Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Painting in The Night

Haiii... Hydrangea Love kembali lagi untuk menemani hari-hari kalian..

Akhir-akhir ini aku sibuk banget di real life, jadi jarang update video tiktok ataupun ig. Tapi untuk mengembalikan cerita yang satu ini, gapapa lahh aku sempet-sempetin, demi kalian tercintaa🥰

Btw, HL ini nanti akan slow update banget. Jadi buat kalian yang udah nggak sabar dan penasaran sama kelanjutan ceritanya. Kalian masih bisa order Hydrangea Love yang tersedia di shopee sale novel dan faniicshop_bookstore. Untuk detailnya kalian bisa DM insta aku @psychesweety09

Terimakasih karena sudah menyempatkan waktu untuk mendukung ceritaku ini. Lopyu sekeboon buat kalian semuaa (sekebon juga kayaknya kurang, deh, wkwkwk)

••••
••


••
••••

"Jangan di paksa,” lirihku.

Dia mendongak untuk menatapku. Matanya membesar karena terkejut dengan aku yang tiba-tiba balik mencekal tangannya. Maaf, tapi aku sangat takut akan kembali menyesal jika tak menahannya.

"Ayo ikut gue." Tanpa menunggu jawabnya, aku lantas menarik tangannya untuk kubawa pergi dari sesuatu yang ia takuti itu.

Entahlah... aku mungkin benar-benar sudah gila. Alih-alih perlakuan yang kuterima dari keluargaku selama ini, kenapa aku justru lebih sakit saat melihatnya menerima perlakuan tak mengenakkan dari orang tuanya?
Sahara juga tak memberontak selama aku membawanya ke tempat tinggalku. Setelah memasuki apartemen itu, aku mencari handuk bersih yang sekiranya bisa ia pakai, juga beberapa kaos dan celana milikku—karena memang aku tak punya barang milik perempuan.

"Badan kamu basah semua. Mandi dulu, gih." Aku menyerahkan sepasang itu padanya yang kemudian dibalas dengan tatapan menyelidik olehnya. Tatapannya seolah menelanjangiku dari atas sampai bawah.

"Kenapa? Nggak mau mandi?" tanyaku.

Namun pandangannya masih jelas terpaku padaku. Aku mendekatinya, lantas dengan kedua tanganku. Aku mengingatkan ujung handuk yang sudah lebih dulu kutelungkupkan di atas kepalanya. Sehingga saat ini, tampilannya seperti tokoh Masha dalam kartun Masha and The Bear. Aku mengacak rambutnya yang berbalut handuk itu pelan, dan memberikan senyum termanisku padanya.

"Atau mau gue mandiin?" lanjutku.

Matanya membola. Detik berikutnya tangannya sudah terayun untuk memukulku. Namun dengan kekuatan refleks yang kumiliki aku menangkap tangannya.

"Eitts... Gue nggak bakal kena lagi—sshh..."

Ah... sial! Aku sama sekali tak memperkirakan jika kakinya akan ikut melayang padaku. Setelah melakukan kekerasan seperti itu, dia lantas pergi menuju kamar mandi.

Aku menatap punggungnya yang terlihat kecil dari belakang. Aku sudah terbiasa menatap punggung seseorang. Sampai tak pernah sedikit pun ada pikiran untuk mengharapkan seseorang berbalik menghampiriku. Tapi kali ini... untuk pertama kalinya, aku mengharapkan bahwa suatu hari nanti pemilik punggung yang kini kutatap dapat berbalik untuk melihatku.Setidaknya sekali saja, aku tak apa. Tak apa, karena impianku berhasil terkabul.

Aku mengeluarkan kanvas yang baru saja kubuat di sekolah tadi untuk memperbaiki bagian yang sedikit menghitam karena hampir terbakar. Selepas itu, kembali kubiarkan terpajang pada easel untuk mengeringkannya.

Tak lama setelah itu, Sahara selesai. Aku pun bersiap untuk menanti giliranku mandi. Saat berpapasan dengannya, aku dapat mencium aroma sabun yang menguar dari tubuhnya, juga handuk yang ia lilitkan di kepalanya itu semakin membuat debar jantungku memacu lebih cepat. Yah... aku juga hanyalah manusia biasa bukan yang bisa khilaf kapan saja? Aku bergegas menuju kamar mandi untuk menepis rasa berdebar dalam diriku.

Kini, aku berdiam di bawah guyuran air yang keluar dari shower. Yah.. setidaknya ini lebih baik dibanding berdiam di bawah guyuran air hujan. Merasakan dinginnya air yang perlahan mengaliri tubuh. Bukankah itu bisa sedikit melepaskan beban di pundak yang menggunung? Suara gemercik air yang berhantaman dengan lantai juga air yang lebih dulu terjatuh sehingga menimbulkan genangan. Selama beberapa saat kunikmati segala perasaan yang ada saat itu, juga perih di punggungku yang masih sangat terasa, meski sudah lewat beberapa hari.

Setelah puas menikmati segala perasaan itu, aku pun melanjutkan aktivitasku. Saat keluar aku mendapati Sahara yang terdiam di balkon seraya memandangi langit malam. Kelihatannya menikmati secangkir coklat panas bersamanya sangat cocok untuk menghabiskan malam ini. Aku pun lantas membuat dua cangkir cokelat panas untuk kunikmati bersamanya.

Dia mendongak menatapku saat aku menyodorkan secangkir cokelat panas padanya. Lantas setelah dia menerimanya, aku ikut berdiri di sebelahnya seraya memandangi langit malam tanpa bintang itu.

Suara hewan malam menjadi melodi penghias di antara kami. Aroma coklat dan juga sabun dari tubuhnya bercampur menjadi satu. Lantas ketika masing-masing kepulan asap dari coklat panas itu ikut menyatu, aku menatap manik matanya yang sedari tadi memandangiku. Selama beberapa saat, hanya keheningan yang berbicara melalui netra kami masing-masing.

Aku tersenyum. “Manis?” tanyaku, yang lantas dibalas anggukan pelan olehnya.

“Belum ngantuk?” Aku kembali bertanya. Namun lagi-lagi dia hanya membalasku dengan bahasa tubuhnya.

Dia menggeleng sambil memalingkan matanya untuk menghindari tatapku.

Aku lantas pergi meninggalkannya untuk mengambil lukisan dirinya yang tadi kubuat di sekolah. Lukisan diriku yang kulukis beberapa waktu lalu juga ikut kubawa untuk kutunjukkan padanya. Lukisan diriku dengan bunga hortensia ungu. Aku kembali padanya untuk menunjukkan lukisan itu.

Selama beberapa menit dia terdiam seraya memandangi lukisan itu. Seakan menyelami makna yang tersembunyi dari lukisan yang kubuat.

"Mau aku ajari?"

Aku lantas merutuki diri sendiri yang sudah menawarkan bantuan itu. Sejujurnya aku tidak sepandai itu sampai-sampai bisa mengajari seseorang. Tapi entah kenapa saat melihatnya rasa ingin terus bersamanya menjadi semakin tak terkendali. Bahkan saat ini aku tak masalah jika dia tiba-tiba saja ingin menolaknya.

"Boleh."

Di luar dugaan, dia justru menerima tawaranku dan menjawabnya dengan senyum lebar di bibirnya, yang membuatku juga ikut tersenyum. Tak butuh waktu lama untukku berpikir dan membawanya ke ruang seni milikku.

“Kalau melukis hanya untuk menungkan emosi, kita nggak perlu susah-susah berpikir gimana caranya agar lukisan kita indah. Kita hanya perlu menggunakan perasaan kita dalam melukisnya. Bahkan tak apa, jika seandainya kita tak memakai alat lukis sekalipun. Kamu boleh menggunakan tanganmu untuk menuangkan emosi kamu ke dalam kanvas.”

Aku menuntun tangannya untuk menggoreskan beberapa coretan indah di sana. Sampai tak terasa beberapa jam sudah berlalu, dan malam pun semakin larut. Lukisan yang ia buat lumayan indah dan cukup untuk membuat hatiku berdesir. Aku mengusap rambutnya pelan dari belakang.

“Ternyata kamu juga berbakat dalam hal ini.”

Dia mendongak sehingga membuat mata kami lagi-lagi bersirobok. Sampai di detik berikutnya kami saling membuang pandang. Dia lantas bangkut dari duduknya entah ingin pergi ke mana. Namun lagi-lagi seolah semesta sedang mempermainkan kami.

Kuas yang berceceran di bawah berhasil membuat tubuhnya tak seimbang. Aku reflek menangkap tubuhnya agar tak terjatuh, tapi karena aku belum siap dengan sesuatu yang tiba-tiba ini aku ikut limbung, sehingga dengan begitu saja kami jatuh bersamaan. Kepalanya terjatuh tepat pada lengan kiriku.

Syukurlah.. karena ia tak langsung menghantam lantai yang keras ini. Saat kami terjatuh aku sedikit menahan tubuhnya agar tak terlalu keras saat berhantaman dengan lantai.

Aku terdiam beberapa saat untuk mencerna situasi yang terjadi. Mungkin saat ini dia bisa mendengar suara degup jantungku, karena posisi kepalanya yang berada tepat di dadaku. Tak hanya itu, bahkan sekarang napasku mulai tak beraturan. Aku lantas dapat merasakan pergerakan tubuhnya yang meminta lepas. Aku menahannya.

“Jangan berdiri.” Dia lantas membeku.

Aku menjeda sejenak ucapanku untuk mengatur napas. “Bukannya kalau kamu berdiri, suasana di antara kita akan semakin canggung?”

Dia tak lagi mencoba bangkit. Namun, ia juga tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Cukup seperti ini dulu." Aku melonggarkan dekapanku padanya. Dia lantas mendongak untuk menatapku. Aku menyisihkan beberapa anak rambut dari wajahnya.

"Makasih untuk hari ini..." Matanya yang indah itu menatapku lekat saat aku mengucapkan kalimat itu.

“Kamu ibarat bulan yang datang menyinari saat gelap mulai menyapa. Kamu adalah bulanku, Sahara."

Dia terkekeh. Aku tak tahu apanya yang lucu dari perkataanku sampai dia mengeluarkan senyum dengan begitu manisnya. Rasanya.. aku ingin merekam itu dalam kepalaku agar suaranya yang indah terus menetap dan tak lekang seiring berjalannya waktu. Namun apa yang ia lakukan di detik berikutnya benar-benar di luar prediksiku. Tangannya yang lembut menangkup pipiku.

"Kalau aku bulan, maka kamu adalah mataharinya. Karena bulan nggak akan pernah bisa bersinar tanpa adanya matahari." Dia tersenyum.

Jika dia mengatakan itu untuk membuat diriku terbawa perasaan olehnya. Maka harus kuakui rencananya itu berhasil. Aku bahkan sampai tak mampu berkata-kata lagi karena ucapannya. Sampai yang bisa kulakukan saat ini hanyalah mengeratkan dekapanku padanya. Dia tak menolak. Sampai keheningan kembali menyelimuti kami.

Wajahnya yang tertidur saat ini benar-benar terlihat indah di mataku. Entahlah... mungkin saat ini hadirnya sudah telanjur menjadi candu yang enggan untuk kulepaskan.

Sejenak keheningan menyapa kami. Hingga di detik berikutnya aku semakin mengeratkan dekapannya. Membuat jarak antara kami terkikis secara perlahan. Sebelum memejamkan mata, aku menyempatkan diri untuk melihat rembulan yang bersinar indah di luar. Namun yang disayangkan adalah bulan itu terlihat kesepian. Percuma saja ia bersinar indah, jika dia tak memiliki kebahagiaannya.

“Rara, the moon is beautiful isn’t?”

Bohong. Memangnya apa indahnya bersinar mencolok seperti itu jika dia tak memiliki kebahagiaan dalam dirinya?

~õÕõ~

Aku terbangun ketika merasakan adanya pergerakan di sekitarku. Apakah aku sedang bermimpi sekarang? Mungkin bebar jika aku sudah tergila-gila padanya. Bagaimana mungkin aku dan dia tertidur bersama seperti ini. Dia sama sekali tak mengalihkan pandangannya dariku. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa merasakan napasnya yang berembus pelan di wajahku.

“Selamat pagi.” Ah.. lagi pula ini hanya mimpi. Jadi tak apa ‘kan jika aku melakukan ini. Lagi-lagi aku merasakan pergerakan tubuhnya yang membuat tanganku sontak menahannya.

“Jangan pergi. Kalau kamu pergi aku bakalan sendirian lagi.”

Kegelapan kembali menyergapku sesaat setelah aku menyelesaikan kalimat itu.

Namun lagi-lagi aku mendengar suara-suara lirih yang tentu saja berhasil membangunkanku. Di detik itu juga, aku lantas tersadar kalau hak yang baru saja kualami bukanlah mimpi belaka.

Aku benar-benar tertidur dengannya semalam. Ruangan ini sudah cukup bersih sampai aku kewalahan mencari keberadaannya. Namun beruntung karena aku menemukannya sebelum dia berhasil meraih sebuah album pada tumpukan buku-buku yang tak pernah kusentuh.

“Cari apa?”

Dia lantas berbalik. Namun kali ini ia menundukkan pandangannya.

“M-maaf,” ujarnya terbata.

“Lo nggak pulang? Kita harus siap-siap sekolah, kan?”

“K-kalau begitu, gue pulang dulu.” Dia lantas bergegas meninggalkanku sendiri.

Selepas dia pergi. Aku mengacak rambut frustasi. Apakah aku sudah menakutinya tadi? Tapi sungguh.. sikapku tadi benar-benar di luar kuasaku.

Album itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa antara diriku dengan Mama. Bahkan di album itu tak sedikit foto tentang dirinya dan aku semasa dulu. Aku hanya belum berani membukanya. Entah kapan waktunya... tapi jauh di lubuk hatiku, aku juga ingin memiliki keberanian untuk membuka album itu.

Sebuah panggilan membuyarkan lamunanku seketika. Nama Ezar tertera di sana. Tumben sekali anak ini meneleponku.

“Lo sekarang di mana? Farel masuk rumah sakit!!”

Seketika itu juga jantungku terasa berhenti berdetak. Ternyata memang benar kata orang-orang bahwa kita tak boleh merasa senang berlebihan. Karena kesenangan berlebihan itu bisa saja menjadi awal mula dari suatu kesedihan berkepanjangan.



Tbc...
See you next part...🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro