
Bagian 6 : Kafetaria
Val melambaikan tangan dari meja yang paling dekat dengan jendela. Gemuruh guntur menggetarkan kaca. Aku membawa nampan berisi kentang tumbuk asin, sepotong ayam goreng, kacang polong, dan segelas jus beri biru. Otakku sakit memikirkan bagaimana bisa aroma gabungan kentang tumbuk dan kacang polong lebih menggoda dari ayam goreng?
Mary dan Val duduk bersama, aku memilih berada di seberang meja. Kafetaria terasa sesak dengan suara-suara obrolan dan candaan. Bahkan, aku melihat Teresa tertawa bersama seorang pria. Jam makan siang memang waktu yang menyenangkan. Val menguncir dua rambutnya dan itu membuatnya jauh lebih imut, apalagi saat ia tersenyum lebar.
"Bagaimana hari pertamamu?" tanya Mary. Ia menyuapkan sisa kacang polong ke mulutnya, dan saat ia mengunyahnya, sedikit kuah kacang polong itu meluncur keluar dari bibir menuju dagunya. Aku melihatnya dan ingin memberitahunya, namun Mary melakukannya untukku. Tidak hanya menegur Mary, Val juga mengelap sisa kuah itu dengan menggunakan sapu tangan yang ia keluarkan dari tas ranselnya. Mary tersenyum manis hingga membuat pipinya merona merah saat berusaha menyingkirkan sapu tangan itu dari dagunya. Aku pernah melihat Mary bahagia seperti ini, saat menang taruhan dengan kami, saat Val membelikannya gaun yang ia kenakan sekarang, saat Val memberinya sebuah tiruan buku Necronomicon, saat Val ...
Tunggu dulu ...
"Ehm ... ya menyenangkan. Aku punya rival di hari pertama dan dapat teman aneh."
"Kau sudah menemukan pengganti mantanmu?"
Sesuatu dari dalam diriku ingin berkata bajingan. Tapi yang lain berkata, sudahlah, relakan saja.
"Belum," jawabku ketus. Jacob bisa saja menjadi pengganti Carter. Dia itu lucu dan kami setuju akan satu hal; game dan film Lost Star itu bagian dari peradaban maju manusia. Aku bahkan bisa melihat Carter di dalam dirinya. Namun, aku tidak ingin seperti itu. Sebab, bukankah itu berarti aku mencintai Carter dan bukannya Jacob. Jika aku melanjutkan itu, apa bedanya aku dengan Carter? Emosi labil wanita membuatku kagum. Baru saja pagi tadi aku memuja-muja Carter, sekarang, aku malah ingin meludahinya.
"Wah, sayang sekali. Padahal Jacob sepertinya siap." Val mengatakannya sementara dagunya menunjuk seseorang di belakangku. Kukira Val berusaha menggodaku dengan humor menjijikannya, namun sialnya, saat aku berbalik, Jacob sudah benar-benar berdiri di sana. Ia melambai dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegang nampan.
"Hai, Lavi."
---
Makan siangku berlangsung canggung. Aku lebih banyak diam ketimbang Mary dan Val yang memberondongi Jacob dengan banyak pertanyaan. Satu hal tentang Jacob, dia sudah punya nama di kampus karena ia memiliki gerai kopi terkenal di sekitar sini. Aku memang baru mengetahui gerai itu, jadi jangan salah kan aku jika aku tidak tahu siapa Jacob itu. Itu sebabnya gadis-gadis yang duduk di paling belakang benci kepadaku karena aku 'merebut' Jacob dari mereka. Itu juga alasannya kenapa orang-orang menatap kami sinis sekarang. Rasanya hidupku belum cukup dramatis, takdir seakan berkata bahwa "Oh, hei, kita belum selesai mengacaukan hidup gadis ini, mau melakukannya bersama-sama?"
"Valhala!"
"Dallas!"
Valhala? Siapa orang yang mau memanggil teman mereka dengan nama seaneh itu?
Val bangkit dari kursinya dan berlari menghampiri seseorang. Orang itu jelas-jelas sudah membuat Val rindu setengah mati sebab Val memeluknya seakan ia tidak akan pernah melepaskannya lagi. Mereka berdua memiliki kacamata yang serupa, tapi tidak sewarna. Selain itu, pria itu nampak lebih berantakan bila dibandingkan dengan Val.
"Siapa dia?" tanyaku pada Mary yang mengaduk-aduk piring kosong dengan garpu plastiknya. Mary nampak lesu, seperti kebahagiaan dirinya baru saja direnggut paksa dan dibiarkan berayun di depan wajahnya, begitu menggoda, namun Mary tidak pernah bisa meraihnya, sedekat apapun.
"Itu Dallas Johanson, ketua Sentinel. Salah satu klub di kampus." Jacob yang menjawab. Tidak heran dia tahu banyak. Kakaknya ada di kampus ini dan ia lebih memilih untuk nongkrong bersama kami ketimbang kakaknya sendiri.
"Kalian tidak keberatan aku pergi duluan?"
"Mary, kau mau kemana?" tanyaku. Aku mulai mengkhawatirkannya, ia bangun tergesa-gesa, sesuatu ada yang salah. Dia semuram dan sedingin hari ini. Batu di liontinnya pun terasa lebih redup warnanya.
"Kelas."
Mary pergi terburu-buru, terkadang, ia menabrak orang-orang sebab kepalanya menunduk. Dia benar-benar mengingatkanku akan diriku yang cemburuan saat dulu di Washington. Oh, masa-masa indah sebelum Carter memutuskan untuk membunuh perasaanku selamanya.
"Ada apa dengannya?" Val bertanya kepada kami dan Jacob menjawab santai sembari mengapit kentang goreng di antara bibirnya, "Kau tahu, wanita."
"Mary tidak pernah berubah, ia selalu jadi pemarah," timpal Dallas aksen Inggris kentalnya. Bagaimana aku mengenali aksen itu? Pokoknya aku langsung tahu. Sayangnya, kesan galak dari jaket jinsnya langsung hilang bersama gambar kartun dinosaurus T-Rex di kaus hitamnya.
Val menjawab dengan kedua bahu terangkatnya.
Kemudian, saat aku mengamati bintik-bintik di wajah Dallas, mata kami bertemu. Jantungku berhenti berdegup. Bukan karena tatapan mata sehitam arangnya membuatku jatuh cinta, namun lebih ke 'oh sial, aku ketauan!'
"Hei ... dan kau?"
"Lavi Pierce," jawabku datar.
Dia tersenyum. "Aku—" Aku langsung memotongnya, "Dallas 'kan?"
Dallas terkejut mendengar jawabanku, kemudian membusung bangga.
"Wah, kelihatannya yang terkenal bukan hanya kau Jacob, tapi aku juga."
Jacob tidak menjawab. Dia terlalu sibuk memainkan kentang gorengnya menjadi jembatan dan orang-orang yang menyebrang. Entah saking sibuknya, tidak peduli sehingga dia mengabaikan, atau dia tidak paham. Aku pun hampir tidak tahu apa yang ia bicarakan. Namun, aku beruntung bisa membaca gerakan bibir Dallas. Ibuku mengajariku itu dulu, dan selalu bilang bahwa ini tidak berguna. Sekarang aku menyesal pernah mengatakan itu. Dallas bergabung dengan kami, Val pun begitu. Aku menyeruput dalam-dalam sisa-sisa jus beri biruku dari dasar gelas.
Kafetaria berubah sepi, terutama saat seseorang dari ambang pintu kafetaria mengumumkan bahwa orientasi dimulai lagi. Jacob yang bangkit duluan, lalu mengajakku dengan menawarkan bantuan berdiri berupa uluran tangan. Aku menolaknya sehalus mungkin dengan berdiri sendiri. Rintik hujan mengetuk-ngetuk jendela, dan itu sekaligus sebuah pertanda bahwa kami tidak akan tur keliling kampus bagian luar.
Kemudian, Dallas menyodoriku sesuatu. Sebuah brosur. Begitu warna-warni dan tidak menarik hati. Klub Sentinel. Ada foto Dallas di sana sebagai ketua, Val sebagai wakil, dan Mary sebagai anggota. Tidak ada yang lainnya, hanya bertiga.
"Kau tidak menyertakan anggota lain?"
"Bukan. Kami hanya bertiga, itu saja, dan kau boleh saja bergabung dengan kami. Akan menyenangkan."
Kuberikan brosur itu pada Jacob yang penasaran. Aku tidak bisa menjawab sekarang, sudah kubayangkan wajah Teresa yang marah-marah.
"Akan kupikirkan nanti, oke?" kataku sembari menjauh dari Val dan Dallas.
"Kami ada di tenda paling ujung!" Val berteriak kepadaku, jarak kami terlalu jauh, dan Jacob menyusulku dengan kecepatan luar biasa.
"Kau mau bergabung?" tanya Jacob yang berjalan di sebelahku. Kelas kami berbarengan, jadi ini bukan alasan buatku mencuri-curi pandang.
"Entahlah, akan kupikirkan nanti."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro