Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Kenangan

"Gue cowok kalau lo lupa."

Ah.. kenapa tatapannya padaku saat ini sangat menggemaskan sekali? Aku kembali berjongkok di depannya, lantas menatapnya lekat-lekat. Dia memalingkan wajahnya dariku, lantas menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya. Aku lantas berdiri, tapi kini ia justru menatapku seperti anak kecil. Menggemaskan sekali. Aku lantas menepuk puncak kepalanya pelan.

"Anak pintar."

Suapan keduanya terhenti di depan mulutnya. Namun, mulutnya yang menggembung serta tatap matanya yang terkejut membuatku benar-benar tak ingin mengalihkan pandanganku darinya. Ah.. ini bahaya.

Aku menggeser lukisanku sebagai peralihan agar tak terlalu lama menatapnya.

"Itu pohon apa?"

Suaranya itu tentu saja membuatku kembali menoleh padanya. Tangannya menunjuk pada lukisan yang selesai kubuat.

"Ini?"

Dia mengangguk semangat. Aku lagi-lagi dibuat tersenyum oleh tingkahnya yang kelewat menggemaskan ini.

"Pohon kenanga," Jawabku.

Dia terlihat berpikir sejenak. Apakah dia menyadarinya?

"Kenapa?" Tanyaku sembari menunduk untuk mengikuti arah pandangnya. "Serem, ya? Pohon kenanga?"

Dia menoleh ke belakang. Aku meneguk ludahku susah payah saat mata kami bertemu. Tak cukup sampai di situ, karena kini dia juga melempar senyum yang membuat jantungku hampir saja meledak karena melihat senyumnya dalam jarak sedekat ini. "Nggak, kok."

Aku balas tersenyum. Lantas mengusap kepalanya pelan.

"Baru kali ini, ada yang bilang gitu."

Baru saja aku menyadari kalau kini, kursi yang cukup usang di sampingku ini, kiranya masih cukup kokoh untuk menopang tubuhku. Aku lantas kembali mengamati lukisan yang kubuat sendiri. Ah.. menyedihkan sekali.

"Lucu, ya? Orang-orang itu gampang menilai sesuatu sembarangan, tanpa mencari tahu makna dari sesuatu yang mereka nilai." Ketika tersadar aku sudah mengucapkan kalimat itu dengan keras. Sekiranya, apa yang akan dipikirkan Sahara ketika mendengar kalimatku ini?

Namun, dia tertawa, dan justru hal itulah yang membuatku bingung.

"Kenapa ketawa?"

"Nggak papa." Tawanya terhenti. Namun, lengkung senyum di bibirnya masih tersisa. "Kenapa pohon kenanga?"

Aku terdiam sebentar. Haruskah aku mengatakannya? Bahkan saat ini aku tak lagi sanggup menatap mata Sahara.

"Karena dia mirip gue." Akhirnya kata itulah yang keluar dari mulutku. Lebih baik, kalau dia tak paham dengan maksud ucapanku.

Dia menatapku bingung. Aku berusaha mencari topik untuk mengalihkan pembicaraan kami sebelum dia menanyakan lebih lanjut.

"Kenapa nggak dimakan?"

"Ini dimakan, kok," Lirihnya yang lantas segera menyendok makanan itu kembali.

"Dihabisin," Ujarku, lantas kembali mengusap kepalanya. Sepertinya mulai saat ini aku sudah menemukan hobi baru selain melukis, yaitu mengusap kepala Sahara.

Aku terkejut ketika secara tiba-tiba tangannya sudah berada di depan mulutku. Namun, aku juga tak bisa menhontrol mulutku yang langsung terbuka ketika dia menyuapiku.

"Kok di makan?!" Dia spontan berteriak.

"Kan lo duluan yang nyuapin," Jawabku dengan mulut yang masih dipenuhi makanan. Ini... bukan salahku, kan?

"Tapi kan-"

Dia mengurungkan niatnya untuk berbicara. Namun, aku tahu apa yang sedang dipikirkannya saat ini.

"Mau makan bareng?" Tanyaku, yang langsung dibalas oleh tatapan terkejut milik Sahara.

Tanpa berbasa-basi lagi, tangan ini ikut bergabung untuk memegang sendok yang sama--yang sebelumnya sudah dia isi. Lantas mengarahkan itu ke mulutku sendiri.

Maaf, Sahara. Tapi ketika aku melihatmu yang makan dengan lahap. Perutku tiba-tiba saja ikut meronta. Jadi bolehkan aku ikut memakannya?

Mungkin saat ini dia kebingungan apakah harus melanjutkan makanannya atau tidak. Maka dengan begitu saja, aku lantas menyuapkannya ke mulut Sahara.

Naveen tertawa ketika menyadari bahwa suapan yang kuberikan padanya terlalu banyak sehingga membuat pipinya menggembung sempurna, atau mungkin kini dia sedang kebingungan untuk mengunya makanannya.

"MUKA LO KAYAK CIMOL!! WAKAKAKAKAK!"

Tepat ketika aku selesai berteriak seperti itu. Sesuatu yang keras menghantam tulang keringku.

"AKH!!"

Aku mengelus-elus tulang keringku yang baru saja menjadi sasaran empuknya. Sadis sekali perempuan ini!

"Kalau nendang kira-kira, dong! Jangan dibagian situ."

Tapi untunglah karena yang melakukan ini adalah Sahara. Lain halnya kalau orang itu adalah Ezar. Mumgkin saat ini dia sudah habis di hadapanku.

"Enak, nggak?"

Dia mengangguk semangat.

"Syukur deh, kalau gitu. Kayaknya lo cocok jadi orang yang pertama kali menyicipi makanan gue."

Aku tidak bohong, karena tadi pagi pun aku sempat membantu Bibi untuk memasak ini. Yah... walaupun aku hanya mendapat bagian memasukkan bahan-bahan yang sudah di siapkan Bibi sebelumnya.

'Triiingg... Tringg... Tring...'

Aku sontak terkejut dan menatap Sahara untuk melihat reaksinya. Bel masuk! Pertanda istirahat benar-benar selesai. Sebenarnya, aku tak masalah jika harus ketinggalan pelajaran. Tapi gadis di hadapanku ini, aku tak tahu apa yang nantinya dia hadapi jika kehilangan kesempatan itu.

Aku lantas berlari untuk mengambil ponselku yang kuisi. Sayangnya, aliran listrik dalam ruangan ini ternyata terputus, sehingga alih-alih terisi, ponselku justru hanya memunculkan layar hitam.

"Akh, sialan!!"

"Kenapa?" Sahara menghampiriku. Aku ingin terlihat tenang agar tak membuatnya panik. Tapi reaksi tubuhku saat ini justru berkata lain.

"Jaringan listrik di sini keliatannya juga rusak. Baterainya belum keisi sama sekali."

Dia lantas merebut ponselku, dan mencobanya sekali lagi. Ketika tersadar kalau ponsel itu benar-benar mati. Ia terduduk seraya mengacak rambutnya pelan. Aku sampai tak habis pikir, kenapa dia bisa sampai sefrustasi itu hanya karena tak bisa mengikuti pelajaran sekali? Tapi yang lebih anehnya lagi adalah kenapa aku harus ikut frustasi hany karena melihatnya frustasi?

Aku berjongkok di hadapannya. "Kita pasti tetep bisa keluar. Gue bakal cari cara lain."

Dia terisak lirih. Aku paham akan perasaan takutnya saat ini. Aku sudah menemukan kesamaan di antara kami. Kami ini sama-sama boneka yang disetir untuk menuruti keinginan orang tua kami. Aku sangat paham akan hal itu. Paham sekali. Sampai-sampai aku ikut terhanyut dalam perasaan ini lagi, yang sempat kulupakan sebelumnya.

"Gue tahu."

Dia mendongak mendengar jawabanku.

"Gue tahu betul gimana perasaan lo sekarang. Jadi tolong..."

Perlahan aku meraih tubuhnya untuk kudekap erat.

"... tolong tenang dulu."

Jantungku kembali beradu saat menyentuh tubuhnya. Namun aku tak lagi memedulikan betapa kerasnya detak itu berpacu, karena saat ini yang ada dalam pikiranku hanyalah cara untuk menenangkan Sahara. Jika kalian bertanya bagaimana rasanya mencintai tanpa dicintai? Bagaimana merindukan tanpa tahu apakah orang yang dirindukan mengenal kita? Aku mungkin bisa menjawabnya. Namun lagi-lagi pertanyaan itu bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab oleh kata-kata belaka.

~~~

Selang beberapa saat Sahara sudah mampu menenangkan dirinya. Aku membuka gorden agar cahaya mentari bisa masuk menerangi ruangan yang terlihat usang ini. Lantas kembali ke tempatku melukis untuk kembali melanjutkan lukisanku.

"Udah jadi?" Sahara bertanya. Aku tersenyum seraya menggeleng.

Saat ini, ia tengah menjadi objekku dalam melukis. Untuk sekian lama, aku kembali memberanikan diriku untuk melukis manusia. Lukisan tentang manusia selalu mengingatku akan dirinya yanh sudah lebih dulu perhi dengan tragis.

Sahara, dengan susu kotak pemberianku yang kini berada di sampingnya benar-benar terlihat menggemaskan. Bahkan, kini dia terlihat mengamati kemasan susu kotak itu. Entah apa yang kini dia amati, tapi tetap saja di mataku kecantikannya tak pernah berubah.

"Enak?"

Ia mendongak ketika mensengarku. Lantas tersenyum seraya menangguk. Ah.. betapa beruntungnya aku masih diberi kesempatan untuk bisa melihatnya seperti ini.

"Udah jadi?"

Aku menggeleng.

"Masih lama?"

Aku lantas mendongak. "Masih, makannya jangan gerak-gerak terus!" Lanjutku.

Aku bisa mendengar suara napasnya yang kasar. Lantas setelahnya terpaan angin membuat rambut cantiknya melambai perlahan. Aku lantas buru-buru menyelesaikan lukisanku untuk mengabadikan momen cantik ini.

"Udah selesai?"

Dia bertanya ketika aku baru saja berdiri dari kursi untuk mengambil cat yang habis.

"Cat nya abis," Jawabku singkat.

Aku mengambil beberapa cat di meja seberang. Lantas berbalik, dan...

"Dor!!"

"ANJ--"

Spontan aku menutup mulutku. Hampir saja aku mengucapkan kata-kata tak pantas di depannya. Dia lantas terkekeh melihatku.

"Jail lo!" Aku buru-buru pergi meninggalkannya, dan menghampiri lukisanku.

"Tadi katanya belum selesai?" Terdengar dia yang memprotesku dsri belakang.

"Kan emang belum selesai."

"Kan tinggal ngasih hiasan doang. Kalau cuma tinggal itu gue kan bisa pergi dari situ."

"Nggak bisa. Soalnya gue mau ngasih hiasan yang cantik."

"Terus apa hubungannya sama gue di situ?!"

Aku tersenyum. Haruskah aku melaksanakan jurusku yang satu ini?

"Soalnya kalau lo pergi cantiknya juga ikut lo bawa pergi--"

Bukk!!

"AKH!!"

Tepat setelah aku selesai mengatakan itu. Pukulannya lagi-lagi mengenai bahuku. Tidak cukup keras, tapi cukup untuk membiatku terkejut.

"KDRT mulu lo dari tadi!"

"Sejak kapan kita berumah tangga?"

"Sekara--IYAA NGGAK JADI! INI GUE NGGAK JADI NERUSIN."

Ah.. gadis ini. Ganas juga ternyata.

"Gue nggak ngapa-ngapain."

Apanya yang nggak ngapa-ngapain? Jelas-jelas dia hampir memkukulku lagi jika saja aku tak segera meralat ucapanku.

"Lo lebih buas dari yang gue kira."

Aku lantas kembali ke tempat dudukku.

"Dikata hewan, ada kalimat buas segala."

Aku mati-matian menahan tawa agar tak meledak di hadapannya. Entahlah, segala tentangnya selalu saja membuatku ingin tertawa. Kini, aku dapat merasakan hembusan napasnya di tengkukku. Hangat.

Sampai beberapa saat, ia tak lantas menarik kembali pandangannya dariku. Sejujurnya aku merasa gugup.

"Gue ganteng, kan?"

Dia lantas menjauh dariku.

"Kenapa hiasannya pake bunga kenanga? Maksudnya itu buat foto pemakaman nanti?"

Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Bisa-bisanya dia memiliki pemikiran seperti itu.

"Lo tahu mitos ini, nggak? Katanya bunga kenanga itu mampu mengundang belahan jiwa yang selama ini kita cari-cari."

Dia lantas kembali menatapku.

"Tapi bukan itu maksud gue. Lagian gue juga nggak percaya mitos itu."

Setelah selesai aku tak lantas berdiri. Aku masih ingin menikmati lukisan yang baru saja kuselesaikan ini.

"Kita juga bisa nyiptain filosofi sendiri untuk sesuatu, kan?"

"Terus filosofinya apa?"

Aku terkekeh. Namun alih-alih menjawab pertanyaannya. Aku justru melakukan hal gila lainnya.

BRAKKK!!!

Aku menendang pintu yang terkunci itu beberapa kali. Namun Sahara mencegahku.

"Tadi lo bilang mau cepet-cepet keluar, kan?"

"Coba cari cara lain, jangan kayak gitu."

Aku tak masalah jika harus membuat keributan seperti ini untuk mengabulkan keinginannya.

"Kalau cari cara lain berarti kita harus nunggu sampe ada orang yang kesini."

Dia terdiam. Terlihat berpikir sejenak. Aku menghela napas pelan. Ternyata benar dugaanku.

"Sahara.." Aku memanggilnya pelan. Lantas mulai mendekat padanya.
"...lo pengen lebih lama lagi di sini, kan?"

Bukk!!

"Anj--"

"Minggir!"

Dasar gadis ini. Kenapa sulit sekali untuknya mengatakan hal itu?

"Lo pikir gue samsak?"

Lagi-lagi dia tak menghiraukanku.

"Tadi yang kiri, sekarang yang kanan," keluhku lagi.

Karena jengah omelanku tetap tak dihiraukan olehnya. Aku akhirnya memutuskan untuk menghampirinya.

"Lo punya jepit rambut, nggak?" Aku berdiri di belakangnya. Dia lantas mencari-cari jepit rambut itu sejenak.

"Di sini ada nggak ya benda yang gepeng?"

Tak ada jawaban. Namun yang terjadi setelahnya benar-benar membuatku terbelalak.

Brak!!

Bukankah tadi dia sendiri yang melarangku untuk menendang-nendang pintu.

"Ngapain?" Tanyaku kemudian.

"Naveen, Ezar penakut nggak?" Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia justru membuat oertanyaan lainnya dengan tubuh yang masih mengamati jendela luar.

"Nggak."

"Ambilin kertas! Tulis kalau di sini ada orang! Terus kasih keluar lewat celah bawah pintu!"

Sebenarnya apa yang ia rencanakan? "Nggak bakal ada yang--"

Brakk!!

Dia kembali menendang pintu dengan kekuatan penuhnya. Dan hal itu cukup untuk membuatku ternganga, sampai lupa apa yang sudah ia perintahkan padaku.

"BURUAN!!"

Aku yang tersadar lantas menulis "halo jelek, gue udah maju selangkah di depan lo" dan menyelipkannya pada sela-sela pintu seperti yang diperintahkan Sahara.

Aku bisa menebak kalau seseoranh di luar sana adalah Ezar. Tapi aku tak tahu apa yang telah Ezar lakukan di luar sana sampai Sahara menatapku dengan tatapan seperti itu.

Aku lantas tersenyum membalas tatapan mautnya itu.

Selang beberapa saat, terdengar suara ketukan pintu.

"Naveen, lo di sana, kan?"

"Hmm," Jawabku malas.

Tak selang lama, pintu terbuka bersamaan dengan suara nyaring dari besi yang jatuh. Aku menyempatkan diri untuk mengambil pouch Sahara yang tertinggal.

"Woahh... malaikat penyelamat kita datang..." Aku merentangkan tangan untuk menyapanya.

"Lo kalau mau bolos, nggak usah ngajak-ngajak orang."

"Iya, besok nggak gue ulangin lagi."

Dia lantas memerhatikanku dan Sahara secara bergantian.

"Lo berdua nggak ngelakuin apa-apa, kan di dalem?"

Aku mendengus kasar. Ternyata itu yang ada di dalam pikirannya.

"Maksud lo dari ngelakuin apa-apa tuh apa?"

Aku terkekeh, lantas memalingkan wajahnya dari Ezar.

Setelahnya aku berterima kasih pada bapak-bapak yang sudah membantu kami.

"Lo berdua di izinin pulang awal." Ezar memberi tahu. "Lo udah gue izinin dengan alasan sakit." Lanjutnya pada Sahara.

"Kalau gue? Lo izinin apa?" Aku ikut menyahut.

"Bolos."

"Itu sama aja gue nggak lo izinin, begee."

"Gue disuruh buat anter lo."

Tentu saja pernyataannya berhasil membuatku terbelalak. Yah... wajar saja. Pesona anak emas.

"Lahh? Terus gue gimana?"

Hening. Lantas Ezar menghembuskan napas berat.

"Naik setir aja lo."

~õÕõ~

.

.

.

Thanks and see you next part❤🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro