Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Reka Ulang

Kembali pada tahun di mana aku tergeletak akibat trauma masa lalu. Aku tebangun di sebuah kamar bernuansa putih. Kamar yang masih terasa sama meski sudah beberapa tahun berlalu.

"Lo udah mendingan?" Suara Ezar membuat atensiku terjatuh padanya.

Aku berusaha menegakkan tubuhku agar lebih nyaman saat berbicara dengannya.

"Berapa lama gue nggak sadar?" Tanyaku kemudian.

"Tujuh."

"Hari?!!" Mataku membola, memang rasanya aku sudah tidur terlalu lama. Tapi aku tak menyangka jika akan selama itu.

"Jam." Ezar menjawab. Syukurlah, karena aku tidur tak sampai sehari. Namun meski jawaban Ezar membuatku lega, disisi lain aku juga merasa kesal karena Ezar tak lantas memberi tahu dengan jelas.

"Minum dulu obat lo."

"Gue nggak sakit."

"Terus kenapa lo tidur disitu?"

"Males aja."

"Tinggal minum elah.. Hobi banget debat perasaan."

Sejujurnya aku sangat malas untuk meminum obat tersebut. Memangnya siapa orang yang mau meminum obat? Di mana-mana obat itu adalah sebuah momok bagi orang-orang, kecuali untuk mereka yang kecanduan.

Tak lama kemudian, Farel muncul dari balik tirai dengan membawa buah-buahan yang sudah ia potong. Lantas disuguhkan kepadaku.

"Cepet dimakan, kak.. supaya cepet sembuh. Nanti kita melukis bareng."

Aku terkekeh melihat apa yang Farel ucapkan. Lantas membalas ucapannya.

"Kalau Farel yang minta, kakak pasti bakal nurutin."

Farel tertawa. Tawa yang mungkin terdengar aneh bagi orang lain. Tapi tidak bagiku, tawa itu justru terdengar menggemaskan di telingaku.

Setelah selesai kuhabiskan beberapa potong, Ezar mengantarku untuk pulang.

"Sebentar lagi kita lulus." Ezar tiba-tiba mulai bersuara. Tumben sekali dia yang membuka percakapan.

Aku terkekeh geli. "Masih ada kelas dua belas."

Dia berdecak kesal. Lantas kembaki mengungkap keresahannya. "Gue nggak tahu apa yang bisa gue kasih ke orang tua gue nanti."

Aku terdiam sebentar. Menyadari betapa kontrasnya perbedaan antara apa yang Ezar dan aku pikirkan.

"Orang tua lo itu cuma pengen lo baik-baik aja. Mereka nggak muluk-muluk pengen lo membalas kebaikan mereka. Cukup dengan lo berbahagia, mereka juga ikut bahagia."

"Lo nggak pernah tahu gimana rasanya tinggal di tempat yang bahkan itu bukan orang tua kandung lo sendiri." Ezar berkata dengan nada yang lebih tinggi dibanding biasanya.

"Dan lo juga nggak pernah tahu rasanya punya orang tua yang nggak pernah nganggap anaknya sendiri sebagai anak." Balasku kemudian.

Mungkin ini memang bukanlah waktu yang tepat untuk kami membicarakan hal semacam ini. Sehingga baik aku maupun Ezar tak ada yang berpikir dengan kepala dingin.

Setelah balasan terakhirku. Masing-masing dari kami terdiam. Kembali tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Sampai Ezar selesai mengantarku ke apartemen pribadiku.

Aku sengaja meminta apartemen pribadi agar tak ada yang mengganggu ketenanganku. Masih jelas teringat dalam pikiranku ketika aku Ayah memarahiku habis-habisan hanya karena aku menghabiskan waktu liburku untuk melukis.

Aku tak tahu sampai kapan orang itu akan menekanku sampai sebegitunya. Rasanya aku sama sekali tak ada bedanya dengan hewan ternak. Harus selalu menuruti apa yang ia mau, juga tak boleh memberikan pendapat sendiri. Benar-benar membosankan.

Andai Mama tak berpisah dengan Papa, akankah ia membelaku seperti dulu? Ah.. Tapi sudahlah. Lagi pula itu juga pilihan Mama yang meninggalkanku dan berpisah dengan Papa. Aku yang hanya seorang anak haram ini bisa apa?

~õÕõ~

Bulan-bulan berlalu seperti biasanya. Hanya dengan menjalani rutinitas membosankan tiba-tiba saja waktu berjalan begitu cepat. Bahkan tak terasa sekarang sudah memasuki liburan untuk persiapan kelas dua belas. Tinggal menunggu hari untukku kembali memasuki kelas keramat itu.

Lagi-lagi setelah mengunjungi panti itu ada seorang anak memberiku sebuah kertas lusuh dengan pernyataan cinta. Lucu sekali. Aku jadi kembali teringat dengan masa-masa di mana aku dengan dia. Kira-kira bagaimana kabarnya sekarang? Dia menjalani hidup dengan baik, kan?

Kuharap hidup yang ia jalani tak lebih berat dari diriku. Aku mendongak untuk menatap langit yang mulai redup. Ah, mau hujan rupanya. Untunglah aku sempat membawa payung ini saat hendak ke panti tadi.

Aku sudah berniat akan langsung memasuki apartemen. Namun, seorang gadis yang mendongak di tengah hujan itu mengalihkan fokusku. Seperti ada sebuah magnet yang menarikku. Tubuhku bergerak di luar kendaliku, dan ketika aku tersadar, aku sudah mendapatkan kaki ini berjalan menghampiru seorang gadis yang mendongak seraya memejamkan mata di tengah gerimis kala itu.

Jantungku tiba-tiba saja berdegup begitu kencang ketika menyadari berbagai kemungkinan akan sosok gadis yang saat ini berada sangat dekat denganku. Aku mengatur napasku lumayan lama agar tak terlihat gugup ketika menghadapinya nanti.

Sehingga dengan payung dalam genggamanku kubiarkan berdiri di atasnya untuk melindungi kepala yang tengah mendongak itu. Sejujurnya aku terkejut ketika gadis itu tiba-tiba membuka matanya saat aku melihatnya dari atas. Namun yang beruntung adalah, aku masih bisa menhontrol ekspresiku. Sama seperti diriku, gadis itu terlihat terkejut, bahkan sampai mengalihkan wajahnya.

"Kenapa? Lagi meratapi nasib?" Tanyaku, dengan detak jantung yang masih tak terkontrol.

Aku memutuskan untuk duduk di sampingnya.

"Lo orang baru? Kok gue baru pertama kali lihat lo, ya?" Tanyaku lagi.

Gadis itu hanya mengangguk untuk membalas pertanyaan yang kuajukan.

"Ooh, pantesan, hujan tuh! Lo nggak masuk?"

Aku berniat untuk sedikit berbasa-basi dengan gadis ini. Namun lagi-lagi aku tak mendapati sedikit lun suara keluar dari bibir manisnya.

Sehingga beberapa saat kemudian aku sengaja berjongkok di depannya dan menggunakan keahlianku dalam memakai bahasa isyarat untuk mengetesnya. Tak apa, aku tahu dia bisa bicara. Namun aku hanya ingin melihat reaksi kesalnya saja.

"Gue nggak bisu."

Berhasil. Akhirnya dia mulai mengeluarkan suaranya. Namun yang membuatku terkejut adalah, gaya bicaranya sangat mirip dengan dia.

"Oh, kirain."

Setelah mendapat kesimpulan itu aku berdiri dengan sebagian payung yang masih setia kuletakkan di atas kepalanya.

"Ayo gue anter." Ajakku kemudian.

Dia menatapku bingung, seperti tengah bimbang apakah ia bisa menerima ajakanku atau tidak.

"Tempat tinggal lo disana, kan? Kebetulan gue juga tinggal di sana, bareng aja sama gue,"

Tak ada balasan. Gadis itu hanya menatapku.

"Cepetan elah! Tangan gue pegel!"

"Yaudah tinggalin aj--"

Tanpa aba-aba lagi, aku lantas menarik tangannya. Tak ada waktu lagi, karena hujan yang mulai deras.

"Lo bandel juga ya ternyata!"

Aku menggenggam kuat-kuat lengannya karena takut jika dia tiba-tiba saja memberontak dan melepaskan tangannya ketika kami telah tiba di lobi apartemen. Setelah sampai aku merogoh saku celanaku untuk memberikan sebuah oesawat kertas yang kudapat dari anak panti tadi. Lantas kuletakkan pada genggaman tangannya. Kuharap surat kecil itu dapat menghiburnya walau sedikit.

"Buat lo! Gue dapet dari anak-anak tadi."

Aku menunggu reaksinya dengan jantung yang berdegup tak karuan. Lantas ketika dia mulai membuka pesawat kertas itu. Aku justru mencegahnya karena tak siap.

"Jangan dibuka dulu! Tunggu gue pergi!"

Setelah mengatakan itu aku bergegas pergi meningglaknannya. Namun di tengah perjalanan aku kembali teringat kalau surat yang kuberikan merupakan surat oernyataan cinta. Apa yang akan dia pikirkan tentangku jika dipertemuan pertama aku langsung memberikan surat cinta. Ah.. Bodoh sekali kau Naveen! Aku kembali hanya untuk mengataka sebuah kalimat yang tak membuatnya salah paham.

"Sekedar info biar lo nggak salah paham! Gue kasih itu ke lo supaya lo bisa ketawa dikit, nggak ada maksud lain! Inget itu ya! Kalau gitu gue pamit!"

Setelah mengatakan itu aku benar-benar meninggalkannya sendiri di sana. Sejujurnya aku sangat malu ketika memberikannya kertas itu. Tapi apalah daya diriku yang ini? Yang bisa kulakukan untuk membantu mengjikangkan wajah lesunya hanyalah hal kecil seperti itu.

Dikejauhan aku dapat melihat guratan senyum tergambar di wajahnya sedikit demi sedikit ketika tangan cantiknya mukai membuka lipatan demi lipatan kertas itu.

Syukurlah... hadiah kecil itu mampu membuatmu tersenyum kembali.

~õÕõ~

Tbc

Thanks and see you next part❤🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro