Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pembunuhan Dalam Internet

"Nyari siapa?" tanya seorang wanita paruh baya. Dia berdiri di depanku sambil menenteng kantong plastik berisi belanjaan.

"Rumahnya Pak Handoko ...."

"Mau ngekos?" selanya cepat.

Aku mengangguk. "Iya," jawabku, sopan.

"Oh, ya udah, ikut saya," ujarnya, yang kemudian membuka pagar bercat hitam di sampingku. "Saya istrinya Pak Handoko," timpalnya sembari mendorong pagar itu sedikit lebar.

Aku hanya mengulas senyum tipis menanggapinya.

"Ayo masuk," suruhnya, ramah.

"Terima kasih, Tante," ucapku.

"Pak Handoko sekarang lagi 'gak ada di rumah sampai dua hari ke depan. Soalnya dia lagi liburan ke Bogor sama istrinya," cakap wanita paruh baya itu, yang seketika membuatku mengerutkan kening bingung.

"Bukannya tadi Tante bilang kalau Tante istrinya Pak Handoko?"

"Iya, saya istri pertamanya," jawab wanita paruh baya itu, santai, tanpa beban.

"Oh, iya, Tante," ucapku, hanya bisa menanggapi seadanya.

"Kamu mahasiswa atau pekerja?" tanya wanita paruh baya itu kemudian.

"Saya mahasiswa, Tante," jawabku.

"Oh, anak UNJ, ya?"

"Iya."

"Di sini juga ada banyak anak kos yang kuliah di UNJ," ucap wanita paruh baya berdaster merah itu. Aku hanya tersenyum sopan setiap kali merespon kalimat yang dilontarkannya. "Kamu mau kamar kos tipe apa?" Dia kembali melempariku pertanyaan.

"Yang sesuai sama kantong anak kuliah aja, Tante."

"Yang murah?" tebaknya.

Aku mengangguk sembari menjawab, "Iya."

"Oh, berarti yang sebelah sana," ujarnya sembari mengalihkan pandangannya ke arah belakangku.

Aku mengikuti arah pandang wanita paruh baya itu. Sampai kemudian, irisku menatap deretan pintu yang berwarna serupa.

"Yang itu tipe B, murah, sebulannya cuma lima ratus ribu, ada kamar mandinya di dalem," paparnya. "Tinggal dua kamar yang tersisa. Tadi sore udah ada yang hubungi saya, katanya mau ambil salah satu kamar. Jadi, ini kalau kamu mau ambil sekarang, kamu bisa pilih kamar mana yang mau kamu tempati."

Aku diam, mencerna semua penjelasan wanita paruh baya itu sejenak. Kuakui, bibir tebal wanita itu sangat lihai dalam hal promosi. Kalau saja aku punya uang lebih untuk membayar kos. Mulutku ini pasti akan langsung berkata 'iya' padanya.

Hanya saja, saat ini uangku tidak cukup. Masih ada bayaran kuliah di luar beasiswa yang harus aku bayar. Karena itu, aku harus sangat jeli dalam menata pengeluaranku, termasuk dalam hal memilih tempat tinggal. Aku harus mencari yang paling murah di antara yang termurah. Kalau bisa yang sebulannya dua ratus ribu, walaupun aku tahu itu sangat langka. Bukan hanya sangat langka, tapi tidak mungkin ada.

"Bagaimana? Mau ambil sekarang?" tanya wanita paruh baya itu, lagi.

"Maaf, Tante. Tapi, tadi saya lihat di marketplace facebook katanya biaya kosnya sebulan cuma tiga ratu?" tanyaku.

"Oh, itu kamar yang di sebelah sana," cakapnya seraya menunjuk ke arah bangunan kecil yang lebih mirip disebut sebagai toilet umum. Kamar kos itu berdiri sendirian, berada di tengah-tengah antara kos tipe A dan tipe B.

"Itu dulunya mau dibangun kamar tipe X, niatnya mau dibangun tiga kamar. Kamar khusus untuk bayaran per bulannya delapan ratus ribu. Tapi karena penghuni sebelumnya meninggal di kamar itu. Jadi, 'gak ada yang mau nempatin," papar wanita paruh baya itu, yang sontak membuatku terpaku dalam diam.

"Bagaimana? Masih mau ambil kamar yang itu?" Wanita paruh baya itu kembali bersuara dengan senyum tipisnya.

Aku menatap bangunan itu dengan hati yang diterjang rasa bimbang. Tanganku pun tanpa sadar mengusap tengkuk leherku gusar, tanda bahwa aku tengah dihantam rasa gelisah.

Tapi, berbicara soal rasa takut, bukankah memang tidak akan pernah ada habisnya? Pada dasarnya, manusia normal secara alamiah memiliki rasa takut yang bersemayam dalam hatinya. Jika aku menanggapi rasa takutku ini secara berlebihan, malam ini aku akan kembali tidur di teras masjid lagi. Dan aku tidak mau itu terjadi. Apalagi awan hitam sudah bergerak menyelimuti langit malam.

"Saya ambil kamar yang paling murah aja, Tante," putusku.

"Yang 'berhantu' itu?" tanyanya, ia sepertinya sengaja menekankan kata 'berhantu' di depanku.

Tapi kemudian, aku menganggukkan kepalaku, walau sebenarnya aku sedikit merasa skeptis dengan keputusanku ini.

***

Aku menutup pintu kamar kos itu dan menguncinya rapat. Terlihat oleh kedua bola mataku, kamar yang kupijaki ini sangat suram. Lampunya pun terlihat temaram, dan yang lebih parahnya lagi kaca jendela di pojok kamar itu tampak pecah sebagian, hanya tinggal senggol sedikit saja mungkin kacanya akan berhamburan kemana-mana.

Aku menghela napas pelan, semua yang aku dapat ini sesuai dengan harga yang aku bayar. Wajar saja jika aku mendapatkan kamar bobrok seperti ini.

Kakiku kemudian melangkah mendekati meja. Menatap meja kayu itu sesaat. Meja itu bersih, seolah setiap hari seseorang mengelapnya hingga tak ada debu yang menempel di sana. Ya, setidaknya kebersihan kamar ini masih terjamin.

Usai mengeluarkan peralatan komputerku dan memasangnya ke colokan listrik yang ada di sana, aku langsung merebahkan tubuhku pada tempat tidur berukuran kecil itu.

Iris mataku kemudian menatap lurus ke langit-langit kamar yang tampak sudah berubah warna. Pandanganku terfokus pada lampu bohlam yang menggantung di atas sana. Seketika itu tiba-tiba memoriku meluncur jauh mengingat kejadian masa kecilku dulu.

Saat itu, malam hari, hujan deras hadir bersama petir yang menyambar tanpa arah. Aku duduk meringkuk di sudut kulkas, kedinginan karena basah kuyup sehabis pulang dari bermain.

Aku berada di sana bukan untuk menghangatkan diri dengan kulkas, melainkan karena bersembunyi, takut jika Wirabrata menemukanku.

Namun, aku yang kala itu masih bocah berusia tujuh tahun tak tahu caranya bersembunyi dengan benar. Tubuhku pun diseret oleh Wirabrata yang hafal dengan tempat persembunyianku.

Tangan besar itu menarikku ke dalam sebuah ruangan penuh barang bekas. Itu gudang, tempat yang pengap dan gelap. Di sanalah Wirabrata menghukumku habis-habisan. Dia tidak akan berhenti sebelum setetes darah mengalir dari hidungku.

Setelah aku mimisan atau tidak sadarkan diri, barulah dia keluar dari dalam gudang tersebut. Meninggalkanku seorang diri, dan parahnya lagi, dia sengaja mematikan lampu gudang itu dari luar. Entah apa yang dipikirkan pria tidak waras itu. Tapi, mengingat kembali kenangan memilukan itu, rasanya hatiku bergemuruh penuh gejolak emosi.

Usai bernostalgia dengan kenangan pahit masa kecilku. Aku pun bangkit dari tempat tidur. Lalu, beranjak mendekati meja yang ada di bawah jendela kamar.

Aku membuka komputerku. Senyumku mengembang ketika sebuah jaringan wifi otomatis terhubung dalam komputer lawasku itu. Ternyata, di sini ada internet gratisnya juga. Jika tahu seperti ini, tentu aku tidak akan merasa sial apalagi rugi. Sekalipun harus tinggal di kamar yang katanya 'berhantu' ini.

Manik mataku terfokus pada layar monitor komputer. Beberapa kali tanganku menekan klik kanan mouse sampai akhirnya aku masuk ke dalam komunitas yang sudah tiga bulan lalu aku bergabung sebagai anggotanya.

Untuk kali pertamanya, aku menulis pada dinding beranda komunitas yang bernama Go To Heaven itu.

Go To Heaven adalah sebuah situs yang bisa dengan mudah ditemui dalam jejaring surface web. Situs ini terbuka untuk umum, bahkan cukup banyak diikuti oleh para penduduk negara lain.

Aku menekan tombol enter setelah beberapa deret kalimat berisi ungkapan isi hatiku tentang keluarga Wirabrata pun terukir dengan apik di dalam bilik postingan.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk mendapatkan tanggapan dan motivasi yang melimpah ruah. Seperti sedang panen komentar, aku pun membaca satu demi satu tanggapan dari anggota lain yang namanya tentu saja disamarkan.

Namun, saat aku sedang dalam fokus membaca tanggapan dari para anggota komunitas itu, tiba-tiba sebuah notifikasi dari email anonim tertera pada layar komputerku.

Anehnya, notifikasi itu hampir menutupi sebagian komputerku. Awalnya, aku pikir itu malware, tapi karena penasaran, aku pun tanpa ragu mengklik link yang memiliki alamat URL unik itu.

Tapi, semakin aku melangkah maju, semakin aku merasa ada yang salah dengan link tersebut.

Aku masuk ke dalam situs bernama House Of Hedonic Killer. Situs itu memiliki tampilan yang menurutku sangat aneh. Visi dan misi yang tertera pada situs itu pun membuatku terheran-heran. Hanya ada satu kata yang tercantum. Kepuasan.

Lambang situs itu berbentuk bulat dengan tanda tambah (+) berada di tengahnya. Lalu, di bawah lambang itu ada tulisan 'target' berbentuk font Helvetica Black.

Dan yang membuatku semakin berkerut kening bingung adalah saat webcam­-ku tiba-tiba menyala setelah aku melakukan pendaftaran sebagai anggota komunitas yang sejujurnya belum aku ketahui seluk beluknya itu.

Tak lama kemudian, tiba-tiba layar komputerku berubah gelap. Sebuah notifikasi berbahasa Inggris kemudian muncul, aku pun diarahkan secara paksa untuk masuk ke dalam sebuah siaran langsung yang tak aku ketahui siaran langsung apa itu.

Dalam siaran langsung itu, pertama kali yang aku lihat, seorang pria tampak duduk di tengah ruangan. Aku memicingkan mataku, lalu kemudian sadar kalau pria itu duduk dalam kondisi terikat kuat.

Saat aku sedang fokus mengamati pria itu, tiba-tiba sebuah percakapan live muncul di samping siaran langsung itu.

Seseorang dengan ID nama 'Algojo' mulai menuliskan sebuah pesan singkat.

'1000'

Sebuah ID nama lain pun tampak membalas pesan tersebut cepat.

'3000 dan dapatkan bola matanya,' tulisnya.

Jujur saja, sejauh ini aku masih belum paham dengan maksud percakapan aneh itu.

Sampai kemudian ID nama si pembalas tadi berubah menjadi 'klien' dan dialah yang akan menjadi pemandu acara siaran langsung ini.

Setelah percakapan aneh itu selesai. Seorang pria lain datang menghampiri sosok pria yang terikat di kursi tadi.

Pria itu memakai topeng berwarna hitam. Pupilku melebar saat melihat pria bertopeng itu memegang sebuah pisau yang berkilat tajam. Saat itulah hatiku berkecamuk penuh tanya, dia tidak mungkin akan membunuhnya, 'kan?

'Tusuk perut kirinya sepuluh kali,' tulis si 'klien' dalam percakapan itu.

Kepanikanku seketika menyerang saat pria bertopeng dalam siaran langsung itu benar-benar melakukan apa yang si 'klien' tulis.

Jeritan kesakitan pun terdengar menusuk tajam telingaku. Tanganku yang masih memegang mouse tampak gemetaran saat irisku tanpa sengaja menatap darah mengalir deras dari perut yang ditusuk sebanyak sepuluh kali itu.

'Gila, ini benar-benar gila,' batinku menjerit.

Aku tidak sanggup melihatnya lagi. Perutku bahkan sudah bergejolak ingin memuntahkan isinya.

Aku bergegas bangkit dari kursi. Lalu, menatap ke arah webcam-ku yang masih menyala. Panik, aku mencari apa pun yang bisa menutup perekam kamera web itu sambil menghalangi mukaku agar tidak terlihat jika memang ini adalah siaran langsung yang menampilkan wajah para penontonnya.

Sebuah lakban bekas pun menjadi pilihan tercepatku untuk menutup kamera tersebut.

Usai menutup kamera itu, aku langsung keluar dari dalam siaran langsung dan juga keluar dari keanggotaan situs tersebut.

Aku tidak mau ambil risiko. Bagaimana jika dugaanku benar, bahwa situs itu adalah rumah bagi para pembunuh berdarah dingin. Padahal aku ini hanya seekor domba polos, tapi dengan bodohnya masuk ke dalam hutan penuh serigala seperti barusan.

Aku yakin, tadi itu adalah situs paling gelap di internet. Situs yang tak dapat sembarangan orang bisa masuk ke dalamnya. Karena, jika salah langkah sedikit saja, mungkin pada siaran langsung selanjutnya akulah yang akan menjadi tokoh pria yang terikat di kursi tadi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro