Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Who?


Elang duduk di sebuah ruang interogasi. Seorang pria yang duduk di sebarangnya tampak bangkit dan pergi keluar dengan raut menahan emosi.

"Apa dia masih diam saja?" tanya seorang wanita di ruangan sebelah, tempat Elang diawasi dari sana.

"Saka bahkan sampai terlihat kesal menghadapinya," ucap pria berperut buncit.

"Aku akan mencobanya," ujar si wanita sembari menatap ke arah Elang dari kamera pengawas. Setelah itu, ia melangkah pergi menuju pintu keluar, di sana dia berpapasan dengan pria bernama Saka.

"Mau ke mana?" tanya Saka. Namun, wanita itu diam tak menjawab. Tangannya tampak merampas dokumen berisi catatan tersangka dari tangan Saka.

"Lisa," panggil Saka.

"Dia ingin menginterogasi pria itu," sahut pria bertubuh buncit, Pak Aryo—seorang AKP—atasan Saka.

***

Di dalam ruang interogasi. Elang tampak diam membisu. Awalnya—saat baru sampai di kantor polisi—Elang masih mau bicara beberapa penggal kalimat. Tapi, kemudian dia mulai bungkam saat beberapa jam yang lalu Pak Aryo—pria buncit di ruangan sebelah tadi—memukul kepalanya ketika Elang berusaha untuk berkata jujur. Pikir Elang, percuma saja ia bersuara jika setiap perkataan yang keluar dari mulutnya selalu dinilai dusta. Karena itu, Elang memilih bungkam selama beberapa jam terakhir ini.

"Elang Orlando?" panggil Lisa yang telah duduk di depannya.

Elang menengadahkan kepalanya, menatap wanita itu tanpa minat. Sama seperti sebelumnya, ia hanya diam memandangi orang yang duduk di seberangnya.

"Aku Elisa, panggil saja Lisa."

Elang tak menanggapi.

"Elang, aku akan mengajukan pertanyaan padamu. Jadi, tolong kerjasamanya, ya," cakap Lisa. Wanita itu menghela napasnya sejenak, sebelum kemudian melontarkan pertanyaannya. "Menurut kamu ... Winda itu orangnya seperti apa?"

"Kamu bisa katakan semuanya padaku. Aku akan mendengarkanmu," lanjutnya, setelah beberapa saat tidak mendapatkan respons dari pria itu.

Elang masih diam. Pria itu sepertinya benar-benar mengunci mulutnya rapat. Lisa harus memutar otaknya untuk mencari tahu bagaimana cara dia menemukan kunci agar Elang mau membuka mulutnya kembali. Setidaknya, Lisa butuh sedikit saja gerakan tubuh Elang agar ia bisa menilai pria itu.

"Aku dengar dari para tetangga, sejak kecil kamu diperlakukan tidak adil oleh orang tua angkatmu. Apa itu benar?" tanya Lisa, lagi. Namun, Elang masih mengunci rapat mulutnya.

Lisa mengembuskan napasnya berat, wanita itu menatap Elang sekilas, lalu melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang dan pria di depannya itu sama sekali tidak mengeluarkan satu kata pun.

"Baik, kalau tidak ada yang ingin kamu katakan. Kita istirahat dulu selama satu jam. Setelah itu, aku akan kembali ke sini dan melanjutkan obrolan kita," ujar Lisa.

Wanita itu dengan terpaksa bangkit dari duduknya. Tangannya terlihat mulai merapikan berkas-berkas berisi catatan investigasi dan latar belakang Elang.

Elang diam memperhatikan gerakan tangan wanita di depannya itu. Sorot matanya terfokus menatap berkas berisi catatan tentang dirinya. Sampai kemudian, kepala Elang tampak mendongak menatap ke arah Lisa.

"Untuk apa kalian ingin tahu tentang penilaianku pada perempuan yang sudah meninggal?" Elang akhirnya bersuara.

Seketika itu, Lisa menghentikan gerakan tangannya. Wanita itu menatap Elang lekat, menunggu Elang mengatakan kalimat selanjutnya.

"Dan untuk apa kalian menanyakan perlakuan orang tua angkatku kalau kalian sudah mendengarnya dari para tetangga? Bukannya kalian tidak pernah peduli dengan sudut pandangku? Semua yang keluar dari mulutku ini ... bagi kalian hanyalah dusta," timpal Elang.

Lisa diam sejenak. Ia mengamati sorot mata Elang yang tampak memancarkan sinar redupnya. Pria itu putus asa, dia seolah pasrah dan tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada hidupnya. Tidak ada gairah semangat yang terpancar dari dalam diri pria itu. Namun, Lisa masih belum dapat memberikan penilaiannya. Karena dia belum tahu, apakah pria itu sedang berpura-pura terlihat menyedihkan atau memang seperti itulah adanya.

"Lisa." Pak Aryo terdengar memanggil dari pengeras suara yang ada di ruangan sebelah. Lisa pun menoleh ke arah kaca yang hanya dapat terlihat dari satu sisi itu.

"Elang Orlando bukan lagi seorang tersangka. Buka pintunya dan keluarlah dari dalam sana," ujar Pak Aryo, yang tahu kalau Lisa mengunci pintu ruangan tersebut.

"Apa?" Lisa tampak terkejut. Wanita itu kemudian memandang ke arah Elang yang tampak diam menatap lurus ke depan.

***

"Siapa yang membebaskannya?" tanya Lisa pada Pak Aryo yang saat ini tengah duduk di kursinya.

"Kamu marah sama saya? Saya ini satu tingkat di atas kamu lho," tukas Pak Aryo.

Lisa menghela napasnya, mengatur emosinya yang terlihat kesal dengan situasi tidak terduga ini. "Maaf, Pak" ucapnya kemudian.

Pak Aryo menatap wanita itu sekilas, lalu menghela napasnya pelan. "Tanya Saka, dia yang menemui orang itu," ujar Pak Aryo.

"Orang itu?"

"Orang yang bebasin tersangka," jelas Pak Aryo.

Setelah mendapatkan informasi itu, Lisa langsung melenggang pergi dari hadapan Pak Aryo.

***

"Sak ...." Lisa berhenti bersuara saat ia melihat pria bernama Saka itu tengah berbincang dengan seorang pria lain yang tampak tak asing di matanya.

"Aron?" Lisa menyebut nama pria lain itu.

Aron yang merasa namanya dipanggil pun menoleh ke arah Lisa. Lalu, terlihat senyum Aron terukir sopan ke arah wanita itu.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Lisa.

"Dia yang bantu bebasin tersangka," sela Saka.

Lisa mengerutkan keningnya. "Dia? Bagaimana bisa?" tanyanya kemudian.

"Saya temannya Elang, Bu," kata Aron.

"Teman?"

"Dia sudah memberikan semua penjelasan dan bukti yang kuat kalau Elang tidak bersalah," sahut Saka. "Jadi, biarkan dia pergi," lanjutnya.

Aron tersenyum, setelah itu dia berpamitan pergi dari kantor polisi itu. "Saya permisi," ucapnya.

"Kamu kenal sama dia?" tanya Saka setelah Aron menjauh dari mereka.

"Dia mahasiswaku di kampus tempat aku menjadi dosen tamu di sana," jawab Lisa. Wanita itu kemudian menatap ke arah Saka. "Bagaimana kamu bisa langsung percaya sama kata-katanya dan bebasin tersangka? Kamu lihat sendiri 'kan hasil forensik dari ketiga korban itu? Mereka punya tanda yang sama di tangannya," cakap Lisa.

"Justru itu," tukas Saka. "Karena dari hasil forensik itu, cowok barusan, yang namanya Aron tadi, dia punya alibi kuat. Dia tunjukin semua perbandingan waktu perkiraan pembunuhan dengan waktu aktivitas yang Elang lakukan saat itu, bahkan posisi di mana Elang berada saat itu, dia punya buktinya. Semuanya, tanpa ada celah sedikit pun."

Lisa tampak memijat pelipisnya pelan. "Jadi, dia benar-benar bukan tersangka pembunuhan keluarga angkatnya?"

"Aku tidak yakin, tapi bukti yang ada mengatakan seperti itu."

"Lalu, bagaimana dengan kasus kematian pria bernama Willy? Dia terbukti yang ngelakuin kekerasan itu pada korban," cakap Lisa.

"Dia mukul korban karena untuk perlindungan diri, itu kata cowok bernama Aron tadi," ujar Saka. "Apalagi kematian korban karena bunuh diri, bukan karena dibunuh. Ditambah lagi, perkiraan waktu kematian korban dan posisi Elang saat itu berbeda. Karena itu kasusnya sekarang ditetapkan sebagai kasus bunuh diri. Dan Elang tidak mungkin menjadi tersangkanya."

***

Aku menutup pintu kosku yang terlihat naas. Sorot mataku memandang nanar ke arah gagang pintuku yang terlepas dan membentuk sebuah celah yang cukup besar. Aku menghela napas pelan, kemudian dengan langkah lemas berjalan menuju kamar mandi.

Hari ini banyak hal yang aku lalui, kesialan demi kesialan secara beruntun menghampiri diriku. Aku ingin mengguyur tubuhku dengan air dingin. Berharap, semua penat dan rasa lelah yang menerpaku hari ini luntur dibawa oleh air yang menyapu tubuh ini.

Aron, aku harus menemui pria itu besok. Dia cukup banyak membantuku menyelesaikan semua masalah yang menimpaku. Sepertinya, memiliki seorang teman memang tidak ada ruginya. Bayangkan saja jika aku tidak memiliki Aron di sisiku. Mungkin, saat ini aku masih berada di tempat para bedebah yang menyebut diri mereka sebagai seorang penegak hukum itu.

Aku menutup pintu kamar mandi kasar, lalu melangkah menuju tempat tidur sembari mengusap rambutku yang basah. Namun, saat itu tanpa sengaja mataku menyorot sebuah amplop putih yang berada di dekat pintu kos. Kenapa tadi aku tidak melihatnya? Pikirku seraya membungkuk untuk memungut amplop putih itu. Namun, tubuhku terus berada dalam posisi seperti itu sampai kemudian keningku berkerut karena melihat bayangan orang berdiri di luar pintu kosku.

"Mungkin hanya salah lihat."

Aku menggelengkan kepalaku pelan, lalu memungut amplop itu, mengamati amplop berwarna putih itu sejenak, sebelum akhirnya sorot mataku kembali terpaku pada pintu kos. Dari lubang yang berbentuk lingkaran di bagian gagang pintu yang lepas itu, aku benar-benar melihat ada seseorang berdiri di depan pintu kosku. Perlahan, aku pun melangkah mendekati pintu kos yang tidak bisa aku kunci itu. Dari yang aku lihat sekilas, dia mengenakan jas hujan berwarna hitam di saat langit malam terlihat cerah penuh bintang.

Aneh. Rasanya benar-benar aneh. Seketika itu aku merasa getaran jiwa pengecut tiba-tiba mendobrak diriku. Jantungku pun berdetak kencang tidak seperti biasanya. Rasanya ... seperti ada seekor anjing yang mengejarku. Aku merasa diburu oleh sesuatu yang tidak aku tahu dan mengerti.

Aku mengatur napasku sejenak, lalu kemudian berusaha mengobati rasa penasaranku dengan memberanikan diri mengintip siapa siluet hitam yang berdiam diri di depan pintu kosku ini.

Dan, aku menyesal. Aku sungguh menyesal telah mengikuti rasa penasaranku. Tubuhku seketika itu bergetar saat aku mengetahui pria yang berdiri di depan pintu itu tampak membawa pisau yang berlumuran darah. Aku tidak bisa melihat wajahnya, karena tubuhku saat itu langsung jatuh terduduk di depan pintu. Aku ketakutan bagai pengecut yang harus menyembunyikan dirinya di dalam lubang.

Bukankah Willy sudah meninggal karena bunuh diri? Aku mendengarnya dengan sangat jelas dari para penegak hukum itu saat sedang diinterogasi. Lalu, siapa yang menerorku ini? siapa pria yang membawa pisau berdarah itu?

Aku tercenung saat mengingat Willy pernah menghubungiku sebelum ia dinyatakan meninggal beberapa menit setelah meneleponku. Willy berkata, 'Berhati-hatilah, aku melihat ada orang yang mengawasimu. Dia mungkin lebih berbahaya dariku'.

Sial! Apa perkataannya itu benar? Jadi, bukan Willy yang menerorku selama ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro