Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 4 : Karnaval

Semalam, aku terbangun sebab mimpi indah tentang kita. Keluarga kecil bahagia kita, seks, anak-anak, dan kau yang lelah dengan pekerjaan. Kemudian, kuputuskan membaca buku pemberianmu untuk mengenang kenangan kita dulu untuk satu jam. Namun, itu benar-benar menakjubkan sampai aku lupa waktu. Yang jelas, buku itu bisa membawaku ke tempat lain dan siapa yang tidak terpana akan kisah cinta Clarson? Kau tahu, sekarang aku harus tinggal di Shadewell bersama bibiku. Iya, dia yang kau panggil si Komandan Gila. Bibi Georgia tidak berubah banyak selain kerut di dekat bibirnya yang bertambah. Afta juga baik-baik saja. Kemarin dia mengantarkanku ke Shadewell dan tepat setelah sarapan tadi, dia pulang ke New York. Untuk sementara waktu, aku tidak akan merindukannya sebab Afta menjelek-jelekan tato-tatomu tadi. Bibi Georgia, Val, dan Mary melerai kami berdua, karena aku sempat menjambak rambut Afta.

Oh ya, bodohnya aku. Aku lupa memperkenalkanmu pada Valley atau biasa yang kami panggil Val dan Mary Zane. Namanya memang terdengar seperti Mary Jane di Spiderman tapi siapa peduli, dia benci film itu. Mereka berdua seniorku sekaligus teman sekamarku. Setelah pensiun dari militer, bibi Georgia memutuskan untuk menyewakan kabinnya. Bisnis yang menguntungkan kalau boleh kubilang.

Bagaimana keadaan Wahington? Kau baik-baik saja di sana? Aku merindukanmu dan mencintaimu. Maaf, hanya begini caraku agar tetap waras.

"Lavi? Kau mendengarku atau tidak sih?"

"Maaf, Val. Hanya saja ..." Kefrustasianku keluar dalam bentuk helaan napas panjang. Val mengambil suratku dari atas tempat tidurku. Kasurku cukup rata dan datar, jadi aku tidak membutuhkan meja belajar atau semacamnya. Saat dia membacanya, bibirnya tersenyum lebar dan tanpa sengaja, kacamata biru berbintangnya hampir turun dari hidungnya.

"Ini adalah surat termanis yang pernah kubaca." Merasa tersinggung, kurebut lagi privasiku dari tangannya.

"Oh, ayolah." Dia merajuk, lalu terpaku memperhatikanku.

"Kenapa aku baru sadar kau punya sepasang mata yang unik?"

"Ini akibat kegagalan genetik sebenarnya, tapi terima kasih," ujarku. Pipiku menghangat sebab tersipu malu.

Kemudian, aku mendengar suara orang membanting pintu kamar.

"Apa sih yang bikin kalian lama sekali?!"

---

Ternyata, Mary dan Val memutuskan untuk mengajakku ke sebuah karnaval baru di lapangan kampus kami. Mereka sebenarnya juga ingin mengajakku berkeliling, namun, aku sudah tahu sudut kota lebih dulu dari mereka. Meski matahari bersinar terang, hutan pinus dan awan-awan tebal membuat hari jadi lebih suram dari seharusnya. Bibi membekaliku dengan jaket tebal miliknya dan payung kecil yang muat di kantung. Padahal, tudungnya itu sendiri mampu melidungiku dari terjangan hujan lebat. Tidak hanya itu, bibi Georgia juga membuatku mengenakan sebuah bot besar yang mampu memeluk betisku dan terasa berat diangkat. Malah, ia tadi menyarankanku membawa salah satu revolvernya. Buatku, itu semua terlalu berlebihan. Val keluar dengan kaus 'JANGAN MACAM-MACAM DENGAN MACAN', celana jins sebetis dan sendal jepit. Mary bahkan berani mengenakan singlet hitam yang mampu mengumumkan kepada dunia betapa berlekuk, putih dan seksinya orang itu.

"Kau seperti mau menjelajah hutan Amazon." Val memecah keheningan, lalu tertawa. Bobot bot dan fakta betapa lengketnya lumpur ini membuatku tertinggal di belakang yang lain. Mary menoleh kepadaku, dan matanya bergulir meledek. Beruntung buatku, sebab memiliki kemampuan tidak mempedulikan orang lain.

Kalau ingatanku tidak salah, setelah menyebrang jalan raya, kami harus belok kiri melewati kafe, lalu perpustakaan kota dengan pintu masuk megahnya, kemudian halte bus tidak berguna Shadewell, lalu lurus terus sampai kau bertemu patung selamat datang berupa singa jantan berkepala tiga, lambang universitasku. Selain itu, tinggi kincir ria itu membuatnya mampu terlihat tiga blok dari tempat kami berasal dan itu mempermudah kami ke sana. Sebelumnya, kincir ria itu belum berdiri di sana, jadi itu adalah markah bangunan yang berharga.

Gerbang gandanya terbuka dan orang-orang ramai keluar-masuk dari sana. Kebanyakan dari mereka membawa balon, permen kapas, boneka, maupun suvenir lainnya. Ujung-ujung tenda warna-warni menyembul dari balik tembok bata tinggi universitas dan lagu-lagu ceria dilantangkan dengan sejumlah pelantang suara.

Mary dan Val langsung hilang di kerumunan orang saat perhatianku teralih pada bendera kecil yang berkibar di tali penunjang tenda. Namun, tidak butuh waktu lama buatku menemukan Val sebab rambut keriting tinggi tebalnya mudah ditemukan di antara orang-orang. Mereka berdua pergi menuju depan bangunan utama universitas, di mana berdiri tenda-tenda penjaja makanan.

Aku ke arah yang berlainan, menuju halaman universitas. Tenda-tenda di sini menyediakan permainan-permainan dan suvenir dan mereka membentuk semacam gang yang berujung pada kincir ria. Rumputnya tidak tinggi, tapi aku bisa merasakan tusukannya. Orang-orang begitu riang, entah dengan hadiahnya, permainannya atau lelucon lucu teman mereka. Angin berembus menembus jaketku dan aku belum pernah merasa sedingin ini. Langkahku menjadi ringan, bahkan terkesan limbung karena mengikuti ke mana kebahagiaan orang-orang membawaku. Kerumunan orang di sekelilingku seakan melambat dan menggiringku ke tenda di mana seorang wanita dengan gaun merah berendanya berdiri di depan pintu, seraya menyambutku dengan sebuah lambaian tangan.

"Kemarilah, anakku, kudengar kau tersesat. Hanya dengan 25 sen kau dapat melihat takdirmu." Aku perempuan, tapi kuakui suaranya memikat dan dia membuatku penasaran. Walaupun aku tidak begitu percaya hal-hal semacam itu, tapi hei, hanya 25 sen!

"Boleh aku masuk?" tanyaku berusaha sesopan mungkin dalam dialek Kanada sebaik mungkin.

"Silahkan, silahkan. Jangan malu."

Kemudian, ia menuntunku. Saat aku masuk ke dalam tirai pembatas yang berupa kalung-kalung kerang, aku mencium aroma wewangian melati yang sangat kuat dari pengharum ruangan. Sebuah meja dengan tumpukan kartu dan dua buah kursi untuk dirinya dan pelanggannya. Ruangan ini hampir gelap, dan penerangan hanya datang dari cahaya matahari yang menelusup di antara celah-celah tirai kerang itu.

Wanita itu duduk dan mempersilahkanku duduk. Ini pertama kalinya aku diramal dan rasanya tidak nyaman. Ia menengadahkan tangan penuh gemerincing dan gelang-gelang hitam bergambar timbul burung gagak.

"25 sennya tolong!" Dia jadi begitu tegas saat meminta uangnya, begitu pun tatapannya yang mengingatkanku akan guru kimiaku dulu saat kami lupa dengan tugas musim panas. Pandangannya melembut saat ia melihatku merogoh kantung jaket kebesaranku dan mengeluarkan 25 sen. Ia begitu senang saat menerima uangnya. Wanita peramal itu berbalik dan meletakkan 25 sennya di balik gaunnya. Bra? Mungkin saja.

Kembali ia menghadap kepadaku dan mengambil tumpukkan kartunya. Sembari mengocok ia mencoba menelanjangiku dengan tatapan sehijau lumutnya itu.

"Namamu Lavi 'kan?"

Ia bahkan tidak menunggu reaksi terkejutku, "Aku tahu semua pelangganku. Yang sudah datang, maupun yang mau datang. Kau salah satunya, malah, kau yang paling menarik dari semuanya."

Kerongkonganku jadi kering dan kakiku membeku di bawah mejanya. Kartu-kartu yang saling bertukar tempat itu terasa bergerak terlalu cepat di antara kedua tangan lihainya. Panik hampir menyergapku dan membuatku pingsan, namun jentikannya di depan wajahku menyelamatkanku.

"Kau tidak apa-apa, Lavi?"

Aku hanya bisa membalas dengan anggukan. Ia menyelipkan sebagian rambut bergelombang abu-abunya ke telinga berantingnya.

"Siap menerima takdirmu?"

Aku mengangguk lagi. Kemudian, ia membuka tiga kartu teratas di atas meja. Malaikat pencabut nyawa yang bertempur dengan malaikat bersayap lebar, serigala besar berpunggung api yang melolong, dan dua cupid yang menarik hati merah muda hingga retak menjadi dua bagian. Oh, ini tidak bagus.

"Oh, ini tidak bagus."

Itu yang kukatakan tadi.

"Kau akan dihimpit kehidupan dan kematian," ujarnya seraya menunjuk ke kartu pertama, lalu telunjuknya berpindah ke kartu kedua, "Hidupmu juga akan dipenuhi gairah mengejar berapi-api, tapi apa yang kau kejar?" Kemudian, ia menyelesaikannya di kartu terakhir, "Dan kau akan dibuat bahagia oleh dua cinta yang malah akan mematahkan hatimu."

Konyol. Sekarang aku paham kenapa aku tidak pernah mau mendatangi orang bodoh seperti dia. Karena semua perkataannya konyol dan hanya sesama orang tolol yang mau memercayai dustanya. Aku beranjak tanpa disuruh. Aku sudah membayar bajingan itu, dia tidak bisa mengaturku.

"Lavi, tunggu!" Langkahku terhenti.

"Aku paham kau marah, tapi, anggap ini semacam peringatan buatmu, terutama di bagian serigala itu. Aku tidak membual, nak, kau ini istimewa. Hanya di dirimu ramalanku bukan sekadar bualan orang tua sinting."

Aku mulai berlari secepat kakiku bisa membawaku, menembus tirai kerang itu, kerumunan orang-orang yang kebingungan sampai akhirnya aku menabrak Lav yang membawa permen kapas raksasa.

"Lavi?"

Aku memutuskan untuk meninggalkan semua kekonyolan itu di tenda terkutuk itu, namun aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Tangisanku pecah saat Lav melihatku retak seperti kulit telur. Bahkan kurasakan simpati Mary dari sentuhan tangannya. Tidak peduli orang lain menatapku seperti apa, tapi aku mau menangis sekencang-kencangnya.

Carter, jemput aku, sayang. Aku ketakutan. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro