
Bagian 7 : Hujan dan Kenangan
Teresa dan beberapa senior lainnya menjelaskan bagian luar kampus menggunakan proyektor. Awalnya, aku mendengarkan terutama saat pengenalan lapangan serbaguna dan pembahasan bagaimana cara pengisian kartu rencana studi, namun kemudian, aku hilang dalam lamunanku yang mendambakan kehidupan penulis sukses yang tinggal di kabin seperti bibi Georgia. Setelah aku kembali dari negeri fantasi buatan sendiri, aku tersadar bahwa yang 'hilang' bukan hanya diriku saja. Jacob menguap tidak henti sembari bertopang dagu sementara matanya menatap ke kosongan. Gadis di sebelahku cemberut memperhatikan tingkah konyol sok lucu para senior di depan. Tudung jaketnya mampu menyembunyikan fakta bahwa dia mendengarkan musik melalui handsfree.
Kemudian, kilasan kilat menarik perhatianku. Hujan turun begitu lebat membuat lapangan menjadi seperti rawa-rawa. Saking langkanya, aku merindukan sentuhan hangat matahari siang dan makan es krim vanila. Sayangnya, Shadewell termasuk salah satu wilayah paling basah di Amerika. Di luar sana, aku bisa melihat katak-katak kecil melompat-lompat riang di bawah kuasa awan-awan kelabu yang merindukan bumi. Cintanya berupa tetesan air pembawa berkah melahirkan kehidupan-kehidupan lain.
Rintik hujan membuatku kegirangan. Berlarian di antara rumput-rumput basah, kecambah pohon, dan teman-teman kecil baruku, katak. Kakiku sengaja menciptakan cipratan besar agar Carter tidak mampu meraihku. Sialnya, Carter pelari cepat dan ia bahkan tidak mau membiarkan jarak sekecil apapun memisahkan kami.
Dengan sigap, ia memeluk pinggangku, dan setelah beberapa tawa histeris kemudian, aku sudah berada dalam dekapannya. Ia memaksaku menatap pesona warna biru samudera kedua matanya, yang membuatku tenggelam dalam mimpi indah dan tidak ingin menggapai realita lagi. Sedikit rambut basah cokelat tanahnya menghalangi sebagian penglihatannya. Dia tidak pernah berubah, bahkan rambut lurus berantakannya selalu di sana. Perhatian, manis dan mampu melindungi. Mungkin aku yang sudah berubah.
Kusentuh bibir penuhnya yang merekahkan senyuman semanis madu.
"Carter ..."
"Carter?"
Kepalaku menggeleng. Jacob melihatku seperti arwah seseorang baru saja merasukiku. Presentasi masih berlangsung dan mendekati akhir.
"Tidak. Lupakan."
Teresa mulai mengucapkan kata perpisahan dan selamat bergabung kepada kami. Aku tidak mempedulikan itu sebenarnya, aku lebih memikirkan alasan apa yang seharusnya kugunakan untuk menghindari Dallas dan klubnya. Namun, Carter selalu bilang untuk jangan takut mencoba hal baru. Aku sudah membuktikannya, banyak potensi tidak terdugaku muncul, misalnya, menulis. Carter sendiri adalah bukti manifestasi semesta bahwa berada di luar zona nyaman tidak selalu berarti hal buruk. Duniaku jungkir-balik dibuatnya dan aku tidak pernah kenal apa itu takut.
Mungkin aku harus bergabung.
---
Kami keluar dari kelas, koridor penuh sesak. Setiap kali aku kehilangan arah, aku mulai mencari-cari tas berstiker Toys R Us. Stiker itu benar-benar mencolok di antara orang-orang membosankan. Itu Jacob, aku tidak ingin ia menghilang lagi, jadi aku menggenggam erat-erat ujung tasnya. Dia sempat menoleh, kulihat pipinya merona, setelahnya ia membuang muka.
Tangga bergemuruh berkat langkah-langkah kaki yang turun secara bersamaan. Kemudian, di koridor bawah, kami disambut stan-stan penuh bendera-bendera bergambar aneh.
"Wow! Sepakbola. Aku akan bergabung."
"Jacob, tungg—" Dia berlari menembus orang-orang layaknya tornado penuh energi. Sekarang, aku sendirian di tengah keramaian.
"Lavi?"
Aku benci aksen itu mampu menembus di antara riuh orang-orang yang menawarkan omong kosong.
"Apa!?" tanyaku. Nadanya tinggi dan terdengar tersinggung. Karena itu pula, Dallas berdiri gugup di depanku.
"Santai, Lavi, aku hanya ingin bertanya."
Sebelah alisku terangkat, kedua tangan terlipat di dada, aku siap mendengarkan.
"Bagaimana tawaranku, kau mau ikut klub? Mary dan Val akan senang jika kau—"
"Ya, terserah!" Sekarang ini, aku hanya ingin berada di rumah, membenamkan wajah menyedihkkanku sebenarnya. Namun, Carter percaya padaku dan aku tidak mau mengacaukan apa-apa lagi. Sudah cukup aku mengecewakan orang-orang. Lagipula, apa sih hal buruk yang bisa terjadi? Yha, mungkin saja Sentinel merupakan kultus pemuja bayangan dan tidak ada yang tahu sebab relasi mereka mampu melindungi keberadaan klub itu, tapi selain itu, apa lagi?
Aku menjauh, menghindari hiruk-pikuk koridor kampus. Mengatakan itu menguras tenagaku, aku mau pulang. Di belakang aku mendengar Dallas kegirangan. Dadaku merasa lega dia senang. Saat sampai ambang pintu utama, langkahku terhenti. Lantai basah, dan hujan bahkan belum menunjukkan tanda-tanda mau reda.
"Lavi?" ucap dua orang secara bersamaan. Itu Dallas dan aksennya, dan Jacob dan perkataan terburu-burunya. Saat berbalik, aku menemukan mereka berdua saling bertatap mata canggung. Dari gerak-gerik tubuhnya, mereka sedang menyiapkan strategi perang dingin, tebakku. Dallas maju lebih dulu, ia menyodorkan ponselnya.
"Nomor ponselmu. Agar aku bisa memberitahumu di mana kita akan bertemu. Kau tahu, ini klub rahasia, dan hanya sedikit yang tahu tentang kami."
Aku mengambil ponselnya dan menuliskan nomorku untuknya. Saat aku menyerahkan kembali ponselnya, Jacob tiba-tiba saja menawarkan tumpangan pulang.
"Mau pulang bersama? Ibuku menjemputku dengan mobil mungkin kau—"
"Tidak. Terimakasih. Aku baik-baik saja. Dan catatan buat kalian berdua, seseorang menungguku di Washington." Bibirku tersenyum puas saat melihat wajah-wajah salah tingkah mereka.
Hujan bukan halangan, apalagi aku tidak bawa apa-apa di tas. Aroma tanah yang menguar kuat mengingatkanku akan kenangan di Washington saat aku dan Carter menyambut hari paling temaram. Menjulurkan lidah keluar dan berseluncur di halaman belakang rumahnya. Kemudian, kami akan mulai bercumbu dan flu. Hari-hari menyenangkan.
Berlarian aku kebasahan. Orang-orang menyingkir dan berteduh, kecuali mereka yang membawa payung dan aku. Mobil dan bus menerjang lebatnya hujan. Jemari-jemari dingin kurus nan panjang mulai mencengkram pinggang dan membuat tulang-tulangku menggigil. Aku berhenti di perempatan dekat halte bus tidak berguna untuk menarik napas. Manusia berkumpul di sana, sekarang halte itu jadi lebih berguna.
Tetesan air yang jatuh sudah menjadi bagian dari tubuhku, sehingga saat itu berhenti turun, aku menengok ke atas untuk memastikan semua baik-baik saja. Sebuah payung hitam besar menaungi, namun, bukan payung hitam itu yang membuatku terkejut, melainkan siapa yang memegang payung itu.
"Lavi 'kan?"
"Kau lagi."
Wanita peramal itu terkekeh, lalu aku mulai menyadari, ternyata, warna hijau di mata sebelahnya memudar bahkan terkesan hampir putih sempurna. Ia melrikku dengan mata itu, terkesan ganjil.
"Setelah melihatku tanpa lensa kontak, kau sadarkan kita memiliki persamaan?"
"Ya. Mungkin," balasku tanpa menoleh sedikit pun kepadanya. Pandanganku lurus ke depan.
"Matamu cacat, namun jadi indah. Mataku juga cacat, hanya sebelah, namun malah membuat takut siapa saja yang menatap. Tapi ternyata, mata buta sebelahku malah membuatku mudah membidik belati lempar."
Wanita itu mulai menarik perhatianku. Tatapannya begitu lembut dan menyejukkan saat ia menoleh kepadaku. Perkataannya benar. Sebelah matanya hijau segar layaknya daun di pagi hari, sementara yang lainnya begitu pucat, dan hijaunya hampir tenggelam. Benar-benar lain dengan apa yang ada di karnaval. Namun, ia masih sangat seksi, bahkan untuk ukuran gadis sepertiku. Jika sensualitas adalah api, maka gaun hitam rendanya adalah bara.
"Hujan ini mengingatkanku akan keluargaku dulu."
"Kau punya keluarga?" Pertanyaan barusan terkesan tolol.
"Tentu saja. Sayang, suamiku memilih pergi dan dia membawa putriku."
Aku terdiam. Aku tidak tahu mengapa ia menceritakan hal yang begitu sensitif di hidupnya kepada orang asing. Wanita itu menghela napas panjang, seakan menutupi isakan kecilnya, lalu melanjutkan, "Kau benar-benar mengingatkanku akan dirinya. Manis, menakjubkan," kenangnya, sembari menatap tetesan yang meluncur jatuh dari payungnya.
Setelah kembali dari lamunannya, dia merogoh sesuatu dari balik branya. Menjijikan.
Sesuatu keluar, panjang dan memikat mata. Itu kalung emas, tipis, dan elegan. Liontinnya berupa kepingan hati yang dihinggapi kupu-kupu bersayap terbuka. Indah, aku ingin memilikinya.
"Ini punyamu sekarang. Putriku yang menginginkannya."
"Sungguh? Bagaimana kau—"
Aku pikir dia menghilang seperti di Chilling Adventure of Sabrina sebab hujan mulai kembali menghantam wajahku lagi, tapi ternyata, ia hanya berbalik membetulkan sepatu haknya yang selip.
"Ya, dia bilang saat dekat ajalnya. Katanya dia ingin pemilik selanjutnya kalung ini adalah orang yang aku kasihi. Tidak kusangka, kau orangnya, dan aku tidak punya siapa-siapa lagi. Sekaligus, kalung ini sebagai permintaan maaf, bagaimana?"
Kalung itu terlalu cantik untuk ditolak, hatiku luluh. Aku memaafkannya.
"Tapi aku bahkan tidak tahu namamu."
"Carla, Carla Jesse."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro