Seorang Teman
Aku menutup pintu ruangan dosen, lalu menatap ruangan itu sejenak, berada di dalam sana selama hampir satu jam cukup membuat kepalaku terasa menguap. Tahun ini sepertinya menjadi tahun terburuk bagiku, sialnya aku mendapatkan dosen pembimbing yang terlalu jeli dalam memeriksa proposal mahasiswanya. Aku mengembuskan napas pelan sambil menatap proposal skripsiku yang tampak penuh dengan coretan tinta merah. Malam ini sepertinya tidak ada waktu tidur untukku.
Aku mendengus kesal, kemudian melangkahkan kakiku untuk berjalan menuju kelas mata kuliah selanjutnya. Namun, sepertinya nasib sialku belum berkesudahan. Saat aku berbelok, entah sengaja atau tidak, seorang pria berkacamata kotak menabrakku cukup keras, bahkan sampai membuat laptop yang aku pegang bersama berkas proposalku jatuh mulus ke lantai.
Sejenak aku terdiam. Terpaku pada laptopku yang tergeletak tak berdaya di atas lantai. Aku menatap pria yang menabrakku itu kesal, lalu meraih laptopku dan membukanya kasar. Aku mengembuskan napas berat saat kulihat LCD laptop itu benar-benar rusak total, bahkan ada beberapa tombol keyboard yang terlepas dari tempatnya.
“Kayaknya rusak deh,” ucap pria berkacamata kotak itu, menilai laptopku yang tampak retak seribu.
Aku menghela napasku kasar, kemudian bangkit setelah meraih proposal skripsiku.
“Maaf, gue tadi buru-buru, jadi nggak sengaja nabrak lo,” ujar pria itu.
Aku diam mengamatinya, mengamati penampilannya yang terlihat rapi dan bersih. Dia barusan meminta maaf bukan? Tapi, dari sisi manapun aku menatapnya, aku sama sekali tidak melihat ada raut penyesalan di wajahnya. Pria di depanku ini terlihat angkuh dan penuh dengan rasa percaya dirinya. Dapat aku tebak, dia tipe orang yang selalu merasa benar dalam setiap langkahnya. Tipe manusia yang paling aku benci di dunia ini.
“Nama gue Aron, mahasiswa semester tujuh jurusan psikologi. Siapa nama lo? Gue bakal ganti rugi laptop lo yang rusak itu,” katanya sambil mengulurkan tangannya padaku. Cih, mencoba bersikap ramah padaku?
Aku masih diam, mengamatinya dalam keheningan. Tapi, aku yakin sorot mataku tidak dapat membodohinya, apalagi dia jurusan psikologi, ‘kan? Dia pasti tahu kalau aku sedang marah padanya.
Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Aron itu kemudian menarik uluran tangannya kembali. Aku sama sekali tidak berniat menerima uluran tangan itu sampai kapan pun. Dia pikir aku suka berkenalan dengannya?
“Kayaknya gue buat lo kesel, ya?” ucapnya. Pria itu terlihat membenarkan letak kacamatanya, lalu kembali menatapku lekat. “Gue beneran minta maaf, tadi itu ....”
“Lupain aja,” selaku.
Aku kemudian memilih berlalu dari hadapan pria itu. Namun, tiba-tiba dia melangkah cepat dan dengan sengaja menghalangi jalanku.
“Gue beneran janji bakal ganti rugi laptop lo yang rusak itu,” ujar pria bernama Aron itu.
Aku memaksakan senyumku padanya. “Enggak perlu, makasih,” tukasku, yang kemudian melangkah melewatinya.
***
“Kamu lagi ngelamunin apa, Lang?” tanya Kak Anis saat melihatku diam melamun di meja kasir.
Aku yang tersadar dari lamunan pun langsung menatap ke arah perempuan itu. Kak Anis terlihat sudah mengganti pakaiannya, bahkan tas selempangnya pun tampak menyampir sempurna di bahunya.
“Mau pulang, Kak?” tanyaku.
Kak Anis menganggukkan kepalanya sambil tersenyum padaku. “Kamu enggak masalah ‘kan jaga kedai sendirian?” tanyanya.
“Enggak masalah kok, Kak,” kataku.
“Makasih, ya, Lang,” ucap Kak Anis.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Aku pulang dulu,” ujarnya.
“Iya, Kak, hati-hati. Salam untuk ibunya Kak Anis, semoga cepet sembuh,” cakapmu.
“Siap,” jawabnya sembari tersenyum lebar sampai aku bisa melihat deretan giginya yang tersusun rapi dan putih.
Kak Anis kemudian melangkah pergi. Namun, belum lama dia menghilang dari balik pintu, tiba-tiba perempuan itu muncul kembali. Aku mengerutkan keningku heran.
“Ada yang ketinggalan, Kak?” tanyaku.
“Aku lupa kasih kamu kunci kedai,” ucapnya sambil memberikan tiga buah kunci yang diikat dalam satu gantungan berbentuk bulat.
Aku pun mengambil kunci itu, lalu menyimpannya ke dalam laci yang biasa digunakan untuk menyimpan uang.
“Ya udah, aku pergi, ya,” kata Kak Anis.
“Iya, Kak,” ucapku.
Kak Anis kembali melemparkan senyumnya, setelah itu ia melangkah mendekati pintu kedai. Namun, saat perempuan itu hendak menarik pintunya, terlihat seorang pria sudah lebih dulu membuka pintu kedai itu dari luar.
“Selamat datang,” sapa Kak Anis, ia kemudian menoleh padaku, memberiku kode untuk melayani pembeli itu.
Aku mengangguk menanggapi Kak Anis, setelah itu barulah Kak Anis pergi keluar dari kedai Mr. Sun.
Iris mataku menatap sosok pria yang masih berdiri di ambang pintu kedai. Pria berkacamata kotak itu memandangiku sesaat sebelum kemudian ia berjalan mendekatiku.
“Mau pesan apa?” tanyaku, berpura-pura tidak mengenalnya.
“Ini laptop baru buat lo,” katanya. “Maaf soal yang tadi siang,” lanjutnya.
Aku diam memperhatikannya yang terlihat menyodorkan sebuah kotak kardus berisi laptop ke arahku.
“Bukannya aku udah bilang kalau aku gak butuh ganti rugi dari kamu?” kataku.
“Iya, gue tahu. Tapi, tetap aja gue harus ganti rugi, soalnya ‘gimanapun juga laptop lo rusak gara-gara gue. Jadi, lo terima, ya?” katanya, terdengar memaksa.
“Enggak, makasih,” tolakku.
Pria itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Sumpah, ya. Lo itu keras kepala banget jadi orang. Gue niatnya baik lho.”
Aku menghela napasku pelan, lalu menatap jam dinding yang melekat di depan kedai. Jarum panjang jam itu sudah bergerak di tengah-tengah angka sembilan dan sepuluh. Mungkin lebih baik aku segera menutup kedai ini daripada meladeni pria berkacamata kotak itu.
“Maaf, kalau enggak mau pesen apa-apa, silakan keluar, saya mau tutup kedai ini,” ujarku.
Pria itu terlihat menghela napasnya. “Plis, jangan bikin gue susah,” katanya kemudian.
Aku hanya diam menatapnya, tanpa ada minat menjawab keluh kesahnya itu.
“Kalau lo gak mau nerima laptop ini, gue bisa kena marah bokap gue, dan mungkin gue bakal jadi gelandangan malam ini. Jadi, tolong lo terima laptop ini, ya?”
“Apa hubungannya laptop ini sama orang tua kamu? Seharusnya orang tua kamu bersyukur karena aku gak minta ganti rugi sama kamu,” uraiku.
Pria bernama Aron itu menghela napasnya, lalu menggaruk telinganya sekilas.
“Lo enggak paham ‘gimana aturan keluarga gue. Di manapun gue berada, gue harus jaga nama baik keluarga gue,” tukasnya.
“Aku enggak paham karena aku bukan kamu,” balasku. “Lagian aku juga enggak tanya tentang aturan keluargamu itu."
Aron tampak terkekeh miris. “Ya, lo bener, orang lain selama ini mikir hidup gue itu enak. Tiap kali gue keliatan ngeluh, mereka cuma bisa ngatain kalau gue gak bisa bersyukur. Miris, ‘kan?” katanya, terdengar seperti curhatan bagiku.
“Gue barusan nggak lagi curhat, ya,” timpal Aron. Pria itu sepertinya benar-benar bisa membaca isi pikiran orang lain.
Aku menghela napas pelan. “Oke, aku terima laptop itu,” kataku.
Kemudian, aku melihat Aron melemparkan senyumnya padaku. “Makasih,” ucapnya.
Aku mengangguk pelan.
“Oh, ya. Gue pesen es americano, dua,” katanya sambil menunjukkan dua jarinya padaku.
“Dua?”
“Satu buat gue, satu lagi buat lo. Gue pikir nggak ada salahnya kita ngobrol dikit, lagian biasanya kedai ini juga tutupnya malem. Kalau nggak salah jam sepuluhan, iya, ‘kan?”
Aku menatapnya sejenak, lalu kemudian mencatat menu yang dia pesan itu.
“Silakan duduk, dan tunggu sebentar,” ucapku, layaknya seorang penjual pada pembeli.
Aron mengangguk, pria itu kemudian duduk pada salah satu kursi yang paling dekat dengan meja kasir.
Beberapa saat kemudian, aku mendatangi pria itu sambil menyerahkan dua cup besar es kopi pesanannya. Setelah itu, aku langsung melenggang pergi meninggalkannya, kembali menuju meja kasir.
“Ini satunya buat lo,” ujar Aron.
Aku diam tak menanggapinya, tanganku sibuk membersihkan meja dekat mesin pembuat kopi. Abaikan saja dia, lagian ini bukan kali pertamanya aku bersikap tidak peduli pada orang lain.
“Lo itu dingin banget ya ternyata,” kata Aron. “Gue aja yang banyak omong kayak ‘gini nggak punya banyak teman, apalagi lo,” imbuhnya, entah itu sindiran atau sejenisnya, intinya aku sedikit merasa tersinggung.
Aku meletakkan gelas yang baru saja aku lap bersih. Kemudian menatap ke arah Aron yang terlihat meminum es americano-nya.
“Aku yang bayar,” ucapku.
Aron langsung menatap ke arahku dengan keningnya yang berkerut, bingung.
“Aku yang bayar dua minuman itu,” ulangku.
“Lo traktir gue?”
“Anggep aja sebagai tanda terima kasihku karena udah mau ganti rugi laptopku yang rusak.”
“Oh, gue pikir sebagai tanda lo mau jadi teman gue,” katanya.
Aku yang tengah melepas celemekku pun menatapnya kembali dan berkata, “Enggak tertarik,” balasku.
Aron terkekeh. “Tapi gue tertarik,” ucapnya.
Aku kembali diam tak menanggapinya.
“Gue bakal sering dateng ke sini,” kata Aron.
“Biar dapet minuman gratis dariku?” terkaku sambil meraih kunci kedai yang tadi aku simpan di laci meja kasir.
“Selera humor lo bagus juga, ya,” katanya sambil tertawa lepas. Aku hanya menatap pria itu sekilas, lalu mengunci laci meja kasir.
“Mending kamu bawa pulang kopinya, aku mau tutup kedai ini,” kataku, lalu menatap ke arah jam dinding yang ada di depan kedai. “Sudah jam sepuluh,” ujarku pada Aron yang terlihat mengikuti arah pandangku sembari menyedot es kopinya itu.
Aron kemudian bangkit, dia berdiri sejajar denganku. Kenyataan pahitnya, pria itu ternyata lebih tinggi beberapa jengkal dariku.
“Ini, lo minum juga, gue nggak mungkin minum semuanya,” kata Aron sambil menyematkan es kopi satunya ke tanganku.
Aku diam sambil menatap cup besar es kopi yang ada di tanganku. Sejujurnya aku ingin menolak tawaran pria itu, tapi sejauh yang aku lihat, semakin aku menolak, semakin Aron mendesakku untuk menurutinya. Sifatnya itu mengingatkanku pada Winda. Hampir sebelas dua belas dengan sikap egois dan keras kepala perempuan tidak waras itu.
Helaan napasku pun terdengar. Pada akhirnya, aku duduk di hadapan Aron. Kemudian, membuka penutup cup es kopi itu dan menegaknya sampai habis.
“Pencernaan lo bakalan bermasalah kalau lo minum kopi kayak ‘gitu,” nasihatnya. Tapi, seperti biasa, aku diam tak menghiraukannya. Kemudian, aku bangkit dari dudukku dan menatap Aron datar.
Aron terlihat menggaruk kepalanya sambil terkekeh pelan. “Iya, oke, gue pergi,” ucapnya.
Setelah itu, Aron keluar dari dalam kedai. Tapi, sebelum keluar Aron berkata, “Besok kita ketemu lagi ya, Teman.”
Aku menghela napas panjang. Lalu, mulai mematikan semua lampu dan mengunci kedai.
***
“Elang,” panggil seorang wanita paruh baya saat aku baru saja masuk ke dalam halaman kos.
Aku menoleh, menatap Bu Anjani yang merupakan ibu kosku dan istri pertama dari Pak Handoko, si pemilik kosan yang sedang berlibur dengan istrinya yang lain. Aku tidak mungkin lupa dengan fakta menggelikan itu.
“Iya, Buk? Ada apa, ya?”
Bu Anjani terlihat menatapku sejenak, lalu pandangannya terfokus pada kardus berisi laptop yang aku bawa.
“Laptop baru, ya? Masih ada segelnya ‘gitu,” tebaknya.
Aku tersenyum canggung, lalu menjawab, “Iya, Buk.”
“Mahal tuh kayaknya,” cakap Bu Anjani.
Aku kembali mengulas senyum canggungku, tak tahu harus menanggapinya apa.
“Oh, iya, ini tadi ada yang titip makanan buat kamu,” ujar Bu Anjani sambil menyodorkan kantong plastik putih berisi kotak makan yang tak kutahu apa isinya.
“Dari siapa, Buk?” tanyaku, kemudian meraih kantong plastik itu walaupun ragu.
“Nah itu, tadi saya lupa tanya namanya. Pokoknya dia perempuan, masih SMA, soalnya tadi ke sini masih pakai seragam SMA-nya,” jelas Bu Anjani. Dari penjelasannya itu aku tahu kalau yang datang adalah Winda.
“Kapan dia ada di sini, Buk?” tanyaku.
“Pas magrib tadi sih kayaknya. Tadi dia berdiri di depan pintu kamar kos kamu, dari magrib sampai sekitar jam delapanan. Terus ada anak kos yang lapor ke saya, jadi saya samperin, ternyata dia nungguin kamu,” papar Bu Anjani. “Kamu juga kenapa jam segini baru pulang? Ada kegiatan di kampus?”
“Enggak, Buk. Saya punya kerjaan paruh waktu setelah kuliah,” jawabku.
“Oh, kirain ke mana. Ya sudah, kamu istirahat sana. Jangan lupa di makan makanannya,” kata Bu Anjani. Setelah itu, dia pergi dari hadapanku.
Aku menatap kantong plastik itu sejenak, kemudian menghela napas pelan. Winda, apa dia tidak bosan menggangguku terus?
***
Selesai mandi, aku merebahkan tubuhku yang terasa penat di atas kasur. Seperti biasanya aku menatap langit-langit kamar, pikiranku mengawang jauh menembus atap rumah kosan. Kemudian, aku teringat dengan laptop baru yang Aron berikan.
Aku pun bangkit dari kasurku, lalu melangkah mendekati meja. Saat berjalan, kakiku tak sengaja tersandung kotak sampah kecil yang aku sediakan untuk membuang sampah kertas. Namun, saat ini ada sampah plastik berisi makanan yang aku buang di sana. Ya, aku membuang makanan pemberian Winda. Dari makanan yang dia berikan tadi pagi sampai makanan yang dia berikan malam ini. Aku membuang semuanya tanpa kucicipi sedikit pun. Bukannya gengsi, aku hanya tidak bernafsu dengan semua pemberiannya.
Tanganku kemudian menarik kursi kayu di meja itu dan duduk di sana. Lalu, meraih kardus yang masih disegel tanpa cacat itu dan mulai membukanya perlahan.
Mataku tercengang saat melihat laptop yang aku keluarkan dari dalam kardus itu ternyata adalah laptop model baru yang harganya aku yakin menyentuh angka dua puluhan juta rupiah. Apa aku jual saja laptop ini, ya?
Tapi kemudian, aku menggelengkan kepalaku pelan. Tidak. Ini pemberian orang lain, jika aku menjualnya sama saja aku tidak menghargai orang tersebut. Lagi pula, saat ini aku membutuhkan laptop untuk mengerjakan tugas kuliahku, mengingat bahwa komputerku sudah mati dan tak akan pernah aku hidupkan lagi, itu karena ... aku masih takut dengan bayang-bayang situs aneh yang rasanya terus meneror pikiranku belakangan ini. Apalagi laptop lamaku sudah rusak. Jadi, mungkin aku akan menggunakan dengan baik laptop pemberian Aron ini. Aku akui, seharusnya tadi aku tidak perlu bersikeras menolak laptop ini kalau ujung-ujungnya aku memang sangat membutuhkannya. Dasar aku, bodoh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro