Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pertemuan Terakhir

Di mata Mondi, yang pergaulannya di sekolah cukup luas, Alden bagai cowok yang kehadirannya selalu menarik setiap pasang mata para cewek. Semacam Alden yang tinggi, berkulit sawo matang dengan satu lekukan kecil di pipi kanan, potongan rambut rapi--yang bila tidak rapi pun tetap terlihat menawan, senyuman ramah dengan mata oval yang tajam, sebelas dua belas dengan cowok primadona di SMA Bangsa. Namanya Romi. Anak kelas 11, teman satu tongkrongan Mondi di kantin, yang sering mendapat lirikan malu-malu tapi mau dari para cewek. Yang setiap bulannya, bahkan setiap minggunya, di jam istirahat mendapat pernyataan cinta, yang kemudian ditolaknya. Si Adik kelas itu sering mengeluh karena risih, Mondi yang sering menjadi tempat curhat kadang kesal mendengarnya, karena dirinya mana pernah ditembak cewek, menembak cewek aja nggak pernah. Alhasil, Mondi, Ardi dan Boni sering dapat ejekan sebagai si lonely yang jomlo dari lahir. Sekarang, kecuali Ardi yang sedang merambah dunia percintaan.

Alden menempati kursi di seberang Mondi, berterima kasih karena Saras mau pindah ke kursi di samping Mondi. Perkenalan dan jabat tangan mereka berlangsung canggung, tapi Alden yang tak ragu menyelinap ke pembicaraan Mondi dan Saras sebelum perkenalan, bisa mencairkan suasana dengan gestur santai dan senyuman lebarnya.

"Maaf aku baru bisa mendatangi kalian sekarang," ucap Alden setelah memesan minuman dari kasir.

"Nggak masalah." Mondi mengangguk yakin. Dalam benaknya, seperti ada sekelompok orang yang sedang tawuran dan menyorakinya bahwa tipe cowok Dera terlalu sulit untuk disejajari olehnya. Tidak hanya persoalan paras, Alden paket lengkap dengan auranya yang sangat positif. Ramah, senyuman tulus, nada suaranya yang merendah padahal dia tak perlu meminta maaf, dan cowok ini jelas terlihat cakap dan pintar.
Dera bilang bisa saja menerima Alden, tapi tidak suka dengan caranya. Hal buruk apa yang dilakukan oleh wajah yang jauh dari kata sombong itu, yang  tidak cocok bergabung dengan geng cantik-ganteng yang suka merisak?

"Kami justru berterima kasih banyak." Mondi membalas senyuman Alden yang disertai anggukan itu, yang seolah mengisyaratkan arti "sama-sama".

Saras meraih cup tinggi cappucino miliknya, menikmati dalam dua kali sedotan, lalu menyimpannya kembali dan menarik mata Alden kembali menatapnya.

"Kamu..." Alden mengingat-ngingat, lalu tersenyum malu dan sopan karena tidak bisa menggapai wajah Saras dalam ingatannya.

Saras mendengus, langsung mendapat lirikan heran dari Mondi. Setengah jam kemudian, Saras kembali menjadi sosok yang berkarakter menyebalkan.
"Nggak perlu ingat aku siapa. Yang kami butuhkan, ingatan kamu pas terakhir kali ketemu Dera."

Ujung bibir Alden agak menukik. "Sori, tapi jujur aku sekarang baru ingat. Kamu yang di tempat bimbel kan, kamu juga yang--"

"Kita bahas aja Dera, oke?"

"Tapi sebelumnya, aku mau menagih dulu info yang kalian tawarkan biar aku bisa datang ke sini."

Saras menyimpulkan kedua tangannya. "Dera pernah cerita ke aku, dia bisa aja nerima kamu jadi pacarnya, tapi dia nggak suka cara kamu."

Mondi mengira Alden akan mempertanyakan maksud semua itu. Namun, kerutan di kening  tidak muncul, datar tapi tampak berpikir, tidak terlalu keras, hanya mengerjap pelan, lalu mengangguk lambat. Tanpa banyak perdebatan, lidahnya mencecap dulu isi cup tinggi yang entah isinya jenis kopi apa,  sebelum bersiap menjawab apapun yang dipertanyakan. Mondi kentara sekali ingin menguliknya, maka Alden agak mundur, punggung menyentuh sandaran kursi.

"Kami dengar Dera diperlakukan nggak baik di sekolah, dan itu ada hubungannya sama kamu."
Alden tidak terkejut sama sekali, seolah pernyataan itu hal biasa, seolah makanan telinganya sehari-hari.

"Adik kembarku sekelas sama Dera. Dia selalu jadi nomor satu di kelas dan kemudian ketika Dera datang, keadaannya berubah. Dia merasa kehadiran Dera itu ancaman, apalagi." Alden mengatur napasnya dulu. "aku suka sama Dera, pernah nembak dia, tapi akhirnya ditolak beberapa kali. Adikku kesal dan ya....dia mulai berbuat ulah."

"Sesantai itu ya kamu ngomong." Saras menyemprotnya tanpa pikir panjang, padahal Mondi sudah memperingatkan untuk membuat Alden nyaman mengobrol dengan mereka.

Tendangan pelan Mondi pada kaki Saras hanya direspons dengan lirikan pedas.

"Sori, aku nggak maksud gitu." Alden buru-buru mengoreksi. Bertambah lagi nilai + cowok itu di mata Mondi.

"Aku terkadang lelah karena setiap orang di sekolah menyangkut pautkan kepergian Dera dengan aku. Gara-gara aku Dera dijahili, dikerjai, ada sesuatu yang menimpa Dera, semua menyorot ke aku." Alden menggeleng pelan. "Semua yang Dera alami bukan karena ulah adikku saja,"

"Jadi, maksud kamu banyak juga  anak-anak di sekolah kamu yang nggak suka sama Dera juga?" tanya Mondi, melipat tangannya di meja.

"Memang banyak yang menyukai Dera, tapi bukan berarti hanya sedikit orang yang nggak suka sama dia."

Saras berdecak."Oke, bukan ulah adik kamu aja. Teman geng kamu juga terlibat, ya sama saja, ujung-ujungnya pasti balik ke kamu."

"Teman-temanku nggak pernah berbuat kayak gitu, cuma sekali itu doang, itu pun karena kebawa-bawa sama adikku. Tapi kejadian-kejadian berikutnya bukan ulah mereka." Alden menatap dua pasang mata itu bergantian, memohon untuk percaya setiap katanya yang merambat di udara itu. "Aku udah peringatkan mereka, pertemanan kami juga nyaris pecah. Mereka menyesali, dan nggak pernah ganggu lagi Dera. Bahkan, aku sengaja menjauhkan diri dari Dera, tapi tetap saja rasanya sulit. Aku...." Alden melegakan tenggorokannya, kata yang akan terucap sepertinya butuh pelumas untuk dilontarkan. "Aku...dia...ya, kami sering menghabiskan waktu bersama, dan  itu sangat menyenangkan. Rasanya ada yang kurang ketika kami saling menjauh."

Mondi dihantam oleh pukulan samar, mendarat di rahangnya yang membuatnya kaku untuk berbicara, terlebih lagi hantaman itu mengenai kepalanya yang mendadak kehilangan daya pikir. Mondi pikir ini hanyalah rasa iri, seperti yang dirasakannya terhadap Saras beberapa jam lalu. Namun, rasa iri yang kini tengah membungkus dirinya ini lebih membara, panas, menimbulkan gejolak tak nyaman dan tak suka. Untuk mencegah berkembannya rasa aneh itu, Mondi membuang pandangan ke samping kirinya, yang baru disadari atmosfer di sebelahnya berbahaya untuk kedamaian obrolan di meja ini.

Sebelum Saras bertindak lebih jauh lagi, Mondi segera melontarkan pertanyaan di tengah terpanaan panasnya hati."Kita langsung aja ke pertemuan terakhir itu. Apa dia kelihatan aneh?"

Mondi sekali lagi menendang pelan kaki Saras, lalu memberikan gelengan samar agar Saras diam. Pertanyaan barusan adalah inti dari  pertemuan ini. Tidak perlulah ditambah nostalgia segala.

"Sebenarnya, itu kebetulan. Aku lagi di sini ketika Dera tiba-tiba masuk dengan tergesa-gesa. Aku lagi duduk di pojok sana." Tudingan jari Alden ke pojok ruangan di seberang mereka, kompak menarik Mondi dan Saras ke arah yang dituju. "Dera tiba-tiba duduk di depan aku, dengan napas ngos-ngosan dan sesekali dia menengok terus ke arah luar cafe. Sikapnya kayak--"

"Kayak dikejar-kejar seseorang, dan dia berlindung di sini," sela Mondi langsung mengerti arah gambaran kejadian waktu itu. "Terus apa yang terjadi?"

"Dia berusaha normal dan biasa. Katanya udah lama nggak ngobrol sama aku, ketika lewat sini dan lihat aku, dia mau memperbaiki hubungan pertemanan kami, dan ya...dia minta maaf atas sikapnya selama ini." Alden  terdengar tak nyaman menceritakan itu. Penyebabnya lambat laun terendus oleh Mondi, bayangan kejadian hari itu tiba-tiba terukir di kepalanya.

"Dia cuma mau ngalihin perhatian, agar kamu nggak nanya-nanya kenapa dia kayak orang dikejar-kejar. Nggak benar-benar bermaksud minta maaf." Puas. Perasaan yang kini membara di dada Mondi. Bukan lagi iri.

Alden menurunkan pandangan, rasa percaya dirinya sebegai orang yang pernah dekat dengan Dera meredup beberapa level.

"Kamu sempat nanya?" tanya Mondi memutus diamnya Alden yang tampak galau.

"Dia tiba-tiba mengobrolkan hal lain," jawabnya pendek, lalu membasahi lagi lidahnya dengan minuman pesanannya.

"Tentang apa?"

"Buku anak. Dia datang bawa tas selendang agak besar, di dalamnya ada buku anak. Dia bilang cerita di buku itu relate sama kehidupan masa kecilnya. Dia menceritakan tentang penulisnya, pembuat gambarnya dan minatnya sama buku anak." Alden tersenyum tipis, rupanya masih ada setitik kebahagiaan. "Itu pertama kalinya kami mengobrol panjang, meskipun aku tahu, itu cara dia mengalihkan perhatian aku, mencegah aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Dia terlalu banyak berbicara hari itu."

"Kamu nggak sempat lihat ke arah luar cafe, ada seseorang di sana yang nungguin Dera? Dera berlama-lama di dalam, di depan kamu, pasti karena dia nunggu seseorang di luar sana pergi." Mondi semakin tak suka dengan pembicaraan ini, mulai berbelok ke arah yang mengusik hatinya.

Alden menghela napas. "Ya, aku tahu. Dera cuma mau berlindung aja, memanfaatkan kehadiran aku di situ, tapi aku terlalu menikmati obrolan kami hari itu. Dan kalau soal orang mencurigakan..." Alden memajukan tubuhnya, nada bicaranya lebih rendah. "Dera pergi ketika HP-nya bunyi. Katanya Ayahnya menyuruh pulang. Dia menolak tawaran aku mengantar dia. Sikapnya pas keluar dari sini memang aneh banget, dia terus melongokkan kepala ke kanan dan kiri, sambil nelepon seseorang. Aku memutuskan pergi dari sini juga, pengen tahu apa yang terjadi, dan baru aja aku keluar dari pintu, aku lihat dia menyeberang, mendekati laki-laki dewasa yang badannya tinggi besar. Karena jalanan lagi ramai banget, aku kehilangan mereka, tahu aja mereka udah nggak ada. Tapi pas aku mau mengambil motor di parkiran coffe shop ini, ada  laki-laki dewasa lainnya duduk di atas motor, posturnya mirip, tinggi besar. Gerak-geriknya kayak lagi mantau, dan yang lagi dia pantau adalah jalanan di seberang sana. Aku ikuti arah tatapannya, dan aku lihat Dera naik motor sama laki-laki yang tadi bareng dia."

"Kemungkinan laki-laki  di parkiran itu yang dihindari Dera. Kamu cerita soal ini ke guru atau ke siapa? Karena aku takut ini jadi kasus... " Mondi bergidik. "Penculikan."

Alden menggeleng. "Karena aku rasa aku tahu mereka itu siapa."

Mondi menaikkan sebelah alis. Saras yang dari tadi cuma jadi pendengar, terenyak kaget.

"Siapa?" tanya Saras pelan.

"Masa kalian nggak nyadar sih?" tanya Alden, meremehkan, merasa paling hebat karena dua orang yang mengaku teman dekat Dera, tidak tahu sebanyak dirinya tentang kehidupan Dera.

Mondi menggeleng bingung. Mengaku kalah. Membiarkan panas semakin menjadi-jadi.

"Ayahnya Dera punya perusahaan jasa keamanan, punya bodyguard yang badannya gede-gede. Ya, berarti dua laki-laki itu paling bawahan Ayahnya. Mungkin waktu itu Dera risih dijagain terus, lalu dia kabur dari mereka."

Mondi tidak ingat pekerjaan atau bisnis yang dijalankan keluarga Dera. Sewaktu kecil, dalam pikirannya hanyalah bisa bermain dengan Dera. Untuk memastikannya, Mondi harus bertanya pada Bunda. Kalaupun misalnya memang kenyataannya sesuai dugaan Alden, Mondi bisa mencari tahu lewat perusahaan jasa keamanan itu. Namun, ada yang mengganjal di dada Mondi, teori Alden tidak bisa memuaskannya, resahnya semakin menjadi karena ada pihak ke-3 yang terlibat, yaitu dua laki-laki dewasa bertubuh tinggi besar.

"Sar, Dera pernah cerita soal ini?" Mondi menoleh cepat, berharap mendapat jawaban yang lebih jelas dari Saras. Bertanya pada Bunda akan menjadi ajang interogasi.

Saras menatap Mondi, terdiam sesaat, lalu membuang muka seraya meraih cup tinggi miliknya lagi. Suara sedotan tersendat mengisi diamnya meja itu. Cup milik Saras telah habis, tapi cewek itu tanpa sadar terus menyedotnya isinya yang kosong.
Akhirnya, Saras menggeleng lemah.
"Nggak pernah. Dia selalu kelihatan happy aja."

"Dera cerita nggak sebelum ke sini, dia ke mana dulu?" tanya Mondi, beralih lagi ke Alden, mengorek lebih jauh lebih baik ketimbang termakan teori yang baru bersemayam di permukaan.

Alden membisu, tatapannya menyeberang ke belakang Mondi, tepatnya mengarah ke meja pojok sebagai tempat pertemuan terakhirnya dengan Dera. Pertanyaan itu butuh waktu berpikir cukup lama, tidak seperti sebelumnya yang setiap pertanyaan dijawabanya dengan lancar dan  penuh keyakinan.

"Kalau nggak salah...." Alden menggaruk dagunya. "Dia habis dari taman baca anak. Aku sempat lihat bukunya, di lembar pertama ada cap lambang burung merpati dibingkai lingkaran. Dia bilang habis dari sana, aku lupa nama tempatnya."

"Kamu tahu, Sar?" Mondi kembali menoleh dengan cepat, pengharapan terbesarnya hanya pada Saras.

"Ya...aku tahu Dera suka buku anak-anak, dia sering cerita ke aku, tapi untuk taman baca itu, aku nggak tahu."

"Saras..." Alden bergumam, cukup untuk sampai ke telinga Saras yang langsung menegak. "Aku nggak ingat Dera pernah nyebut nama itu."

"Maksud kamu apa?" lawan Saras tajam. "Aku juga nggak pernah denger nama kamu disebut oleh Dera sebagai seseorang yang sering menghabiskan waktu bersama."

"Kalau kamu memang teman dekatnya, kamu setidaknya tahu curhatan Dera tentang bodyguard itu dan tempat favoritnya selain Saung Lembang."

"Kamu tahu tentang Saung Lembang juga?" Dada Mondi bergetar, sampai rasanya dia tidak ingin lagi mendatangi tempat itu.

"Dera pernah cerita ke aku, tentang hobi memancingnya juga, makanya ketika Dera menyodorkan buku anak itu, aku langsung mengerti kenapa dia bisa se-relate itu." Alden tersenyum sinis pada Saras, baru mendapat ide untuk membuktikkan sesuatu. "Kamu tahu buku anak favorit Dera?"

"Aku nggak tahu, oke aku akui, aku nggak sehebat kamu mendapat limpahan curhatan dari Dera. Kami cuma ketemu saat bimbel, topik yang kami bicarakan seringnya tentang soal-soal pelajaran di kelas. Tapi aku." Saras menunjuk dadanya sendiri dengan tegas. "Nggak pernah sampai membuat Dera menderita. Kamu sadar nggak sih sama ucapan kamu sebelumnya. Kamu bilang, setelah adik kamu berulah, barulah banyak kejadian yang menimpa Dera. Orang-orang mulai bertindak seenaknya mengikuti jejak adik kamu."

Alden menyeringai. Serangan kata-kata itu seolah memantul, tak mempan memasuki hatinya. "Siapa kamu sebenarnya? Aku baru ingat pernah melihat kamu di tempat bimbel, tapi kamu nggak pernah di samping Dera, kamu memang ada di sekitarnya, tapi bukan sebagai seseorang yang bisa dikatakan sebagai teman. Sama halnya saat aku juga lihat kamu di parkiran hari itu, nggak hanya laki-laki itu, ada kamu juga di sana."

Giliran Mondi yang ditatapnya dengan senyuman yang agak lembut, "Tapi kamu, memang pernah disebut namanya oleh Dera. Katanya kamu dan Dera cocok jadi pemeran utama di buku anak itu."

Mondi terpegun. Dua sosok di depannya menyodorkan cerita yang  berbeda, rasanya seperti menceritakan dua sosok Dera. Paparan Alden tidak akan ditelannya bulat-bulat, bukti ponsel Saras yang mendapat panggilan dari Dera bisa menjadi bukti kedekatan mereka. Namun, ucapan Saras bahwa Dera tidak suka cara Alden juga agak tidak pas dengan pengakuan Alden yang sering menghabiskan waktu dengan Dera.  Entah siapa yang benar, yang pasti Mondi sangat yakin, mereka menyimpan rahasia yang menyangkut Dera Jia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro