ify. Itu aja."

Mata Ify terasa memanas ketika mendengarnya. Trio ingin melindungi hatinya meski perusahaan keluarganya sendiri yang menjadi taruhan.

"Rio, dengar. Sebelum kamu bisa menjaga Ify. Kamu harus bisa menjaga Shuwan Grup lebih dulu. Aku dan Ify bukan orang biasa. Kami hanya bisa dilindungi jika kamu punya harta dan kekuasaan. Shuwan Grup menjamin kedua hal itu. Shuwan Grup bisa memastikan kami punya persediaan AB negatif kapan pun kami membutuhkannya."

Ify menelan ludahnya bertepatan dengan embusan napas Trio yang terdengar kencang.

"Oke. Demi kalian berdua. Demi Kakak dan Ify. Di mana aku harus temui Presiden Direktur Zeus Corp?"

***

Ify duduk di sebuah bench dengan memainkan kakinya yang terbalut sepatu abu-abu yang dibawakan Mamanya dari Bandung. Benda yang semakin memperjelas perbedaan dirinya dengan Trio. Lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu memiliki segala hal yang diinginkan manusia. Harta, kekuasaan, popularitas, ketampanan. Ify tak tahu harus menyebutkan kata apalagi karena menurutnya terlalu banyak.

Sementara dirinya, hanya anak haram yang ditelantarkan ayahnya, kemudian ditinggalkan selamanya oleh sang ibu yang tak pernah ditemui Ify sebelum kecelakaan itu terjadi. Ditemui di alam mimpi. Bibir Ify melengkung sekejap sebelum sebuah jas tiba-tiba menutup kedua lengannya yang terbuka. Memastikan tubuhnya terlindung kehangatan yang membuatnya akan merasa nyaman.

Kepala Ify mendongak. Dia terperanjat ketika mengetahui siapa orang yang baru saja melakukan hal itu padanya. Lelaki itu seolah tak mempedulikan keterkejutan Ify dan mengambil posisi di sebelah kanan Ify untuk duduk.

"Ka-kamu..."

"Aku nggak akan mengucapkan selamat." Alvin mengatakannya tanpa menatap wajah Ify yang perlahan memucat.

Gadis itu teringat kejadian yang menimpanya, persis setelah Ify menelepon Alvin dan mengetahui kenyataan yang tak pernah dia kira. Lelaki di sebelahnya ini ternyata hanya seorang pengecut yang membuat Ify nyaris saja meregang nyawa karena tak bisa menerima keadaan.

Ify melepaskan jas putih milik Alvin yang tersampir di bahunya begitu saja. Kemudian berdiri sebelum Alvin mencekal lengan kanannya.

"Ada sesuatu yang harus kamu tahu."

"Aku nggak mau tahu!" jawab Ify cepat. "Serius Alvin, apalagi yang mau kamu beritahu? Apa kamu masih belum puas aku koma selama sepuluh hari karena kecelakaan di Bandung bulan lalu!?"

"Maaf." Alvin melepaskan pegangan tangannya dari lengan Ify. Membiarkan gadis itu berdiri dengan mata yang menatapnya tajam. "Kalau gitu, izinkan aku bertanya."

"Katakan saja." Ify sengaja bersedekap, untuk membuatnya terkesan angkuh padahal hatinya justru luar biasa rapuh. Mungkin satu kata saja yang keluar dari mulut Alvin tentang masa lalu mereka, akan menghancurkan segala benteng pertahanan yang telah susah payah Ify bangun selama sebulan terakhir.

"Apa kamu benar-benar mencintainya?"

Jantung Ify terasa seperti dipukul palu raksasa mendengar pertanyaan Alvin barusan.

"Maksudku, Ify... aku tahu rasanya bertahan dengan seseorang yang nggak ada di hati kita. Dan aku nggak mau kamu merasakan hal yang sama. Jadi, apa kamu memang mencintainya? Atau karena kamu butuh dia untuk melupakanku?"

Ify tertawa miris atas pertanyaan Alvin yang terakhir. "Aku kira kamu mau bertanya tentang berapa harga gaun yang aku pakai sekarang, atau berapa budget pernikahan kami," cibirnya pedas. "Alvin, apa kamu pikir aku orang seperti itu? Aku bukan manusia yang akan memanfaatkan orang lain hanya untuk satu tujuan−aku bukan Fara, istrimu. Aku lebih pilih mati daripada melakukannya."

"Aku tahu, aku... cuma mau memastikan keadaanmu."

"Aku mungkin masih harus minum obat untuk tubuhku. Tapi hatiku baik-baik saja. Sangat baik-baik saja ketika ada orang yang mau menjadikan anak haram sepertiku sebagai istrinya."

Alvin bungkam. Dia menyadari Ify masih marah padanya. "Kalau soal Rumah Cinta yang membuatmu marah, aku janji akan cari Bunda dan Teh Ana sampai ketemu, biar kamu maafin aku."

"Malvin Roland..." Ify sukses membuat kedua kelopak mata Alvin melebar. "Hentikan. Kalau aku mau, aku bisa minta Trio untuk mencari siapa pun yang aku mau temui. Jadi, nggak usah membantuku."

Ify membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan menjauhi Alvin. Namun langkahnya kembali terhenti ketika Alvin menutupi jalan dengan berdiri di hadapannya sambil menyodorkan sebuah kotak berwarna biru dengan pita di atasnya.

"Apa ini?" tanya Ify ragu, tangannya enggan menerima pemberian apa pun dari Alvin karena ingin menjaga perasaan suaminya.

"Buka dan kamu akan tahu apa isinya."

"Kenapa aku harus?"

Alvin mendesah nyaris putus asa. Sejak kecelakaan hebat itu menimpa gadis di depannya, sikap Ify berubah drastis padanya. Dia menjadi sangat jauh untuk kembali dijangkau Alvin. Sangat jauh hingga Alvin bahkan merasa lelah sebelum melakukan apa pun.

"Kamu nggak akan menyesal, aku janji." Alvin menarik tangan kanan Ify dan meletakkan kotak kado di telapaknya yang terasa dingin. Mata Alvin menatap cemas wajah Ify dan baru menyadari bahwa rona merah muda di kedua pipi gadis itu−yang selalu tercipta setiap kali mereka berdekatan−tak lagi terlihat. Ify-nya telah berubah.

Ify membuka kotak kado dengan perlahan. Alvin menangkap ekspresi keterkejutan yang teramat sangat dari kedua iris Ify yang tampak bening di matanya. Ketika Ify mendongak, Alvin memberikan senyum memikatnya sambil mengelus bahu kiri Ify untuk menenangkannya.

"Dia ibumu, ibu kandungmu. Apa kamu tahu?"

Tubuh Ify yang nyaris saja meluruh ke tanah Alvin tangkap dengan sigap. Alvin tak terkejut sama sekali dengan respon yang Ify perlihatkan. Dengan sabar, Alvin menuntun Ify untuk kembali duduk di bench.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Alvin cemas. Dia kembali menyampirkan jasnya di bahu Ify untuk melindungi lengannya yang tak tertutup gaun.

"Bagaimana kamu mendapatkannya?" tanya Ify dengan suara sedikit gemetar sambil mengeluarkan selembar foto dari kotak kado yang ukurannya sama dengan ponsel berlayar lima inci itu. "Rio bahkan nggak bisa..." Ify memiringkan wajahnya menghadap Alvin dengan mata menuntut penjelasan.

"Dari siapa? Bagaimana caranya? Kamu kenal orang yang dekat dengan Mommy?"

"Mommy?" Alis Alvin terpaut. "Ify, kenapa kamu memanggilnya Mommy? Bukannya ibumu itu meninggal saat kita−"

"Ify Shuwan."

Ify dan Alvin secara bersamaan menolehkan kepalanya ke sumber suara. Refleks Ify memasukkan kembali foto tersebut ke dalam kotak dan menyelipkannya di bawah telapak tangan kiri Alvin.

Alvin memandang heran Ify yang melakukan hal itu sambil membisikkan sesuatu padanya, sebelum gadis itu menghampiri sang suami dengan setengah berlari. Ify terlihat bicara dengan Trio sampai akhirnya mereka beranjak pergi meninggalkan Alvin seorang diri.

"Berikan lagi itu padaku lusa di rumah cinta, kita harus bicara."

.
.
BERSAMBUNG

Jangan pernah bercanda dengan perasaan perempuan, dia mungkin bisa memaafkan. Tapi takkan pernah melupakan.

Gimana part kali ini? Aku buatnya pas lagi pilek berat, di tengah kantuk yang melanda akibat obat flu yang kuminum.

Aku tunggu vote dan komentar kalian semua ya.

Sampai jumpa lagi!

240418

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro