Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tersangka


Seorang pria dengan topi hitamnya tampak duduk di tepi trotoar. Wajahnya kuyu, bajunya pun tampak lusuh, seolah menjelaskan bahwa sudah beberapa hari ini dia tidak berganti pakaian.

Pria itu membuka tangannya yang terkepal kuat, sebuah kalung berliontin huruf 'W' berada dalam genggamannya. Kemudian, ia kembali menundukkan kepalanya. Tangis bercampur tawa menghiasi dirinya saat ini. Para pejalan kaki yang melewatinya pun tampak menatapnya heran, bahkan ada yang membuat jarak jauh karena takut dengan sosok pria aneh itu.

Beberapa saat kemudian, pria itu bangkit dari duduknya. Ia kembali melangkahkan kakinya yang terbalut sepatu kets berwarna senada dengan pakaiannya yang serba hitam. Di bawah malam yang bertabur bintang, pria itu berdiri di seberang kedai yang bertulis Mr. Sun. Tempat yang selalu menjadi titik tunggunya untuk mengawasi seseorang.

Pria itu merogoh saku celananya, mengambil sebatang rokok yang tampak lembab karena basah oleh air hujan yang mengguyurnya beberapa saat lalu.

"Aish! Sial," umpat pria itu sembari melemparkan rokok satu-satunya yang tersisa itu ke jalanan. Helaan napas kasar pun terdengar darinya, sebelum kemudian ia melangkah maju ke depan, menyeberangi jalanan yang mulai sepi karena waktu sudah menunjuk angkat 21.45 WIB.

Kaki pria itu berhenti sejenak di halaman kedai Mr. Sun, manik matanya menyorot penuh kebencian pada sosok Elang yang tampak sedang berbincang dengan karyawan lainnya di kedai itu.

"Seharusnya dia mendekam di penjara," lirih pria itu, yang kemudian melangkah pergi saat Elang menatap ke luar jendela kedai.

***

Aku menghela napasku sambil menatap kantong plastik berisi mie instan yang aku beli di minimarket samping kedai tempatku bekerja.

Setelah kematian Winda dua minggu yang lalu, aku lebih suka menghabiskan beberapa mie instan sambil memikirkan jalan keluar dari tuduhanku yang masih belum terselesaikan. Walaupun, Aron sudah membantuku membuat alibi dan aku telah keluar dari daftar tersangka. Namun, masih banyak orang yang mengira kalau akulah yang membunuh Winda. Aku meringis mengingat asumsi publik yang begitu kejam padaku.

Kreak

Aku berhenti melangkah. Saat itu aku langsung menatap ke bawah kakiku, memastikan apakah aku yang membuat bunyi di tengah malam yang mulai larut ini. Tapi, nihil, tak ada benda apa pun yang aku injak. Saat itulah, kepalaku perlahan menoleh ke belakang, dan ... tiba-tiba seorang pria berpakaian serba hitam menyerangku, membuatku jatuh terpelanting ke belakang.

Erangan tertahan keluar dari bibirku saat aku merasakan perih karena kulitku yang dengan sangat sempurna mencium jalan berlubang di gang sempit ini.

Sosok pria yang menyerangku itu terlihat hendak kembali melemparkan serangannya, tapi karena gerakannya yang tampak lambat di mataku, membuatku dengan mudah mengelak dan melakukan serangan balik padanya.

Karena terlampau kesal, aku memukuli pria yang menggunakan masker kain hitam itu dengan brutal sampai aku melihatnya terkulai tak berdaya.

Tanganku dengan cepat menanggalkan masker itu dari wajahnya, saat itulah aku melihat wajah yang tak asing di mataku. Ya, aku mengenali sosok pria yang tiba-tiba menyerangku itu.

"Ternyata kamu yang selama ini teror aku?!" tanyaku, penuh amarah.

Willy, pria itu diam tak menjawab. Darah segar tampak mengalir dari hidungnya, bibirnya pun tampak robek sedikit. Sepertinya aku terlalu kasar memukuli bocah yang masih mengenyam bangku SMA ini.

Aku menghela napasku berat, lalu bangkit dari atas tubuhnya. "Bangun," suruhku padanya.

"Bangun dan jawab pertanyaan aku, apa benar kamu yang teror aku selama ini?" tanyaku, masih di selimuti amarah yang meluap.

Willy tampak tak bergerak sedikit pun, pria itu masih dalam posisinya, baring telentang di depanku dengan luka lebamnya karena pukulanku yang terlalu brutal padanya.

"Kalau 'iya', memangnya kenapa?" Ia bersuara. Pria yang merupakan teman sekelas Winda itu kemudian bergerak mengubah posisinya, ia duduk dengan kaki yang masih lurus ke depan.

Aku mendesis, mengepalkan tanganku kuat. Kalau saja aku tidak memiliki rasa kasihan padanya, pasti tinjuku sudah kembali melayang di wajah kusutnya itu.

"Kenapa? Kamu tanya kenapa?! Seharusnya aku yang tanya seperti itu sama kamu!" tukasku, masih diselimuti emosi, sampai membuatku mengembuskan napas kasar. Kemudian, berkata padanya, "Kamu 'kan yang hamili Winda?"

Pria itu diam tak menjawab, membuatku semakin ingin memancing emosinya. "Ah, apa alasanmu menerorku ini karena kamu pikir aku yang bunuh dia? Kalau begitu, aku akan jawab ...." Aku menyeringai sesaat, menatapnya penuh ketidaksukaan. "Kalau 'iya, memangnya kenapa?" ucapku yang mengikuti caranya menjawab pertanyaanku tadi.

Saat itulah aku melihat raut wajah Willy seketika berubah penuh emosi. Aku menatapnya, melihat gerakannya yang tampak ingin menyerangku kembali. Namun, pria itu gagal memukulku, karena untuk berdiri saja ia terlihat kesulitan.

Aku tersenyum miring memandangnya. "Dasar lemah," cibirku yang kemudian melangkah pergi meninggalkan pria muda itu.

***

Aku berdiri di depan sebuah rumah yang sudah lama tak aku kunjungi. Sebenarnya, aku tidak berniat mengunjungi rumah yang meninggalkan banyak kenangan buruk dalam benakku ini. Tapi, karena si Willy sialan itu, entah kenapa kakiku melangkah sampai di sini. Padahal malam sudah sangat larut. Jam di ponselku pun sudah menunjukkan pukul sebelas malam lebih.

Melihat lampu ruang tamu yang masih menyala. Kakiku dengan sendirinya melangkah maju ke depan. Apa aku sungguh berniat untuk datang menemui dua orang paruh baya itu? Aku pasti sudah gila. Namun, tubuh dan hatiku benar-benar tidak selaras untuk saat ini. Aku terus melangkah sampai aku melihat lampu ruang tamu itu padam. Kakiku berhenti tepat saat menginjak teras rumah ini.

Aku berdiam diri sejenak. Apa Wirabrata atau Rika melihatku sehingga mereka langsung mematikan lampu saat tahu aku sudah menginjak teras rumah mereka? Jika benar begitu, bukankah mereka sungguh keterlaluan?

Aku menghela napas panjang, menatap pintu rumah itu cukup lama. Padahal niatku 'kan baik. Aku hanya ingin mengunjungi mereka dan berharap bisa melipur lara mereka atas meninggalnya Winda, tetapi melihat tingkah mereka yang tiba-tiba mematikan lampu saat aku hampir berada di dekat pintu rumah benar-benar membuatku merasa menyesal telah datang ke rumah ini.

Setelah berdiam diri cukup lama, aku melangkah meninggalkan teras rumah ini. Baiklah, jika ini kemauan kalian, aku tidak akan pernah lagi datang ke rumah ini.

Brak

Aku mendengar sesuatu dibanting dengan keras. Kakiku seketika itu berhenti melangkah. Apa aku sedang berhalusinasi karena belum lama tadi berkelahi dengan Willy? Tapi, tadi itu benar-benar seperti suara benda yang dibanting keras, dan suara itu berasal dari dalam rumah mantan orang tua angkatku.

Aku menoleh sedikit, menatap rumah itu sejenak. Tapi, kemudian kepalaku menggeleng pelan. Lupakan saja, mungkin itu Wirabrata yang kehilangan kacamatanya, lalu tidak sengaja menabrak pot bunga milik Rika. Bisa saja begitu, 'kan? Lagi pula kalaupun aku memaksa masuk, yang aku dapat pasti hanya tatapan sinis dari mereka, atau bahkan cacian dan juga pukulan. Jadi, lebih baik aku pergi dan membuang jauh rasa penasaranku ini.

***

Pagi itu, kamar Elang tiba-tiba didobrak keras oleh seorang pria. Elang yang dipaksa agun dari alam mimpinya tampak terkejut melihat pria beratribut kepolisian masuk ke dalam kamarnya.

"Ada apa ini?" tanya Elang, dia menatap mereka bingung.

Seorang pria berpangkat IPDA maju ke depan, sebuah borgol tampak ia keluarkan dari saku celana.

"Saudara Elang Orlando, Anda ditangkap sebagai tersangka kasus pembunuhan Willy Wijaya, Wirabrata, Rika Andini, dan Winda Wirabrata. Anda akan dibawa ke kantor polisi untuk proses penyidikan," ujar pria itu sembari memborgol kedua tangan Elang. Setelah itu, ia tampak menatap Elang tajam. "Manusia jahanam sepertimu harus kami hukum dengan benar," lanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro