Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Apa Itu Rumah?

Sepulang sekolah, aku melihat Sahara yang sudah lebih dulu masuk ke dalam bus. Ah, kenapa dia bisa secantik bahkan di saat hari sudah hampir sore?

Dia baru saja menyandarkan punggungnya saat aku duduk di sebelahnya.

"Sahara, lo nggak mau main ke apart gue?"

Jujur saja, aku melontarkan oertsnyaan itu padanya karena aku sendiri tak tahu pembahadan apa yang cocok kugunakan untuk membuka percakapan antara kami saat ini.

"Iya, kapan-kapan."

Setelah menjawabku dia benar-benar memejamkan matanya. Kubiarkan dia menikmati tidur siangnya yang sempat tertunda. Bus pun sudah melaju membelah padatnya jalanan. Sahara terlihat sangat cantik ketika sinar keemasan mentari menerpa wajah putih pucatnya. Namun, aku takut jika sesuatu yang membuatnya terlihat indah itu justru akan membangunkannya dari mimpi indahnya. Sehingga kulepas jaketku, lantas kuletakkan di samping jendela untuk menghalau sinar matahari.

Dia benar-benar terlelap dalam sekejap. Aku membiarkannya, sampai dia membuat kerutan di dahinya. Apakah dia sedang mimpi buruk? Pelan-pelan aku menyentuh dahinya itu, sampai kembali seperti semula. Aku berniat meletakkan kepalanya di pundakku agar ia sedikit lebih nyaman. Namun, sebelum aku benar-benar melaksanakan niatku. Kepala itu sudah jatuh tepat pada pundakku. Membuatku benar-benar mati kutu.

Kubiarkan ia bermimpi indah di sana. Saat kurasa jantungku berdegup tak keruan, bus yang kami tumpangi berhenti. Sudah tiba.

"Sahara..." Aku memanggilnya pelan. Namun ia tak menyahut. Lantas kutepuk pelan tubuhnya. Tapi lagi-lagi ia hanya bangun dari pundakku tanpa membuka mata.

"Rara..." Tetap tak ada sahutan. Kupandangi sekeliling yang mulai terlihat sepi. Kudekatkan wajahku di sampingnya, lantas menarik napas panjang.

"SAHARAAA!!!!"

Deg! Nyaris saja. Belah kenyal nan ranum itu hampir saja menyentuh milikku, jika ia tak lantas menghentikan laju kepalanya yang terkejut saat kubangunkan. Netra kami bertemu, sehingga membuat kami sama-sama terpaku.

"Hwaa!! Mata gue ternodai!!"

Suara Ezar menyadarkanku atas apa yang sedang kulakukan dengannya.

"Ah, maaf." Ujarnya yang langsung mengalihkan wajahnya dariku. Sejenak, aku masih terpaku akan apa yang nyaris terlaksana tadi. Namun, lagi-lagi aku harus menekan perasaanku ini.

"Nggak, harusnya gue yang minta maaf karena gue udah teriak-teriak bangunin lo." Ujarku, segera setelah tersadar.

Aku lantas berdiri dan bergegas meninggalkan Sahara yang masib terduduk di sana. Wajah ini terasa panas. Aku harus mampu mengontrol raut wajahku sendiri agar tetap terlihat tenang, aku tak mau Sahara menyadari perubahan raut wajahku yang sangat drastis ini.

"Parah lo! Anak baru main di sosor aja!" Ezar menyusulku lantas menepuk pundakku dengan keras saat di rasa Sahara sudah tak melihat kami.

"Bacot lo!" Makiku kemudian. Ia hanya tertawa. Namun instingku justru merasa bahwa tawa Ezar saat itu.. adalah sebuah tawa yang ia paksakan.

~~~

Aku pulang. Ah, apakah tempat ini masih bisa kusebut rumah? Hari ini, setelah insiden di bus barusan. Papa menyuruh seseorang untuk menjemputku pulang. Kemudian tanpa mengganti seragam atau bahkan menaruh tas pada apartemenku, aku pergi ke rumah Papa yang selama ini membesarkanku.

Apa kalian tahu bagaimana rasanya tinggal di sebuah rumah yang bahkan tak pernah menganggap kalian ada? Begitulah kiranya aku di rumah ini, mereka semua Papa ataupu istri keduanya, mereka sangat sibuk dengan persiapan kelahiran anak mereka. Bahkan ketika anak yang seharusnya menjadi adik tiriku itu tumbuh, dan terlihat seperti bayi normal pada umumnya.

Sampai suatu saat ketika bayi yang mereka tunggu-tunggu itu berumur tiga tahun. Mereka baru menyadari satu hal, anak yang mereka tunggu-tunggu, anak yang seharusnya menjadi penerus Papa itu di diagnosis menderita sindrom autisme.

"Naaa.. Nana.." Bahkan diusianya yang menginjak delapan tahun ini, anak itu belum bisa bicara.

Anak itu bergumam dengan bahasanya sendiri yang tak bisa dipahami oleh siapapun saat menyadari kehadiranku. Semakin aku masuk ke dalam rumah ini, aku justru merasa semakin tercekik. Adik tiriku itu membuntutiku dari belakang. Masih setia dengan senyuman yang tak pernah hilang dari wajahnya. Siapapun orangnya, anak itu tak pernah sekalipun melepas senyumnya. Kecuali saat ada yang mengusiknya.

"Auu... Eh.. Eh..." Anak itu menarik-narik tanganku yang tentu saja membuatku semakin jengah. Aku menghentakkan tanganku agar terlepas dari cekalannya, tapi ia justru semakin mencengkramnya dengan kuat. Sampai dapat kurasakan kuku-kukunya yang menancap di kulitku--menciptakan sedikit goresan di sana.

Aku membiarkannya, hanya supaya anak itu tak menjadi tantrum. Seandainya, ia tak lahir dari rahim orang yang merebut tempat Mama. Mungkin saja aku bisa menerimanya. Sayangnya, ia lahir dari salah satu orang yang menjadi penyebab kenapa aku menjadi seperti ini.

"Akhirnya kamu datang juga." Papa keluar dari pintu kerjanya. Ia menyuruh Bibi yang kebetulan lewat untuk membawa anak autis itu pergi. Raut wajahnya tak menunjukkan keramahan sama sekali. Orang itu yang memanggilku, tapi orang itu juga yang menyambut dengan dingin seolah ingin mengusirku.

"Gimana sekolah kamu?"

"Bagus"

"Nilai kamu?"

"Itu nggak penting." Aku berbalik untuk meninggalkan tempat ini secepatnya.

"Tentang anak-anak dari panti yang kamu kunjungi itu, apa kabar?"

Aku menghentikan langkahku saat Papa melontarkan pertanyaan itu. Jadi selama ini Papa mengawasi gerak-gerikku.

"Itu bukan urusan Papa."

"Tentu itu urusan Papa karena Papa adalah salah satu donatur panti asuhan itu."

Tanganku terkepal erat seketika. Sebenarnya apa yang Papa rencanakan, sampai ia rela ikut menjadi donatur hanya sebagai alasan untuk mengawasiku?

"Apa sekarang Naveen boleh pergi?" Tanyaku, tanpa membalikkan badan.

Papa menghampiriku, lalu dengan paksa ia menarik tas dalam gendonganku sampai terlepas sempurna. Lalu ketika ia mendapati beberap kuas juga cat air di dalam. Ia mengeluarkannya, lalu membantingnya tepat di hadapanku.

"Papa sudah bilang kalau kamu harus belajar dengan giat!! Jangan menggunakan waktu untuk melakukan hal tidak berguna seperti ini!!"

Cat air yang kubeli dengan mengumpulkan uangku sendiri itu berserakan di lantai. Tak terkecuali dengan kuas yang sebagian sudah tak bisa digunakan karena Papa menginjaknya, sesaatsetelah membanting barang-barang itu.

"Bagi Naveen barang-barang itu lebih penting dari Papa."

Plakk!!

Aku merasa ada sedikit rasa besi di dalam mulutku sekarang. Tamparan ini masih cukup kuat juga ternyata. Rasanya masih sama kuatnya seperti dulu.

"Jaga bicara kamu!!"

"Naveen bicara kenyataan."

"Tutup mulut kamu kalau kamu tak ingin Papa main tangan."

"Pukul aja, bukannya itu emang udah jadi rutinitas Papa, ya?"

"Kamu--" Papa kembali mengayunkan tangannya tepat di depanku.

"I-AA.. A-AAA.." Entah dari mana datangnya, anak autis itu sudah lebih dulu menahan tangan Papa agar tidak memukulku. Di susul dengan Bibi yang berlari. Namun, tak berani untuk mendekati kami.

"Lepas!" Papa menyentak tangannya. Namun, cengkraman yang diperolehnya itu terlalu kuat.

"AAA-AAAAANNN."

Apakah hanya perasaanku, atau memang benar bahwa anak itu telah mengucapkan kata jangan dari artikulasi yang sangat pelan.

Papa menyentak tangan anak itu lebih keras, sehingga anak itu terjatuh. Tiba-tiba saja Papa sudah mencekal vas bunga dan bersiap untuk melemparkannya.

"Dasar anak bodoh!! Hanya membuat malu saja!!"

Dengan cepat aku berlari ke arah adikku dan sebisa mungkin melindunginya dari vas yang akan di banting itu. Aku memeluknya. Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku repot-repot mengorbankan diri seperti ini. Namun, tak ada waktu lagi untukku berpikir tentang hal-hal yang seperti itu.

Prangg!!

Vas bunga itu resmi melompat dari tangan Papa.

Btw, untuk anak autis aku menulis hanya berdasarkan pengalaman saja. Belum lama ini, aku berkunjung ke sekolah inklusi, dan saat itu kudapati ada beberapa anak sindrom autism itu yang memiliki ciri-ciri seperti yang udah aku tulis di atas.

Namun, karena kurangnya pengalaman, aku masih butuh bantuan kalian dalam perkembangan cerita ini. Sehingga kuharap kalian bisa menceritakan pengalaman, kritik, ataupun saran yang bisa membangun.

Thanks❤🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro