Si Pelempar Pembawa Masa Lalu
Mondi tak berkutik. Sekujur tubuhnya tercurah penuh pada ponsel tersebut. Joran masih menggantung di tangan kirinya. Sedangkan jemari kanannya memutih, mencengkeram kuat ponsel tersebut. Sulit untuk berpikir jernih dan terbuka bahwa nama 'Dera Jia' bisa milik siapapun, dan Dera Jia di belahan bumi mana pun bisa jadi lahir tanggal 8 Juli. Dan Dera Jia yang lain pun bisa saja mengenal tempat ini.
Mondi pelan-pelan mengambil napas. Luar biasa sulit. Melakukan satu tarikan napas lalu diembuskan perlahan saja butuh beberapa detik. Namun, ketika jalur napasnya bisa diajak berkompromi, ponsel itu kembali bergetar, membawa panggilan dari kontak bernama "Dera Jia". Sialnya sekarang tubuhnya malah berontak. Detak jantung menggedor kencang tulang rusuk, jemari yang mengukung ponsel bergetar dan berkeringat, aliran napasnya kembali bermasalah. Perutnya terasa dipelintir, perih, mual dan sarapan nasi kuning pagi tadi serasa naik ke kerongkongan, tinggal menunggu dimuntahkan saja. Reaksi yang terjadi dalam satu waktu akibat satu nama itu telah melumpuhkah tubuhnya.
Kondisi tubuhnya kembali normal dan untungnya dorongan untuk muntah gagal ketika tak lama kemudian panggilan itu berhenti. Tertera di layar, satu panggilan tak terjawab dari Dera Jia.
"Nyaah pisan eta HP. Si neng tadi nu ngalempar ka kolam."
Mondi menoleh ke sumber suara yang cempreng kental dengan logat sunda itu. Di saung sebelah, seorang laki-laki paruh baya tengah memancing sambil merokok. Dia mengisap batang bernikotin yang terselip di jarinya itu sebelum kembali menoleh pada Mondi.
"Sayang banget itu HP-nya. Kayaknya anak perempuan tadi yang ngelempar itu. Saya masih ingat ada tali merahnya." Laki-laki itu mengulangi dan memperjelas menggunakan bahasa Indonesia, mengira Mondi yang bergeming tidak mengerti ucapan sebelumnya.
"Kayaknya seumuran kamu, tadi saya lihat kamu sempet tabrakan sama dia."
Mondi melepaskan jorannya begitu saja, lalu pindah ke saung sebelah. "Yang paket jaket merah abu itu?"
Laki-laki itu mengangguk dengan rokok menyelip di kedua bibirnya. Tangannya beralih memutar handle reels. Dia berhasil mendapatkan ikan cukup besar. "Zaman sekarang mah gampang, tinggal posting di facebook, langsung deh viral nemu HP pas lagi mancing."
"Bapak sempat lihat mukanya nggak?"
"Kalau saya ingat, emangnya kamu mau gimana cara nyarinya? Yang paling mudah ya itu, posting di facebook atau anak zaman sekarang mah di instagram aja."
"Jadi Bapak lihat mukanya?" tanya Mondi menggebu
Laki-laki itu melirik kesal. "Saya nggak ingat. Kepalanya ditutup pake tudung jaket." Dia memasang umpan, lalu melemparkan kailnya.
Mondi menggaruk-garuk rambut. Benar juga, cewek tadi bahkan tidak menoleh saat meminta maaf. Benar-benar mengurangi interaksi dengan orang lain. Dan bodohnya lagi, Mondi baru sadar, sudah pasti si cewek itu bukan bernama Dera Jia karena ada panggilan masuk dari kontak bernama Dera Jia. Menanyakan wajahnya untuk memastikan si pelempar apakah Dera Jia-nya atau bukan, adalah hal paling percuma.
Argh, garukan berubah menjadi remasan pada rambut. Mondi menatap ponsel tersebut. Masih serasa hentakan kecil dalam dada. Dia tidak bisa berlama-lama dengan ponsel ini, menggali segala prasangka yang membuatnya jadi stres sendiri. Sangat berbahaya jika tumbuh harapan bahwa dia akan bertemu Dera. Jika harapan itu menguat, dan kenyataan yang datang adalah Dera Jia yang lain, rasanya akan lebih sakit dibandingkan di saat dia ditinggalkan oleh Dera.
Mondi mengangguk yakin. Dia harus menyebarkan berita ini, memancing si pelempar ponsel tersebut mendatanginya. Mondi berbalik menuju saungnya setelah mengucapkan terima kasih. Berbarengan dengannya, Om Gugun memasuki saung dengan terburu-buru.
"Mon, pulang sekarang ya, Om lagi ada urusan. Om nggak bisa ngebiarin kamu di sini sendiri. Kamu harus pulang juga. Nanti Om kabarin kalau mau mancing ke sini."
Mondi mengangguk tanpa banyak protes dan mengeluh. Dia memang butuh menjauh dulu dari tempat ini, merehatkan sekujur tubuhnya yang seolah telah menaiki roller coaster. Mondi belum mau bercerita tentang penemuannya pada Om Gugun. Tampang Om Gugun jauh dari kata "tenang". Masalah ponsel ini bisa diceritakan lain waktu setelah semuanya jelas. Jelas terkait si cewek berjaket pelempar ponsel dan sosok di balik Dera Jia yang menelpon tadi.
Perjalanan pulang menjadi dua kali lipat lebih lama. Beberapa kali, Mondi mesti menepi demi menghentikan keributan di dalam otaknya dan kekisruhan di hatinya. Sesampainya di rumah, dia langsung menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Mama belum datang, pasti lembur lagi. Kekosongan di rumah ini bisa membuatnya menggila. Mondi bangun dari posisi rebahan, terduduk lama memandangi ponsel temuan yang sampai sekarang belum dikeluarkannya dari plastik HP anti air itu. Keberaniannya hanya cukup sampai menyalakan layar ponsel. Bahkan untuk mengecek nomor kontak bernama "Dera Jia" saja nyalinya nol besar. Sepanjang beberapa menit ini, hanya wallpaper ponsel tersebut yang dilihatnya. Wallpaper yang berupa lukisan abstrak. Sepertinya wallpaper bawaan dari ponsel, yang membuatnya semakin yakin ponsel ini masih terbilang sangat baru.
Mondi memotret ponsel tersebut menggunakan kamera ponsel miliknya. Tak sampai satu menit, foto dan cerita singkatnya mengenai penemuan ponsel tersebut telah terunggah. Selama beberapa jam ke depan, tidak ada respons berarti, rata-rata hanya membalas dengan emoticon kaget dan tertawa. Followers di instagramnya tidak sampai seratus, aktivitasnya di media sosial sangat jarang. Sulit untuk bertindak menggunakan media sosial bila tidak eksis di dunia maya.
Tepat menjelang tengah malam yang membuat keresahan makin kuat melanda, Mondi mendapat reply dari Ardi. Cowok itu tadi menghubunginya lewat WhatsApp, tapi Mondi malas banget untuk menggubrisnya. Bukan karena kekesalannya akibat telat mengembalikan motor, Mondi cuma sedang tidak mood menghadapi sisa hari itu. Keberadaan ponsel itu membuatnya galau berat.
“Di, kamu tahu HP itu punya siapa?” Serobot Mondi begitu Ardi mengangkat panggilan WhatsApp-nya. Entah Ardi cuma membual agar panggilannya ditanggapi, atau memang Ardi tahu sesuatu. Mondi tak banyak pikir lagi, reply-an dari teman sebangkunya itu harus segera dikonfirmasi.
“Woy, woy, santuy coy!” Ardi terkekeh di ujung sana. “Kamu sekalinya on di ig, malah bawa cerita ngakak. Ig kamu udah karatan gitu, mana berhasil jadi viral.”
“Sori ya, Di. Aku nggak narsis kayak kamu, dikit-dikit update. Viral juga tujuannya baik, biar pemilik HP itu ketemu.” Mondir yang semulanya berdiri menanti dengan tegang penjelasan Ardi, sekarang terduduk lesuh menyandar ke single bed. “Ah, maneh buang-buang waktu wae, geus lah.”
“Eh, Mon, aku tahu, suwer, beneran, sumpeh deh.” Ardi terdengar gelagapan. “Eh, tapi kalau bener atau nggaknya mah nggak tahu ya. Cuma punya perkiraan aja.”
Mondi mendengus. “Kalau gitu mah kamu jangan dulu sumpeh-sumpehan. Kena azab sia kumaha.”
“Heueuh, deuh. Jadi kieu.” Ardi berdeham sebelum memulai cerita dan nada suaranya yang terdengar serius membuat Mondi agak menegakkan tubuh. “Pas aku jemput si Tania di sekolahnya, aku ketemu sama si cewek jenius itu, Mon, yang pernah punya masalah sama kamu. Si Saras. Waktu itu lagi hujan, dia juga kayak lagi nunggu orang dari sekolah itu. Aku sempet nyapa, basa-basi doang lah, tapi cuma ngelirik sinis.” Ardi berdecak. “Ah, kamu pasti tahu lah, sering kan didelikin sama dia?” Dia tertawa yang dibalas Mondi dengan dehaman penuh ancaman.
“Oke, lanjut. Aku lihat HP-nya dikalungin pake plastik HP anti air. Persis talinya warna merah gitu, warna HP-nya juga sama.”
Mondi mengernyit. “Masa si Saras pergi ke tempat mancing. Kamu tahu kan, dia pernah ngejelek-jelekin aku gara-gara punya hobi mancing.”
“Iya sih. Aku cuma mau infoin aja, soalnya pernah lihat HP modelan kayak gitu terus dibungkus plastik HP.”
Mondi hendak mengatakan sesuatu ketika sebuah pemikiran terlintas. “Nggak perlu punya hobi mancing buat pergi ke tempat pemancingan kalau tujuannya mau ngebuang HP.” Dia berdiri sambil memijat keningnya. Bolak-balik di kamarnya dengan pemikiran lain yang bermunculan. “Alasan dia ngebuang HP itu di tempat pemancingan karena itu tempat kenangannya sama orang lain.” Mondi bergidik, ada indikasi tubuhnya mulai berontak lagi. Dia malah menghubung-hubungkannya denga Dera Jia-nya karena Saung lembang adalah tempat yang penuh kenangan dengan teman kecilnya itu
“Maneh ngomong apa, sih, Mon? Jadi ada orang yang sengaja ngelempar HP itu ke kolam?”
Mondi menceritakan semuanya, dari adegan tabrakan itu sampai pembicaraan dengan si laki-laki setengah baya. Hanya satu hal yang tidak keluar dari mulutnya. Tentang Dera Jia.
"Karena kamu cuma punya info dari aku. Satu-satunya cara buat sementara ini ya ... mastiin dugaan aku." Ardi terdengar menghela napas, dan membuangnya dengan berat. Seberat mengatakan saran yang akan disampaikannya ini karena bila dia ada di posisi Mondi, pasti bakal malas sekali untuk melaksanakannya. "Kamu coba pastiin ke Saras. Tunjukin HP-nya langsung ke muka dia, dan kalau dia bereaksi, berarti dia memang terlibat."
"Kalau gitu caranya, aku harus minta Bunda bikinin air doa dua liter biar kuat ngadepin Saras." Mondi menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, memandangi langit-langit kamar. Kantuk mulai menyergapnya, info dari Ardi yang berhubungan dengan Saras membuatnya semakin lelah. Baginya, Saras adalah makhluk yang harus dihindarinya.
Ardi tertawa puas di ujung sana. "Sekalian adain doa bersama di rumah kamu." Tawanya makin menusuk telinga Mondi, membuatnya kepalanya makin berdenyut. "Tapi Mon, kalau emang sengaja dibuang berarti kan cewek itu nggak mau lagi berurusan sama HP itu. Udahlah, jangan dipusingin, jadi kamu juga nggak perlu berurusan sama Saras kalau emang cewek itu si Saras. Simple. Kenapa harus ribet posting sih."
Mondi yang baru saja menguap lebar-lebar langsung bergeming, kantuknya seketika menguap. Dia melipat bibirnya, tidak bisa berterus terang. Benar juga, dia tidak menyiapkan jawaban untuk tanggapan Ardi itu.
"Ya ... aku nggak terima, Di. Dia udah ngotorin kolam. Emang dikiranya kolam itu tempat sampah." Mondi pura-pura menguap, seakan Ardi bisa melihatnya untuk mengakhiri percakapan malam itu. "Tunduh euy, udah ya, Di."
Sambungan terputus. Mondi menyingkirkan ponselnya dan berusaha menutup matanya dengan sangat rapat. Dia harus menemukan si cewek pelempar itu. Harus. Dia tidak boleh melewatkannya, karena ini adalah petunjuk pertama mengenai keberadaan Dera Jia yang telah meninggalkannya delapan tahun ini tanpa kabar sama sekali. Meskipun dia masih harus berhadapan dengan ketidakpastian sosok Dera Jia di balik ponsel tersebut.
***
Ah, maneh buang-buang waktu wae, geus lah = Ah, kamu buang-buang waktu aja, udahlah.
Kena azab sia kumaha = nanti kena azab gimana.
Heueuh, deuh. Jadi kieu = iya, iya, jadi gini.
Maneh = kamu.
Tunduh euy = ngantuk nih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro