6. Trauma
Peringatan!!
Chapter ini mengandung adegan kekerasan dan kata-kata kasar.
Di mohon kebijakannya dalam membaca!!
•
•
Langit sore terbentang di hadapanku. Pada tepi jembatan aku dan Harsa tengah menikmati langit yang mulai memamerkan sinar jingganya. Harsa lagi-lagi mengatakan kalimat yang sulit kumengerti. Yah.. Aku mulai bisa memaklumi hal itu sebagai hobinya.
"Gue seneng banget hari ini." Harsa menumbuk atensinya pada sebatang pohon yang berayun gemulai di tepi sungai.
Aku pun mengikuti arah pandangnya. Penasaran dengan apa yang ada dipikiran anak ini saat menatapnya.
"Gue habis dapet kabar dari rumah sakit kalau dua hari lagi, ibu gue diperbolehkan pulang." Harsa kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat ia jeda. Binar pada matanya membuat rasa bahagia dalam dirinya semakin kentara.
Aku ikut tersenyum mendengarnya. Harsa menceritakan semua itu dengan perasaan yang meletup-letup karena kebahagiaan. Sejak dulu Harsa sangat menantikan saat-saat ini. Saat-saat dia bersama dengan Ibunya.
"Tapi bagian yang sedihnya adalah gue harus meninggalkan kalian semua." Lanjut Harsa kembali.
Aku terkekeh. Lagi pula dibanding dengan kami semua, bukankah Ibu Harsa lebih penting baginya?
"Bisa-bisanya lo masih mikirin kita di saat hal-hal yang paling membahagiakan buat lo udah ada di depan mata."
Kini, giliran Harsa yang terkekeh. "Bagi gue, kalian juga sama pentingnya."
Aku tertawa, lantas menoleh padanya. Mata kami bersitatap. Lalu di detik berikutnya kami saling membuang pandang. Rasanya sangat aneh, ketika kami bersitatap begitu.
"Kok gue tiba-tiba merinding ya?" Ungkapku di tengah keheningan yang melanda.
"Tenang, lo nggak sendiri, kok." Suara Harsa ikut memecah keheningan. Lantas kami tertawa--menyadari keanehan dari masing-masing.
"Lo mau gue ceritain sesuatu nggak?" Harsa bertanya, sejenak setelah masing-masing dari kami berhenti tertawa.
"Cerita aja, gue dengerin." Kini aku kembali menatapnya.
"Penyebab Ibu gue sakit jiwa adalah Ayah gue sendiri. Setelah apa yang dia lakuin ke Ibu gue, gue nggak tahu lagi dia masih pantas gue sebut sebagai Ayah atau bukan." Aku dapat melihat rahang Harsa yang mengeras saat dirinya mulai bercerita. Mungkin rasa kebencian dalam dirinya kembali menguar saat dia memutuskan untuk kembali menceritakan apa yang menjadi luka terdalamnya.
"Lo tahu apa yang bajingan itu lakuin? Tanpa rasa malu, ia jelas-jelas selingkuh di depan Ibu gue dan gue yang saat itu masih kecil." Harsa terkekeh secara menyedihkan. "Bayangin aja, gue yang saat itu masih berumur empat tahun harus melihat apa yang sering dilakukan oleh pasangan dewasa di depan mata."
Aku tertegun, tak menyangka jika kisah Harsa akan sekelam ini. Aku tahu kalau Ayah Harsa sendirilah yang menjadi penyebab Ibunya menjadi gila. Tapi aku sama sekali tak menyangka jika Harsa yang saat itu masih kecil harus melihat perbuatan tak senonoh itu di depan matanya sendiri. Terlebih perbuatan itu dilakukan bersama wanita yang ia kenal bukan Ibunya.
"Bahkan suatu hari, gue pernah lihat dengan mata kepala gue sendiri bagaimana Ayah gue menghajar Ibu habis-habisan cuma gara-gara Ibu tanya siapa wanita yang lagi bersamanya? Gue nggak habis pikir, apa sebenarnya salah Ibu sampai-sampai dia harus menerima pukulan kayak gitu. Dan yang lebih bodohnya lagi adalah di sana gue cuma bisa nangis, gue nggak punya kekuatan buat ngelawan di saat Ibu gue udah jelas-jelas hampir mati di hadapan gue."
Lagi-lagi cerita Harsa berhasil membuatku terbungkam. Bagaimana bisa ada orang sekejam itu? Dan hal termenyedihkan adalah aku hanya bisa mengucapkan kalimat.
"Harsa, lo nggak salah. Umur lo masih terlalu muda buat mencerna apa yang sedang terjadi. Harsa kecil nggak salah karena dia memang belum diberikan kekuatan untuk menghadapi hal-hal kayak gitu."
Anak umur empat tahun yang seharusnya masih bermain, bercanda dan mendapatkan kasih sayang dari orang tua harus menerima kejadian mengerikan seperti itu. Aku tak tahu bagaimana caranya dia bisa menyembunyikan semua itu rapat-rapat dibalik senyumnya.
"Naveen, itulah kisah yang gue sembunyikan dari siapa pun selama ini." Aku mendongak, hanya untuk mendapati air mata yang tengah tergenang di pelupuk mata Harsa.
"Sejauh ini gue nggak pernah cerita siapapun tentang hal ini. Mungkin cuma Bapak dan Ibu panti yang tahu tentang ini."
"Gue takut dengan pandangan orang-orang terhadap gue nantinya. Apa orang-orang bisa menerima masa lalu gue itu? Gue juga nggak tahu, bahkan sekarang gue menceritakan ini sambil bersiap kalau seandainya lo nanti lo bakal ninggalin gue setelah tahu masa lalu itu."
Aku terdiam sembari memandangi Harsa yang saat ini terlihat rapuh. Kemana perginya sikap bijaksana yang biasa ia tunjukkan itu? Alih-alih terpikir untuk merasa senang karena Harsa telah menjadikanku orang yang ia percaya, aku lebih berpikir tentang bagaimana ia menjalani hidupnya selama ini. Di dunia yang penuh dengan lelucon mematikan seperti itu, bagaimana bisa ia bertahan hidup?
"Maksud lo gue bakal ninggalin itu apa?" Harsa yang semula menunduk setelah bercerita, sontak mendongakkan kepalanya. "Gue nggak bakal ninggalin lo karena masa lalu lo yang kayak gitu. Gue nggak tahu selama ini lo anggep gue bagaimana sampai-sampai terlintas pikiran kalau gue bakal ninggalin lo. Tapi terlepas dari itu semua, gue cuma mau bilang, gue bukan temen yang deketin lo cuma karena ada maunya."
"Naveen--"
"Dan sekali lagi gue mau bilang, kalau gue nggak bakal ninggalin pertemanan kita apapun alasannya."
Harsa tertawa. Kali ini ia tertawa sangat keras. Sampai aku merasa suara hewan malam tak lagi terdengar karena suara tawanya.
"Kalau ternyata gue yang ninggalin lo gimana?" Harsa menghentikan tawanya. Dia menanyakan pertanyaan itu seolah sedang bercanda.
"Lo udah habis ditangan gue."
~õÕõ~
Aku terbangun karena mendengar suara berdenting piring yang ternyata bersumber dari Farel yang tengah menyiapkan makanan. Lagi-lagi anak itu memasakkan sesuatu untukku.
Aku mendongak ke arah jendela yang mulai di sinari oleh cahaya mentari. Sudah pagi, bahkan aku tak lagi mendengar suara ayam berkokok dari luar.
Sudah lewat dua bulan sejak aku bercerita dengan Harsa di tepi jembatan. Bahkan kini Harsa sudah tinggal bersama Ibunya seperti yang ia idam-idamkan.
Namun anehnya, akhir-akhir ini aku sangat sering menginap di panti. Aku tidur di tempat tidur yang dulunya dipakai Harsa. Setelah melukis dengan Farel semalam, tanpa sadar aku sudah tertidur dan bangun di kasur ini.
Dan seperti yang sudah diceritakan. Beginilah kehidupan pagi di panti asuhan. Suara anak-anak yang berebut kamar mandi, atau sekedar suara anak-anak yang sedang bermain-main, atau bahkan aroma masakan yang sedang dibuat oleh Farel. Bagiku semua ini sangatlah langka, dan merupakan hal yang tak pernah kutemukan di rumah.
Harsa sering berkunjung ke panti, tak hanya berkunjung, bahkan tak jarang pula Harsa membawakan sebuah kue yang ia buat bersama Ibunya. Aku turut senang, karena kini Harsa sudah mendapatkan impiannya sedari dulu. Aku ikut bahagia karenanya.
Namun hari ini Harsa kembali mengunjungi panti dengan kue yang tak sebanyak biasanya. Ia meminta maaf hanya membawa sedikit makanan, karena akhir-akhir ini kondisi Ibunya sedang tidak baik. Ibunya sering sekali kelelahan dan mulai bergumam tak jelas. Aku sempat menyuruh Harsa untuk kembali ke rumah sakit untuk mengecek kondisi Ibunya. Namun Harsa jelas menolak, ia takut kalau-kalau Ibunya tak lagi diperbolehkan untuk tinggal bersama. Terlebih ia khawatir akan biaya rumah sakit yang semakin bertambah tiap tahunnya. Jadi setelah mempertimbangkan perasaan Harsa yang bisa kulakukan hanyalah menuruti apa yang menjadi keinginan Harsa.
Bulan-bulan terus berlalu seperti itu. Harsa bercerita kalau kondisi Ibunya semakin memburuk. Bahkan Ibunya mulai kembali mendengar bisikan-bisikan halus ditelinganya.
Hingga di suatu hari. Saat aku dan Farel berkunjung ke rumah Harsa untuk membantunya menangani Ibunya. Aku mendengar suara teriakan-teriakan yang begitu memilukan. Di hari itu, untuk kesekian kalinya aku kembali menyesali apa yang telah kulakukan.
Harsa, seharusnya waktu itu aku lebih giat untuk membujukmu memeriksakan Ibumu ke rumah sakit jiwa. Seharusnya waktu itu, aku membantumu dalam hal finansial untuk memberikan perawatan lebih lanjut terhadap Ibumu.
Harsa, seharusnya waktu itu aku tak terbawa perasaan dan lebih tegas untuk membujukmu.
Seharusnya... lagi-lagi kata seharusnya yang selalu menjadi penyesalan.
~õÕõ~
Maafkan Author karena akhir-akhir ini banyak sekali tugas yang harus diselesaikan sampai belum bisa rajin up😭
Niatnya tadi mau tambah beberapa chapter lagi, tapi karena kondisi badan sudah tak menyanggupi, maka akan author lanjut besok.
Doakan Author sehat terus agar bisa menemani hari-hari kalian😔
Thanks and See you next part❤🔥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro