Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. The Art

Kembali lagi pada tahun-tahun dimana aku sangat merindukan kehadirannya. Tahun-tahun yang sangat melelahkan bagiku.

Saat masih kecil, aku merasa bahwa usia anak SMA itu terlihat sangat besar, dan dengan bodohnya waktu itu aku sangat ingin segera tumbuh besar dan menjadi dewasa. Namun setelah benar-benar merasakannya seperti ini, aku jadi menyesal pernah memiliki harapan seperti itu.

Waktu itu harusnya kunikmati saja masa-masa kecilku. Masa-masa diriku paling bahagia. Masa-masa dimana Mama masih ada di sampingku.

Aku menghela napas seraya menatap langit pagi yang berwarna biru cerah. Sudah waktunya berangkat. Namun lagi-lagi aku sengaja melewatkan bus yang baru saja berhenti untuk menjemput anak sekolah seperti kami.

Aku tak ingin berangkat. Sekolah bukan tempat yang tepat untuk orang sepertiku. Andai Papa tidak memaksaku untuk masuk ke sekolah favorit itu, aku mungkin sudah memilih untuk pergi ke sekolah seni sejak dulu. Atau mungkin bisa saja, aku menghabiskan uang hanya untuk anak-anak itu.

Aku memberikan atensi pada suara klakson yang terus saja berbunyi seperti meminta perhatianku. Sangat mengganggu sekali. Orang itu selalu saja mengganggu ketenanganku.

"Woii!! Lo nggk berangkat?!"

Benar, kan? Anak itu lagi-lagi ikut campur.

"Males." Jawabku seraya mengayunkan tas ke pundak--berniat meninggalkan orang gila itu sendiri.

"Lo mau bolos ke panti lagi, kan?"

Langkahku terhenti. Tebakannya itu tepat sekali. Sebelum aku sempat menjawab. Dia telah kembali menyahut.

"Bareng gue aja, gue juga mau ke sana."

"Lo itu murid kesayangan guru-guru, gausah ngadi-ngadi mau ikutan bolos."

"Justru karena gue murid kesayangan, guru-guru jadi izinin gue sama lo buat nggak masuk hari ini."

Jelas saja aku terkejut mendengar pengakuannya itu. Bagaimana bisa dia memanfaatkan posisinya itu?

"Gilak lo!! manipulatif banget jadi orang!"

Dia berdecak kesal. Lantas memakai kembali helm-nya yang entah sejak kapan ia lepas. "Peduli kebo! Toh, setiap orang juga manipulatif entah dia sadar atau nggak."

"Kalau nggak sadar dirinya manipulatif, namanya ya goblok!" Sahutku kemudian.

"Kayaknya omongan lo bener-bener diciptain buat bikin orang kesel." Setelah mengatakan itu, ia mulai menyalakan motornya, "Naik cepetan! Keburu pegel gue!"

Aku pun menaiki motornya itu dengan malas. Anak ini memang tidak betah dalam hal menunggu.

"Zar, gue kangen seseorang." Entah apa yang telah membuat mulutku mengeluarkan kata-kata seperti itu secara tiba-tiba. Rasanya aku ingin merutuki diri sendiri yang telanjur mengatakan hal memalukan itu pada orang di dekatku ini.

"Bisa nggak lo manggil gue Aziel, kayak yang lainnya? Ezar itu bukan nama panggilan gue."

Aku terkekeh sejenak. Kupikir dia akan penasaran karena tiba-tiba saja aku berkata seperti itu. Ternyata alih-alih menanyakan siapa orangnya, dia justru mengalihkan pembicaraan.

Bagus. Teruskan bakatmu itu. Karena tak peduli apapun yang kulakukan. Orang-orang tak akan pernah memedulikannya.

"Gue lebih suka panggilan itu." Aku menjawab, sebelum benar-benar terhanyut dalam kenangan tentang dirinya.

~~~

"Wah... Anak-anak manis ini udah datang lagi..."

Itu adalah suara Ibu panti yang biasa menyambutku ketika mengunjungi panti ini. Panggilan anak-anak manis adalah suatu hal yang biasa dia ucapkan ketika menyambut kami. Namun meski begitu, telinga ini selalu merinding ketika suara panggilan itu mengenai tepi daunnya.

"Farel sekarang lagi ngapain, bu?" Tanyaku kemudian. Farel adalah anak tunarungu yang katanya sering menanyakan keberadaanku pada Ibu panti.

"Kayaknya tadi lagi latihan ngelukis di belakang." Ibu panti menyiapkan beberapa hidangan untuk di suguhkan padaku dan Ezar, "Kalian makan dulu, gih.. Pasti capek habis pulang dari sekolah."

"Kita bolos, bu." Sontak aku menyikut Ezar. Anak ini memang terlalu jujur untuk bisa disebut sebagai temanku. Bagaimana mungkin dia langsung menggali lubang sendiri seperti itu.

Ibu panti reflek melihat jam--seperti baru menyadari jika jam-jam sekarang belum cukup waktu untuk bisa disebut sebagai jam pulaang sekolah.

"Anak-anak nakal ini!! Bisa-bisanya kalian bolos sekolah!!"

Dengan reflek aku menghindar dari pukulan sapu yang diarahkan Ibu panti kepada kami berdua. Hubunganku dengan ibu panti memang cukup dekat, karena sudah sejak aku masih kecil aku selalu berkunjung ke panti ini.

"Buu dengerin kita dulu. Aku tadi udah izin sama guru-guru."

"Mana boleh disalah gunakan kayak gitu!!"

"Nggak gitu bu--"

Sementara Ezar dan Ibu panti masih berdebat. Aku menggunakan keaempatan ini untuk segera menemui Farel. Setelah dirasa jarakku cukup jauh dengan mereka, aku berbisik pada Ezar yang tak sengaja menangkap gelagatku untuk melarikan diri.

"Gue pergi duluan." Bisikku dengan gerakan samar. Tentu saja Ezar membola, lantas berteriak..

"Woii!! Jangan kabur loo!!"

Namun bukan Naveen namaku jika tidak menulikan pendengaran.

~~~

Di taman belakang aku dapat melihat seorang anak laki-laki dengan satu kanvas yang telah diselesaikan setengah bagian. Tangan anak itu menari dengan luwes di tepi permukaan kanvas tersebut. Tentu saja pemilik tangan itu tidak bisa mendengar langkah kakiku, sehingga ia seperti orang yang tidak peduli akan keberadaanku di ruangan ini.

Namun itu adalah perkiraan yang salah. Dia menoleh ketika aku tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di belakangnya. Dia tersenyum sampai ke matanya. Aku balas tersenyum.

Dia menggerakkan tangannya untuk berbicara padaku. "Benar kan dugaanku kalau kakak ada di belakang."

Aku terkekeh. Lantas balik bertanya dengan menggunakan bahasa isyarat yang sama. "Kok kamu bisa tahu?"

Dia kembali tertawa, lantas menggerakkan kembali tangannya. "Katanya kalau kita kehilangan salah satu fungsi indera kita, indera yang lain bakal memiliki fungsi dua kali lipat."

Kurang lebih begitulah makna dari bahasa isyarat yang ia sampaikan. Aku tersenyum, lantas mengusap pelan kepalanya.

"Anak pintar," Dia terlihat sangat senang ketika aku meutuskan untuk duduk di sampingnya. Sejenak, aku memerhatikan kanvas yang ia lukis.

Aku terhenyak ketika menyadari siapa orang yang ada dalam lukisan itu. Dadaku terasa sakit, apakah ini yang disebut dengan trauma? Aku juga tak tahu bagaimana mungkin Farel masih bisa mengingat orang dalam lukisan itu. Aku berusaha menetralkan laju jantungku yang semakin bergerak tak karuan.

"Auu!! Ak-aaak!! Ii-uuu!! Aaann-ii!!" (Kakak!! Ibu!! Panti!!)

Aku bisa mendengar suara Farel yang bersusah payah berteriak panik memanggil Ibu panti. Bukannya aku tak ingin menghentikannya berteriak-teriak, hanya saja seluruh tubuhku terasa lemah. Bahkan kini aku hanya bisa merasakan debaran jantungku yang berdetak terlalu kencang sampai rasanya ingin keluar dari tempatnya.

"Naveen!! Lo kenapa?!!" Ezar ikut membopongku untuk masuk ke dalam ruangan, disusul dengan Ibu panti yang berteriak panik karena keadaan yang begitu tiba-tiba ini.

Bukan hanya mereka, bahkan aku sendiri pun sama sekali tak terpikirkan akan terjadi hal seperti ini. Kukira aku baik-baik saja karena kejadian itu sudah terlewat beberapa tahun. Tapi setelah kembali melihat wajah itu, rasa trauma diriku kembi muncul tampa bisa kucegah.

Sebenarnya kenapa aku harus merasakan semua penderitaan ini?

~õÕõ~

Siapa yang masih ingat scene kenanga(n) waktu Naveen ngajak Sahara bicara pake bahasa isyarat?

Kalau lupa coba deh kalian buka lagi cerita kenanga(n), scene-nya emang secuil, tapi bagi kalian yang merhatiin secara detail pasti masih inget.

Nah.. Udah dijawablah sedikit di sini alasan kenapa Naveen bisa bahasa isyarat. Jadi waktu itu Naveen emang bener pake bahasa isyarat, yaa.. Bukan cuma abal-abal😂

Oiyaa jangan lupa vote dan comment juga, yawww

Thanks and see you next part❤🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro