Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 11 : Kejutan

Aku baru saja selesai menggilas sisa pancake milik Mary saat tiba-tiba saja, bel rumah berdering.

"Biar aku yang buka," ujar bibi Georgia seraya menuju pintu depan. Mary dan Val mendiskusikan angka-angka dan rumus, walau mereka berdua sempat muntah-muntah dari bangun tidur sebab pesta gila-gilaan semalam, mereka dengan luar biasanya menemukan jalan keluar di setiap soal. Kelihatannya, pertanyaan-pertanyaan itu bukan menjadi penghalang buat mereka, melainkan pemersatu. Setiap kali Val mengemukakan teori konyol, Mary tertawa keras seakan tidak peduli sekitar. Wajah mereka sumringah layaknya dua bunga matahari yang merekah di hadapan mentari pagi. Embun membasahi dahi dan sedikit bagian leher mereka, tapi mereka tidak peduli.

Mereka mengingatkanku lagi akan Carter.

"Tolong jangan."

Kemudian, aku kembali bermesraan bersama esai Dracula yang setengah selesai.

"Lavi, paket untukmu!" panggil bibi Georgia dari koridor depan. Aku bangkit dan menghampirinya. Tatapan Mary dan Val membuatku tidak nyaman. Beberapa kali mereka berdeham, berusaha menggodaku.

"Paket? Paket apa? Aku bahkan tidak tahu ada yang menyukaimu, selain Jacob dan Dallas. Mungkin itu hadiah mereka. Siapa tahu."

Benar. Mungkin itu dari mereka. Atau dari Carter?

"Itu juga bisa jadi."

Bibi Georgia sudah memegangi paketku berupa kotak cokelat berukuran sedang. Tidak seperti Mary atau Val, muka bibi Georgia nampak muram, semuram burung yang kemampuan bernyanyinya baru saja direnggut secara paksa. Aku meminta paket itu dari tangannya, namun dia mencegahku.

"Lavi, ada yang salah dengan paket ini. Baunya amis." Dia mendekankan kotak itu ke hidungnya, wajah masam itu mengonfirmasi tebakannya. Perlahan tapi pasti, degup jantungku meningkat. Oksigen terasa menipis di udara. Aku kesulitan menggapainya.

Bibi Georgia membukanya, dia berpengalaman dalam membuka "kejutan", namun aku tidak bisa menahan hasrat penasaranku. Saat tutupnya terbuka dan lebih banyak bau tajam amis seperti bau bangkai ikan, menguar keluar, aku melihat kado paling mengerikan sepanjang sejarah. Seekor kelinci ...

Tubuhnya meringkuk dan menggigil, hidungnya mengendus lemah, matanya terpejam dan bulu-bulu putihnya kotor akibat darah kental dari luka dalam di perutnya. Denyutnya lemah, seakan berjuang untuk terus hidup. Kelinci sekarat itu membuat tubuhku linglung, Mary menangkapku. Tanpa sadar, aku terisak dalam lingkaran lengan Mary yang beraroma keringat dan debu. Val berjengit ngeri saat melihat kelinci malang itu.

Di antara kami, bibi Georgia yang paling tabah. Dia mendongak kepada kami setelah menutup rapat kotak terkutuk itu.

"Akan kulaporkan polisi."

---

Polisi datang ke rumah bibi Georgia dan menanyai kami, mengambil barang bukti, kemudian pamit selepas segelas kopi. Bibi memelukku erat dan berkata semua akan baik-baik saja. Aku tidak bisa berkata apa-apa, bahkan di dalam hati sekali pun. Akhirnya, kuputuskan untuk menulis semuanya dalam sebuah surat sembari berurai air mata.

Jemari ranting yang rapuh mengetuk-etuk jendela kamar, matahari akhirnya mengukuhkan diri bahwa awan tidak punya kuasa di kerajaan langitnya. Burung-burung berkicau lega, mengobrol sebab kemarin mereka tidak mau keluar. Bagian belakang rumah bibi langsung menghadap ke hutan pinus yang tiap batangnya mampu menciptakan ketakutan imajiner di setiap kepala orang yang menyaksikannya. Samar-samar, kau akan mendengar erangan kereta yang lewat.

Sekilas, aku mendengar raungan sirine mobil-mobil polisi.

Mary dan Val pergi, tapi mereka tidak memberitahu mau kemana. Jacob menelpon, ia mengkhawatirkanku sebab tidak datang ke kampus. Sejenak, aku teringat Evelyn, ancamannya tidak pernah terasa senyata sekarang. Aku berbohong padanya, aku bilang aku demam, dan kabarnya dia mau menjengukku tapi aku tidak mau. Lalu, Dallas, yang mendengar kejadian itu dari Val langsung.

"Aku bisa membantumu, Lav," katanya di ujung lain ponsel.

"Aku tidak mau dikasihani." Buru-buru aku menutup ponselku dan mulai terisak lagi.

Kelinci itu tidak bersalah, ia hanya hidup. Kelinci tidak pernah mencari masalah. Tapi karena aku, kelinci itu jadi korbannya. Bagaimana kalau ia memiliki keluarga? Atau anak-anak yang masih butuh air susunya? Oh Tuhan, apa aku berdosa?

Pintu kamar terbuka, bibi Georgia datang bersama Carla yang mengenakan gaun saat kami bertemu pertama kali di tendanya. Gelangnya bergemerincing saat tangannya melambai kepadaku. Ia menatapku murung. Carla duduk di ujung kasur, dan aku di ujung yang lain. Bibi Georgia berdiri di ambang pintu, mengawasi dengan kedua tangan terlipat di dadanya.

"Hei, aku turut berduka atas apa yang menimpamu, Lavi. Itu adalah kejadian yang mengerikan."

Aku diam.

"Dengar, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, oke?" Dia menyodorkan kartu namanya kepadaku. Aku belum berminat mengambilnya, Carla pergi setelah mengusap rambutku. Ia diantar bibi Georgia. Saat pintu tertutup, aku mengambil kartu nama itu dan menyimpannya di koperku.

Aku berniat menghibur diriku sendiri dengan menonton televisi, walau kado mengerikan itu masih menghantuiku layaknya lebah-lebah marah di kepala. TV langsung menampilkan siaran lokal saat menyala. Biasanya, tidak ada yang istimewa di sana selain program yang mengitari seluruh kota, tapi sekarang, siaran berubah. Shadewell adalah kota kecil tanpa kriminalitas berarti, dan ini akan jadi yang pertama.

Seseorang baru saja terbunuh di hutan. Lokasinya dekat kampus, sebab kamera sempat menyorot ke tempat itu dan para mahasiswa-mahasiswi mengerubungi tempat kejadian seperti sekumpulan burung bangkai yang menemukan makanan. Pantas saja mobil polisi terdengar buru-buru, kukira mereka sekadar meninggalkan rumahku dan kembali mengobrol di kafe Jacob. Tapi tidak, mereka menuju ke lokasi pembunuhan. Sepasang kekasih yang bermesraan di hutan yang menemukannya. Wajah korban dan tubuhnya yang tercabik-cabik serta darahnya di sensor media, namun itu tidak berguna sebab aku sudah tahu siapa yang terbaring di sana.

Usus dan lambungku terpuntir gila-gilaan sampai akhirnya aku harus lari ke toilet dan muntah di sana.

Sekembalinya dari toilet, ponselku berdering. Nama Dallas terpampang di layarnya. Dalam keadaanku yang seperti ini, aku akan mengabaikannya, namun tidak. Aku mengangkatnya.

"Lavi, maaf mengganggu, tapi kita akan menggelar rapat darurat. Aku kenal luka itu. Polisi bilang itu karena seekor beruang, aku tidak percaya sebenarnya." Sinyal yang payah dan aksennya membuatku membesarkan volume panggilan berkali-kali lipat agar jelas. Aku mengelap mulut basah dengan gaun tidur Mary, lalu melempar gaun malang itu ke keranjang cucian.

"Ya, aku juga butuh penjelasan ahli sebenarnya."

Panggilan berakhir.

"Beruang? Mana ada beruang di Shadewell?"

Hutan tidak mampu menyembunyikan tubuh besarnya, makanannya juga jarang. Binatang yang hidup di sekitar sini biasanya hanyalah burung, kadal, rusa—jarang sekali—dan kelinci juga rakun.

Tiba-tiba, jendela kamar diketuk keras sekali oleh ujung cabang. Awalnya aku tidak memedulikannya. Namun kemudian menjadi begitu mengganggu. Akhirnya, aku menghampiri jendela kamar dan akan mematahkan dahan terkutuk itu. Kubuka jendela secara kasar, dan saat tanganku hampir menggapai ujung dahan, sebuah lemparan mulus batu kecil tapi datang dari neraka, mengenai dahiku. Kepalaku langsung dicengkram rasa kesal, dahiku berdenyut seperti jantungku tumbuh di sana saat jemariku menyentuhnya. Di luar, aku melihat Jacob berdiri, wajah terkejutnya terlihat sama tololnya dengan wajah biasanya.

"Maafkan aku, Lavi, aku tidak bermaksud—"

"Bajingan itu!"

"Oi! Kau gila?! Kau mau kubunuh?!"

"Aku ... aku ... hanya ingin menjenguk." Nada suaranya merendah, tapi kemarahanku makin memuncak sampai menembus batas kesabaran.

"Kau tidak tahu benda bernama pintu?!"

Aku menjerit dan meraung pada Jacob, namun kenapa bibi Georgia tidak ke atas? Kukira dia mendengar aku marah-marah.

Tiba-tiba saja, Jacob berlutut sebab aku memaksanya seperti itu, kemudian aku menampar bagian tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah penuh bangkai dedaunan. Jacob bangkit merasa kesakitan, dan saat aku melihat ekspresinya bercampur tanah dan daun mati, aku tertawa bahagia. Aku tos kepada diriku yang berdiri sambil menegak Vodka. Meski tidak minum, aku bisa merasakan cairan itu memenuhi kerongkongan lalu lambungku.

"Ah, sial. Aku jatuh di atas cokelat," protes Jacob kepada dirinya sendiri. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro