Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Dibalik Sebuah Senyuman

"Apa kau tidak apa-apa Mia?" Tanya pangeran Lowel yang mengehentikan pekerjaannya sejenak sambil melihatku.

"Kenapa anda bertanya?" Tanyaku kembali dengan wajah bingung sambil menghentikan membaca laporan yang ada di tanganku.

"Karena kemarin sikapmu terus terbayang di pikiranku, katakan padaku jika ada sesuatu yang menganggumu," kata pangeran Lowel sambil menaikan kedua alisnya kawatir.

Aku tersenyum, "terimakasih pangeran, tetapi aku tidak apa-apa."

Pangeran Lowel mendorong kursinya, berdiri dan berjalan kearahku. Ia berhenti saat wajahnya sangat dekat denganku.

Terlalu dekat! Terlalu dekat! Aku mencoba mendorong pangeran Lowel tetapi tanganku ditangkap oleh tangan dingin pangeran Lowel.

"Katakan padaku Mia, ada apa? Kumohon katakan sejujurnya padaku," kata pangeran Lowel dengan raut wajah yang sangat kawatir.

Aku melihat irisnya yang merah itu. Sejenak aku kembali mengingat kejadian kemarin, ternyata perasaanku tetap tidak enak sama seperti kemarin. Aku menggenggam tangan pangeran Lowel yang dingin itu erat sambil menunduk, membiarkan kepalaku bersandar di badan pangeran Lowel.

"Maaf... aku hanya... merasa tidak enak," kataku yang masih dalam posisi yang sama.

"Ada apa?" Tanya pangeran Lowel yang tidak melakukan apapun.

Aku mengangkat wajahku dan melihat irisnya yang masih terpancar kekawatiran itu. Kawatir kerena pelayannya? Ia sungguh baik.

"Aku hanya merasakan sesuatu yang tidak enak saat aku melihat ladang rumput di rawa itu," kataku sambil mengalihkan tatapan langsung darinya.

"Kenapa?"

"Aku... aku tidak tau, aku hanya merasakan dadaku sesak dan tidak nyaman," kataku sambil meremas seragamku.

ia memegang tanganku yang meremas seragamku sendiri, "apakah masih berlanjut?" Tanya pangeran Lowel.

Aku menaikan kepalaku, melihat pangeran Lowel yang kawatir, "tidak jika aku tidak mengingatnya," kataku sambil menggeleng pelan.

"Beritahu padaku jika kau merasakan hal itu lagi," katanya sambil melepas tangannya.

"Baik pangeran."

Pangeran Lowel membuang arah pandangnya ke jendela.

Tiba-tiba ketukan pintu ruang kerja pangeran Lowel membuat kami langsung melihat ke arah pintu keluar. Terlihat Adean yang menunduk sejenak lalu berjalan masuk dengan surat di tangannya.

"My lord, ini ada surat dari Ratu Ardelia," kata kak Adean sambil menyerahkan surat coklat itu kepada pangeran Lowel.

Setelah menerima surat itu, ia langsung membukanya dan membaca isi surat tersebut dengan serius. Memangnya apa isi surat itu? Apa yang dikatakan oleh Ratu Ardelia?

Setelah beberapa saat, pangeran Lowel melipat kembali surat itu sambil menutup matanya.

"Ada apa pangeran?" Tanyaku bingung.

Bukannya menjawab, ia melihatku sejenak, "kau masih ingat mengenai rapat kemarin lusa?" Tanya pangeran Lowel yang aku jawab dengan anggukan.

"Mengenai daerah pemberontakan itu?" Tanyaku sambil mengingat-ingat.

"Iya, mengenai hal itu," kata pangeran Lowel sambil memejamkan matanya kembali.

Aku terdiam, menunggu jawaban darinya.

"Aku akan pergi," katanya pada akhirnya.

"Pergi? Menuju daerah pemberontakan?" Tanya kak Adean yang di jawab anggukan dari pangeran Lowel.

"Maaf pangeran, aku tidak tau apa maksud dari daerah pemberontakan itu," kataku ragu.

Pangeran Lowel memutar tubuhnya sampai berhadapan denganku, "seperti namanya itu adalah daerah yang berisi para pemberontak. Sebenarnya daerah itu dijajah oleh suatu kelompok yang menempati daerah itu."

"Dijajah?" Tanyaku bingung.

"Iya, tugasku dan yang lainnya adalah menolong pribumi disana yang diperlakukan kasar. Esok aku akan pergi."

"Tunggu pangeran Lowel, apakah semua ikut menuju daerah tersebut?" Tanyaku ragu.

"Ya, kecuali kau dan Vionna. Aku tidak ingin melibatkan kalian dalam pertarungan ini," kata pangeran Lowel sambil berjalan dan meletakkan surat itu di meja kerjanya.

"Kenapa? Apa karena kami bisa saja terbunuh? Tetapi kemungkinan itu juga bisa terjadi pada anda, pangeran," kataku sambil sedikit menekan kata-kataku karena kesal.

"Setidaknya biarkan aku dapat menjaga kalian. Hanya ini caranya," katanya dengan sorotan mata yang serius.

Aku menghembuskan nafasku pasrah, "baiklah aku rasa aku memang tidak bisa memaksa anda lebih dari ini. Tetapi berjanjilah bahwa anda akan kembali dengan selamat," kataku serius.

Ia tersenyum tipis yang hampir tidak telihat, "terimakasih."

Aku hanya membalasnya dengan senyum pasrah.
.
.
.
Esok harinya aku bangun lebih pagi dari pada biasanya. Langkahku menuju ke dapur yang sudah ada bu Vero di sana.

"Mia! Kau pagi sekali. Ada apa?" tanya bu Vero bingung.

"Aku... Tidak tau makanan yang sehat untuk vampire, tetapi setidaknya aku boleh melakukan sesuatu untuknya bukan?"

Bu Vero terdiam lalu tersenyum lembut lalu mengangguk, "kau boleh sayang," katanya sembut.

Lalu aku membantu bu Vero memasak sarapan. Bu Vero membiarkan aku untuk memasak satu menu dari tiga menu yang akan di hidangkan dan menu itu benar-benar resep yang ada di kepalaku. Apa dulu aku suka memasak?

Tak berapa lama ketiga menu itu telah siap di hidangkan. Seperti biasanya, aku yang meletakkan sarapan di meja makan. Jantungku berdegup kencang sembari menunggu kedua tuanku. Aku ingatkan, aku tidak sedang jatuh cinta.

Suara pintu mengejutkan diriku, terlihat kedua tuanku datang bersamaan. Mungkin Vio menunggu pangeran Lowel di depan kamarnya. Setelah mereka duduk, aku meletakkan ketiga menu di depan piring makan mereka.

Jantungku kembali berdegup kencang. Ini bukan jatuh cinta, ini bukan kontes. Karena takut degupan ini terdengar aku memilih untuk berdiri di dekat dinding. Tiba-tiba Vio dan pangeran Lowel terdiam.

"Ada apa?" tanyaku takut-takut. Tidak enak ya?

"Rasanya berbeda," kata Vio yang kembali memasukan makanan yang aku masak ke dalam mulutnya.

"Aneh ya? Nggak enak?" tanyaku terus terang karena getaran ini tak dapat di tahan.

"Tidak, ini jauh dari kata tidak enak," kata pangeran Lowel yang membuatku menghela nafas lega.

"Yang ini bukan masakan bu Vero ya?" tanya Vio.

"Aku juga berpikir seperti itu," kata pangeran Lowel sambil melihat makan di depannya.

Aku hanya terdiam sambil mengigit bibir bawahku. Tiba-tiba pintu terbuka dengan cepat dan tampaklah kak Adean dengan wajah berseri-seri.

"MIA! AKU DENGAR KAU MASAK... ya...?" suara kak Adean mengecil melihat pangeran Lowel dan Vio yang sedang melihatnya. "Tunggu di dapur ya," sambungnya sambil melambai lalu dengan cepat menutup pintu.

"Ember bocor," geramku dengan suara kecil.

"Jadi, kau yang memasak ini?" tanya pangeran lowel sambil melihatku.

Aku menghembuskan nafas pelan lalu tersenyum, "iya, kau benar tetapi hanya satu diantara tiga menu."

"Tak heran kau bisa memasak, lalu apa nama makanan ini?" tanya Vio.

"Aku tidak tau... Cara memasak muncul begitu saja dari pikiranku dan saat aku sadar makanan itu telah jadi," kataku murung sambil menunduk.

"Ini sungguh enak, terimakasih Mia," kata pangeran Lowel yang membuatku menatapnya kaget.

Ia tersenyum dengan melihat kearahku membuatku juga membalas senyumannya, "karena hanya ini yang dapat saya lakukan my lord," kataku sambil menunduk hormat.

"Hanya melihatmu yang baik-baik saja sudah sangat membantu," kata pangeran Lowel pelan tetapi terdengar olehku.

Ia kembali menyantap makananya dengan santai sedangkan aku sedang berusaha senormal mungkin untuk menutupi wajahku. Tetapi Vio sedang melihatku dengan senyum penuh makna. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati dengan wajah yang makin memanas.

Setelah itu aku dan Vio berjalan mengantar pangeran Lowel sampai ke depan pintu istana. Terlihat naganya yang telah siap untuk di naiki.

"Baiklah aku pergi dulu," katanya sambil melihat Vio yang ada di sampingku.

Pangeran Lowel terlihat kaget, saat aku melihat arah matanya ternyata Vio sedang meneteskan air matanya. Pangeran Lowel tersenyum lalu menghapus air mata Vio dengan pelan.

"Kakak akan baik-baik saja bukan?" tanya Vio.

Tangan pangeran Lowel terhenti untuk sejenak. "Iya," katanya pelan. Lalu tatapannya beralih padaku.

"Aku akan menjaganya," kataku saat ia membuka mulutnya.

Ia tersenyum dan mengangguk, "tetap pikirkan dirimu juga."

Kata-katanya terlalu manis!!!! Aku bisa diabetes hari ini!! Tunggu... Apa kata-katanya terlalu aneh?

"Aku pergi dulu."

"Pangeran Lowel!" panggilku sebelum ia benar-benar berbalik. "Kau harus pulang dengan selamat! Harus!" kalau tidak akan aku cincang kau.

Ia terdiam lalu tertawa begitu saja. Dasar ketawanya begitu manis. Aku rasa aku bisa diabetes beneran. Bagaimana bisa marah jika seperti ini?

"Terimakasih," katanya sambil tersenyum yang paling manis yang pernah aku lihat.

Hari ini aku nggak boleh makan gula!

Akhirnya ia berbalik dan menaiki naganya dengan sekali ayunan kaki. Ia melihat aku dan Vio dengan senyuman yang menenangkan hati.

Aku dan Vio melihat kepergiannya sampai akhirnya bayangannya tak terlihat oleh kami berdua. Aku mengajak Vio untuk masuk ke dalam bersama.
.
.
Selama bekerja pikiranku melayang entah kemana. Bahkan gerak gerik pangeran Lowel sudah mencurigakan. Dia tidak berpikir ingin mati di sana bukan?

Tidak-tidak! Dia adalah yang terkuat! Si jago pedang, ahli sihir dan vampir yang kuat! Aku percaya itu! Seharusnya aku membuat jimat untuknya untuk jaga-jaga.

Tetapi... Mengapa ia mambalas terimakasih? Bukan baik, atau semacam itu?
.
.
.
Author POV

Langkah kaki terdengar mendekati sebuah bangunan yang berdiri dengan tegaknya di antara bangunan yang hampir hancur.

Tanpa ketukan, salah seorang dari kedua orang tadi membuka pintu begitu saja. Daru tempatnya terlihat seseorang bersurai hijau gelap pendek yang sedang duduk dengan santainya sambil memasang senyum sinis.

Beberapa orang mencoba melindungi orang tersebut tetapi dengan gerakan tangan mereka kembali ke posisi sebelumnya.

"Apakah yang membuat yang mulia Ratu Ardelia dan pangeran Lowel kemari?" tanya orang itu.

"Aku sudah sangat yakin kau tau mengapa," kata Ardelia dengan wajah datarnya.

"Wah wah... Lihat siapa yang datang," tanya seseorang yang lainnya dari balik bayangan sambil berjalan menuju sisi orang sebelumnya.

"Kau," kata Lowel geram.

"Kau mengenalnya Lowel?" tanya Ardelia bingung.

"Maaf belum memperkenalkan diri yang mulia Ratu, saya adalah Kurtez. Bisa dikatakan bahwa saya adalah guru vampire Lowel yang paling pertama," katanya dengan nada percaya diri.

Ardelia melirik ke Lowel yang tidak mengucapkan apapun.

"Kami kemari untuk meminta kembali baik-baik tanah yang kau dudukki sekarang," kata Ardelia sambil melihat kearah laki-laki bersurai hijau itu tajam.

"Wah, bagaimana ya? Tetapi sayangnya aku tidak akan menyerahkan tempat ini sama sekali," katanya di sertai senyum sinisnya.

"Baiklah, kami semua akan tetap memperjuangkan tanah ini. SERAAAANG!"

Tiba-tiba prajurit Ardelia datang dari arah pintu dan jendela di belakang Ardelia. Prajurit dari laki-laki bersurai hijau itu juga datang dari arah yang berlawanan dari arah datangnya prajurit Ardelia.

Dari keramaian itu Lowel dapat melihat Kurtez yang menjauhi tempat itu. Tanpa suarapun Lowel mengikuti arah pergi Kurtez dan sampailah mereka di sebuah sisi hutan.

Kurtez berhenti lalu berbalik melihat Lowel yang mentalnya penuh amarah. "Lalu sekarang apa yang ingin kau lakukan?"

Lowel menarik pedangnya, "aku rasa kau sudah sangat tau apa yang aku inginkan."

Kurtez tersenyum miring dan mulai menarik pedangnya juga. Setelah selang beberapa detik akhirnya mereka saling berlari mendekati satu sama lain.

Mia POV

Aku terbangun tiba-tiba. Terlihat ada sapu digenggamanku. Sepertinya aku tertidur saat menyapu. Ternyata kejadian seperti ini juga ada.

Tetapi aku merasa melihat sesuatu saat aku tertidur. Apakah itu pangeran Lowel? Apa ini termasuk kekuatan peri Eleanor atau bukan?

Aku menghela nafas berat lalu melihat sekelilingku dan terlihat langit yang sudah menggelap.

"Wah Putri tidur sudah bangun rupanya," kata seseorang di belakangku yang suaranya sangat aku kenal.

Aku berbalik ke belakang dengan tatapan tajam. Kak Adean yang membawa beberapa kain kaget melihatku.

"Mengapa aku tidak di bangunkan?" tanyaku kesal.

"Oh, itu karena wajahmu yang terlalu tenang. Jadi kami tak tega membangunkanmu," kata kak Adean sambil terkekeh takut.

"Bagaimana ini, aku seorang butler tetapi malah tertidur," gerutuku pelan.

"Putri Vionna yang melihatmu tertawa pelan loh," kata kak Adean yang membuatku melototinya tajam.

"Ia melihatku?!"

"Iya, tenang saja wajahmu sangat imut kok."

"Bukan hal itu yang aku pikirkan kak..."

"Sudahlah, bantu aku menutup jendela di lantai ini," kata kak Adean sambil beranjak.

"Baiklah," kataku lalu berputar.

Aku mulai menutupi satu per satu jendela yang ada dilantai ini. Aku terdiam melihat pintu perpustakaan. Dengan senyuman kecil dan memori saat berada di sana, aku melangkahkan kakiku menuju perpustakaan. Terlihat semua jendela telah terutup, tetapi aku tetap mendekati setiap jendela memastikan bahwa jendela telah terkunci rapat.

Setelah selesai, aku berputar untuk beranjak meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup berisik. Dengan terburu-buru aku berjalan keluar dan tak lupa menutup kembali pintu perpustakaan.

Sesampai aku di ruang tengah, terlihat beberapa pelayan melihat kawatir beberapa prajurit yang terlihat membawa sesuatu.

"Ada apa?" tanyaku bingung.

"Eh Daniel... Itu... Pangeran Lowel..."

Jantungku terasa berhenti sejenak dan dadaku seperti di tekan kuat. "Ada apa dengannya?" tanyaku mencoba setenang mungkin.

"Ia terluka," kata Fay sedih dengan suara yang bergetar.

Aku kembali melihat para prajurit itu yang berjalan menuju kamar pangeran Lowel. Tanpa perintah, kakiku berlari mengikuti mereka dari belakang.

Aku berhenti sejenak saat berada di depan kamar pangeran Lowel. Ada kak Adean yang sudah tidak membawa apapun di tangannya dan bu Vero yang terlihat pucat.

Dari dalam ada beberapa prajurit yang meletakkan pangeran Lowel perlahan diatas kasurnya dan Vio yang menangis keras. Aku mendekati Vio perlahan dan merangkulnya. Vio yang menyadariku langsung memelukku erat.

Para prajurit itu berjalan menjauh lalu pamit pada bu Vero. Dari sini aku dapat melihatnya. Wajahnya yang selalu pucat memang tak berbeda, hanya saja kelopak mata yang selalu terbuka kini tertutup rapat. Bibirnya juga terlihat semakin pucat.

Dengan pelan Vio melepas pelukannya dan berjalan di sisi kasur pangeran Lowel.

"Putri, ini sudah larut," kata bu Vero pelan.

"Tidak mau! Kakak! Kakak...-"

"Vio, kau harus beristirahat," kataku sambil mendnekatinya.

"Tetapi ia terluka! Bagaimana aku dapat tidur?!" tanya Vio dengan airmata yang turun dari mata indahnya.

"Ia tidak mati!" kataku tegas yang membuat Vio melihatku kaget.

"Ia pasti akan sembuh. Ia adalah kakakmu, kau harus percaya dengannya," kataku melembutkan suaraku sambil memegang pundaknya untuk menguatkannya.

Vio mengangguk pelan lalu kembali menatap pangeran Lowel sedih.

"Tenang saja aku akan menjaganya," kataku sambil dengan sekuat tenaga tersenyum.

"Kau yakin?" tanya Vio.

Aku tersenyum lebih lebar lalu mendekatkan kepalaku ke kepala Vio. "Iya, percayakan dia padaku. Tenanglah," kataku lalu mengecup dahinya. Dengan cepat aku menahan tubuh Vio yang terjatuh.

"Putri!" seru kak Adean dan bu Vero bersamaan sambil mendekati kami.

"Tenang saja, aku hanya membuatnya tertidur," kataku yang melihat raut panik kak Adean dan bu Vero.

"Aku akan membawanya ke kamarnya," kata kak Adean sambil menggendong Vio yang aku balas anggukan.

"Kau benar-benar ingin menjaganya?" tanya bu Vero sedih.

Aku hanya mengangguk.

"Mia," panggil kak Adean.

"Ya?"

"Kau tak perlu sok tegar," katanya datar sambil melirikku.

"Apaan sih?" tanyaku dengan air mata yang jatuh dengan banyaknya.

Bukannya membalas, kak Adean hanya tersenyum lalu beranjak dari pijakannya. Begitu pula bu Vero.

Setelah pintu kamar tertutup, aku menarik sebuah kursi kecil dan menaruhnya di dekat sisi kasur pangeran Lowel. Aku mengusap air mataku pelan lalu melihat wajah pucatnya.

"Kau tidak menepati janjimu pangeran Lowel," ucapku pelan.

Aku merasakan sesuatu yang ada di dalamku ingin meledak. Tetapi aku tak mau menjerit dan menangis keras. Kembali aku terdiam melihatnya. Entah mengapa aku mendekatkan jariku ke dekat hidung pangeran Lowel.

Rasanya seperti tertusuk batuan es tajam, saat aku tidak merasakan udara yang berhembus. Aku mendekatkan kepalaku ke dadanya. Terdengar detak jantung yang sangat pelan. Karena panik aku mencoba melihat tempat luka pangeran Lowel yang berada di perutnya.

Aku menarik bajunya keatas dan terlihat perban yang terpasang rapi di sana. Tetapi perban ini tidak membuatku bertambah tenang. Aku mengarahkan telapak tanganku di dekat perutnya. Tak lama sinar ungu pucat muncul dr telapak tanganku.

Aku melihat wajahnya sekali lagi. Bibir! Seingatku ada cara memindahkan penyakit ataupun luka dari bibir. Apa aku harus melakukannya?

Akh!!! Aku malu sekali!! Tapi ini untuk kebaikannya! Em!!!! Aku benar-benar dilema. Aku tidak peduli jika aku akan mati karena kekurangan darah. Tetapi pangeran adalah seseorang yang sangat diperlukan untuk adiknya dan rakyatnya.

Setelah aku menguatkan diri sendiri, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Walau memejamkan mata, aku dapat merasakan sesuatu yang lembut di bibirku. Tidak hanya itu, aku merasakan sesuatu mengalir masuk ke bibirku.

Tak lama aku merasakan sakit yang teramat sangat dari perutku. Lama kelamaan aku merasa sakit itu bertambah dan bertambah setelah tidak bertambah, aku kembali duduk.

Ini... Sangat... Sakit!

"Ukh..."

"Pangeran!" seruku saat melihat tubuhnya mulai bergerak.

Cepet juga.

"Ini di istana?" tanya pangeran Lowel dengan raut muka tak percaya.

Aku hanya mengangguk sambil menarik jasku untuk menutupi perutku.

Ia langsung bangun dan beranjak pergi.

"Pangeran!" seruku kaget.

Sakit. Ini sangat sakit.

"Mia, jangan ikuti aku. Kau harus istirahat," katanya sambil melirikku sejenak.

Aku menghembuskan nafas mengejek. Aku tidak akan berhenti!

"Tunggu!" seruku dengan sekuat tenaga mencoba mengikuti langkahnya dari jauh.

Aku sangat yakin ia dapat mendengarku tetapi, ia tetap berjalan dengan cepat menuruni tangga.

Sakit. Ini sangat sakit. Sakit sekali. Pergerakan kakiku yang turun tangga sangatlah sakit. Walaupun sudah aku coba menyembuhkan diri sendiri, hal itu tidak begitu berguna. Sedikit lagi... Sedikit lagi tangga ini selesai. Ayo berjuanglah Mia!

Terlihat pangeran Lowel yang telah sampai lantai paling bawah. Ah, sayap! Mengapa aku bisa lupa?

Aku mencoba sekuat tenaga mengeluarkan sayap, yang entah bagaimana caranya. Saat cahaya ungu terlihat aku yakin kini sayapku sudah muncul. Aku membayangkan sayapku bergerak dan membawaku naik.

Sedikit demi sedikit aku terangkat naik. Tetapi tetap saja perutku terasa sakit dan kakiku lemas. Aku menurunkan diriku sendiri di lantai dua. Bukan turun dengan mulus, tetapi aku terjatuh.

Saat aku mengangkat kepalaku sedikit, terlihat pangeran Lowel yang terhenti tanpa melihatku. Setelah beberapa detik ia kembali berjalan.

Sepertinya aku harus berjuang sendiri. Aku mencoba dengan bantuan sayapku untuk berdiri. Terlihat bercak biru dilantai, tetapi aku tak peduli. Saat aku dapat berdiri, pangeran Lowel telah menghilang fi balik pintu keluar.

Kini pandanganku mengarah ke sebuah jendela di lantai dua ini. Dengan menahan rasa sakit ini aku berusaha berjalan menuju jendela. Dari jendela ini terlihat pangeran Lowel yang telah menaiki naganya.

Sakit. Sangat sakit. Tetapi aku tidak akan berhenti. Dari jendela ini terlihat pangeran Lowel yang sedang menaiki naganya. Aku melihat sebelah tanganku yang sedari tadi memegangi perutku. Bercak biru memenuhi telapak tanganku.

Aku sudah tak peduli lagi. Aku mengandung jasku di bagian bawah. Akan terasa amat sakit memang, tetapi aku tidak ingin ia kembali terluka. Aku mengangkat sebelah kakiku sampai di jendela dan mengangkat sebelahnya lagi. Aku melompat dan berhasil terbang.

Bagus, tetaplah begini. Aku mencoba meraih pangeran Lowel yang telah terbang dengan naganya. Aku mengulurkan tanganku tetapi pandanganku mulai menggelap.

Tidak. Jangan sekarang. "Pange...-ran..."

Author POV

Lowel yang merasa terpanggil menoleh kebelakang dan terlihat Mia yang mulai terjatuh.

"Mia!" serunya sambil mengarahkan naganya ke arah Mia.

Untung saja karena jarak yang tak begitu jauh, Lowel dapat menangkapnya dengan mudah. Hatinya merasa teriris melihat wajah Mia yang memucat.

Ia menaikan kepalanya, berencana untuk menaruhnya ke dalam kamar Mia. Tetapi ia berhenti mengingat kegigihan gadis itu.

"Mengapa?" tanya Lowel pelan sambil menyentuh dahi Mia dengan Dahinya. "Mengapa kau berusaha sejauh ini?" tanyanya kembali sambil mengeratkan pegangannya pada Mia.
.
.
.

.
.
.
Maafkan atas keterlambatan saya yang amat sangat. Karena saya tak tega dengan mereka.

Saya meminta maaf juga kalau misalnya mirip dengan cerita yang pernah anda baca/ bikin. Sebisa mungkin saya memakai pikiran saya sendiri.

Terimakasih.
-(17/16/2017)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro