(8) 2. Persamaan Orang Baik dan Pembohong? Sama-Sama Mudah Capek 2
"Biar kusimpan, uang recehan. Biarlah aku yang tak jajan. Tak kan kumenghalangi keinginanmu."
Nggak cuma memplesetkan lirik lagu Kusalah Menilai yang dipopulerkan oleh Mayangsari, Ciko pun nggak lupa buat ber-huwo-huwooo. Plus diiringi oleh jreng-jreng petikan senar gitar sekuat tenaga.
"Biar kucari, duit sendiri. Biarlah asal kau bahagia. Mungkin ini semua kesalahanku menilai dirimu. Huwo huwooo!"
Jordi yang lagi diskusi dengan Ugo di teras sontak melayangkan pandangan ke bawah pohon beringin depan rumah. Sekarang rasa penasarannya terjawab sudah. Pantas saja pohon bernuansa angker itu nggak ada penghuninya. Mereka pasti udah pada merantau ke pohon lain gara-gara nyanyian Ciko.
Lihat saja. Pagi-pagi Ciko sudah nangkring di bawah pohon beringin sambil mengabsen beberapa lagu jadul yang masih sering diputar Giri. Nahas, selanjutnya adalah lagu Tenda Biru milik Desy Ratnasari yang jadi korban.
"Tak sengaja lewat depan rumahmu. Kumelihat ada CD biru. Dihiasi pita dan kupu-kupu. Hati bertanya, punya siapa itu?"
Herannya, Ciko bernyanyi dengan penuh penghayatan. Sedikit pun dia nggak ketawa sementara Ugo sudah tergelak.
"Percayalah," ujar Jordi sambil geleng-geleng kepala. "Aku juga heran kenapa bisa dapat adek bungsu kayak dia."
Ugo menyugar rambut sekilas. Kebiasaan yang belakangan ini sering membuat Jordi bertanya, Ugo nggak lagi mengejek gaya rambut barunya kan?
Bukannya apa, tapi seminggu lalu Jordi mampir ke salon demi mengganti gaya rambut. Adalah fade buzz cut pilihan yang dia ambil. Potongan yang memberikan kesan simple, rapi, dan elegan.
Sayangnya entah mengapa itu justru memberi kesan tambahan untuk meningkatkan citra mengerikan Jordi. Dengan potongan rambut mirip gaya anggota tentara, dia seolah menjelma jadi preman pasar.
Jadi nggak heran kenapa Voni makin ketar-ketir sama Jordi. Postur tubuh dan potongan rambut sang kakak benar-benar bisa buat dia gemetaran.
"Berapa sih umur Ciko sekarang? 19 bukan?"
Pertanyaan Ugo membuat pikiran Jordi soal rambut hilang seketika. Ia mengangguk samar dan Ugo tampak geli.
"Wajar. Lagi kumat-kumatnya."
Wajah Jordi masam mendengar omongan Ugo, tapi mau gimana lagi? Kayaknya itu memang diagnosa valid.
"Cuma kadang aku maklum sih," ujar Jordi seraya buang napas panjang. "Mungkin itu cara dia buat hibur diri. Mama pergi pas dia masih butuh main-main."
Masuk akal. Jadi nggak heran sih ketawa Ugo hilang sedetik kemudian.
"Kamu tau? Orang-orang ngomong hidup nggak ada ibu itu lebih susah timbang nggak ada ayah."
Kayaknya memang ada beberapa orang yang mengatakan itu. Amit-amit, syukurnya Ugo nggak mengalami hal tersebut. Orang tuanya masih komplit dan saat ini sedang tinggal bersama dengan adiknya di Samarinda.
"Untungnya masih ada Voni."
Memang nggak akan bisa mengganti posisi Kanti yang sesungguhnya, tapi Voni mampu menjadi sosok penuh kasih yang Ciko butuhkan. Makanya nggak heran kalau Ciko hobi tidur di kamar Voni pas masih kecil dulu. Lagi pula Voni memang penyayang dan keibuan.
"Dia telaten banget ngurus Ciko. Apalagi anak itu bangsa cowok manja juga."
Tiba-tiba bahas Voni, Jordi jadi teringat kejadian semalam. Entah mengapa, tapi obrolan dengan Ellys tadi masih menyisakan janggal di benaknya.
Ugo mengerutkan dahi. Sedikit perubahan di wajah Jordi membuatnya bertanya.
"Kenapa?"
Jordi bangkit berdiri seraya mengambil barbel lima kilogram dari lantai. Dia nggak langsung menjawab pertanyaan Ugo, melainkan mengangkat beban itu sejenak.
"Aku merasa Voni agak beda," jawab Jordi sembari buang napas. "Gimana menurut kamu?"
Ugo nggak memberikan komentar. Dia cuma angkat bahu sekilas.
"Yang penting dia selamat sampai rumah."
Jordi tau memang itulah yang paling penting, tapi perasaannya benar-benar mengganjal. Dia nggak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Cuma rasanya memang nggak tenang.
"Sudahlah. Nggak usah mikir rumit," tukas Ugo sambil menghabiskan tehnya. Dia bangkit dan melihat jam tangan. "Aku cabut sekarang. Jam sebelas ini ada jadwal."
"Mau motret lagi?"
Ugo mengangguk. "Ada produk baru. Jadi terpaksa lemburan hari ini."
Jordi paham. Ugo memang sering dapat kerjaan di akhir pekan. Jadi dia biarkan saja Ugo yang beranjak.
Berencana untuk ke kamar Jordi, Ugo mau siap-siap dulu. Ambil tas dan kemudian pamitan sama Giri.
"Kak Ugo!"
Baru saja Ugo mau masuk, eh ada Voni yang mendadak muncul di ambang pintu. Dia refleks mundur sementara Voni justru sebaliknya.
"Kakak mau balik?" tanya Voni seraya maju mendekati Ugo. "Aku boleh nebeng?"
Pertanyaan itu bukan hanya didengar Ugo, alih-alih Jordi pula. Jadi nggak heran kalau akhirnya barbel turun dan menggantung di tangan. Dia langsung bertanya sebelum Ugo sempat menjawab.
"Kamu mau ke mana, Ni?"
Voni berpaling. Dia meneguk ludah melihat barbel lima kilogram dan otot bisep Jordi yang menyembul.
"A-aku ...," lirih Voni gelagapan. "... mau ke GALAXY."
*
Voni membuang napas lega saat turun dari motor Ugo. Dia menyerahkan kembali helm pada cowok itu dan mengucapkan terima kasih.
Ugo cuma mengangguk sekilas seraya menaruh helm di atas tangki dalam posisi tepat. Memang butuh beberapa detik, tapi seenggaknya dia yakin helm bakal aman saat jalan nanti.
"Ngomong-ngomong ..."
Voni pikir Ugo bakal segera pergi, tapi ternyata nggak. Melainkan dia justru mengatakan sesuatu yang mengejutkan Voni.
"... jangan keseringan bohongin Jordi."
Kelegaan di wajah Voni menghilang seketika. Sungguh. Dia nggak mengira kalau Ugo bakal langsung nembak dia kayak gitu.
"B-bohongin Kak Jordi?"
Ugo berdecak samar sekali. "Kamu pasti nggak mau kan lihat dia ngamuk?"
Ya Tuhan. Bukan cuma nembak Voni dengan pertanyaan bernada tuduhan, Ugo malah kembali bertanya dengan kesan menakut-nakuti. Hanya saja ada satu masalah yang paling valid dari dua hal tersebut. Yaitu, semuanya benar.
Tuduhan Ugo benar. Pun bayangan menakutkan Jordi yang ngamuk juga benar.
Namun, terlanjur bohong. Alhasil Voni tetap pada pendiriannya untuk nggak jujur. Dia sekarang malah mengambil opsi paling rendah dalam hal pertahanan diri.
"K-Kak Ugo ngomong apa ya?"
Bukannya menjawab, Ugo justru balik bertanya.
"Bener kamu nggak tau?"
Astaga. Voni pikir penghakimannya benar-benar sudah selesai. Nyatanya belum! Bahkan opsi pura-pura nggak tau pun nggak bisa membantu.
Sekarang Voni panik. Dia sebenarnya nggak yakin juga kalau Ugo tau apa yang terjadi. Cuma Voni yakin sesuatu. Nyawanya sedikit banyak berada di dalam genggaman cowok itu.
"Please, Kak," mohon Voni kalah. "Aku nggak maksud buat bohongin Kak Jordi, tapi ini benar-benar mendesak. Kakak nggak bakal aduin ke Kak Jordi kan?"
Kedua tangan Ugo naik dan mendarat di helm. "Kamu takut aku aduin ke Jordi?"
Astaga. Pakai ditanya lagi. Apa Ugo nggak bisa lihat ekspresi Voni tiap dengar nama Jordi?
"Ya pastilah, Kak."
Ugo menilai Voni. Dia memang nggak tau apa yang sebenarnya kebohongan Voni, tapi dia bisa melihat satu dua hal yang nggak beres.
Contohnya saja Voni gemetaran saat Jordi mau menghubungi Ellys. Ah, belum lagi saat Voni berseru mengatakan dirinya lembur. Di mata Ugo, itu nggak ubahnya kayak isyarat buat Ellys.
"Kak," lirih Voni membuyarkan lamunan Ugo. "Kakak nggak bakal aduin ke Kak Jordi kan?"
Ugo membuang napas. Kedua tangan kembali memegang setang dan lagi-lagi dia balik bertanya pada Voni.
"Apa itu yang penting?"
Voni menelengkan kepala ke satu sisi. Ugo pergi sementara dia dipenuhi kebingungan.
"Maksud Kak Ugo apa sih?"
Untuk sejenak, Voni belum beranjak. Dia masih berdiri di pelataran GALAXY dengan mata yang terus melihat kepergian Ugo.
Bibir Voni mengatup dan mengerut. Ia cemberut dengan sedikit rasa geregetan.
"Kenapa sih Kak Ugo selalu jawab pertanyaan dengan pertanyaan. Maksudnya apa coba? Mau buat aku bingung saja."
Menurut Voni, itu sangat aneh. Sayangnya dia pun paham betul. Sahabat Jordi itu punya sifat menyebalkan. Yaitu, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro