Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mayat Dalam Koper

Malam berlalu cukup lambat, hingga membuat pagiku terasa hambar dan berat. Aku menatap sinar matahari yang menyengat kulit. Awan mendung telah lenyap sejak pukul tiga dini hari tadi, aku tahu karena mataku tak kunjung terpejam saat itu.

Semalam aku berjalan luntang-lantung di trotoar, hampir-hampir wajahku ini menyungkur ke tanah karena pening yang menyerang bagian terdalam kepalaku. Sampai saat ini pun rasa itu masih mengakar, dan semakin lama, semakin terasa berat. Mungkin aku sedang demam. Tapi, sungguh, tidak ada waktu bagiku untuk meresapi rasa sakit itu. Sekalipun kakiku patah, aku harus tetap berjalan menuju kampusku. Karena, hanya itu celah untukku menuju kehidupanku yang lebih baik. Dengan gelar yang tak lama lagi akan aku sambar, aku berpikir bisa menjadi lebih baik dari sekarang. Kemudian membuktikan pada Wirabrata kalau dia akan menyesal karena sudah membuangku.

"Kak Elang." Sebuah suara sopran mezzo terdengar memanggilku dari arah belakang, tanpa menoleh dan melihatnya langsung pun aku sudah hafal siapa pemilik suara itu.

Tapi tetap saja, kepalaku menoleh tanpa diperintah. Winda terlihat berlari menghampiriku dengan seragam SMA-nya.

"Kak Elang." Senyum Winda mengembang saat kakinya telah berpijak tepat di hadapanku.

Aku menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan raut tak suka. "Ada perlu apalagi menemuiku?" tanyaku.

Senyum Winda seketika luntur saat aku melontarkan pertanyaan itu padanya. Aku yakin hatinya tergores oleh sikap ketusku. Tapi, biarkan saja. Toh, dia bukan lagi orang yang harus aku jaga.

"Kak-"

"Pergilah, aku bukan kakakmu lagi," selaku.

Mulut Winda seketika terkatup rapat. Wajahnya pun terlihat semakin menyiratkan kesedihan. Aku kembali menghela napasku panjang, lalu berbalik, hendak pergi dari hadapannya. Namun, dengan cepat Winda mencekal lenganku, menahanku pergi darinya.

"Kak, anak kita-"

"Anak kita?!" bentakku. Suaraku yang biasanya hampir tidak terdengar di dalam area kampus, kini menggelegar. Bahkan, para mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar kami pun tampak menoleh dengan raut wajah penasaran, dan tidak sedikit dari mereka terlihat menatapku suram. Mungkin mereka kira aku sedang memaki seorang gadis polos tak berdosa. Cih, andai saja mereka tahu siapa Winda sebenarnya, mereka pasti akan mengambil langkah jauh dari perempuan itu.

"Aku bahkan nyentuh kamu sehelai rambut saja enggak pernah, jangan asal bicara kamu, Win" tukasku.

"Tapi malam itu ...."

"Malam itu apa?!" Emosiku meluap, aku terus menghujam perempuan itu dengan bentakan kasarku. "Dengar ya, Win. Sekali lagi kamu bicara soal bayi di dalam perut kamu itu, aku gak akan segan buat enyahin kamu dari kehidupanku," ancamku.

Kulihat Winda menundukkan kepalanya. Aku tak yakin, tapi rasanya dia tengah menangis. Sekalipun begitu, aku tidak peduli. Bukan karena aku tidak punya hati, hanya saja, ah sudahlah, menjelaskannya panjang lebar pun orang tidak akan mengerti sudut pandangku. Dan, biarkan saja orang yang melihat kami mengira aku ini laki-laki biadab.

"Pergilah," ucapku, pelan. Nada suaraku berangsur melembut, menahan letupan emosi yang ingin sekali menjebol rasa sabarku. Sudah aku katakan, aku bukanlah orang naif, yang bisa kapan saja menerima semua penindasan dengan lapang dada.

Winda tak lagi bersuara. Perempuan itu masih menundukkan kepalanya untuk waktu yang cukup lama. Sampai kami hampir menjadi tontonan para mahasiswa yang diterjang rasa penasaran.

"Win ...."

"Iya, aku pergi," katanya. Ia lantas mendongakkan kepalanya. Jejak air matanya masih tertoreh di pipinya yang penuh dengan dempul itu. Winda kemudian mengusap sudut matanya kasar, lalu ia berlalu pergi dari hadapanku.

Sekelumit rasa bersalah dan tak tega tiba-tiba menyerang sanubariku. Sebenarnya, aku juga melas dengan mantan adik angkatku itu. Hanya saja, aku bisa apa? Bertanggung jawab atas sesuatu yang sama sekali tidak aku perbuat? Tidak mungkin.

***

Dalam kehidupan, ada dua hal yang pasti. Pertama, kematian. Kedua, takdir. Dan bagiku, semuanya sangatlah menakutkan. Penuh misteri tanpa adanya teka-teki. Aku tidak pernah bisa memprediksi apalagi memecahkan pertanyaan tentang, 'kapan aku mati dan seperti apa takdirku esok hari', tulisku, dalam sebuah buku. Bukan buku harian, hanya sebuah buku yang penuh dengan coretan isi kepalaku.

"Elang." Aku menoleh, menatap pria yang tiba-tiba menepuk bahuku sambil melempariku senyum ramahnya.

Aku diam, memandangnya tanpa segores ekspresi apa pun. Dan seketika senyum pria itu luntur. Seperti inilah sikapku, yang dampaknya membuatku tidak memiliki teman satu biji pun.

"Eh, enggak jadi deh," katanya. "Tadinya gue mau ngajakin lo satu kelompok untuk tugasnya Pak Ruli, tapi kayaknya lo lebih suka sekelompok sama diri lo sendiri," imbuh pria itu, yang kulupa namanya. Dan, perkataannya itu, apakah dia sedang menyindirku? Atau sedang bergurau denganku?

"Oh," jawabku. Hanya sepenggal kata itu yang mampu melewati bibirku.

"Ya," ucapnya, terlihat canggung. "Kalau 'gitu ... gue duluan, ya. Bye."

Aku menganggukkan kepala menanggapinya. Setelah itu, dia pergi berlalu dari hadapanku.

Dari kejauhan, aku melihat pria lain menghampiri sosok pria yang menepuk bahuku tadi, mereka terlihat saling bercakap santai, sampai kemudian aku mendengar keduanya saling sepakat untuk membentuk kelompok tugas kuliah. Aku menghela napas pelan. Sepertinya, dia sudah menemukan partner yang tepat. Bukan hanya dia, melainkan semua mahasiswa di kelas ini, mereka semua sudah mendapatkan partner masing-masing. Semuanya, kecuali aku.

***

Lonceng kecil yang terpasang di pintu masuk kedai Mr. Sun berbunyi saat tanganku menarik gagang pintu dan melangkah masuk ke dalam kedai itu.

Bang Roy, si pemilik kedai dekat kampusku itu menoleh, menatapku lekat. Aku merasa tatapannya itu bahkan lebih intens dari biasanya, sampai aku bisa melihat kerutan bertengger di kening pria berusia kepala tiga itu.

"Eh, muka kau itu kenapa, Lang?" tanya Bang Roy, setelah beberapa saat mengamatiku dengan kacamata kotaknya. "Macam pucat begitu, sakit ya kau?" imbuhnya dengan logat Bataknya yang terdengar sangat legit.

"Enggak pa-pa kok, Bang," jawabku.

"Yakin kau?" tanyanya lagi. "Eh, aku enggak mau nanti kau pingsan pas lagi kerja, bisa susah nanti."

Aku mencoba mengulas senyumku, susah payah. Meyakinkan pada bosku itu bahwa aku baik-baik saja, walau sebenarnya tidak.

"Yakin, Bang," ucapku.

"Ya sudah, kalau 'gitu cepat kau ganti bajumu itu. Terus jaga bagian kasir ini. Aku mau keluar sebentar nanti. Mau cek barang," katanya.

Aku menganggukkan kepala pelan. "Iya, Bang."

Setelah itu, aku melangkah masuk ke dalam ruangan khusus karyawan.

Sudah sekitar delapan bulan yang lalu aku bekerja part time di kedai ini. Beruntungnya, Bang Roy, si pemilik kedai yang kutahu seorang perantau dari Medan itu adalah orang yang baik. Sering kali dia memberiku tip setiap kali aku bekerja lembur atau bekerja lebih dari jadwal yang ada. Tak tanggung-tanggung, terkadang ia juga memberikan sembako setiap akhir bulan pada semua karyawannya. Kebaikannya itu pulalah yang mungkin membuat kedainya ramai pembeli. Aku ingat. Bang Roy pernah berkata, 'setiap kita menanam kebaikan, pasti akan ada buahnya'. Dan aku pun percaya dengan kata bijaknya itu.

Aku menutup lokerku setelah memasukkan tas dan berganti pakaian kerja. Usai memakai tanda nama karyawan, aku keluar dari ruangan tersebut. Tepat saat itu, seorang pria bertopi hitam terlihat masuk ke dalam kedai. Aku meliriknya sekilas ketika ia berjalan melewatiku. Setelah itu, aku kembali melangkah mendekati meja kasir.

Bang Roy tampak serius menatap televisi yang terpasang di bagian depan kedai. Pria itu bahkan seolah tidak menyadari keberadaanku yang sedang mengisi daftar hadir karyawan di depannya.

Penasaran dengan apa yang dilihat oleh pria beranak dua itu, aku pun mengikuti arah pandang Bang Roy, iris mataku menatap fokus ke arah televisi yang menampilkan berita terkini.

"Pagi ini, masyarakat digegerkan dengan penemuan mayat berjenis kelamin perempuan di depan stasiun MRT Blok M BCA. Mayat tersebut ditemukan di dalam sebuah koper hitam berukuran besar. Saat ini pihak kepolisian sedang mengidentifikasi identitas mayat tersebut. Pihak kepolisian mengklarifikasi bahwa kasus pembunuhan ini diduga sebagai kasus pembunuhan berantai, yang sebelumnya ditemukan beberapa mayat dengan kondisi dan ciri-ciri yang sama ...," kata si pembawa berita dalam televisi itu.

Aku yang merasa tidak tertarik dengan berita seperti itu pun mengalihkan pandanganku. Tapi, kemudian pandanganku tanpa sengaja terpaku pada pria bertopi hitam tadi. Aku memicingkan mata heran saat melihatnya tertawa aneh sambil menatap ke arah layar televisi yang kini menampilkan mayat korban yang disensor sempurna. Aku menatap pria itu dan televisi bergantian. Tawa pria itu terlihat seperti ... seseorang yang tengah menunjukkan rasa puasnya.

Day 2 - TDWC PROJECT LYRAE GENRE HMT
Earth, 20 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro