Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pencarian di Balik Meja

"Ngaco."

Satu kata itu sebagai balasan atas dugaan Alden. Saras membuang muka ketika Alden berpamitan. Meja bundar itu masih menyisakan Saras dan Mondi yang saling terdiam.

"Kita cari tahu dulu tentang taman baca itu." Mondi berdiri, mengenakan jaket dan tas. Ditatapnya Saras masih diam di tempat, menatap kosong ke lantai.

"Ayo, aku anter pulang," ajak Mondi.

"Mon." Saras mendongakkan kepala. "Kamu percaya sama Alden?"

Mondi kembali duduk, mendapat tatapan penuh harap dari Saras. "Baru pertama kali ketemu dia, dan dia terlalu membanggakan dirinya soal kedekatannya sama Dera." Mondi menaikkan kedua bahunya. "Aku nggak akan semudah itu percaya."

Saras menyandarkan pungung dengan lega. Tingkahnya itu membuat Mondi terpaksa melontarkan kalimat yang dipendamnya dari tadi,
"Ada yang kamu sembunyikan," ungkap Mondi serta merta. "Tapi aku nggak akan maksa kamu buat cerita. Aku menunggu saja, dan bila memang itu ada hubungannya dengan kepergian Dera, lebih baik kamu cepat cerita agar pencarian kita bisa lebih cepat."

Kelegaan yang dirasakan Saras  tidak berlangsung lama. Lewat ekspresinya sudah cukup jelas bahwa pernyataan Mondi menyinggung dirinya. Saras memberanikan diri menatap Mondi yang juga tengah balik menatapnya. "Sori, Mon, aku bingung harus dari mana ceritanya."

Mondi menggeleng lembut. "Nggak sekarang juga nggak apa-apa." Dia tidak mau memaksa ketika dilihatnya Saras seperti tengah menanggung beban ribuan ton. Mulut cewek itu berusaha membuka, tapi tarikan dari hatinya yang meminta untuk bungkam membuat bibirnya cuma mengerucut. Meskipun Mondi merasa telah dekat dengan Saras dan permusuhan itu kini hanyalah sebatas peran yang dimainkan di depan anak-anak A+, Mondi tidak bisa seenaknya mendesak Saras. Pertemanan mereka masih di tahap awal, belajar memahami dan mengerti semoga bisa menjadi penguat agar Saras tetap mau membantunya. Yang jelas sekarang, Mondi lebih mempercayai Saras dibandingkan dengan Alden si paling mengenal Dera itu.

"Udah yu, aku anter pulang." Mondi hendak berdiri ketika Saras menahan tangannya, memintanya untuk tetap duduk.

"Sekarang aja, karena kamu udah denger sebagian kebenarannya."
Mondi bersiap mendengarkan, tidak bisa lagi mencegah karena Saras sudah menunjukkan kesungguhannya untuk bercerita.

"Aku memang ada di parkiran ketika Dera keluar dari sini." Tidak ada lagi jejak keraguan, cewek itu menatap Mondi lurus-lurus. "Waktu itu aku berencana mau ke sini sambil ngerjain tugas. Ketika aku lewat parkiran, aku lihat Dera buru-buru keluar dari sini dan nyeberang. Dia memang naik motor sama laki-laki berbadan besar dan tinggi. Aku nggak ingat di sana ada Alden karena fokusku cuma ke Dera." Saras menggeleh lesuh. "Aku terlalu kaget sampai cuma diam di tempat, mau mengejar aja nggak mungkin. Motor itu langsung ngebut bawa Dera."

Mondi menggaruk rambutnya. Cukup kecewa karena Saras tidak menceritakan bagian yang cukup penting ini, bahwa terakhir kali Dera terlihat yaitu bersama seorang laki-laki mencurigakan.

"Tapi aku harap tebakan Alden benar, laki-laki itu anak buah Ayah Dera." Saras menangkap kekecewaan Mondi. "Maaf Mon, aku baru cerita sekarang karena aku terlalu takut untuk bercerita. Aku terlalu takut buat memikirkan kemungkinan Dera dalam bahaya, tapi sampai sekarang nggak ada berita tentang anak hilang. Dan aku sempat berpikir, orang itu pasti kenalan Dera, karena nggak ada paksaaan sama sekali."

Mondi mengangguk paham. "Ada lagi yang harus aku tahu? terutama yang berhubungan dengan kepergian Dera."

Gelengan Saras mengganjal di hati Mondi. Namun, memancingnya kembali untuk bercerita bukanlah ide bagus. Tidak menutup kemungkinan Saras mungkin akan mulai kesal. Permasalahan soal ponsel itu pun masih samar-samar maksudnya. Mondi masih tidak mengerti kenapa Saras sampai membuang benda itu.

"Oke. Kita fokus lagi ke pencarian. Kita harus ketemu Ayah Dera dan mencari taman baca itu." Mondi menatap menyelidik. "Sar, Dera mungkin pernah sekilas cerita tentang hubungan dengan Ayahnya?"

"Dia tertutup soal itu. Tapi, sehabis bimbel dia sering ngajak nongkrong di sini atau ke mana dulu. Katanya malas pulang."

"Aku akan mencari tahu soal keluarga Dera. Om dan Bunda pasti tahu sesuatu. Dan kamu Sar, cari tahu tentang taman baca itu. Nanti kita datangi tempat itu."

Saras menyetujui pembagian tugas tersebut. Dia pun setuju diantar oleh Mondi tanpa banyak aturan dan tanpa resah kepergok teman-teman klubnya. Kejanggalan itu semakin kuat di dada Mondi tatkala Saras seperti setengah sadar setelah menyetujui tugas tersebut. Bahkan pandangannya tampak kosong dan ketika berjalan ke luar nyaris menabarak pelanggan lain. Mondi yakin, Saras menyimpan sejuta rahasia tentang Dera, yang sulit untuk dibaginya.
***
Waktu yang pas untuk 'menginterogasi' Bunda adalah di hari libur. Sedangkan, masih tiga hari lagi menghadapi penghujung hari dan Mondi butuh informasi secepatanya. Pilihan lainnya adalah Om Gugun, yang kemudian menjadi sulit untuk dihubungi. Sambil mengubur ketergesaannya untuk mengungkap keluarga Dera, sepulang dari Part coffee shop, Mondi bersih-bersih diri, mengenyangkan perut tanpa benar-benar menyantap masakan dari ART yang pulang satu jam lalu. Piring berisi oseng cumi dan nasi hangat itu masih tersisa banyak. Padahal rasanya sangat nikmat, tapi segala hal tentang Dera menggeser nafsu makannya. Meja makan yang ditempatinya menghadap ke ruang kerja Bunda. Kakinya tergerak mendekati, dan sebelum melangkah lebih jauh, dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan. Sekitar setengah jam lagi Bunda akan sampai di rumah. Bahkan tak jarang sampai setengah sepuluh. Cukup waktu untuk mencari yang diinginkannya.

Mondi berhenti tepat satu jengkal lagi mencapai kenop pintu. Apakah di balik tumpukan dokumen yang memadati ruangan di balik pintu ini menyembunyikan selembar kertas tentang keluarga Dera? Sewaktu makan tadi, Mondi baru ingat Ayah Dera sering mendatangi Bunda. Dia kira hanya untuk menjemput Dera yang seharian bermain dengan Mondi sampai lupa waktu, tapi Dera tidak lantas pulang, melainkan Ayahnya mengobrol serius dengan Bunda cukup lama. Bahkan, seingatnya Om Gugun pun pernah bergabung dalam obrolan mereka.

Mondi tidak bisa membiarkan rasa penasaran menggelayuti pikirannya. Malamnya tidak akan tenang. Hari ini memang cukup banyak mendapatkan petunjuk dari Alden dan tak terduga dari Saras, tapi Mondi tidak boleh berleha dan merasa pencarian ini mencapai titik terang. Maka, tahu saja, kelima jemarinya sudah menekan kuat kenop pintu, menganyukan daun pintu ke belakang dan ruangan itu seolah membisikkan banyak arah padanya. Di sana di tumpukan sana, di lemari pojok, di lemari tengah, di laci meja dan sebagainya sampai Mondi bergeming semenit penuh di ambang pintu.
Bunda menata ruangan kerjanya dengan rapi. Deretan dokumen tertata rapi pada dua buah lemari. Dilabeli oleh nama dokumen disertai keterangan tahun. Lemari yang berdekatan dengan meja kerja berisi segala hal yang berkaitan dengan Bunda, terutama mengenai pekerjaannya di stasiun TV swasta. Tentang pengalamannya menjadi repoter junior dan sekarang menempati jabatan yang lebih tinggi. Entah nama jabatannya apa, Mondi tidak punya minat besar untuk mengetahui tentang pekerjaan Bunda.
Sedangkan lemari paling pojok bagai spot nostalgia untuk mengenang Ayah. Foto Ayah, segala dokumen yang berkaitan dengan Ayah, plakat dan piagam penghargaan yang didapat Ayah selama menjadi arsitek. Mondi mengeleminasi lemari itu dalam pencariannya.

Kalaupun ada mengenai perusahaan Ayah Dera, pasti tersimpan di lemari atau laci. Namun, menilik lagi lemari Bunda, semuanya berhubungan dengan pekerjaannya. Di tumpukan kerja tidak mungkin, setiap lembarnya menunjukkan tahun ini dan beberapa bulan terakhir. Jawaban paling mendekati yaitu di laci meja. Laci paling atas dikunci, beruntung laci paling besar di bagian bawah bisa dibuka dengan mudah. Tumpukan map dan kertas mengisi setengah ruangan laci itu. Kebanyakan map lusuh dan ujungnya terlipat. Mondi menarik tumpukan map yang diominasi warana biru dan hijau itu ketika suara langkah dari high heels Bunda terdengar memasuki ruangan. Tak ada jalan untuk bersembunyi, Bunda melongokkan kepala melewati meja kerja dan mendapati putra tunggalnya menyengir lebar.

"Hai, Bun."

Bunda menggeleng-gelengkan kepala sembari melipat kedua tangan dengan tegas. Dia senang bila Mondi mengunjungi ruang kerjanya, tapi tidak sekaligus menggeledah isi mejanya.
***
"Kenapa nggak tunggu Bunda aja?"

Mondi sudah menjauh dari area pencariannya. Map-map itu dijejalkan asal dan berantakan ke dalam laci. Dia duduk di sofa di seberang meja kerja, sedangkan Bunda kembali mengeluarkan tumpukan map itu setelah mendengar pengakuan Mondi.

"Bunda pulangnya malam terus." Mondi menundukkan kepala. "Mana sempat kita ngobrol sedangkan aku nggak bisa nahan rasa penasaran terlalu lama."

"Tapi caranya nggak seperti itu, Mon." Bunda duduk di samping Mondi, sebuah map yang warna birunya sudah pudar berada di pangkuannya. "Jangan biasakan sembarangan obrak-abrik barang orang lain. Nanti kalau tercecer bagaimana, jadi berabe kalau ada yang hilang."

Mondi menghela napas, lalu mengangkat kepalanya. "Iya, Mondi minta maaf. Ya udah nanti aja." Dia berdiri. Hatinya terusik melihat Bunda begitu mengkhawatirkan meja kerjanya. Bunda sampai mengecek tumpukan kertas di atas meja, dikiranya Mondi mengganggu areanya itu. Padahal menurut Mondi, dia tak akan seceroboh itu, dia bukan anak kecil lagi.

"Mondi." Bunda meraih tangan Mondi, menariknya untuk kembali duduk. "Oke, kita nggak usah  bahas itu lagi. Satu pesan Bunda, jangan ulangi lagi, terhadap siapa pun, termasuk ke teman terdekat kamu, ke Ardi misalnya." Agar atmosfernya tidak terlalu dingin, segera dijulurkannya map berisi informasi yang diminta Mondi.

"Ini cuma profil singkat perusahaan Ayah Dera, sewaktu perusahannya masih baru. Bunda kira, kamu udah berhenti mencari Dera, sekarang sampai punya ide menelusuri perusahaan Ayahnya, ya."

Mondi tidak menceritakan soal penemuan ponsel itu, apalagi tentang kerja samanya dengan Saras untuk mencari Dera yang kembali hilang. Cukup dengan alasan kangen Dera dan  berniat mencarinya, rupanya Bunda tidak banyak tanya lagi. Dari balik map itu, Hardoyo Guard Security tercetak tebal dan besar di lembar pertama. Di bawahnya tercantum profil singkat, visi dan misi, dan penjelasanan tentang layanan yang diberikan. Alamat kantornya berada di Bandung, di sebuah jalan yang cukup sering Mondi lewati ketika berangkat ke sekolah. Namun, ini bertahun-tahun lalu, sejalan dengan perginya Dera dan Ayahnya, mungkin saja kantornya  pun tutup.

"Waktu itu, Bunda dan teman-teman kantor pernah diteror gara-gara menyelidiki kasus korupsi. Malah Bos Bunda pernah dibuntutin dan diancam. Sewaktu kami berangkat ngeliput kasus, mobil kami nyaris mengalami kecelakaan.  Kabar itu makin keangkat ketika kantor kami dibobol orang. Ayahnya Dera dengar kabar itu dan nawarin jasanya buat meningkatkan keamanan di kantor, terutama buat keselamatan Bunda dan kamu." Bunda menatap map  pada pangkuan Mondi, "Dia khawatir kamu kena imbasnya juga. Sebenarnya buat kantor udah tersedia tim keamanan khusus, jadi Bunda dan Bos Bunda cuma menerima jasa bodyguard dari beliau. Untuk meyakinkan kami, beliau memberikan profil singkat perusahaannya."

"Jadi rumah ini pernah dijagain semacam bodyguard?" Mondi mengernyitkan kening. "Biasanya boydguard badannya gede-gede, tapi aku nggak ingat ada orang itu di  sekitar rumah kita."

Bunda mengulum senyum. "Orang yang badannya tinggi besar, yang setiap hari kamu tempelin terus, sampai kamu tertular hobi mancingnya."

Mondi terenyak, mulutnya dengan perlahan menganga. "Om..Gugun?"
Bunda mengangguk pasti. "Itulah alasannya Om Gugun selalu di rumah ini, dia jarang banget pulang ke rumah Nenek."

"Jadi Om Gugun itu karyawan Ayahnya Dera?"

"Iya, waktu itu Om Gugun belum punya pekerjaan, dia baru lulus kuliah. Dia rajin banget berolahraga, jago bela diri kayak silat dan taekwondo. Dia memang dari kecil sering berantem, makanya Nenek mengarahkannya ke banyak kegiatan olahraga. Ketika dia berkunjung ke sini, dia bertemu sama Ayah Dera. Melihat perawakannya yang fit, sehat dan gagah, dia dapat tawaran langsung dari Ayah Dera." Bunda menepuk-nepuk pelan lutut Mondi. "Nah, setelah Om Gugun menerima tawaran itu, Bunda langsung minta Om Gugun yang jadi bodyguard kita, terutama buat jagain kamu. Bunda ngerasa nggak nyaman harus dijaga 24 jam sama orang asing, sama adik sendiri kan lebih enak."

Mondi baru mengerti kerewelan Bunda selama ini, Bahkan sampai sekarang, Bunda tetap mewajibkan Om Gugun berada di samping Mondi bila pergi ke tempat jauh, misalnya ke Saung Lembang. Pantas saja, Om Gugun tidak pernah bosan berada di antara dirinya dan Dera sewaktu kecil. Om-nya selalu ikut bermain ke mana pun, bahkan Dera pernah berandai-andai Om Gugun menjadi miliknya. Gara-gara itu, mereka pernah bertengkar dan rukun beberapa jam kemudian setelah didamaikan oleh Om Gugun. Ketika mengingat masa-masa itu, Mondi terkekeh sendiri. Tiba-tiba ingin pergi mancing lagi sama Om Gugun. Dua minggu berlalu setelah pertemuannya dengan Om Gugun di Saung Lembang.

"Sekitar dua bulan sebelum keluarga Dera pergi, Om Gugun mengundurkan diri dan memutuskan ingin berbisnis sama temannya. Bisnis tempat pemancingan itu." Bunda mengambil alih map tersebut, membaca lagi isinya. "Kantor perusahaan ini udah pindah. Bunda sering melewati tempatnya, dan itu udah jadi bangunan kosong. Kamu coba tanya ke Om Gugun, mungkin dia tahu sesuatu, dia pasti punya banyak kenalan sewaktu kerja di sana."

Mondi dipenuhi kelegaan mendapat curahan informasi itu. Selain itu, ini kali pertama, dia bisa menghabiskan malam bersama Bunda, di ruang kerja Bunda, mengetahui perjuangan Bunda menjalani pekerjaan impiannya. Kekesalan itu berganti dengan rasa bangga. Bunda adalah perempuan hebat yang berusaha berdiri kokoh setelah ditinggalkan Ayah, memeras ototnya yang tujuannya bukan lagi untuk mengairi dahaganya untuk menggapai impiannya menjadi reporter, tapi untuk keberlangsungan hidup Mondi.

"Menurut Bunda, Dera dan Ayahnya ke mana, ya? Dan kenapa mereka pergi begitu aja?" tanya Mondi, matanya menatap ke jendela di belakang meja kerja. Di siang hari, jendela itu membingkai halaman rumah Dera yang kini dihuni oleh orang lain. Sekarang, halaman itu lebih hijau dengan sentuhan dari bunga berwarna-warni yang bermekaran indah. Meskipun tampak lebih terawat dan cantik, Mondi tetap merindukan halaman gersang yang hanya ditumbuhi tanaman kuping gajah. Selebihnya hanyalah hamparan tanah kering yang di sebagian area ditumbuhi rerumputan dan sebagian lagi gundul.

"Mereka punya alasan yang tidak bisa mereka bagi ke kita. Mungkin terlalu berat, terlalu sulit, dan itu bukan ranah kita untuk mengetahui."

"Apa menyangkut kondisi keluarga mereka? Dera pernah bilang kangen dengan Ibunya, tapi dari kecil dia cuma mengenal Ayahnya
Bunda menganguk-ngangguk, memikirkan kemungkinannya besar sekali bila menyangkut masalah keluarga. "Masalah keluarga itu hal sangat privasi. Keluarga Dera nggak nyaman untuk ketemu kita dulu, bahkan untuk sekadar berpamitan. Pasti ada sesuatu yang sulit mereka jalani."

Kebersamaan itu diakhiri oleh Bunda ketika melihat jarum jam menujukkan pukul sepuluh malam. Bunda segera menyuruh Mondi tidur agar besok tidak kesiangan. Sebelum Mondi menaiki tangga, dan Bunda hendak menuju dapur untuk membuat minuman hangat, ucapan Mondi kemudian membuat Bunda bergeming cukup lama.

"Om Gugun berhenti dari pekerjaanya, nggak lama sebelum Dera pergi. Pasti ada sesuatu dan aku harap Om Gugun mau cerita."

Seharian ini, Mondi kembali berhadapan dengan 'sesuatu' yang disembunyikan orang-orang di sekitarnya. Semoga Om Gugun mau berbagai 'sesuatu' yang disembunyikannya itu.
***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro