Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Promise

Akhir pekan sudah hampir tiba. Seminggu ini aku mencoba fokus pada ujian yang berlangsung, meski pikiranku tak terfokus pada ujian itu. Setidaknya jika aku memang tak ingin melakukannya a, aku busa menggunakan alasan ingin membanggakan Mama untuk yang pertama kalinya agar bersemangat kembali dalam melaksanakan ujian kali ini. Yah.. semoga saja otakku yang tak seberapa ini bisa diajak bekerja sama.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku pulang menggunakan bus yang sama dengan Sahara. Bedanya kali ini jantungku berdebar menunggu jawabnya. Aku kembali membuka room chat-ku dengan Sahara untuk yang kesekian kalinya. Chat yang kukirim seminggu lebih akhirnya terbaca juga olehnya setelah sebelumnya hanya menunjukkan centang dua abu-abu. Dalam hati, aku melonjak kegirangan. Akhirnya penantianku selama ini terbalas. Aku menjulurkan leherku ke depan—tempat di mana Sahara duduk sekarang. Lantas berbisik di telinganya.

"Gimana? Lo belum jawab pertanyaan gue beberapa hari kemarin."

Dia sedikit terjingkat akibat aku yang mendekatinya secara tiba-tiba. Dia menoleh padaku. Kini jarak antara wajahku dan wajahnya tak sampai satu jengkal.

"Iya, mauu..."

"Yes!!" Aku refleks mengepalkan tanganku mendengar jawabannya.

Namun.. sebuah tangan yang mengusap pelan kepalaku membuatku tersadar. Bukan tersadar... atau lebih tepatnya aku justru dibuat membeku. Senyuman di wajahnya juga usapan lembut jemarinya dikepalaku benar-benar membangunkan kupu-kupu dalam diriku.

Setelah beberapa saat dia baru tersadar akan sikapnya yang mengobrak-abrik hatiku. Netra cokelat milik kami bertemu. Aku menahan tangannya yang hampir saja lepas dari kepalaku. "Kenapa? Mau menghindar lagi?"

Lantas dengan pertanyaan itu, dia kembali mengusap kepalaku pelan. Bahkan kini tanpa sadar sudut bibirku kembali terangkat.

~õÕõ~


Keesokan harinya aku benar-benar menghampiri Sahara. Tanganku menggenggam secarik kertas lusuh yang sudah kutulis sejak aku berumur 6 tahun. Mungkin satu tahun sejak Rara berpisah denganku. Sebelumnya aku sudah menanti saat-saat ini. Sat-saat di mana aku busa memberikan surat ini langsung padanya. Ternyata mengumpulkan keberanian itu tak semudah yang dipikirkan dalam benak. Butuh waktu kama sampai keberanian itu benar-benar terkumpul. Dan saat ini.. kurasa sekarang adalah waktu yang pas untukku mengungkapkan siapa aku padanya.

Saat ini bukanlah Sahara yang menyambutku, akan tetapi sosok wanita paruh baya yang entah sejak kapan sufah berdiri di depan pintu seakan memang sudah mempersiapkan diri menyambutku. Senyum di wajahnya kali ini terlihat sendu. Seakan menemukan kebahagiaan yang entah berupa apa dengan adanya kehadiranku.

“Masih inget sama Tante?” Senyum itu masih tak lepas dari wajah yang sudah sedikit berkerut itu.

“Kemarin Tante sempat bertemu dan ngobrol sebentar sama Mama kamu.” Wanita yang tak lain adalah Bunda Sahara itu menatapku lekat.

“Sekarang Tante mau ngobrol sebentar sama kamu.”

Setelah itu Tante mengajakku ke dalam. Tak ada Sahara di sana. Mungkin saja saat ini dia tengah bersiap-siap. Tante bahkan menyiapkan teh hangat untuk kuminum seraya menunggu Sahara.

“Tante tahu gimana perasaan kamu ke Sahara selama ini,” ujar Tante sesaat setelah duduk di hadapanku. Dan benar saja.. kata-kata Tante yang satu itu berhasil membuatku tak tahu apa yang akan aku katakan untuk menjawab pernyataan Tante itu. “Tapi Tante juga nggak bisa biarin gitu aja tanpa alasan yang kuat.”

“Selama ini Rara sudah melewati hal-hal yang melelahkan. Jadi apa yang bisa kamu janjikan buat Sahara kedepannya? Tante mau tahu.” Tante menatapku. Kali ini sorot matanya berubah tajam. “Apa kamu bisa memberi lebih dari yang sudah Tante berikan padanya?”


Aku meneguk ludahku susah payah. Kenapa suasananya bisa berubah menjadi semencekam ini? Bukankah biasanya pertemuan pertama kali sejak lama tak bertemu itu harusnya dihiasi dengan suasana penuh haru dan kesenangan. Kenapa... pertemuan pertamaku dengan Tante justru dihiasi dengan suasana mencekam seperti ini?

“Saya...” suaraku tercekat. Kenapa sangat sulit mengatakannya di hadapan orang tua Sahara? Padahal dulu saat kecil aku sudah menganggapnya seperti Ibuku sendiri tanpa canggung. Bagaimana bisa kepribadian seseorang berubah sedrastis ini? “Saya tidak bisa memberi Rara lebih daripada yang sudah Tante beri.”

“Kalau begitu kamu jangan lagi mendekati Rara—“

“Karena sebanyak apapun hal yang saya beri pada Rara. Itu tak pernah cukup untuk menyaingi apa yang sudah diberi orang tuanya.”
Tante lantas terdiam. Wajahnya yang semula tegas perlahan melembut. “Tante nggak pernah memberi sesuatu yang berharga buat dia.” Netra Tante menyorot padaku dengan tegas, seakan menolak pernyataan yang kuberikan.

Aku menggeleng. “Saya memang nggak tahu keseluruhan dari apa yang sudah menimpa Tante dan Rara, dan dengan cara apa Tante mendidik Rara selama ini. Tapi kenyataan kalau Tante adalah orang baik itu adalah sebuah pernyataan yang nggak bisa disangkal.”

“Tante bukan orang tua yang baik seperti yang kamu kira.”

“Tante itu baik dan akan selalu begitu di mata Naveen. Tante dan Rara itu hanya kurang komunikasi saja.” Entah aku sudah melakukan hal yang benar atau tidak. Aku bahkan tidak tahu, tapi aku akan melakukan segala yang kubisa untuk kembali menyatukan Ibu dan anak ini seperti dulu—yang kulihat di masa kecil. Keluarga yang sangat ku idam-idamkan.

“Tante... kita ini juga manusia yang pastinya punya kesalahan. Bahkan makhluk paling sempurna di muka bumi ini pun pastinya tetap memiliki kesalahan, kan?” Aku terdiam sejenak saat senyum tipis terukir di bibir Tante. Tante sama sekali tak menyangkalnya. Wajahnya seakan mengatakan kalau aku boleh melanjutkan kalimatku. “...karena dengan kesalahan itulah yang menjadikan kita pantas disebut sebagai manusia.”

Apakah sekarang aku terkesan seperti anak kecil yang sedang menggurui orang dewasa? Tante bahkan sampai tertawa ketika aku menyelesaikan kalimatku. “Fania sudah membesarkanmu dengan baik.. Bahkan aku kalah dengan anaknya dalam hal seperti ini.” Tante bergumam di sela tawanya.
Yah.. Tante bisa mengatakan semua itu, karena Tante tak tahu bagaimana asal-usul aku dilahirkan. Bahkan mungkin saja Tante busa mengatakan hal lainnya begitu tahu bagaimana Mama dan Papa menghasilkanku.

“Tante... mungkin Naveen memang nggak bisa memberi Rara lebih dari apa yang sudah Tante beri. Tapi Naveen bisa membuat janji.” Lengkungan di bibir Tante kembali ke bentuk semula saat aku menyatakan itu. “Naveen akan menciptakan senyuman dan tawa di bibir Rara. Tawa yang sebenarnya, bukan tawa yang ia buat-buat atau digunakan untuk menutupi lukanya. Namun tawa yang dirasakan saat seseorang benar-benar bahagia. Naveen bisa pastikan Tante akan melihat baik senyum maupun tawa itu di bibir Sahara.”

Tepat setelah itu Tante berdiri. Genangan air yang samar mulai terlihat di pelupuk matanya.

"Masuklah.. Tante mau keluar sebentar.” Setelahnya Tante benar-benar meninggalkanku sendiri di ruang tamu miliknya.
Aku pub menuruti perintah Tante yang menyuruhku untuk memasuki kamar Rara. Aku mengetuk pintunya. Penampilannya saat ini benar-benar terlihat sangat cantik, dengan setelan dress selutut, yang terlihat sangat cantik di tubuhnya.

"Udah siap?" tanyaku kemudian.

"Bunda ke mana?" Dia justru balik bertanya.

"Katanya mau keluar sebentar.” Aku pun menjawab seadanya.

Kupikir dia akan kembali bertanya. Namun nyatanya dua hanya diam setelah aku menjawabnya. Apakah dia tidak ingin tahu ke mana Bundanya pergi? Ah.. aku lupa kalau hubungan antara Ibu dan anak ini le uh dengan kecanggungan.

Setelah itu kami pun keluar dengan menaiki bus kota seperti biasanya. Aku tak pernah menginginkan kendaraan karena memang pada dasarnya aku tak suka mengendarainya. Lagi pula menaiki bus sambil menikmati pemandangan seperti ini lebih seru daripada harus menaiki kendaraan pribadi dan justru terfokus pada jalanan.

"Ada tempat yang mau kamu datengi?" tanyaku padanya.
"Terserah kamu aja."

"Nggak boleh gitu, dong... kita harus mendiskusikan ini sebelum mencapai kesepakatan bersama."

Dia menatapku dengan tatapan kesalnya. "Gue kan orang baru! Mana tahu tempat yang bagus!"

Ah.. iya, benar juga. Lagi pula dia juga mana tahu rute yang dilewati bus ini? Aku berpikir sejenak. Kalau jalur ini berarti tempat wisata paling dekat adalah... Ah iya!!
"Hmm... kalau jalurnya kesini berarti... TAMAN HIBUR—hmph"

Tangannya tiba-tiba saja membungkam mulutku. Sadis sekali wanita ini. Bisa-busanya melakukan hal keji seperti ini di tempat umum.

"Hmmmpphh... Hmmmpphh..." Aku memberontak agar Sahara segera melepaskan tangannya dari mulutku. Tapi semakin ke memberontak dekapan tangannya justru semakin rapat. Orang ini benar-benar terobsesi ingin membunuhku, ya? Pada akhirnya aku sedikit menjilat telapak tangannya agar dia melepaskan tangan itu. Benar saja, setelah itu dia langsung melepas dekapannya oada mulutku dan mengusap tangannya dengan kasar untuk menghilangkan air dariku itu.

"Makannya jangan nakal!" bentakku yang langsung dibalas dengan tatapan sinis.

~~~

Sesampainya kami di taman hiburan aku mengajak Rara ke tempat  di mana bianglala berada. Tempat itu adalah tempat favoritku dulu saat masih kecil. Di sat aku begitu takut dengan bianglala, Rara justru semakin tertantang untuk menaikinya lagi. Sejak dulu dia memanglah anak yang seperti itu. Berani, kuat, dan cerdas. Aku lantas meninggalkannya dengan alasan akan pergi ke toilet. Tapi yang sebenarnya adalah aku tengah menyiapkan sebuah kejutan untuknya. Hanya... kejutan kecil. Sebuah kertas yang sudah kusiapkan sebelumnya. Aku membentuknya menjadi pesawat ketas, dan meletakkannya di bawah pohon kenangan besar di taman itu. Tempatnya sangat pas sekali, karena memiliki pohon kenanga besar yang persis seperti kenangan masa kecil kami.

Perlahan Sahara menghampiri pohon itu. Sedang aku mengawasinya dari jauh. Dia benar-benar tak tahu kalau saat ini aku tengah mengawasinya. Lantas tangannya itu terlihat sedikit bergetar saat membuka pesawat kertas lusuh itu. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Pelan... sangat pelan, sehingga hampir saja langkah kakiku tak memiliki suara.

“Rara...” Dia menoleh dengan tatapan berlinang. Mataku ikut terasa pedih saat melihat bulir itu turun di pipinya.

“Akhirnya aku menemukanmu.” Kali ini, tanpa berbasa-basi lagi Rara langsung berlari menghampiriku. Aku bersyukur karena selama ini Rara tak melupakanku.

“Terimakasih karena sudah mengingatku,” lirihku saat dia berhasil mendekap tubuhku. Erat. Membuatku dejavu dengan masa kecil kami dulu.

~õÕõ~

Entah apa yang terjadi tadi sampai-sampai saat ini sudah berbaring di pangkuan Sahara saat ini. Seingatku setelah Sahara mendekapku cukup lama sembari menangis tadi, aku hanya mengatakan kalau pagi tadi adalah hari yang cukup melelahkan. Sehingga dengan begitu saja, Sahara menawarkan pangkuannya untuk menjadi bantalku. Saat ini aku tengah memejamkan mata seraya merasakan segala kedamaian yang menyelubungiku. Ternyata yang kita butuh kan di dunia ini hanyalah perasaan seperti ini. Aroma yang keluar dari tubuh Sahara sangat lembut, hangat dan menenangkan. Bahkan usapan lembut yang ia berikan di rambutku benar-benar membuatku seketika lupa kalau saat ini aku masih berada di dunia bukan di surga.

“Naveen...” Suaranya yang lembut bergema di telingaku.

“Hmm?” jawabku tanpa berniat membuka mata.

Aroma kenanga yang juga menyengat membuatku merasa kembali ke masa-masa itu. Mungkin sebentar lagi aku akan benar-benar tertidur karena suasana damai ini. Aku masih bisa mendengar suara Sahara yang memanggilku lirih sebelum kesadaranku benar-benar hilang. Namun bunga kenanga yang tiba-tiba jatuh di kakiku mengembalikan kesadaranku setelahnya. Ah.. bunga ini benar-benar tak mengizinkanku untuk meninggalkan Sahara sendirian, ya?

“Kamu inget nggak?” Pada akhirnya aku kembali membuka suara agar tak tertidur. Mencoba mencari topik yang sekiranya menyenangkan untuk kami bahas.

“Dulu, banyak orang yang ngira kita anak kembar karena terlalu mirip.”

Aku membuka mata perlahan karena penasaran dengan raut wajah Sahara saat ini. Aku terkejut karena saat ini dia sedang memandangi rambutku seraya tangannya yang tak berhenti untuk mengusapnya.

“Jahat banget!” ujarku sedikit lebih keras agar Sahara memberikan atensi sepenuhnya padaku. Dan benar saja, netra kami bertemu. Namun tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini dia tak lagi mengalihkan pandangannya.

Melihat wajahnya dari jarak segini benar-benar membuat pikiranku tak tenang. Debar jantung dalam dadaku semakin menjadi. Tanpa kusadari tanganku sudah lebih dulu menggapai pipinya tanpa persetujuanku. Aku menatapnya lekat seakan tak ingin ada seorang pun yang bisa merenggutnya.

“Padahal aku udah berusaha buat mengingat semuanya.” Tepat setelah aku selesi mengatakan itu, tangannya ikut menangkup tanganku yang sudah lebih dulu berada di pipinya.

“Dapatkah kenangan itu terulang?” tanyanya kemudian, dengan raut wajah yang sulit untuk ku deskripsikan.

Aku membalasnya dengan senyuman, lantas menggeleng. Kejadian yang sudah menjadi kenangan itu hanya bisa untuk dikenang, bukan diulang. “Nggak, tapi kita bisa membuat kenangan baru. Sebuah kenangan yang selalu dirindukan.” Tapi setidaknya kita bisa menciptakan kenangan baru untuk menjadi penghias kehidupan kita. Setidaknya sebuah kenangan itu dapat menjadi alasan penguat kenapa kita harus tetap hidup di dunia yang penuh luka ini.

Aku memandangi seluruh bagian wajahnya satu persatu, matanya yang bersinar indah saat menatapku, hidungnya yang lumayan tinggi, lantas tatapku berhenti pada bibirnya yang bergetar, darah yang mengalir dalam tubuhku seolah berhenti. Sepersekian detik setelahnya tanganku mulai menarik wajahnya mendekat, juga di luar kendaliku kepalaku ikut mendekat padanya. Mempertipis jarak di antara kita. Perlahan... dia memejamkan matanya ketika aku hampir sampai padanya.

Sampai ketika angin bertiup untuk menyingkap surai yang menutupi wajah indahnya serta membawa aroma kenanga dan tubuh Sahara untuk kuhirup lebih dalam. Kami bertemu. Aku ingin menyimpan setiap inci dari perasaan juga ingatan yang sudah kami lakukan hari ini dalam hatiku. Seandainya suatu saat nanti kami tak lagi bersama, ada sebuah kenangan yang masih melekat di sana untuk kujadikan saksi betapa indahnya hidupku saat bersamanya.
Setiap sentuhan lembut yang kami berikan pada masing-masing, menyalurkan kehangatan dan ketenangan. Hanya hari ini.. aku ingin menyimpan saat-saat bahagia seperti ini. Selamanya. Dalam hatiku. Seolah dunia ini benar-benar hanya kami yang memilikinya.

Last Part in Wattpad🤧

Terimakasih sudah membaca cerita ini sampai akhir. Ada beberapa part yang hanya ada di buku saja.

Part terakhir ini aku buat agak panjang sebagai hadiah untuk kalian yang baca sampai akhir. Ada sedikit pesan juga yang disampaikan di sini.

Dan ada satu hadiah lagi...

See you in the next project❤🌹

Oh iya.. Flower Universe ini masih akan terus berlanjut sampai keempat tokoh utama kita ini bahagia.

Ada yang tahu siapa 4 tokoh utama ini?

Atau ada yang bisa nebak cerita siapa yang akan rilis selanjutnya?

Aku serahkan itu semua kepada imajinasi kalian masing-masing😌

Thanks❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro