
✎៚┆Dua
Kuil bercat merah nampak menyala kala sorot mentari siang menerpa setiap sisinya. Memberi kesan tentram begitu rimbun daun hijau berdesir tertiup angin. Juga kala harmoni nada ketuk bambu terdengar menyapa diri yang baru menginjakkan kaki.
"Ikuti aku." kedua tangan masih terselip pada kain lengan kimono yang longgar. Lantas bertindak mendahului langkah, untuk sang gadis ekori hingga tiba pada tujuan yang Sukuna inginkan.
"Aku kelupaan memberi tau namaku tadi--" percakapan sengaja dibuat oleh sang pemuda. Menghindari jikalau gadis itu malah pergi meninggalkannya sendiri berjalan menuju asrama.
"Namaku Ryomen Sukuna."
"Aku tau itu." potong sang gadis cepat.
"Are--?" Sukuna bertaut alis dalam langkah.
"Ibuku sering mendongengkan tentang legendamu. Jadi aku tau kamu."
Pada detik berikutnya Sukuna menghentikan langkah. Menoleh. Menghadap wajah jelita sang gadis yang kini nampak lesu, berbeda jauh dengan awal pertemuan mereka tadi pagi.
"Lantas kau tau kalau aku setiap tahun selalu meminta tumbal?" tanya Sukuna.
"Ya. Kau selalu meminta gadis yatim piatu berusia 25 tahun dengan paras menawan. Legenda itu sudah menyebar di desaku." [Name] bercerita selagi diri sibuk menghalau capung yang hendak singgap pada ubun-ubun.
"Omoshiroi. Padahal aku ingat hanya minta gadis tanpa kriteria itu." langkah kaki kembali diambilnya. Memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, yang terasa cepat sebab hadirnya teman berbagi kisah.
"Jadi onna, berapa usiamu?"
"D u a p u l u h."
"Lah? Kau bilang tadi 25, kenapa jadi gadis umur 20 sepertimu yang di tumbalkan?"
[Name] menggaruk kasar tengkuknya. Frustasi. Sebab lelaki di depannya terus menghujam kan tanya. "Panjang ceritanya. "
Hela napas menjeda percakapan.
"Kakakku berkelahi dengan anak pejabat desa. Tentu saja ayahnya marah. Keluarga ku dibantai, ayahku dipenggal hidup-hidup di hadapan kami. Dalam detik sebelum aku di seret untuk dijadikan jalang, tanganku berhasil mengambil alih tombak salah satu prajurit. Ku hunuskan. Tepat di leher pejabat itu. "
"Kau membunuhnya?"
"Iya. Beserta istrinya."
Sukuna menyeringai dalam senyap. Menyadari. Jikakalau tumbal tahun ini tidak seburuk yang ia pikirkan. Terlebih kata yang ia ucapkan tadi, entah mengapa berhasil menyulut dengki dalam hatinya. Seakan kata hati yang ia sampaikan. Hingga berhasil mengetuk balok es yang membatasi moral dalam diri.
Tidak. Ini bukan dalam artian "Prihatin" atau "Kasihan"
Sukuna,
Tertarik.
"Kamarmu di sayap kanan. Tepat pada ujung lorong pembatas taman dan asrama. " Sukuna melenggang pergi dari hadapan. Sendirian menaiki tangga. Yang mengarah tepat pada bukit rindang di belakang kuil.
[Name] mengangguk. Patuh. Lantas ikut melenggang ke arah yang telah Sukuna tunjukkan.
"Kena kau." gumam Sukuna. Sebelum diri akhirnya ikut pergi mengekorinya.
⋆ ✧ ⋆ ✧ ⋆
/noleh/
"kaya ada langkah kaki"
tap tap tap
/lari/
"Bodo amat anjir bukan manusia itu goblok."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro