Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(48) 8. Dikit Demi Sedikit Lama-Lama Jadi Menggigit 6

Voni mengerjap. Denting halus yang berasal dari pesan masuk membuat dia narik udara dalam-dalam. Kayak nggak minat gitu, tapi tetap dia baca.

Sayang Toraaa:
Ni, kamu lagi apa?
Ngomong-ngomong besok kamu jadi kan ke rumah?

Voni:
Iya.

Udah. Cuma itu. Terus dia biarkan ponsel gitu aja di atas tempat tidur sementara tubuhnya lunglai dan jatuh berbaring dengan mode orang nggak ada tenaga.

"Kenapa?"

Voni mengerjap dan melihat pada Ellys yang lagi duduk di meja rias. Cewek itu lagi menyisir rambutnya dengan penuh kelembutan. Katanya jangan sampe ada sehelai rambut pun yang rontok.

"Nggak ada apa-apa. Cuma lemes aja."

Ellys melirik lewat cermin. Fokus matanya tertuju ke pantulan ponsel Voni. "Kenapa? Emangnya Kak Ugo chat apaan sampe kamu lemes gitu?"

"Kak Ugo?" ulang Voni seraya membuang napas panjang. Dia menggeleng samar. "Itu bukan Kak Ugo, tapi Tora."

Sisir berhenti bergerak. Ellys putar badan dan matanya membesar dengan kesan perpaduan horor-syok.

"K-kenapa kamu chat-an dengan Tora lagi? Belakangan ini aku udah senang loh kamu chat-an dengan cowok lain timbang Tora."

Voni narik napas dan mengembuskannya perlahan. "Kayaknya Kak Ugo nggak mau chat aku lagi."

Mata Ellys mengerjap dalam kecepatan tinggi. Dia agak bingung gitu.

"Ni," panggil Ellys dengan suara lirih. Sekarang tatapannya ke Voni rada berubah berkat sebuah kemungkinan yang sebenarnya udah dirasakan beberapa waktu lalu. "Kamu dan Kak Ugo nggak ada something atau apa gitu kan?"

"Entah."

Bukan jawaban yang diharapkan sama Ellys. Kata nggak pasti itu bisa merefleksikan banyak hal ambigu.

"Ngomong-ngomong, Lys. Apa hadiah untuk ulang tahun ibu-ibu?"

Ellys meringis. "Ibu Tora ulang tahun?"

"Iya."

"Aku pikir Tora keluar dari batu. Ternyata dia memang ada orang tua."

Mata Voni melirik. Ellys cuma mengangkat kedua bahu sekilas. Kayak nggak minat untuk topik itu.

"Biasanya ibu-ibu suka masak nggak sih? Kasih panci aja deh."

Panci? Kayaknya Voni nggak setuju dengan pendapat Ellys kali ini. Mungkin dia lebih milih buat kasih set prasmanan aja ya? Kelihatan lebih berkelas timbang panci kan?

*

Sayang Toraaa:
Kamu udah di jalan, Ni?
Acaranya mulai jam empat ini.

Voni:
Bentar lagi aku jalan.
Lagi nunggu ojol.

Sabtu yang hawa-hawanya nggak meriah kayak akhir pekan biasa. Rasanya Voni lesu banget padahal dia mau ke rumah Tora buat rayakan ulang tahun Puri.

Keadaan rumah saat itu lagi sepi. Jordi tentu saja ke ruko. Ciko pun yang lagi sibuk dengan praktikum lapang, pergi ke kampus. Sementara Giri ada seminar koordinasi gitu.

Selagi nunggu ojol sampe, Voni duduk di teras dengan pandangan yang tertuju ke ruang obrolan Ugo. Dia menggulir riwayat pesan dan jadi ngenes sendiri.

Dulu mereka sering banget berbalas pesan. Bahkan kadang sampe nggak ingat waktu. Sekarang?

Satu klakson membuyarkan lamunan Voni. Ojol mobilnya udah sampe. Mengingat dia bawa kado set prasmanan, naik motor tentu saja adalah pilihan yang nggak tepat.

Sepanjang perjalanan, entah deh berapa kali Voni narik napas dalam-dalam. Kegembiraan yang biasa dirasakan ketika akan menghadiri acara ulang tahun sama sekali nggak dirasakan sama dia. Sebaliknya, kalau boleh jujur Voni mau banget ngomong kalau dia males.

Voni sampai di rumah Tora sekitar jam dua. Acara tentu saja belum dimulai dan dia memasang senyum semanis mungkin walau tenaganya udah menjerit-jerit.

"Selamat ulang tahun, Tante."

"Eh, Voni. Akhirnya kamu sampe juga," balas Puri tersenyum. Dia menerima kado Voni dengan sorot yang nggak bisa diartikan. "Kamu kasih Tante kado apa? Kok berat gini?"

Voni masih tersenyum. Sayangnya senyum itu langsung membeku saat Puri kembali berkata.

"Tante pikir kamu bakal kasih tas kayak yang kamu pake atau paling nggak voucher salon dan spa gitu."

Puri berdecak dengan ekspresi kecewa sambil melirik tas Voni. Terus dia langsung panggil Tora.

"Nih! Kamu bawa ke belakang. Ntah deh pacar kamu itu kasih Mama apa? Masa ulang tahun dikasih batu bata?"

Setelah mengatakan itu, Puri langsung masuk. Ah, tanpa lupa berseru.

"Oh ya, Ni. Itu di dapur masih repot. Bantuin Aurel!"

Voni membeku. Dia sampe nggak bisa ngomong apa-apa. Bahkan ketika Tora bertanya.

"Memangnya kamu kasih Mama kado apa sih? Ini bukan batu bata beneran kan?"

Mata Voni memejam dramatis. Dia menarik napas dalam-dalam ketika rasa lesunya kayak terusik gitu.

"Menurut kamu, aku bakal kasih batu bata?"

"Nggak gitu maksud aku. Cuma kan paling nggak kamu kasih Mama tas. Rasanya kayak nggak pantas kan? Masa kamu datang dengan tas sebagus itu sementara kamu kasih Mama kado begini?" cerca Tora sambil melihat kado di tangan. "Memangnya ini apaan sih?"

Voni membuang napas panjang. "Itu batu bata."

Habis ngomong gitu, Voni putuskan untuk langsung masuk dan ke dapur. Bukannya apa, tapi suara Puri terdengar sedetik kemudian.

"Ni! Bantuin Aurel!"

Bantuin? Voni pikir nggak gitu. Soalnya pas sampai ke dapur, Aurel langsung berdiri dan tersenyum singkat.

"Kakak lanjutin ya. Pinggang aku udah pegal."

Voni tertegun. Ada banyak piring dan gelas yang belum dirapikan. Jumlahnya? Jangan ditanya. Sampe-sampe buat dia bingung mau mulai dari mana.

"Makanya."

Suara Puri terdengar lagi. Voni berpaling dan wanita paruh baya itu menghampirinya.

"Datangnya cepetan. Kalau begini mepet kan? Mana acara mau mulai jam tiga."

Tenaga Voni yang nggak seberapa ngasih peringatan. Dia lebih baik diam dan nggak membalas. Jadi dia cuma mengangguk sembari mulai menyiapkan peralatan makan itu.

"Tumpengnya sampe!"

Seruan Aurel membuat Voni melirik ke ambang pintu. Ada petugas katering yang bolak-balik bawa tumpeng besar dan aneka makanan lainnya. Di antaranya nggak ketinggalan kue dan puding.

"Ini Pak kuitansinya."

Hendri menyambut nota transaksi tersebut. Dia melihat sekilas dan memberinya pada Puri.

"Nih, Ma. Tinggal sisa tiga juta lima ratus lagi."

Puri tersenyum pada petugas katering. "Bentar, Mas."

"Iya, Bu."

Dengan langkah enteng, Puri hampiri Voni yang sedang sibuk bolak-balik dapur dan ruang tamu. Dia menahan Voni di saat akan mengangkat air mineral.

"Ni," panggil Puri sambil megang tangan Voni dan menyerahkan kuitansi tersebut. "Ini kamu bayarin bentar. Tinggal tiga juta setengah."

Kayaknya Voni bukan cuma lemas dan kekurangan tenaga. Melainkan dia sudah mengalami minus energi. Soalnya dia agak loading gitu dengan maksud Puri.

"A-apa, Ma?" tanya Voni sambil lihat kuitansi di tangannya. "M-maksudnya?"

Puri tersenyum. "Kamu lunasi bentar. Cuma tiga setengah juta lagi loh."

Eh? Apa Voni sedang berhalusinasi karena minus energi?

"T-Tante-"

"Anggap aja sebagai ganti kado ulang tahun Tante. Kan kayaknya seharga deh sama tas yang kamu pakai."

Voni gelagapan. "T-Tante, aku nggak ada duit sebanyak itu."

"Nggak ada? Kamu jangan bohong deh, Ni. Masa duit segini aja nggak ada?"

"Sumpah, Tan," tegas Voni seraya menggeleng. "Gaji aku udah kepake dan duit aku nggak cukup."

Senyum di wajah Puri seketika menghilang. "Kamu jangan main-main sih, Ni. Masa punya ayah PNS, tapi duit segini aja nggak punya?"

Ya ampun. Voni memejamkan mata. Kayaknya minus energi yang dialami semakin menjadi-jadi deh.

"Ada apa, Ma?"

Hendri menghampiri ketika pembayaran nggak kunjung datang dan petugas katering terlihat sudah nggak sabar menunggu. Dia melihat pada sang istri yang berkata.

"Ini, Pa. Masa Voni nggak ada duit segini? Cuma tiga setengah juta loh."

Hendri berpindah pada Voni. "Iya, Ni? Kamu nggak ada duit segitu?"

"Nggak," geleng Voni dengan ekspresi bengong. "Aku nggak ada duit segitu."

Puri berdecak. "Tuh kan, Pa. Masa Voni nggak ada duit segini? Terus gimana dengan katering?"

"Bentar, Ma. Biar Papa yang ngomong."

Voni pikir, Hendri akan ngomong ke petugas katering. Ternyata eh maksudnya itu malah ngomong sama dia.

"Serius kamu nggak ada duit segini, Ni? Ini cuma tiga setengah juga loh."

Ya Tuhan. Voni nggak tau deh dia harus ngomong gimana kalau saat itu dia memang nggak ada duit segitu?

"Kan kamu baru gajian."

Memang, tapi Voni juga udah pakai untuk keperluan dia. Plus di dalamnya beli hadiah yang disebut Puri dan Tora sebagai batu bata.

"Aku benar-benar nggak ada duit segitu, Om. Aku berani sumpah."

Aurel yang melihat kejadian itu langsung mencari keberadaan Tora. Heboh, dia ngomong gini.

"Gila ya itu pacar Kakak. Masa timbang bayarin katering Mama aja pelitnya kebangetan. Padahal cuma tiga setengah juta loh."

Tora bangkit dari duduk. "Serius kamu?"

"Serius," angguk Aurel sambil menunjuk belakang. "Tuh lagi ribut di dapur."

Tora bergegas. Dia buru-buru ke dapur dan yang dikatakan oleh Aurel memang benar. Sekarang Puri terduduk dengan memegang kepala.

"Tor! Kamu lihat pacar kamu ini. Masa lunasin katering Mama aja nggak mau."

Voni melongo. "T-Tante, aku bukannya nggak mau lunasin. Cuma masalahnya aku memang nggak ada duit."

"Kamu nggak ada duit?" tanya Tora menyela keributan tersebut. "Kamu serius aja, Ni."

"Serius, Tor. Gaji aku kan udah aku pake buat keperluan aku dan ..."

Voni menggigit bibir. Dia melihat kadonya yang tergeletak gitu aja di sudut dapur.

"... beli kado itu."

Tora memutar bola mata seraya membuang napas panjang. "Sebanyak apa sih keperluan kamu dan semahal apa kado itu sampe-sampe kamu nggak ada duit untuk lunasin katering Mama?"

"Sebanyak apa?"

O oh. Mungkin Tora nggak tau kali ya kalau harga serum vitamin C itu berapa. Belum lagi dengan tabir surya, alas bedak, dan segala macam printilan. Ah, belum lagi paket internet dan saldo ojolnya.

"Semahal apa?"

Tentunya Voni nggak mungkin dong kasih set prasmanan yang ecek-ecek. Untuk hadiah, tentu saja dia kasih merek yang bagus.

"Ya Tuhan."

Voni jadi ikut-ikutan pegang kepala. Bukan bermaksud lebay atau hiperbola, tapi mendadak saja pandangannya kayak ngambang gitu.

Tora tertegun sejenak. Sikap Voni buat dia jadi salah tingkah juga.

Aduh. Kenapa aku kelepasan mojokin dia begini? Sialan. Padahal kami baru juga baikan bentar.

"Ni, sorry. Aku nggak maksud."

Voni membuang napas. Dengan kepala tertunduk, dia menggeleng berulang kali. "Aku di sini sebenarnya diundang sebagai tamu kan, Tor? Atau bukan?"

Pertanyaan itu membuat Tora beku. Dia nggak bisa ngomong apa-apa dan kembali merutuk.

Ah! Jangan sampai dia ngambek lagi kayak kemaren. Aku sendiri yang susah. Nggak bisa minta gantiin kelas, nggak bisa beli apa-apa, dan belum lagi yang lain.

"Udah. Kamu nggak usah mikir soal ini," kata Tora sambil mengeluarkan ponsel. Dia juga ambil kuitansi itu dari tangan Voni. "Ini biar aku yang bayar."

Sontak saja Puri, Hendri, dan Aurel membelalak. Mereka agak kaget dan nggak suka gitu.

"Loh? Kok malah kamu yang bayar? Biar Voni aja, Tor."

Tora menggeleng seraya memberikan isyarat pada Puri. "Nggak apa-apa, Ma."

Di saat keluarga Tora kelihatan nggak senang dengan tindakan tersebut, paling nggak ada petugas katering yang merasa sebaliknya. Astaga. Berapa lama coba dia harus nunggu pelunasan yang diselingi drama itu?

"Makasih. Saya permisi, Bu."

Petugas katering pergi. Menyisakan mereka yang kelihatan jadi pada suntuk. Nggak Puri, nggak Hendri, nggak Aurel. Mereka sama-sama kelihatan kesal pada Voni.

"Ck. Ngakunya dari keluarga berada. Papa PNS. Eh, tapi pelitnya nggak ketulungan. Apalagi nikah ntar?"

Voni tertunduk. Kalau dibilang dia tersinggung, marah, atau kesal dengan umpatan di depan muka itu, tentu saja nggak. Mungkin karena dia memang minus energi ya? Jadi untuk sekadar merasa tersinggung pun nggak.

Mata terpejam sesaat. Voni menarik napas dalam-dalam. Saat itu banyak banget suara yang memenuhi kepalanya. Suara yang membuat dia merasa hidup ini kadang nggak adil.

*

Adil? Nggak adil?

Voni bukannya mau membandingkan hidupnya dengan orang lain. Bukannya dia nggak bersyukur loh. Sebaliknya, dia malah bersyukur banget dengan kehidupan yang dimiliki. Kecuali, untuk satu hal.

Kenapa Tante Lani bisa perhatian gitu sama Papa? Bahkan bukan siapa-siapa, tapi selalu berusaha kasih perhatian walau cuma dengan sepiring pisang goreng?

Terdengar kekanakan? Bener banget!

Voni mendadak nggak ubah kayak anak kecil yang merasa dirinya harus dapat perhatian yang selama ini nggak didapatkan. Tepatnya nggak dia dapatkan setelah menjalani hubungan selama dua tahun dengan cowok yang dianggapnya sayang.

Miris, pertanyaan itu kembali muncul. Apa Tora benar-benar sayang seperti yang dikatakannya?

Lantaran pada Senin siang itu, Voni merasa begitu pusing. Kepalanya berat dan pandangannya benar-benar nggak bisa fokus. Dia pikir dia cuma kecapekan dan mungkin anemia. Biasanya sih dia selalu segar lagi ketika akan mengajar.

Biasanya. Cuma kali ini ada pengecualian.

Voni gemetar. Keringat dingin memercik di dahi. Debar jantungnya terasa nggak nyaman sehingga napasnya pun terasa nggak seperti biasa.

"Tor."

Voni menghampiri meja Tora dengan sisa tenaga. Dia berpegangan dan sang pacar menoleh.

"Iya? Kenapa?"

Voni meneguk ludah dan buru-buru duduk. Perasaannya saat itu benar-benar gelisah.

"K-kamu bisa isi kelas aku nggak? Kayaknya aku sakit."

Tora refleks mengerutkan dahi. "Sakit?"

"I-iya," angguk Voni lemah. "Mata aku benar-benar kliyengan. Badan aku lemas banget."

Tora mengulurkan tangan. Seolah ingin membuktikan kebenaran omongan Voni, dia meraba dahinya.

Sedikit panas, memang. Ehm cuma sedikit.

"Demam gini?"

Voni mengerjap. "D-demam gini?"

"Maksud aku, masa demam gini kamu mau bolos ngajar sih?"

Mungkin demam yang dirasakan Voni memang bukan demam tinggi. Cuma dia berani bersumpah. Pandangan dan kakinya benar-benar nggak bisa tertolong.

"A-aku bukannya mau bolos, Tor. Aku cuma mau kamu gantiin kelas aku hari ini."

Tora melongo. "K-kamu suruh aku gantiin kelas kamu hari ini? Ya ampun, Ni. Kelas kamu itu dari jam satu sampe jam lima."

Voni memejamkan mata dengan erat. Sekarang denyut di kepalanya semakin menjadi-jadi. Bahkan seperti ada sepasang tangan yang meremas-remas otaknya.

"Aku minta tolong, Tor."

Ucapan Voni membuat sekelumit senyum muncul di wajah Tora. Dia berdecak dan melihat itu sebagai sebuah kesempatan langka yang harus dimanfaatkan.

"Akhirnya kamu sadar kan? Kalau ada apa-apa, kamu itu cuma bisa minta tolong sama aku. Pacar kamu."

Dada Voni terasa sesak. Dia mengepalkan tangan dan berusaha menarik udara saat Tora kembali bicara.

"Kalau sudah seperti ini, apa kamu sadar kalau yang kamu lakukan di hari ulang tahun Mama kemaren adalah kesalahan?"

Voni tersentak. Dia berusaha membuka mata walau pusing semakin menjadi-jadi.

"M-maksud kamu apa?"

"Maksud aku begini. Kamu kemaren jelas-jelas nggak mau nolongin Mama untuk bayar katering. Apalagi kamu ngasih kado gituan. Sementara kalau lagi dalam posisi kayak begini, kamu jelas kan minta tolong sama siapa?" Tora menepuk dada. "Kamu minta tolong sama aku, Ni."

Mata Voni kembali terpejam. Dalam gemetar dan pusing yang kian melanda, tubuhnya seakan merintih sakit.

Nggak. Voni nggak bakal bisa tahan. Dia benar-benar nggak bisa ngajar.

"J-jadi kamu nggak bisa gantiin kelas aku?"

Tora mendeham. Dia lihat keadaan Voni dan akhirnya membuang napas. "Aku bakal gantiin kelas kamu dan aku harap kamu jadikan ini pelajaran buat kamu. Jaga sikap kamu sama keluarga aku. Lihat kan? Belum apa-apa kamu udah kena karma karena gituin Mama."

"Tor," lirih Voni meringis. "Please."

"Iya. Aku gantiin kelas kamu hari ini. Ntar kamu bilang aja mau ganti ngisi kelas aku yang mana."

Oh, Tuhan. Voni nggak bisa bertahan lagi. Keringat dingin semakin memercik. Degup jantungnya semakin cepat dalam hentakan yang benar-benar menggelisahkan. Dia sungguh sudah terdesak dan akhirnya berseru.

"Tora, please!"

Seruan Voni menyentak Tora. Begitu pula dengan semua orang yang kebetulan berada di ruang guru. Mereka tertegun dan kompak melihat ke arah Voni yang tiba-tiba berdiri dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuh.

"Aku mohon, berhenti!" bentak Voni dengan mata terpejam. "Berhenti. Berhenti. Berhenti. Apa kamu nggak tau kalau aku sudah muak sama kamu?!"

Bukan cuma Tora, melainkan semua orang di ruang guru sontak melotot. Mereka sama tercengang ketika mendengar bentakan Voni.

"Aku baru sekali ini minta kamu gantiin kelas aku, tapi kamu nggak mau? Kamu buta atau nggak bisa lihat?! Aku ini sakit! Sementara kamu selama ini? Kamu selalu pergi ke pesta-pesta dan minta aku yang gantiin kelas kamu. Apa aku ada ngeluh?! Apa aku ada ngeluh?!"

Jeritan Voni melengking saat menuntaskan pertanyaan bernada tinggi itu. Suaranya sukses membuat Tora langsung bangkit dengan wajah memerah. Nggak perlu ditanya, semua mata di sana memandang ke arahnya.

"N-Ni."

Voni membuka mata. Dia mundur dengan mata memerah yang menatap tajam pada Tora.

"Serius kamu bilang ini karma? Aku juga berharap dapat karma. Selama ini aku sudah baik sama keluarga kamu. Iya. Aku perhitungan. Sekarang aku mau perhitungan karena kamu nggak bisa menghitung pengorbanan aku!"

Semua berputar di kepala Voni. Bahkan suara-suara itu datang kembali nggak ubah kayak dengung lebah.

"Aku beliin Mama kamu buah untuk arisan. Apa kamu pernah beliin sekadar martabak untuk Papa aku? Pernah?!"

Tora nggak menjawab dan Voni nggak butuh jawaban sama sekali. Melainkan dia pindah ke hal berikutnya.

"Aku selalu datang baik-baik ke rumah kamu. Aku bantuin pekerjaan rumah yang Mama kamu suruh dan apa kamu pernah melakukan hal yang sama ke Papa aku?! Kamu ingat, Tor? Kamu bahkan langsung pergi habis ngantar aku pulang! Kamu bahkan nggak nyapa adek aku padahal saat itu Ciko ada di depan pintu pagar!"

Sekarang panas bukan cuma ada di dahi dan sekujur tubuh Voni, melainkan juga di mata.

"Kamu minta aku baik sama keluarga kamu, tapi apa kamu pernah baik sama keluarga aku?! Pernah?! Apa kamu pernah salaman sama Papa?! Nyapa Kak Jordi?! Senyum ke Ciko?! Nggak kan?! Nggak pernah!"

Voni meringis. Tangan naik dan pusing membuat dia meremas rambut dengan sekuat tenaga.

"Terus kenapa kalau aku nggak PNS hah?! Kamu juga bukan PNS?! Apa kamu dan keluarga kamu nggak bisa ngaca?! Kamu itu cuma guru bimbel dan kamu berharap nikah sama PNS? Orang PNS juga mikir mau nikah sama cowok kayak kamu, Tor!"

Wajah Tora berubah merah kelam. Pandangan orang-orang menghadirkan malu sehingga dia maju dan berusaha mendekati Voni.

"Ni, kamu apa-apaan? Mak-"

Voni menepis tangan Tora. "Aku apa-apaan? Kamu yang apa-apaan, Tor! Kamu ngajak aku makan dan malah suruh aku yang bayarin makanan untuk keluarga kamu. Terus apa? Kamu suruh minta uang sama Ellys kan? Kamu lupa? Kamu selalu ngata-ngatain Ellys! Sementara kamu nggak tau, pas aku capek justru dia yang temenin aku. Bukan kamu!"

Cuma di antara itu, ada satu hal yang sangat membuat dada Voni sesak. Sesuatu yang datang setelah bayang Lani menghilang dari benaknya. Pada kenyataannya bukan cuma Lani kok yang membuktikan perhatian untuk orang yang diidamkan.

"Kamu pernah tanyain kabar aku? Kamu pernah ladenin lelucon garing aku? Kamu pernah buru-buru temui aku karena khawatir?"

Panas di mata Voni berubah bentuk jadi tetesan air mata. Jatuh satu demi satu di pipi dan dia memukul dada berkat sakit di sana.

"Aku memang berharap karma itu benar-benar ada. Karena selama ini aku udah kasih semua yang aku bisa ke kamu, tapi aku nggak dapat karma itu. A-aku ... justru dapat karma itu dari orang lain."

Dengung itu semakin berisik. Ia siarkan beragam kata yang diucapkan dalam aneka emosi. Voni ingin menampik kenyataan, tapi sayangnya nggak bisa.

"Pernah Mama kamu tanyain kabar aku? Pernah keluarga kamu perhatiin aku? Nggak, Tor. Nggak pernah. Yang terjadi justru sebaliknya. Aku dipaksa jungkir balik untuk nyuci piring di acara arisan dan malah dijulidin gara-gara nggak mau bayarin katering sebesar tiga setengah juta itu."

Kesiap terdengar. Agaknya guru-guru di sana pada kaget deh. Karena jelas ya. Untuk ukuran mereka yang kerja di bimbingan belajar, nominal itu gede loh.

"Kamu mau buat malu keluarga aku?!" bentak Tora pada akhirnya. Percuma dia berusaha menjaga sikap selama ini. Kenyataannya Tora nggak bisa terus memasang topeng ketika Voni justru mengaburkan akal sehatnya. "Kamu keterlaluan, Ni!"

"Memang! Aku memang keterlaluan!"

Voni membalas tanpa gentar sama sekali. Lantaran akal sehatnya pun udah kabur. Semua tertutup oleh gejala sakit dan luapan emosi yang selama ini berusaha dia tenangkan.

"Aku bilangin sama kamu, Tor. Aku selama ini disayang dan dimanja sama keluarga aku. Bahkan Ciko nggak pernah biarin aku cuci piring bertumpuk kayak di rumah kamu. Sementara kamu dan keluarga kamu?"

Kenangan itu melintas di benak Voni. Menyedihkan, hanya dengan membayangkan saja dia seperti merasa lelah lagi.

"Bukan cuma keluarga aku. Orang-orang sayang dan manjain aku. Ellys selalu temenin aku dan ..."

Voni meringis tertahan. Sesak di dada menghadirkan rasa pilu yang selama ini nggak pernah dirasakan.

"... dia selalu ada untuk aku."

Tora mengerjap. "Dia?"

"Mungkin omongan orang tua kamu benar, Tor. Ini baru pacaran. Apalagi nikah ntar?"

Voni menggeleng. Pemikiran itu langsung dia singkirkan dari daftar harapan yang sempat dipinta dalam doanya.

"Aku nggak mau nikah sama kamu dan jadi bagian keluarga kamu! Aku nggak mau!"

"Maksud kamu apa, Ni?" tanya Tora melongo. Dia menatap Voni dengan sorot nggak percaya. "K-kamu mau putus?"

Sejenak, kepala Voni tertunduk. Matanya liar entah melihat ke mana. Pun dia bicara kayak meracau.

"Ada yang perhatian sama aku. Ada yang sayang sama aku. Ada yang orang tuanya ingat sama aku padahal kami nggak pernah ketemu."

Selain itu ada sesuatu yang penting. Satu hal yang mungkin sedikit telat disadari Voni.

"Ada seseorang yang kehadirannya aku butuhkan."

Voni memejamkan mata dan tetesan sedih itu terus berjatuhan di atas lantai. Dia terdiam untuk sejenak ketika menyadari betapa hampa hari-harinya sekarang.

Tanpa Tora, Voni terbukti baik-baik saja. Dia tetap bisa hahahihi dan menikmati hari-hari. Bahkan ada di satu masa dia nggak sadar kalau sebenarnya ada Tora dalam hidupnya.

Cuma hal itu nggak berlaku untuk seseorang. Dalam masa-masa suntuk, dia nggak ubah pemeriah dan pemberi keceriaan. Dia menemani dan memberi warna di tiap hari. Entah itu cemberut, tawa, atau gugup, semua menjelma jadi emosi yang menerbitkan kenangan berarti.

"Iya."

Voni mengangkat wajah. Di balik genangan air mata, dia menatap Tora tajam.

"Aku mau kita putus."

*Tamat*

😂😂😂

Aduh! Aku mau ngakak dulu. Anggap aja ini ketawa terakhir aku sebelum kena amuk masa. Aku sudah pasrah kalau dikirim santet 😂

Jadi ini bukan becanda. Hunky Dory memang udah tamat hari ini, tapi ini adalah tamat versi Wattpad 😅

Seperti yang aku infoin di awal ya. Cerita ini ikut event Karos, jadi mau ga mau begitulah sistemnya. Yaitu: ada tamat versi Wattpad dan Buku.

Aku tau kalian penasaran dengan kelanjutan asmara Voni. Apa dia beneran putus? Apa Tora legowo aja? Terus gimana dengan barang-barang Voni yang dipinjam? Terus sikap dia selanjutnya gimana? Paling penting, gimana dengan Ugo?

Nah! Itu semua bakal terjawab di versi buku. Jadi semoga aja bukunya bisa keluar dalam waktu dekat. Mohon bantu doa 🤭

Untuk kalian yang penasaran versi komplitnya, jangan lupa pantau terus sosmed aku atau Karos ya 🤗

Terakhir, makasih untuk kebersamaan selama ini. Plus kalian harus bersyukur karena cerita ini ga tayang di bulan Puasa 🤣

(๑˃̵ ᴗ ˂̵)و

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro