15. Gue Cowok Kalau Lo Lupa
Sejujurnya, sepanjang perjalanan menuju sekolah aku tak benar-benar tertidur, sehingga ketika bus telah tiba. Aku lantas terbangun, dan kudapati Sahara yang kelabakan seperti ketahuan telah melakukan sebuah kesalahan. Sepertinya dia baru saja ingin membangunkanku. Ah, harusnya aku pura-pura tidur saja lagi supaya dia nanti membangunkanku.
Aku merilekskan tubuhku sejenak, lantas berdiri. Sebenarnya, hari ini aku masih ingin menemaninya, tapi karena mood-ku sedang tidak bagus aku ingin menyendiri sebentar. Aku takut jika nanti dia akan tertular aura negatif dariku.
"Sahara, lo duluan aja. Nanti gue susul." Setelah mengatakan itu, aku pun berjalan meninggalkannya.
Alih-alih pergi ke kelas, aku justru pergi menuju ruang seni yang sudah terbengkalai di sudut sekolah ini. Namun, ruang seni itu cukup bersih untuk ukuran ruang yang terbengkalai. Yah.. Meski pintu dari ruang ini sudah rusak sehingga harus diganjal sesuatu agar tetap terbuka dan tak terkunci dengan sendirinya.
Aku mencari-cari sebuah easel untuk menopang canvas yang sengaja kubawa dari rumah tadi. Lantas mulai menggoreskan beberapa warna di sana.
Satu-satunya yang terlintas dalam pikiranku saat ini hanyalah pohon kenanga, tempat di mana aku dan dia dulu bersama. Satu jam, dua jam, sampai tak terasa matahari mulai meninggi di luar sana. Anehnya begitu, jika kita sudah bersama dengan sesuatu yang kita cintai. Maka selama apa pun itu, pasti rasanya hanya sekejap.
Kini, pandanganku menerawang jauh pada langit biru. Kira-kira kapan ya aku dan dia bisa bersama-sama sambil bersenang-senang seperti dulu? Selang beberapa detik, aku mendengar suara pintu berderit. Dengan cepat aku menoleh--penasaran denga siapa orang yang telah memasuki ruang ini selain aku.
Namun, aku benar-benar terkejut dengan jawaban dari rasa penasaranku itu sendiri. Ini benar-benar di luar perkiraanku. Namun, tak butuh waktu lama untukku menyadari akan hal lainnya.
"Sahara!! Jangan biarin pintunya ketutup!!"
BRAKK!!
Terlambat, gadis itu sudah lebih dulu menyenggol kertas yang kugunakan sebagai penyangga agar pintu itu tidak tertutup. Aku mendengus kasar. Sebenarnya tetap menjadi masalah kalau aku sendiri yang terkunci di ruang ini. Tapi masalahnya sekarang justru bertambah besar, karena kini hanya aku dan dialah yang berada dalam ruang ini. Satu ruangan kecil terbengkalai di sudut. Apa yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di tempat seperti itu?
Aku menggerak-gerakkan kembali gagang pintu sembari berharap kalau pintu ini akan terbuka setelahnya. Namun nihil! Pintu itu sama sekali tak memiliki niat untuk bergerak.
"Pintunya rusak, jadi kita bakal kekunci di sini." Aku berbalik untuk menatap Sahara yang lebih kecil dariku.
"Kalau gini kan bahaya."
Sejenak, dia terlihat ketakutan saat aku menatapnya. Aku sampai bertanya-tanya, sebenarnya di hadapannya aku ini seperti apa?
"Maaf." Dia menunduk.
"Duduk dulu."
Alih-alih menurutiku, dia justru terlihat kebingungan.
"Nanti gimana kalau nggak ada yang tahu kita di sini?"
"Pasti ada.." Aku menurunkan nada suaraku, berharap hal itu dapat menenangkannya. Namun, dia justru berbalik dan menggedor pintu yang teetutup itu.
"Sahara, tenang."
"Nggak bisa!!"
Sejujurnya, aku terkejut karena jni adalah pertama kalinya dia membentakku. Juga ini adalah pertama kalinya dia terlihat panik seperti itu. Kemudian setelah mengatakannya, dia kembali menggedor-gedor pintu sembari sesekali berteriak memanggil orang yang ada di luar. Sayangnya di luar sama sekali tak ada orang.
"Sahara, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo."
Aku mencekal pergelangan tangannya untuk menahan tangannya yang mulai memukul lintu secara brutal. Aku takut jika hal itu akan menyakitinya. Namun, Sahara justru menyentaknya dengan keras.
"GUE NGGAK BISA IKUT PELAJARAN!!"
Aku membisu. Aku tersadar akan kenyataan bahwa kami ini berbeda. Aku yang tak mempedulikan nilai, dan dia yang terlalu terpaku pada nilai. Aku memang terkejut dengan sikapnya, tapi aku tetap berusaha memasang wajah setenang mungkin agar dia tidak ikut panik saat melihatku.
"Maaf, gue nggak tau kalau pelajaran sepenting itu buat lo."
Sahara dengan napasnya yang memburu mulai berusaha menenangkan dirinya. Aku menunggunya, sampai ia benar-benar tenang. Lantas menarik tangannya untuk kubawa duduk di kursi yanh sebelumnya kupakai melukis.
"Duduk dulu sebentar." Aku membuka tasku, dan mengambil sesuatu di sana untuk kuberikan pada Sahara.
Pagi tadi, aku tak ada niatan untuk sarapan. Jadi Bibi menyiapkan bekal untuk kumakan di sini. Harusnya begitu, tapi tak apa. Gadis di hadapanku ini adalah prioritasku sekarang. Lagi pula, makanan itu juga belum tentu kumakan nanti.
"Makan dulu, gue tahu lo tadi belum sempet beli apa-apa."
Aku meletakkan bekalku tepat di pangkuan Sahara. Gadis itu terdiam sebantar, seraya memandangi kotak makan yang kuberikan untuknya. Mungkin dia masih berusaha mencerna apa yang tengah kulakukan.
Aku menggeser sedikit easel yang menyangga canvas agar menghadap ke arahku yang kini berlututut di samping Sahara. Sebenarnya di ruang kelas ini masih ada kursi, tapi karena kursi itu tertumpuk-tumpuk serta belum pasti masih bisa digunakan atai tidak. Maka aku menjadi malas untuk menyiapkannya lagi.
"Nanti gue cari bantuan. Untuk sekarang nggak bisa karena hape gue masih lowbat." Yah.. aku lupa mengisi dayanya semalam. Memang ceroboh sekali diriku ini.
"Nggak ada yang pernah ke sini karena rumornya dulu ada siswa yang bunuh diri di sini." Aku mencoba untuk membuat pikirannya teralih.
"Tapi menurut gue nggak ada korelasinya sama tempat ini. Menurut gue cerita itu cuma buat sensasi aja. Jadi nggak ada yang perlu ditakutin." Namun, aku justru takut kalau ceritaku akan membuat Sahara ketakutan.
"Ceritanya gimana?" Di luar dugaan, dia justru semakin penasaran karena ceritaku. Aku terkekeh mendengar jawabannya. Sifatnya yang itu ternyata masih sama seperti dulu, ya?
"Gue kira lo nggak berani denger ceritanya," Lanjutku.
Kini justru Sahara yang tertawa sarkas. Tak apa, aku tetap menyukai tawa itu apapun keadaannya.
"Lanjutin aja," Jawabnya.
Aku tersenyum mendengar jawabannya yang pemberani itu.
"Katanya dia dulu murid yang pinter banget lukis, sampe guru-guru suka banget sama dia. Sayangnya, orang tua dia menentang bakatnya itu, dan ingin anaknya jadi dokter. Akhirnya dia belajar terus, sampe dia nggak ada waktu buat ngelakuin apa yang dia sukai. Awalnya nggak apa-apa, tapi semakin lama dia capek sama tuntutan-tuntutan yang di bebankan ke dia dan justru memiih cara yang salah."
Selesai. Lukisan ini selesai tepat di saat aku menyelesaikan cerita yang kukarang sendiri ini. Sejujurnya, rumor yang beredar itu hanyalah tempat ini yang pernah dijadikan tempat bunuh diri. Selain itu, semuanya hanyalah karanganku saja. Entah kenapa yang terlintas dalam pikiranku hanyalah cerita itu.
"Lo takut?"
Dia menggeleng. Namun, raut kesedihan itu terpancar dari tatapnya.
"Bagus, deh, kalau gitu." Aku berdiri--berniat untuk memisahkan lukisanku dari easel itu. Namun aku mengurungkan niat setelah menyadari kalau kotak makan yang kuberikan padanya masih belum tersentuh sedikit pun. "Itu kenapa nggak di makan?"
"Nungguin lo," Jawabnya.
Entah itu benar atau hanya bualannya saja, yang pasti kata-kata itu mampu membuat hatiku berdesir seketika. Dia lantas membuka kotak makan itu.
"Lo aja yang makan." Aku mengatakan itu lebih dulu, sebelum dia menolak makanan dariku itu.
"Kita makan bareng."
Aku jelas membola mendengar perkataannya itu. Apa dia serius dengan ucapannya? Apakah dia benar-benar sudah melihat isi kotak makan itu?
"Sendoknya cuma satu." Jika dia ingin makan bersama, artinya itu sama saja dengan...
"Nggak pap--"
Sepertinya dia baru menyadari hal itu. Ah, bahkan raut wajah terkejutnya terlihat begitu cantik di mataku.
Aku berdiri, lantas mengambil sendok yang masih tergeletak rapi di dalam kotak makan tersebut. Aku memainkan sendok itu kotak malan sebentar. Lantas menatapnya.
"Sahara, gue cowok, kalau lo lupa."
~õÕõ~
.
.
.
Haiiii!!! Gimana kabarnya?
Psyche kembali hadir untuk menemani hari-hari kalian.
Jujur, bisa-bisanya aku ikut baper sama mereka😩
How to be Sahara?🤧
Btw, aku jadi pengen ngobrol bareng sama kalian, hehehe..
Nanti kita ngomongin apa aja, bisa curhat-curhat juga boleh. Nanti kapan-kapan aku buka question box di IG lagi, terus kita cerita-cerita.
Btw, aku pengen kalian semua para readers-ku ini punya tempat buat cerita. Jadi, kalau seandainya kalian belum menemukannya. Kalian bisa banget cerita ke aku, aku siap kok jadi pendengar kalian.
Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri. Kalian itu berharga, jangan nyakitin diri kalian dengan pikiran-pikiran negatif itu.
Ah, kenapa jadi ngomongin ini, yaa? 😅
Ya intinya, aku pengen kalian semua menghargai diri kalian sendiri.
Mungkin itu dulu. Thanks and see you next part❤🔥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro