Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Last

BAB INI BELUM MELALUI PROSES EDITING. JADI, MOHON MAAF KALAU TULISANNYA MASIH KACAU DAN BERANTAKAN. SEKIAN, TERIMA KASIH ^^


Pukul 21.00 WIB. Aku memasukkan kembali ponselku setelah melihat waktu saat ini. Aku menghela napasku pelan, menatap kantong plastik berisi mi instan dan beberapa soft drink, kemudian melangkah keluar dari dalam minimarket berlogo semut.

Lisa, wanita itu beberapa jam yang lalu sudah pulang setelah merampas latpopku dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi, setelah aku berkata bahwa laptop itu pemberian dari Aron. Mengingat adanya kamera pengintai di dalam laptop itu, aku benar-benar masih belum mengerti dengan semua keraguan yang menerpa hatiku. Apa sungguh Aron yang menerorku selama ini? Tapi, tidak, itu tidak mungkin. Selama beberapa pekan ini aku cukup akrab dan sering bertemu dengannya. Sifatnya yang ramah dan terbuka, sungguh tidak bisa membuat hatiku merasa curiga padanya. Mungkinkah ada orang lain yang menjebak Aron?

"Elang."

Kakiku berhenti melangkah saat suara familier itu menyeruak masuk ke dalam indra pendengaran. Aku menoleh, tebakanku benar, Aron berdiri beberapa hasta di belakangku. Pria itu melemparkan senyumnya, kemudian melangkah mendekatiku.

"Gue tadi ada urusan di dekat sini, dan tiba-tiba keinget lo. Jadi, sekalian deh gue beliin makanan buat lo," katanya sambil menunjukkan kantong plastik berisi kotak makanan dengan logo huruf 'M' besar. "Lo kenapa ada di luar sini? Gue gak nyangka malah ketemu lo di sini," lanjutnya.

"Oh," ucapku, seperti biasa, menanggapi seadanya. "Kamu nggak usah repot-repot, aku udah beli makanan," timpalku.

Aron melirik kantong plastik yang aku bawa. Helaan napas pun kemudian terdengar darinya. Aron menyodorkan kantong plastiknya ke arahku. "Ambil ini saja daripada lo makan mi instan itu," suruhnya.

"Enggak usah, makasih. Aku enggak mau banyak hutang budi sama kamu," tukasku.

"Hutang budi apanya? Gue ikhlas kasih lo ini dan itu," cakap Aron. "Terima dong, Lang," desaknya.

Aku diam sejenak memandang kantong plastik yang masih ia sodorkan padaku itu. Kemudian, perlahan tanganku bergerak meraih kantong plastik itu.

"Makas—sih," ucapku terbata-bata saat sorot mataku menangkap sebuah luka yang tak asing di mataku. Yang membuat jantungku semakin bergejolak adalah sebuah lambang yang sedikit terlihat dari balik lengan sweter yang Aron kenakan.

Irisku kemudian beralih memandang Aron dengan gejolak seorang pecundang. Tanganku yang masih menggantung di udara pun terlihat sedikit gemetar. Sudut bibir Aron tampak tertarik, walau samar tapi aku melihatnya dengan jelas kalau pria itu sedang menyeringai padaku.

"Kalau 'begitu, aku pergi dulu," ucapku buru-buru.

Aron mengulas senyumnya, pria itu mengangguk sambil memasukkan memasukkan kedua tangannya di kantong celana.

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku pergi dari hadapan pria itu. Gerakan tubuhku yang gusar dan terlihat seperti seekor tikus yang dikejar pemangsa, aku yakin Aron—pria itu sudah tahu kalau aku mengenali siapa dirinya.

***

Aku berdiri di depan kantor polisi tempat Lisa bekerja. Tubuhku sejak tadi tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir menunggu kemunculan sosok wanita yang beberapa saat lalu aku hubungi.

"Elang."

"Ada sesuatu yang mau aku bicarakan," kataku.

Lisa yang seolah paham dengan sorot kepanikanku. Ia pun kemudian menarik lenganku sambil berkata, "Ikut aku."

Lisa membawaku ke sebuah ruangan. Aku tidak tahu ruangan apa itu. Di dalam sana banyak terdapat meja dan kursi, lalu di bagian paling depan ada sebuah papan untuk memutar proyektor. Sepertinya itu ruang rapat.

"Katakan, apa yang mau kamu bicarakan sama aku?"

"Aku tahu siapa orang yang membunuh keluarga angkatku dan yang menerorku selama ini," ucapku tanpa membuang waktu lagi.

"Aron," ujar Lisa. Dari nada bicaranya, dia tidak sedang menebak. Wanita itu seolah sudah tahu tanpa aku datang ke sini dan memberitahukan fakta ini padanya.

"Bagaimana kamu tahu?"

"Aku memeriksa latar belakangnya, juga beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan pembunuhan beberapa waktu silam. Dan semuanya mengarah ke pria itu," jelas Lisa. "Kamu tidak usah khawatir, aku dan Saka sudah menyiapkan rencana agar kita mendapatkan cukup bukti untuk menangkap pria itu."

***

Malam selanjutnya. Lisa terlihat melangkah memasuki pekarangan rumah pribadi Aron. Di depan pintu rumah itu, sekilas Lisa memandang ke arah halaman di mana terdapat Elang bersembunyi di sana. Lisa menghela napasnya sejenak, sebelum akhirnya dia memberanikan diri menekan bel rumah itu.

Tidak butuh waktu lama. Aron membuka pintu rumahnya, pria itu rasanya seolah sudah tahu kalau Lisa ada di balik pintu rumahnya.

"Oh, Bu Elisa, ada perlu apa, ya, datang ke rumah saya?" tanya Aron, masih menjunjung tinggi sopan santunnya pada dosennya itu.

"Saya ingin membicarakan soal tugas makalah yang terakhir kali kamu kumpulkan. Saya merasa tertarik dengan isi masalah yang ada di dalam makalahmu itu. Karena itu, saya dengan sukarela datang menemuimu untuk menanyakan beberapa hal," jelas Lisa.

"Oh, makalah itu," ucap Aron. "Ya, silakan masuk," lanjutnya, mempersilakan wanita itu masuk ke dalam rumahnya.

Aron melangkah lebih dulu di depan Lisa setelah menutup pintu rumahnya. Pria itu mengarahkan Lisa ke ruang tamunya. Dari luar jendela besar ruang tamu yang tidak di tutup tirai itu, Elang mengamati dari sana.

"Ibu Elisa mau minum apa?" tanya Aron.

"Em ... boleh saya minta jus apel?" katanya.

Aron memicingkan matanya. "Jus apel?"

"Ya, tanpa kulitnya," ujar Lisa. Dia sengaja meminta hal seperti itu agar Aron bisa menghabiskan cukup banyak waktu di dapurnya. Sehingga Lisa dapat melancarkan aksi yang telah ia rencanakan.

"Oke," ucap Aron, menyanggupi permintaan dosennya itu. "Kalau 'gitu, Ibu tunggu bentar, ya. Saya buatkan minuman untuk Ibu Elisa yang terhormat," kata Aron, setelah itu ia tersenyum dan pergi dari ruang tamu.

Kepergian Aron langsung Lisa manfaatkan untuk mendekati sebuah rak buku. Dari dalam tasnya, Lisa mengambil sesuatu yang tampak berkedip merah. Sebuah kamera tersembunyi Lisa sematkan di antara buku-buku yang terpajang.

Beberapa saat kemudian, ia kembali duduk di sofanya saat mendengar langkah kaki Aron yang mendekat.

"Ini minumannya, sesuai permintaan," cakap Aron sembari meletakkan segelas besar jus apel di atas meja. "Silakan diminum."

"Kalau aku meminumnya, apakah ada kemungkinan besok aku tidak bisa melihat dunia ini lagi?" kata Lisa tiba-tiba.

Aron yang baru saja duduk di sofa pun menatap dosennya itu dengan kening berkerut. Tapi, kemudian Aron tertawa. Pria itu tertawa ringan sampai beberapa saat kemudian, ia berdehem. Lalu, tangannya terlihat bergerak meraih gelas berisi jus di hadapan Lisa. Aron menegak seluruh jus itu sampai habis.

Lisa terdiam memperhatikan Aron yang kemudian meletakkan gelas kosong itu ke atas meja kembali.

"Padahal saya sudah sudah payah mengupas apel dan membuatkan jus ini untuk Anda. Tapi, sepertinya Anda tidak menghargai kebaikan saya," cakap Aron. Sorot matanya berubah tajam.

Lisa tersenyum. "Sepertinya kamu sudah lelah berpura-pura, ya?" sindirnya.

Aron mengulas senyum miringnya, menatap Lisa dengan rautnya yang tak ada lagi tata krama terukir di sana.

"Seharusnya Bu Elisa tidak usil seperti ayah, Ibu. Apa Bu Lisa sudah tidak sabar menemui ayah, Ibu? Yang sebenarnya meninggal karena telah membuat saya kesal," cakap Aron, sengaja mengorek masa lalu Lisa tentang misteri kematian ayahnya yang meninggal karena dugaan serangan jantung saat berkendara.

Napas Lisa terlihat naik turun. Aron sepertinya berhasil membuat emosi perempuan itu tidak stabil. Lisa kemudian bangkit dari duduknya, ia melangkah mendekati Aron. Wanita itu mencengkeram kerah sweter Aron kuat.

"Jadi bener, kamu yang sudah bunuh ayahku?!"

Aron terkekeh pria itu membalas tatapan Lisa dengan raut tanpa dosanya. Detik selanjutnya, tangan Aron tampak terayun cepat, sebuah pisau yang Aron gunakan untuk mengupas kulit apel tadi, kini menancap pada perut Lisa. Wanita itu mengerang tertahan, tubuh Lisa jatuh ke atas lantai marmer yang dingin.

Elang yang melihat semua itu dari luar mulai merasa panik. Apalagi dia tidak berhasil menghubungi Saka—teman Lisa—yang seharusnya sudah datang sejak tadi.

Aron menyeringai, menatap darah yang mulai mengalir dari bagian perut kanan Lisa dengan raut puasnya. Pria itu kemudian berjongkok, ia mencabut pisau itu dari perut Lisa—yang gagangnya sengaja ia bungkus dengan plastik. Perbuatan Aron itu membuat darah dari perut wanita yang hampir sekarat itu semakin mengalir deras. Aron bangkit, kemudian ia mengeluarkan sarung tangan lateksnya, memakainya cepat. Lalu, membuka plastik putih yang membungkus gagang pisau itu. Aron memasukkan plastik tersebut ke dalam saku celana jeansnya, dan dengan sengaja meletakkan pisau itu di lantai, dekat Lisa yang hampir tidak sadarkan diri.

Sesaat kemudian, Aron menatap ke arah jendela besar di belakang sofa ruang tamunya. Dari jendela itu, dia melihat Elang yang sudah berdiri dan tak peduli lagi dengan rencana persembunyiannya. Aron menyeringai menatap pria yang beberapa pekan lalu menjadi teman dekatnya. Pria itu kemudian mendekati jendela tersebut, lalu menutup tirainya rapat.

Elang yang melihat tirai jendela ditutup dengan sengaja pun segera berlari menuju pintu rumah Aron. Entah sebuah keberuntungan atau apa tapi anehnya pintu rumah itu ternyata tidak dikunci. Elang masuk ke dalam rumah tersebut, bersamaan dengan suara sirine dari mobil polisi yang terlihat memasuki ke halaman rumah Aron.

***

Aryono, pria paruh baya itu menatap melas ke arah pria yang tampak menatap kosong ke depan. Kaki pria itu ditekuk, tangannya tertopang pada ujung lutut, sorot matanya tampak kosong, tak ada goresan kehidupan yang terukir di sana.

"Bukannya dia tersangka yang waktu itu sudah pernah ditangkap?" tanya seorang pria paruh baya lainnya.

Aryono—Pak Aryo—menoleh menatap ke arah pria paruh baya yang tampak ikut memandangi sosok Elang di dalam penjara.

"Iya, dia orang yang sama," jawab Pak Aryo.

"Aku dengar dia melakukan percobaan pembunuhan pada salah satu personel kita, ya?"

"Hm, dia jadi tersangkanya karena semua bukti yang ada mengarah padanya. Termasuk bukti utama, sidik jarinya ada di pisau yang digunakan untuk menusuk Lisa."

***

Satu minggu kemudian.

Ruangan Lisa dirawat tampak sepi. Wanita itu masih terbaring belum sadarkan diri setelah mendapatkan operasi dan perawatan intensif selama satu minggu terakhir.

Semua orang dibuat resah dengan kondisinya yang tak ada kemajuan. Alat medis pun masih terpasang sempurna di tubuh wanita itu, menunjukkan bahwa penopang hidupnya saat ini adalah mereka—para benda tak bernyawa tapi sangat bernilai.

Seorang pria terlihat masuk ke dalam ruangan. Ia menatap sosok Lisa sesaat, kemudian menutup pintu kamar perawatan. Saka—pria itu melangkah mendekati Lisa yang masih terbaring lemah di atas ranjang pasien.

Saka menghela napasnya, kemudian ia menarik kursi di dekatnya dan duduk di samping wanita itu menutup matanya rapat.

"Lisa, sudah satu minggu kamu belum sadar juga. Sampai kapan kamu mau tutup mata kamu terus? Aku mohon bangun, Lis," cakap Saka. Pria itu menatap sedih ke arah wanita yang sebenarnya sudah sejak lama ia sukai. Saka meraih tangan Lisa, menggenggam tangan itu hangat. "Apa kamu sedang bertemu ayahmu? Kalau memang benar. Kamu pasti senang bisa bertemu dengan beliau. Tapi, Lisa. Kamu tetap harus kembali, kamu harus bangun. Aku mohon buka matamu."

Saka mengecup tangan wanita itu cukup lama. Sampai tiba-tiba tubuh Lisa bergerak. Wanita itu membuka matanya seperti seseorang yang baru terbangun dari mimpi buruk.

"Lisa, kamu sudah sadar?" Saka tampak berbinar senang.

"Sudah berapa hari aku tidak sadarkan diri?" tanya Lisa.

"Kamu jangan banyak gerak, aku panggil dokter dulu," ujar Saka, mengabaikan pertanyaan perempuan itu.

"Aku nggak punya banyak waktu. Saka, kamu antar aku ke rumah itu," cakap Lisa.

Saka mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu? Kamu mau pergi ke mana? Kamu baru aja bangun setelah satu minggu nggak sadarkan diri, Lisa," tukas Saka.

Lisa tak menghiraukan perkataan pria itu. Ia terlihat melepas selang infusnya dan alat medis lainnya yang masih menempel pada tubuhnya itu.

"Lisa, apa yang kamu lakuin? Kamu harus istirahat, Lisa," tegas Saka, tapi sungguh, Lisa benar-benar mengabaikan perkataan pria itu. Karena saat ini Lisa sudah berdiri tegak di hadapan Saka. Wanita itu kemudian merebut jaket yang Saka pegang, lalu memakainya cepat.

"Hubungi Pak Aryo. Minta Pak Aryo datang dengan beberapa polisi ke rumah itu," suruh Lisa.

"Rumah itu? Maksudmu—rumah Aron?"

"Memangnya rumah siapa lagi? Dia orang yang sudah nusuk aku," tukas Lisa.

"Aku tahu, tapi semuanya nggak berjalan sesuai rencana kita, Lisa. Aron, dia itu licik, bahkan sekarang dia masih bisa berkeliaran bebas di luar sana. Dan semua kesalahan dia, Elang yang manggung," papar Saka. "Dia pintar membuat alibi, Lisa. Dia bahkan manipulasi CCTV rumahnya," imbuhnya.

"Aku tahu."

"Kamu nggak tahu, Lis. Kamu bahkan nggak sadarkan diri selama satu minggu. Kamu nggak tahu apa yang sudah terjadi. Dan kamu juga nggak tahu orang seperti apa Aron itu. Dia bukan hanya pintar dan licik, tapi dia juga punya backing yang kuat, dia anak dari seorang anggota dewan. Kamu nggak akan bisa lawan dia tanpa bukti yang jelas, apalagi dengan tindakan terburu-buru kamu seperti sekarang ini."

Lisa menghela napasnya. Wanita itu menatap Saka lekat. "Percaya sama aku. Aku punya bukti yang cukup untuk kita nemuin bukti lain yang lebih kuat," ujar Lisa. "Sekarang hubungi Pak Aryo dan antar aku ke rumah itu."

***

Saka tak dapat menolak permintaan Lisa setelah perempuan itu terlihat percaya diri dan yakin dengan tindakannya. Dan, akhirnya mobil yang mereka kendarai pun sampai di depan rumah Aron. Saka sengaja tidak memasukkan mobilnya ke halaman rumah tersebut, mengantisipasi jika sesuatu terjadi, ia bisa langsung menyuruh Lisa keluar dan kabur bersama mobilnya itu.

Lisa benar-benar seperti orang tak sabaran. Wanita itu dengan cepat keluar dari dalam mobil dan melangkah lebar menuju pintu rumah Aron. Sesampainya di depan pintu rumah, Lisa tanpa ragu langsung memutar handle pintu rumah tersebut.

"Dari mana kamu tahu pintu rumah itu nggak dikunci?" tanya Saka.

"Aku mencuri kuncinya," jawab Lisa, santai. Wanita itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Saka yang terlihat waspada.

Lisa mengamati sekitar. Saat tidak mendapati ada tanda-tanda orang di dalam sana. Lisa langsung menghampiri rak buku yang ada di ruang tamu.

"Kamera yang kamu pasang di sana udah nggak ada, aku yakin cowok itu udah tahu rencana kita dari awal," ujar Saka.

Lisa tersenyum. "Aku tahu kalau rencana kita kemungkinan besar gagal. Karena itu, aku memasang dua kamera," kata Lisa seraya mengambil salah satu buku berwarna hitam, lalu membukanya. Senyum Lisa tampak terukir semakin lebar saat ia melihat sebuah kamera tersembunyi masih terpasang sempurna di dalam buku itu.

"Sepertinya aku punya tamu tak di undang," kata sebuah suara dari arah pintu masuk. Dia Aron, pria itu melangkah masuk ke dalam rumahnya. "Oh, Bu Lisa sepertinya sudah sehat, ya? Pantesan tadi saya jenguk ke rumah sakit, Ibu udah nggak ada di sana," cakapnya.

Lisa melangkah mundur sembari menyembunyikan memori yang dia ambil dari dalam kamera beberapa saat sebelum Aron terlihat semakin mendekati nakas yang berada tak jauh dari jaraknya.

Aron menatap kedua orang itu bergantian. Lalu, ia menarik laci nakasnya, pria itu mengambil sebuah pistol berwarna cokelat dari dalam laci tersebut. Tanpa aba-aba, Aron langsung menembakkannya ke arah Lisa. Tapi, dengan cepat Saka berhasil menghadap peluru tersebut, hingga akhirnya peluru itu bersarang pada lengan kanannya.

Saka mendesis, pria itu memegangi lengannya yang tampak mengeluarkan darah segar. Sorot matanya kemudian beralih tajam menatap Aron yang kini mengarahkan pistol itu padanya. Aron menembak tanpa henti ke arah Saka, untungnya pria itu cukup terlatih untuk menghindari serangan peluru tak beraturan itu. Sampai akhirnya, peluru itu habis tak tersisa.

Aron melemparkan pistolnya kesal. Pria itu kemudian mengambil benda lain dari dalam lacinya. Sebuah pisau tajam berada dalam genggaman Aron. Pria itu melangkah cepat mendekati Saka. Aron menerjang pria itu kasar, melihat Saka tak berdaya di atas lantai rumahnya. Aron mulai mengayunkan tangannya, siap menusukkan pisau itu tepat ke jantung Saka.

Namun, niatnya itu gagal saat sebuah peluru menembus kulitnya, bersarang di lengan kanannya. Pisau yang ia pegang pun seketika terjatuh. Aron mengerang keras, mengutarakan rasa sakit pada lengannya yang ditembak oleh Pak Aryo—pria paruh baya itu datang tepat waktu.

Lisa menghela napasnya lega. Beberapa polisi pun tampak masuk dan mulai mengamankan TKP kejadian.

Pak Aryo menatap ke arah Lisa, ia mengulas senyumnya pada wanita itu, lalu mulutnya tampak bergerak, pria paruh baya itu berkata, "Kerja bagus."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro