1. Serba Salah
"Papa di mana, Bu?" tanya Ratya setelah mencium punggung tangan Sindi. Gadis itu baru pulang kerja dan langsung ke rumah papanya.
"Masih keluar nggak tau ke mana. Nggak pamit sama Ibu," jawab Sindi setengah kesal.
Ratya hanya menanggapi Sindi dengan anggukan ringan. Kalau Papa pergi tidak pamit, berarti perginya tidak jauh. Mungkin ke minimarket atau membeli kudapan hangat. Ratya hafal kebiasaan papanya karena dulu waktu masih bersama Mama, Papa juga selalu begitu.
Ratya menghela napas kecil. Sekarang bukan saatnya mendadak melankolis dengan bernostalgia masa-masa bahagia saat dulu keluarganya masih utuh. Gadis itu akhirnya beralih memeluk Arga dan Naja bergantian. Suami istri itu baru datang tadi siang setelah menempuh perjalanan dari Jember selepas subuh.
Ya, Naja akhirnya ikut Arga tinggal di Jember. Kafe di Malang yang pernah Naja kelola sekarang diserahkan kepada sepupu agar dibantu untuk mengurus.
"Boleh usap perutnya nggak?" tanya Ratya meminta izin pada Naja setelah usai cipika-cipiki.
"Boleh dong," jawab Naja semringah.
Ratya lantas mengarahkan tangannya ke permukaan perut Naja yang membuncit. Usia kehamilannya masih tujuh bulan. Bersamaan denganperingatan dua tahun pernikahan nanti, diperkirakan anak yang sedang dikandung itu akan lahir ke dunia. Arga dan Naja sangat bahagia karena mendapat kado terindah dari Tuhan.
"Sehat terus, ya, keponakan, Tante," ujar Ratya lalu duduk di samping Naja.
Sejurus kemudian Ratya mengamati ruang keluarga tempat mereka berkumpul. Ada seseorang lagi yang belum terlihat batang hidungnya di rumah ini. Padahal alasan Ratya buru-buru pulang dari tempatnya bekerja karena ingin bertemu dengannya. "Rendra ikut Papa, Bu?"
"Oh, enggak. Dia masih Ibu suruh beresin kamar. Biar punya rasa tanggung jawab dari kecil, makanya harus dibiasain ngurus barang-barangnya sendiri."
"Emang kamarnya seberantakan apa sih, Bu?" Ratya heran karena Sindi memang terlihat lelah seolah Rendra baru saja membuat kesalahan.
"Tadi kamar Rendra sebenernya udah Ibu beresin, eh, malah diobral lagi mainannya sampek menuhin kamar. Terus ditinggal gitu aja katanya mau main bola sama Rio. Padahal ini kan udah sore. Masa main terus," keluh Ibu.
"Kayaknya karena lusa mau dikhitan, Rendra pengennya dimanja," celetuk Arga.
"Dih, kesimpulan ngawur," sergah Naja yang membuat Arga mencebikkan bibir.
Tiba-tiba seruan salam menginterupsi. Sindi lekas menuju ruang tamu dan membuka pintu. Tidak lama kemudian, si tamu bersama anak gadisnya sudah ikut bergabung di ruang keluarga. Mereka Sinta—adik Sindi dan anaknya yang bernama Melinda.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Sindi dan Sinta melipir ke dapur untuk mendiskusikan persiapan acara khitanan Kevin. Sementara Melinda tertahan bersama saudara-saudara sepupunya di ruang keluarga.
"Makin glowing aja kamu, Mel. Mau tau dong, skincare rutinnya," goda Ratya.
"Kakak ngeledek ini mah. Glowing apaan? Aku sih kentang," sahut Melinda dengan sedikit merengut di akhir kalimatnya.
"Merendah untuk meroket nih ceritanya." Ratya tidak mau kalah.
"Kak ... please, deh. Udah mau jadi tante masih aja suka usil." Melinda memeluk bantal sofa sembari memanyunkan bibir.
"Nah, sebenernya maksud Melinda itu kamu dari usia udah kelihatan dewasa tapi kelakuan tetep aja kayak anak kecil. Suka mancing keributan," cibir Arga.
Ratya langsung menatap Arga dengan kesal. "Enak aja ngatain pemikiranku belum dewasa!"
"Loh, kok kamu sewot?" Arga masih belum puas mengerjai adiknya. "Kalau beneran udah dewasa, ayo coba minta ke Ravi biar dia cepet halalin kamu."
Melinda terhenyak. Naja diam-diam mengusap perutnya dan berdoa semoga anaknya nanti tidak mewarisi sifat ceplas-ceplos dari sang ayah. Sedangkan Ratya, gadis itu seketika langsung mati kutu. Kalau disinggung masalah hubungannya dengan Ravi, ia tidak punya dalih untuk beralasan.
"Kalian pacaran udah hampir dua tahun. Masing-masing udah punya pekerjaan tetap. Lalu apa lagi yang dicari?" Arga kembali mendesak.
Ratya membenarkan ucapan Arga dalam hati. Ravi polisi dan ia sendiri sekarang berfrofesi sebagai tenaga pengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar. Bukannya mau sombong, tapi kalau mereka memutuskan segera menikah, urusan finansial mungkin tidak terlalu menjadi kendala. Tapi masalahnya menikah itu yang disiapkan bukan hanya tentang keuangan, kan? Ada yang lebih penting lagi, yaitu restu.
"Sayang udah deh. Papa aja nggak pernah maksa-maksa Ratya dan Ravi. Biarin mereka meniti karier dulu. Mungkin Ratya sama Ravi udah nyusun rencana-rencana buat masa depan. Kita nunggu aja sambil terus kasih semangat," kata Naja buru-buru menengahi sebelum terjadi adu mulut.
Arga mengembuskan napas pelan karena sedikit menyesal sudah telanjur menyudutkan Ratya.
"Oh ya Mel, tadi Mbak Naja beli apel banyak. Yuk kita bikin jus." Naja beranjak berdiri.
Melinda yang semula bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah runyam pun akhirnya mengikuti Naja ke dapur.
Setelah ditinggal berdua, Arga kemudian mendekati Ratya yang menatap kosong ke layar televisi. Arga sadar tadi kata-katanya sudah keterlaluan.
"Aku udah kayak netizen ya, Ra?" tanya Arga.
"Hah?" Ratya menatap Arga dengan heran.
"Suka kepo sama urusan orang lain," kata Arga selanjutnya.
"Aku kan bukan orang lain. Aku adik kamu," jawab Ratya apa adanya.
Arga mendecak karena menurutnya Ratya menjawab asal-asalan. Hal itu malah membuat Arga terbebani. Arga menjadi tidak bisa menebak pikiran Ratya setelah tadi dicecar habis-habisan olehnya. Ratya terlalu pintar menyembunyikan luka.
"Maaf ya. Aku bersikap kayak tadi karena khawatir. Kamu adik perempuanku satu-satunya. Kamu pacaran lumayan lama tapi nggak lekas dikasih kepastian. Kalian itu dua orang dewasa. Ke mana-mana berdua tapi belum halal, nanti kalau kebablas--"
Ratya memukul pelan lengan Arga yang otomatis membuat wejangan darinya terhenti. "Aku sama Ravi tahu batasan kok. Lagian kami juga jarang ketemu, kan LDR-an."
"Nah, justru karena jarang ketemu. Sekalinya ketemu entar kangen-kangenan sampai terbawa suasana dan terjadi sesuatu yang nggak semestinya gimana?" Arga menatap Ratya dengan lekat. Nada bicaranya juga setenang aliran sungai. Namun itu justru membuat Ratya tidak berani mengangkat kepala.
"Kami pasti bisa jaga diri dan selalu ingat untuk tidak berbuat hal yang kamu takutkan. Ravi sayang sama aku, pasti dia nggak mau ngerusak aku," kata Ratya sungguh-sungguh.
Arga mengusap rambut Ratya. Kalau adiknya sudah yakin begitu, ia tidak bisa berbuat banyak lagi selain mendoakan yang terbaik. "Tapi sikap keluarga Ravi ke kamu baik kan, Ra?"
Ratya sedikit kaget karena Arga tiba-tiba menanyakan soal hubungannya dengan keluarga pacar. "Mereka baik kok. Nggak nuntut aku harus bisa ini itu."
Sembari bersedekap Arga mengernyit ragu seperti sangsi dengan jawaban adiknya.
"Beneran. Aku diterima dengan hangat sama bapak dan ibunya Ravi," ujar Ratya lebih meyakinkan. "Emang kenapa sih? Jangan suka overthinking gitu."
Arga mengangkat bahu. "Ya ... siapa tahu aja ada omongan dari keluarga Ravi yang menghambat kalian untuk lanjut ke jenjang yang lebih serius."
Ratya memaksakan tawa, lalu berujar, "Enggak ada. Abangku satu-satunya ini suka banget suuzdon. Mereka selalu baik sama aku. Adik kamu ini menantu idaman tau!"
"Kalau mereka bersikap semena-mena ke kamu jangan ragu untuk bilang ke aku," pungkas Arga kemudian ia berdiri dan beranjak ke dapur.
Embusan napas lega Ratya keluarkan saat Arga akhirnya menyudahi aksi wawancaranya. Rasanya tegang sekali saat Arga bersikap seperti tadi. Bukan karena Ratya bohong dan takut ketahuan.
Soal keluarga Ravi yang memperlakukannya dengan baik itu sepenuhnya jawaban jujur. Ibunya Ravi sangat perhatian pada Ratya. Beliau senang sekali akhirnya Ravi mendapat pasangan setelah sekian lama melajang. Kalau bapaknya Ravi sih Ratya akui masih belum terlalu mengakrabkan diri karena mungkin sifat beliau yang memang pendiam. Hal itu tidak Ratya anggap sebagai masalah berarti. Karena meski bapak Ravi jarang mengajaknya bicara saat bertemu, Ratya bisa merasa bahwa beliau setuju-setuju saja kalau Ratya menjalin hubungan dengan anaknya.
Masalahnya justru datang dari pihak Ratya sendiri. Papa Ratya masih belum bisa mempercayai Ravi. Ia masih tidak begitu yakin apakah sosok Ravi bisa membahagiakan Ratya. Padahal Ratya dan Ravi tidak henti-hentinya meminta restu, namun hati papa tidak kunjung luluh.
Dering singkat dari ponsel yang tiba-tiba berbunyi membuat Ratya membuyarkan lamunannya.
Ravi: Aku lagi di sekitar jalan pemuda. Kamu mau dibelikan martabak yang biasanya nggak?
Ratya seketika duduk tegak setelah selesai membaca pesan yang ternyata dari Ravi. Ini dia tidak salah baca kan?
Ratya: Loh kamu pulang ke Malang? Kok dadakan sih?
Ravi: Biar kejutan.
Ratya: Kejutan buat aku?
Ravi: Ya buat siapa lagi?
Ratya: HEHEHE
Ravi: Ini mau nggak martabaknya?
Ratya: Mau banget dong. Tapi, aku lagi nginep di rumah papa
Ravi: Iya. Kamu mau bantu persiapan khitanan Rendra kan? Tunggu ya nanti aku ke sana.
Ratya: Sayangggg banget sama Ravi
Ravi: Iya. Sekalian aku belikan beng-beng juga kok.
Ratya: Aaaaa suka deh. Disanjung dikit langsung peka. Makin cintaaa
Ravi: Kumat alaynya.
Ratya: Ya maap :(
Centang dua abu-abu sudah berubah menjadi biru tapi tidak ada tanda-tanda Ravi akan membalas lagi. Ratya pun hanya menggelengkan kepala karena sikap kekasihnya. Tapi ia tidak begitu mempermasalahkan. Ratya sudah paham kalau Ravi memang begitu orangnya. Kalau dirayu lewat chat katanya dia merasa geli. Dasar aneh. Untung Ratya sayang.
"Udah datang dari tadi?"
Ratya mendongak dan menemukan papanya yang baru datang. "Dari tadi, Pa. Papa dari mana sih? Ibu nyariin loh."
"Dari rumah Pak RT, lihat tanaman hidroponiknya. Kayaknya enak ya kalau hobi tanam-tanan sayur gitu," kata papa Ratya setelah duduk di sofa.
"Boleh tuh. Ibu kan juga telaten ngerawat tanaman.
"Nanti kalau khitanan Rendra udah beres, Papa mau mulai belanja peralatan buat hidroponik. Ya udah, Papa mau mandi dulu."
Ratya ikut berdiri saat papanya mulai beranjak. "Pa, nanti Ravi mau ke sini," kata Ratya bicara dengan hati-hati.
"Libur panjang dia? Kok bisa pulang?"
Nada bicara Papa yang kurang enak didengar membuat Ratya menahan diri agar tidak emosi. Kesannya Papa seperti tidak senang jika Ravi akan berkunjung. "Ya enggak sih, Pa. Pulang sebentar," jawab Ratya.
"Ngapain pulang kalau nanti pergi lagi," tukas papa Ratya.
Ratya menatap papanya dengan kecewa. Sepertinya apapun yang Ravi lakukan selalu salah di mata papanya. Tapi Ratya tidak mungkin marah-marah pada Papa karena takut kualat. Lagipula Ravi selalu menguatkan dan bilang harus tetap sabar. Suatu saat pasti Papa akan luluh juga.
"Seenggaknya Ravi nyempetin untuk pulang. Itu tandanya dia masih peduli," bela Ratya.
Papa Ratya hanya menghela napas dan kembali meneruskan langkah untuk mandi. Melihat papanya yang cuek begitu membuat Ratya terduduk lagi dengan lemas. Ia menutup wajahnya dengan dua telapak tangan. Rasanya pengin nangis saja!
a/n:
Pssst, nama adiknya Ratya dari Kevin diubah menjadi Rendra. Di ICY versi full masih belum sempat aku edit. Jadi di sana masih bernama Kevin. Mohon maaf untuk ketidaknyamanannya.
Nanti ada lanjutannya kok guys. Tetap setia nunggu ya. Jangan lupa masukin library.
Tapi tapi tapiii kalau terus lanjut kayaknya bisa-bisa ini malah jadi sekuel deh 😅
Gimana menurut kalian???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro