Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sebuah Tanda (+)

BAB INI BELUM DI EDITING. JADI, MAAF KALAU MASIH KACAU DAN BERANTAKAN.  SEKIAN, TERIMA KASIH.


Di sepanjang trotoar. Kakiku melangkah tanpa henti. Terik matahari yang menyengat kulit tak mampu menyadarkan aku dari pikiranku yang sedang kalut dalam kekacauan. Aku sudah berusaha memikirkan jalan keluar. Namun, semua berujung pada tempat di mana aku tidak bisa lagi bergerak.

Aku menghela napas pelan, lalu duduk berteduh dari terik matahari yang mulai meninggi. Lamunanku masih panjang. Aku duduk di halte bus yang tak sengaja aku lewati, menipu para sopir bus yang berpikir bahwa aku akan menaiki bus mereka.

Sampai beberapa saat kemudian aku bangkit dari dudukku. Hari sudah beranjak siang, mungkin lebih baik aku datang lebih awal ke kedai Mr. Sun daripada berjalan luntang-lantung tanpa tujuan. Apalagi, sepanjang kakiku melangkah pun kejenuhan tak juga luntur dari pikiranku.

"Elang?" Sebuah suara seketika itu membuatku membeku di tempat. Suara itu hadir bersama bus yang belum lama tadi berhenti di halte ini. Aku yang baru beberapa hasta melangkah pun berhenti dan menoleh ke arah sumber suara itu berasal. Terlihat oleh iris mataku, seorang wanita yang tampak dewasa dan matang berdiri beberapa meter tak jauh dariku.

"Masih ingat aku, 'kan?" tanyanya sambil melempariku senyum ramahnya. Sedangkan aku, aku tentu saja menanggapi senyum ramahnya yang terlihat basi itu dengan raut datarku.

"Maaf, mungkin Mbaknya salah orang," kataku yang kemudian melangkah pergi.

"Ada yang mau aku bicarakan sama kamu," cakap wanita itu, cepat, sebelum kakiku melangkah semakin menjauh darinya. "Ini tentang keluarga kamu," lanjutnya, yang sontak malah membuatku semakin ingin segera pergi dari pandangannya.

"Please, Elang," sergah wanita itu, masih berusaha membujukku. "Kamu bisa kasih aku waktu beberapa menit aja untuk tanya dua hal sama kamu," timpalnya.

Aku menghela napas panjang. Lalu, menghentikan langkahku. Untuk yang kesekian kalinya hati dan pikiranku tidak sejalan lagi. Aku berbalik dan menatap ke arah wanita itu, yang tampak tersenyum sumringah. Senang melihatku akhirnya mau mendengarkan permintaannya.

Wanita yang pernah mengenalkan dirinya sebagai Lisa itu kemudian melangkah mendekatiku. Tepat saat dia berdiri di depanku, tangannya terulur ke arahku.

"Senang bertemu kamu lagi, Elang," katanya.

Aku terdiam beberapa saat memandangi uluran tangan itu. Sampai akhirnya aku menerima uluran tangannya sekilas, lalu melepaskannya setelah wanita itu mengukir senyumnya.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.

"Maaf, kalau mau basa-basi saya enggak punya waktu," cakapku, terkesan dingin dan arogan.

Lisa, wanita yang patut aku panggil 'kakak' itu mengangguk paham. Kemudian, kepalanya tampak memutar ke kanan dan kiri, seperti mencari tempat yang pas untuk kami mulai membicarakan sesuatu yang menurutnya penting.

"Kita ke sana saja, ya." Wanita itu menunjuk ke arah sebuah toko roti yang tak jauh dari halte bus ini.

Tanpa menunggu jawaban dariku, dia melangkah lebih dulu di depan, memijakkan kakinya pada trotoar yang kering kerontang.

"Selamat datang," sapa si pegawai toko roti saat kami berdua melangkah masuk ke dalam. Lisa, wanita itu mengulas senyumnya, lalu mendekati meja kasir untuk memesan roti dan minuman, sebelumnya ia menyuruhku untuk mencari tempat duduk.

Aku memilih kursi bagian paling pojok, dekat jendela dan pot besar berisi tanaman hijau yang tak aku ketahui namanya. Dari jendela itu, aku bisa melihat halte bus tempatku singgah sejenak tadi. Jalanan yang tidak terlalu lamai dan bising menciptakan sedikit ketenangan ketika aku duduk di sini. Tempat ini sepertinya cukup bagus untuk aku menenggelamkan diri dalam lamunan panjang.

"Aku dengar ... kamu dapet hukuman skorsing dari pihak kampus, ya?" Suara itu membuyarkanku dari menatap jalanan di luar jendela toko roti ini. Aku menoleh padanya. Wanita yang selalu mengikat rambutnya asal itu sudah duduk di depanku.

"Ini, diminum," katanya sambil menyodorkan satu cup minuman cokelat dengan bola-bola kecil di dalamnya. "Ini juga, dimakan." Wanita itu kembali menyodorkan sepotong kue cokelat ke arahku.

Aku diam tak menanggapi, hanya memandang kedua makanan dan minuman itu tanpa selera.

"Berapa bulan kamu dapet hukuman skorsing?" Wanita itu kembali bersuara.

"Apa Anda begitu senang mendengarkan kesusahan orang?"

Wanita itu terdiam, ia mengamatiku lekat. "Maaf," ucapnya kemudian.

Aku menghela napas kasar. Tanganku bergerak meraih gelas cup minuman dingin di depanku. Aku menegak minuman itu habis, tanpa tersisa. Anggap saja tenggorokanku seperti sumur kering. Tapi, faktanya dadaku sedang memanas melihat tingkah wanita itu. Jika kata 'maaf' mudah diucapkan, kenapa harus ada hukum di dunia ini?

"Aku tidak akan berbasa-basi lagi," katanya, setelah kami terdiam cukup lama. "Aku akan bertanya dua hal padamu." Wanita itu memandangku sejenak, lalu kemudian membuka tas selempangnya dan mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam sana.

"Tiga foto tangan itu milik kedua orang tua angkatmu dan juga Winda," ujar Lisa, wanita itu.

Aku diam mengamati ketiga foto itu bergantian, sampai beberapa saat kemudian, keningku berkerut, memandangi sebuah tanda yang terasa tak asing di kepalaku.

"Tanda ini ...."

"Ya, ketiganya memiliki tanda yang sama di tangan mereka. Jadi, sekarang kamu paham maksudku, 'kan?"

"Tidak," ucapku, bukan bermaksud menjawab pertanyaan wanita itu, tapi aku terkejut dengan apa yang aku ingat tentang lambang berbentuk lingkaran dan tanda tambah di dalamnya (+).

"Ya?" Lisa tampak bingung menatapku.

Sedangkan, aku seperti orang linglung yang kembali diterjang rasa cemas. Semalam, seorang pria berjas hujan hitam berdiri di depan pintu kosku, dia membawa pisau yang tampak menyapaku dalam kegelapan malam. Kilauan dari pisau tajam itu masih terpatri jelas dalam benakku. Aku bahkan sampai merasa sesak napas dan tak bisa bergerak selama hampir satu jam. Sampai, akhirnya siluet hitam itu menghilang dari pandanganku yang sudah bergetar.

Dan, sekarang ketakutanku bertambah parah saat melihat tanda ketiga anggota keluarga angkatku. Kenapa aku ketakutan? Itu karena tanda ini adalah tanda yang sama seperti tato di lengan kiri pria berjas hitam semalam. Tidak mungkin, pembunuh itu saat ini mengincarku bukan?

Aku meremas rambutku gusar. Tubuhku pun seketika bangkit dari kursi tanpa sadar. Aku panik, seperti orang yang terserang gangguan mental. Kakiku tiba-tiba melangkah keluar toko roti itu, aku berjalan sambil sesekali menoleh ke penjuru arah. Apa aku terserang gangguan kecemasan? Sepertinya begitu. Orang-orang bahkan mulai memandangiku heran.

"Elang," panggilan itu dapat aku dengar dengan jelas. Namun, aku tidak tahu kenapa tubuhku seolah bergerak sendiri tanpa aku perintah. Bahkan, sekarang suara Lisa yang memanggilku tadi berubah menjadi suara bariton yang membuat kepanikanku semakin meledak.

"Awas!" Teriakan itu menjadi akhir dari kegelisahan yang tak dapat aku mengerti. Beberapa saat kemudian, semuanya terlihat gelap.

***

"Kamu sudah sadar?" Suara itu langsung menyeruak telingaku saat kelopak mataku baru saja terbuka.

Aku mencoba untuk bangkit. Menahan rasa pening yang menyerang kuat kepalaku. Sorot mataku kemudian mengarah ke semua sudut ruang. Saat itulah aku sadar kalau aku sudah berada di dalam kamar kosku.

"Apa yang terjadi?" tanyaku pada wanita yang tampak memandangiku dalam diam.

"Kamu tadi ketabrak motor," jawabnya.

"Aku?"

Lisa menganggukkan kepalanya. "Iya."

Aku menghela napas pelan, lalu memegangi kepalaku yang terasa berdenyut saat aku mencoba mengorek kembali ingatan beberapa jam yang lalu.

"Sebenarnya apa yang buat kamu cemas seperti tadi?" tanya wanita itu. "Apa ada yang kamu ketahui tentang tanda itu? Tadi aku lihat, kamu tiba-tiba seperti diserang rasa panik dan ketakutan setelah melihat tanda di tangan ketiga keluarga angkatmu itu," urainya.

Aku menatap wanita itu skeptis. Ada desakan yang menyuruhku untuk menjawab. Namun, aku takut jika perkataanku hanya dianggap bualan saja. Bagaimanapun aku tidak pernah bisa melupakan hari di mana perkataanku bagai angin yang tak terlihat. Tidak dipedulikan. Dianggap omong kosong dan hanya sekedar bualan.

Kami saling pandang cukup lama. Sampai beberapa saat kemudian aku menghela napasku panjang. Keputusan sudah aku buat. Aku akan mengatakannya pada wanita itu. Entah nantinya dia percaya atau tidak. Setidaknya, aku sudah mencoba meminta bantuan pihak kepolisian untuk membantuku lepas dari bayang-bayang kehidupan gelap.

"Sekitar hampir dua bulan yang lalu," ucapku yang mulai beranjak dari tempat tidur. Aku melangkah menuju meja, menarik kursi kayu yang ada di sana. Sebelum duduk aku menatap ke arah wanita itu. "Aku diusir dari rumah orang tua angkatku."

Lisa, dia menatapku, menyimakmu dalam keheningannya. Sorot matanya itu tampak menunjukkan antusiasnya terhadap kisah yang ingin aku uraikan padanya. Dari sikap tubuhnya yang tampak santai, dia juga sepertinya tidak ingin menekanku untuk membeberkan semuanya.

"Dan besok malamnya aku tinggal di kos ini," lanjutku sambil menatap seisi kamar kosku, bahkan aku sampai menatap langit-langit kamar. Lalu kemudian, aku mengembuskan napas pelan. "Malam itu aku menceritakan semua kejahatan keluarga angkatku di komunitas yang ada di internet," paparku.

"Komunitas?" Kening Lisa berkerut.

Aku mengangguk, lalu kemudian membuka laptopku. Lisa berjalan mendekatiku, wanita itu kini berdiri di belakangku, menungguku menekan angka pin yang mengunci pintu akses ke laptop. Namun, beberapa detik berikutnya, aku dikejutkan oleh gerakan wanita di belakangku itu. Lisa tiba-tiba menutup kamera web-ku dengan tangannya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tutup," ujar Lisa sambil mengambil alih laptopku dan menutupnya kembali.

"Ada apa?" Aku kembali bertanya padanya.

"Kamu mahasiswa jurusan teknik, 'kan? Bagaimana bisa kamu enggak sadar kalau ada kamera pengintai di laptopmu itu?" tukasnya, yang terdengar seperti sindiran keras bagiku.

"Kamera pengintai?" Aku semakin tidak paham dengannya.

Lisa tak menjawab pertanyaanku. Wanita itu tiba-tiba dengan brutal membuka laptopku dan memukulkannya pada dinding. Keras, bahkan kepalaku yang belum sembuh terasa pening mendengar dentumannya.

"Gila kamu, ya?!" Aku menatap wanita itu kesal, lalu merebut laptopku yang sudah tidak berbentuk lagi.

"Lihat baik-baik kamera web-mu," katanya.

Aku mendengus kesal. Dengan terpaksa mengikuti arahannya. Namun, seketika aku terdiam, menatap benda berbentuk persegi empat kecil terpasang di kamera web-ku.

"Di mana terakhir kali kamu servis laptop itu?" tanya wanita itu.

Aku tercenung. Laptop ini pemberian Aron, dan aku belum pernah menyerviskannya di tempat manapun.

"Tidak mungkin," gumamku.

"Apa yang tidak mungkin?"

"Ini laptop baru pemberian Aron," paparku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro