Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teror Dalam Kardus

Aku membuka mataku perlahan. Cahaya redup menusuk retinaku kuat. Aku mengerjap beberapa saat sampai kemudian mataku terbiasa dengan cahaya sekitar.

Tempat ini, rasanya tidak asing bagiku. Aku melihat dinding di sekitarku lembab, suara tetesan air terdengar dari atap ruangan. Aku bergerak, tapi kemudian sadar kalau tubuhku terikat kencang pada sebuah kursi kayu.

Sinar lain tiba-tiba menyorotku, aku memicingkan mata silau, kemudian menatap titik merah yang berkedip-kedip pada sebuah kamera yang terpasang beberapa meter di depanku, yang menandakan bahwa aku sedang berada dalam siaran langsung.

‘Siaran langsung?
 
Kelopak mataku seketika terbuka lebar. Aku tahu sekarang di mana diriku berada. Tubuhku pun seketika bergerak gusar, mencoba melepaskan diri dari ikatan tali yang sialnya terikat sangat kuat. Aku ingin berteriak, tapi tidak, aku mengurungkan niatku untuk bersuara. Karena, aku tahu, suara melengking pun tak akan pernah bisa membuatku selamat.

Ruangan ini seperti sebuah penjara bawah tanah. Pengap, lembab, dan aku yakin pastilah kedap suara. Karena aku ingat dengan jelas bagaimana pria dalam siaran langsung yang aku tonton malam itu melengking sangat kuat. Namun, seolah tak ada yang mendengarkan jeritannya. Yang mendengarnya hanyalah para penonton siaran langsung itu, dan aku yakin mereka bukannya kasihan tapi malah tertawa kegirangan.

Lalu sekarang. Aku lah yang menjadi pria itu, pria yang terikat dalam kursi kayu, pria yang menjadi tontonan para monster berdarah dingin. Psikopat. Apa yang mereka mau dariku? Bagaimana aku bisa ada di sini? Sial.

Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar. Saat itu juga jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mengalir deras dari celah pori-poriku yang seakan terbuka lebar. Hatiku mendesah cemas. Aku diselimuti oleh rasa takut yang meletupi benakku. Bahkan rasanya aliran darahku terasa dingin, membuat tubuhku gemetar dan bibirku terasa kering, memucat. 

Tap.

Langkah kaki itu berhenti. Tepat di hadapanku. Aku tak berani mendongak, hanya fokus menatap ke depan, walau sebenarnya mataku melirik pada pisau tajam yang seolah tengah menyeringai padaku.

“Siapa pun boleh masuk ke dalam situsku, tapi tidak satu pun anggota yang sudah masuk diizinkan keluar, jika ada anggota yang keluar, maka dia akan mati,” kata pria di hadapanku itu.

Tubuhku seketika membeku, sadar kalau kalimat itu terasa sangat familier dalam benakku. Sebuah kalimat yang aku baca pada aturan situs itu. Astaga, aku pikir itu hanya sebuah lelucon. Aku memang bodoh, tidak seharusnya menganggap semua yang ada di dunia ini adalah lelucon menyedihkan.

Pada akhirnya, pisau dalam genggaman pria itu mulai mengayun di udara. Seketika itu, aku menutup mataku rapat, pasrah dengan apa yang akan terjadi padaku. Sampai kemudian aku merasakan sesuatu yang tajam menembus dadaku, tepat di bagian ulu hatiku berada.

Jeritanku pun terlontar, meski sudah sekuat tenaga aku mencoba menahan diri untuk tidak membuat suara agar para monster yang menontonku merasa kecewa. Namun, rasa sakit ini benar-benar sulit untuk dibungkam.

Aku tak kuasa, napasku melemah, seakan sebuah mesin vakum menyedot habis seluruh udara. Dunia pun terasa berputar, membuatku kehilangan arah dan terjatuh. Aku mengerang, merasakan sakit pada sebagian tubuhku. Kemudian, mataku seketika terbuka dan aku sadar kalau tubuhku baru saja jatuh dari atas tempat tidur.

Perlahan, aku bangkit dan berdiri tegak, lalu menatap seluruh tempatku berpijak. Ini kamar kosku. Jadi, tadi itu hanya mimpi?

Aku mengembuskan napas berat. Kemudian duduk di pinggir kasur sambil mengusap wajahku kasar. Astaga. Setelah aku berpikir bahwa aku akan mati dalam ketakutan. Tapi ternyata semua itu hanya mimpi. Apa semua ini lelucon? Kakiku bahkan masih terasa lemas mengingat semua kepingan kejadian itu. Tadi itu sungguh seperti sesuatu yang nyata. Aku bahkan masih ingat dengan jelas bagaimana rasa sakit dari pisau yang menusuk dadaku. Apalagi saat seluruh oksigen seolah hilang dari jangkauan hidungku. Sesak dan tak berdaya.

“Sial,” umpatku sambil menghela napas berat.

Tepat saat itu tiba-tiba terdengar sebuah ketukan pintu dari luar kamar kosku. Aku memicingkan mata sembari menatap ke arah pintu itu. Lalu, tatapanku beralih pada jam dinding yang terpasang di atas tempat tidur. Waktu menunjukkan pukul 06.01 WIB. Sudah pagi ternyata. Tapi, siapa yang pagi buta seperti ini sudah datang ke kamar kosku? Apa dia istri pertamanya Pak Handoko?

Aku pun beranjak menuju pintu tersebut. Kemudian, memutar kunci yang menggantung di sana. Lalu, pintu itu aku buka untuk melihat siapa yang pagi-pagi seperti ini sudah mendatangiku.

Namun, anehnya saat aku membuka pintu itu, aku tidak mendapati seorang pun di sana. Hal itu membuatku mengernyit heran sambil mengamati keadaan sekitar yang ternyata masih sepi dan senyap.

“Apa aku salah dengar?” gumamku sembari menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.

Setelah itu, aku berniat menutup pintu kosku kembali. Tapi, tanpa sengaja aku melihat sebuah kotak kardus seperti paket tergeletak di depan pintu. Aku menatap kardus kecil itu bingung. Lalu, kembali mengamati sekitar, apa tadi sungguh ada orang yang mengetuk pintu kosku? Aku menghela napasku panjang, kemudian mengambil kotak kardus itu dan membawanya masuk dan menutup pintu itu kembali.

Entah siapa yang mengirimiku paket ini, tapi namaku sungguh tertulis di sana. Elang Orlando. Aku mengamati kardus itu sesaat, sebelum akhirnya mulai membuka kardus itu cepat. Aku penasaran apa isi dari paket misterius itu. Sampai kemudian aku merasa menyesal telah membukanya. Aku terhenyak, bahkan sampai jatuh terduduk di lantai dan melemparkan kotak kardus itu dari tanganku. Sial. Paket itu ternyata berisi tikus yang sudah mati. Dan yang lebih mengerikannya lagi, ada sepotong jari yang terbuat dari kulit sintetis berada dalam pelukan tikus yang sudah kaku itu. Pikiranku seketika itu kacau. Apa seseorang sedang mengerjaiku atau ... ini sebuah teror?

Tak lama kemudian, aku mendengar pintu kamar kosku kembali diketuk oleh seseorang. Aku yang saat itu masih terduduk di lantai pun dapat melihat bayangan seseorang yang tengah berdiri di depan pintu kos. Aku mendengus kesal. Jadi, seseorang benar-benar sedang mengerjaiku.

Aku pun bergegas bangkit dan membuka pintu kos cepat. Tapi, ternyata yang berdiri di depan pintu kosku adalah Winda.

“Winda?”

“Kak Elang, aku ....”

“Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?” Aku menyela cepat.

“Kemarin malam aku ... ngikutin Kakak,” lirihnya.

“Kamu itu beneran udah ‘gak waras, ya,” cibirku, kesal.

Winda seketika diam, seperti biasa dia menundukkan kepalanya, tak pernah berani menatap mataku yang selalu menyorotnya tajam.

“Pergi,” usirku, yang membuat perempuan itu langsung mendongakkan kepalanya.

Winda menatapku dengan raut wajah andalannya. Sebuah tatap yang selalu berhasil membuatku ingin muntah di hadapannya.

“Tapi aku kangen sama Kakak,” ucapnya.

Aku menghela napas berat. “Winda, plis, jangan bikin aku kesel pagi-pagi,” tukasku.

Winda menggelengkan kepalanya. “Kakak pulang, ya? Aku ‘gak tega lihat Kakak tinggal di ....” Perkataan Winda tiba-tiba terhenti. Manik matanya tampak terpaku pada sesuatu yang seketika membuatnya terdiam.

Aku mengikuti arah pandang Winda yang ternyata mengarah pada kotak kardus yang masih terbengkalai di lantai. Tak ingin Winda tahu, aku pun dengan cepat menarik lengan perempuan itu dan membawanya menjauh dari kamar kosku usai menutup pintu kos itu rapat.

Setelah merasa cukup jauh, aku melepaskan lengan Winda. Kulihat Winda masih tercenung. Dia diam sampai kemudian menatapku lekat.

“Tadi itu ... yang di dalam kotak ....”

“Bukan apa-apa,” selaku. “Kamu lebih baik pergi sekarang juga,” suruhku.

Winda kembali diam sambil menatapku lekat. Sampai beberapa saat kemudian, akhirnya ia bersuara.

“Besok aku datang lagi,” ucapnya, yang kemudian memberiku sebuah kotak makanan. “Ini makanan untuk Kakak,” lanjut Winda. Setelah itu, dia berlalu pergi dari hadapanku.

Aku menatap perempuan itu semakin menjauh dariku, lalu tatapanku beralih pada kotak makan berwarna merah muda yang aku tahu kalau kotak makan itu pasti disiapkan oleh istri Wirabrata untuk anak kesayangannya, Winda. Tapi, Winda dengan bodohnya malah memberikannya padaku. Aku tersenyum miris.

***

Kedai baru saja sepi setelah beberapa saat lalu dipenuhi oleh pembeli yang cukup membuatku dan seorang karyawan lainnya merasa kewalahan.

“Selamat datang,” sambut Kak Anis, seorang karyawan tetap yang sudah bekerja selama empat tahun di kedai ini. Perempuan yang lebih tua dua tahun dariku itu adalah tipe wanita ideal menurutku. Sikapnya yang hangat dan ramah terkadang membuatku sering kali merasa salah tingkah saat diajaknya bicara.

“Elang,” panggil Kak Anis.

Aku yang saat itu sedang mengelap meja pun langsung bergegas menghampirinya.

“Iya, Kak?” tanyaku.

“Itu, customer barusan, tolong kamu layani dulu, ya. Aku mau ke toilet bentar,” katanya.

“Oh, iya, Kak,” ucapku.

“Makasih, ya,” kata Kak Anis sambil tersenyum, lalu memberikan buku catatan kecil serta penanya padaku. “Ini,” ujarnya. Setelah itu, dia berjalan cepat menuju toilet.

Aku mengulas senyum tipis melihat tingkah Kak Anis. Kemudian, aku pun berjalan mendekati seorang pria yang belum lama tadi masuk ke dalam kedai ini.

“Siang, Kak. Mau pesan apa?” tanyaku.

Pria yang ternyata mengenakan masker dan topi hitam itu hanya diam tak menjawab. Tapi kemudian tangannya bergerak meraih buku kecil dan pena yang aku pegang. Aku mengerutkan kening heran, menatapnya yang tampak menulis sesuatu di atas buku pesanan. Setelah selesai menulis, pria itu kemudian mengembalikan buku itu padaku, beserta pena yang langsung ia sematkan pada telapak tanganku.

Aku memandang pria itu sekilas, lalu beralih menatap buku yang sudah tergores oleh tinta hitam hasil tulisan tangan pria itu. Kuakui, tulisan tangannya sangat mengagumkan, seperti seorang seniman yang sedang mengukir tinta di atas kanvas. Indah.

Namun, tak lama kemudian pupilku melebar saat aku membaca deretan kalimat yang dia coret samar. ‘Aku ingin dua bola matamu’. Jakunku pun seketika itu bergerak, aku menelan ludahku sendiri, lalu melirik pria misterius itu penuh rasa takut dan cemas. Masalahnya, kalimat yang dia tulis mengingatkanku pada sosok ‘klien’ dalam siaran langsung yang tak sengaja aku tonton semalam. 

“Elang.” Suara Kak Anis seperti penyelamat bagiku. Seketika itu aku langsung menoleh padanya. Kulihat Kak Anis berjalan mendekatiku, tangan wanita itu menepuk bahuku sekilas, lalu ia meraih buku kecil dan pena miliknya dari tanganku.

“Sudah kamu catat pesanannya?” tanya Kak Anis.

Aku mengangguk menanggapinya. Kemudian, Kak Anis melihat buku kecil yang dia pegang. Aku mengamati Kak Anis cemas, takut kalau dia terkejut membaca tulisan yang dicoret samar itu. Sampai akhirnya aku melihat mata Kak Anis tampak mengernyit heran menatap tulisan di atas buku kecil tersebut.

“Ini ....”

“Aku yang menulisnya,” ucapku, menyela cepat, tak ingin membuat Kak Anis merasakan apa yang aku rasakan saat ini, takut.

Kak Anis kemudian tersenyum padaku. Lalu, ia menepuk lenganku pelan. “Kamu istirahat dulu gih,” suruh Kak Anis.

Aku diam untuk beberapa saat, sampai kemudian sudut mataku tanpa sengaja bertemu dengan iris mata pria misterius itu. Detik itu juga aku langsung menatap ke arah Kak Anis sambil mengangguk singkat.

“Iya, Kak,” jawabku kilat. “Permisi,” pamitku pada Kak Anis.

Kemudian aku berjalan cepat, pergi meninggalkan bangku paling pojok di kedai Mr. Sun itu. Aku berharap kakiku ini bisa melangkah sejauh mungkin dari sosok pria misterius yang membuat perasaanku menjadi gelisah, karena teringat kembali dengan situs aneh itu.

Day 4 — TDWC GENRE HMT
PROJECT LYRAE
Senin, 22 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro