(46) 8. Dikit Demi Sedikit Lama-Lama Jadi Menggigit 4
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram. Biasanya diidentikkan oleh situasi bebas dari segala yang menyusahkan. Kerap kali membuat seseorang merasa beruntung. Ehm mungkin memang persis kayak yang lagi dirasakan sama Voni.
Penyebabnya? Pesan yang masuk di penghujung jam kerja itu.
Kak Ugooo:
Oke oke oke.
Aku nggak lupa kok soal janji itu.
Jadi di mana?
Kamu mau makan di mana?
Voni menggigit bibir bawahnya yang mekar karena senyum lebar. Nggak perlu ditebak deh. Pasti sekarang level kebahagiaan dia udah melonjak drastis.
Voni:
Yes!
Kakak nih memang yang terbaik.
Ehm gimana makan es krim kemaren?
Kak Ugooo:
Es krim?
Serius?
Nggak mau makan yang berat?
Voni:
Nggak.
Soalnya kemaren itu kan makan es krimnya nggak sama Kakak sih.
Bola mata Voni membesar. Kesadarannya kayak baru terbebas. Dia menahan napas dan nahas! Dua centang abu-abu sudah berubah warna jadi biru.
Ya ampun. Aku chat apaan?
Voni mengepalkan kedua tangan dengan geram. Dia berusaha sekuat tenaga untuk nggak menjerit frustrasi dan buat heboh ruang guru. Astaga! Kok bisa-bisanya dia kirim pesan bernada ambigu gitu?
Kak Ugooo:
Boleh.
Tunggu di depan.
Aku udah mau jalan.
Kak Ugo nggak mikir ke mana-mana kan? Nggak kan?
Voni geregetan sama diri sendiri. Rasanya mau membenturkan kepala ke dinding terdekat, tapi eh dia ingat kalau Ugo udah di jalan.
Nggak. Tenang aja. Kak Ugo nggak bakal mikir aneh-aneh kok.
Voni mengangguk. Dia berusaha untuk berpikir positif dan memutuskan ke toilet sebentar sebelum keluar.
Lipstik dan bedak keluar. Voni memastikan wajahnya nggak kelihatan lelah dan mengenaskan banget karena habis berjibaku dengan anak-anak.
Senyum terukir. Kayaknya udah pas. Setelahnya Voni pun bergegas dengan langkah tergesa tanpa peduli ada Tora yang mengangkat tangan dan bersiap memanggilnya.
"D-dia?"
Tora menarik napas dalam-dalam. Kesabarannya udah habis. Dia harus ngomong sama Voni sekarang juga.
Setengah berlari, Tora menyusul Voni keluar. Sayangnya dia terlambat beberapa detik. Voni sudah keburu pergi bersama Ugo bertepatan dengan dia yang selangkah melewati pintu.
Tora memejamkan mata dengan tinju yang terangkat di udara. Menilik dari ekspresinya, kelihatan jelas. Dia lagi kesal banget.
*
"Cuma ini?"
Ugo melihat pesanan yang mengisi meja. Agak nggak yakin gitu, dia jadi menyodorkan daftar menu lagi sama Voni.
"Cuma ini," angguk Voni pasti. Dia menyingkirkan daftar menu. "Udah cukup."
Sepotong keik cokelat dan seporsi es krim cokelat kayaknya nggak cukup deh. Itu nggak ubah kayak makanan penutup—nyatanya memang gitu—padahal mereka sama sekali belum makan makanan inti.
"Abis dari sini mau mampir ke mana?"
Voni mendengkus geli. "Pulang, Kak. Memangnya mau ke mana lagi?"
"Nggak sih. Cuma aku pikir mungkin kamu mau makan yang lain."
Kali ini Voni menggeleng. "Nggak, Kak. Ini aja udah cukup kok."
"Oh."
Ugo cuma manggut-manggut dengan kesan ragu gitu. Cuma ya dia nggak bisa maksa. Kalau Voni cuma mau makan itu, dia bisa apa?"
"Apa kamu lagi diet?"
Pertanyaan dadakan Ugo buat Voni tersedak es krim. Dia batuk-batuk sambil tertawa. Hasilnya dia jadi gelagapan.
"Sorry sorry."
Ugo menarik dua lembar tisu. Dia mencoba membersihkan lelehan es krim di bibir Voni ketika si cewek punya inisiatif sendiri.
Voni berniat untuk mengambil alih tisu tersebut. Sayang dia justru salah pegang. Bukannya mengambil tisu, eh dia malah megang jari Ugo.
Tertegun, keajaiban sontak menghampiri Voni. Gimana nggak? Batuk dan tawanya langsung berhenti coba.
"B-biar aku aja, Kak."
Ugo mengangguk dan menarik tangan. Dia putuskan untuk menikmati es krimnya yang mulai meleleh ketimbang memandangi rona merah di pipi Voni.
"Aku bukannya lagi diet."
Sendok es krim berhenti di depan mulut Ugo. Dia mengerjap dengan dahi yang samar berkerut.
"Ya?"
"Aku bilang aku bukannya lagi diet. Kan tadi Kakak tanyain."
Ugo memejamkan mata dengan dramatis. Dia mengangguk sekali dan membuang napas panjang.
"Cuma sebenarnya tadi pagi aku udah masak gulai daging sapi. Jadi lebih baik kita nggak makan berat deh. Jadi ntar Kakak bisa bawa buat makan di unit."
"Kamu serius?"
"Serius dong. Masa main-main?"
Ugo sih ingat jelas kalau bukan sekali dua kali Voni siapkan makanan untuk dia bawa pulang. Udah kelewat sering. Bahkan kalau sakit pun Voni biasa nitip makanan lewat Jordi. Cuma nggak tau kenapa tindakan itu terasa berbeda akhir-akhir ini.
"Kenapa?" tanya Voni seraya menikmati keik cokelat. "Kakak mau kan gulai sapi? Perasaan Kakak makan kok daging sapi."
Ugo tersenyum. "Iya. Aku makan daging sapi kok."
Rasanya melegakan. Kayak Voni dapat validasi bahwa hasil racikan bumbunya pagi tadi nggak akan sia-sia.
Setengah jam berlalu. Voni dan Ugo nggak butuh waktu lama untuk menghabiskan camilan tersebut. Setelahnya mereka pun kembali membaur di jalanan.
Voni dan Ugo sampai di waktu yang tepat. Ketika standar motor menyentuh rerumputan halaman rumah Voni, Giri keluar.
Penampilan Giri rapi. Berkemeja lengan pendek yang dipadu celana panjang. Perpaduan yang tepat banget untuk menghadirkan satu kemungkinan bagi Voni yang sedari awal langsung melihat sang ayah dari atas hingga bawah.
"Om."
Giri tersenyum pada Ugo dan membiarkan cowok itu menyalaminya. Di waktu bersamaan, Voni bertanya.
"Papa mau ke mana? Rapat RT lagi?"
"Iya. Untung kamu keburu pulang. Jordi dan Ciko belum pulang," jawab Giri sambil mengingat topik rapat malam itu. "Katanya iuran kebersihan mau nambah dan bahas yang lain."
Voni manggut-manggut. "Ah, gitu. Pak RT kita ini sibuk banget ya?"
"Hush! Kamu ini ngomongnya."
Giri pura-pura mendelik sementara Voni dan Ugo tersenyum geli.
"Sudah. Papa mau pergi dulu."
Senyum geli Voni berubah menjadi kekehan samar ketika Giri pergi. Dia berpaling sama Ugo.
"Aku serius loh, Kak. Pak RT kami itu rajin banget ngadain rapat. Kayaknya tiap bulan pasti ada rapat deh."
Ugo tergelak dan mengekori Voni yang masuk. Bersama-sama, mereka menuju ke dapur.
"Kakak ingat kan yang kapan hari Kakak bawain sate? Nah! Itu kan Papa juga lagi rapat RT."
Ugo menaruh tas ranselnya di atas kitchen island. Seraya duduk, dia mengangguk. Jelas ingat banget soal malam itu.
"Sekarang? Eh, udah rapat lagi. Ngggak tau deh sebenarnya apa aja yang dirapatin," kata Voni seraya mengambil sebuah kotak makan. "Kayak banyak banget yang perlu diperhatikan dari kompleks ini."
Ugo nggak menanggapi perkataan Voni. Dia cuma duduk anteng seraya melihat Voni yang dengan cekatan menyiapkan gulai sapi di kotak makan. Nggak butuh waktu lama, Voni dan kotak makan itu sudah menghampiri dia.
"Nih, Kak! Nanti tinggal Kakak hangatin bentar kalau mau dimakan."
Voni tersenyum sementara Ugo justru sebaliknya. Dia justru tertegun untuk beberapa saat sehingga membuat Voni mengerutkan dahi.
"Kak?"
Ugo mengerjap sekali. Dia melihat sekilas pada kotak makan di kitchen island sebelum beralih pada Voni.
"Makasih."
"Sama-sama," angguk Voni. "Malah seharusnya aku yang makasih."
"Untuk apa?"
Voni mengerucutkan mulut sekilas. "Untuk semua."
Kayaknya nggak bisa dijabarkan satu persatu deh. Pasti butuh waktu yang lama. Cuma seenggaknya Voni bisa merangkum semua itu dalam tiga kalimat. Semoga aja cukup deh.
"Untuk selalu temani aku. Selalu ngajak aku happy-happy. Ehm pokoknya buat semua deh."
Hidung Voni mengernyit dengan kesan imut. Kelihatan agak nggak yakin, tapi akhirnya tetap dia katakan juga.
"Walau kadang Kakak sering buat kesal, tapi Kakak orangnya pengertian."
Ugo mendengkus geli. Dia menyeringai sambil menggeleng berulang kali.
"Sepertinya itu pujian kan?"
Voni terkekeh. Ugo pun berinisiatif untuk menentukan sendiri jawaban yang diinginkan.
"Iya. Itu pasti pujian."
"Kakak bisa anggap itu pujian ..."
Suara Voni terdengar berayun dalam irama yang membuat Ugo menunggu. Lalu tawa Voni semakin renyah berderai.
"... atau kenyataan."
Ugo tertegun. Lantas dia menarik napas sekilas. "Sepertinya dua kemungkinan itu sama bagusnya."
"Tentu."
Napas Ugo berembus. Tawa Voni berhenti dan tergantikan senyum. Anehnya, lengkung manis itu nggak cuma ada di bibirnya. Melainkan ada pula di matanya.
"Semuanya sama bagus."
Kali ini Ugo memutuskan untuk menghirup oksigen lebih banyak. Kayaknya peredaran darah bersih ke otaknya agak mengalami gangguan.
"Untunglah kalau begitu," lirih Ugo setelah menarik napas berulang kali. "Seenggaknya lebih enak lihat kamu begini kan? Senyum dan ketawa. Daripada kayak dulu? Suntuk, capek, dan sering cemberut."
Voni mengangguk. "Kakak benar dan itu dikit banyak—"
Ucapan Voni berhenti di tengah jalan. Dia buru-buru menggeleng dengan satu keyakinan yang baru saja melintas.
"Ini bukan dikit banyak karena Kakak, tapi memang banyak karena Kakak."
Sekarang udara malah tertahan di dada Ugo. Untuk sesaat dia nggak bisa napas ketika Voni menatapnya dengan sorot yang mengundang satu tanya di benak Ugo.
"Jadi gimana?"
Voni mengerjap. Ada sesuatu di suara Ugo yang membuatnya mengangkat wajah dan balas menatap.
"Hubungan kamu dan Tora gimana? Apa dia masih sering buat kamu suntuk?"
Voni kembali mengerjap. "T-Tora?"
Astaga. Voni nyaris lupa kalau dia ada pacar yang namanya Tora.
"A-aku dan Tora ..."
Voni tampak kebingungan. Ujung-ujungnya dia cuma jawab.
"... nggak tau."
Ugo mengerutkan dahi. "Nggak tau?"
Mata Voni terpejam dramatis. Dia merutuki diri sendiri. Dari sekian banyak kosakata yang ada di dunia, kenapa coba dia pake dua kata itu?
Cuma gimana? Voni bahkan udah nggak mikir Tora dan segala macam tetek bengeknya.
"A-aku."
Voni kelihatan putus asa. Sejujurnya dia males banget bahas soal Tora. Jadi nggak heran kalau dia menggeleng.
"Aku nggak mau bahas soal dia, Kak."
Sayangnya Ugo justru kepikiran hal lain. Dia malah mendesak. "Kenapa?"
"Kenapa?"
Voni pun nggak tau. Yang dia tau adalah dia malas. Udah. Mau diapain lagi kalau orang udah malas?
"Aku cuma nggak mau aja ngomongin dia, Kak. Buat males."
"Buat males?" tanya Ugo mengulang ucapan Voni. Kayaknya dia nggak sependapat deh. "Aku pikir justru kita harus ngomongin dia."
"H-harus?"
Ugo mengangguk. "Harus karena rasanya ini sekarang udah nggak benar lagi."
Voni nggak mengerti. Apa maksud perkataan Ugo?
"M-maksud Kakak?"
Pertanyaan Voni butuh waktu yang lumayan lama untuk mendapatkan jawaban. Ironinya bukan hanya Voni yang menunggu, melainkan Ugo pun sedang memantikan jawaban apa yang sebaiknya dia berikan.
"Menurut kamu, apa maksud aku?"
Kebiasaan Ugo datang di waktu yang paling nggak tepat. Dia buat Voni semakin bingung dengan ragam tanya yang kian membelah diri di dalam kepala.
"Kak."
"Ini nggak seharusnya, Ni," kata Ugo dengan suara serak. Matanya bergerak dan mencari-cari dalam jernih manik Voni. "Bukannya kamu sudah sadar kalau ini nggak pantas?"
Voni tertegun. Dia membeku dalam kesan yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Pada akhirnya hanya bisu yang bisa dia berikan.
"Aku nggak bisa pura-pura buta sementara semuanya kelihatan nyata."
Apa yang nggak seharusnya? Apa yang terlihat nyata?
Ugo bisa saja menutup mata dan seolah nggak tau, tapi nggak. Voni memiliki kedudukan yang membuatnya harus berhati-hati. Dia nggak bisa mempertaruhkan semua hanya untuk fatamorgana semu.
Rasanya memang menyenangkan. Nggak tau kapan, tapi kebiasaan telah tercipta. Untuk itu Ugo sebagai kaum pemegang kendali bisa menentukan arah dan alur yang akan dituju.
"Aku tau kalau kamu ngerti maksud aku."
Voni kaku sekujur tubuh. Ucapan itu menohok dan dia bahkan nggak bisa mengatakan apa-apa ketika jari Ugo naik demi menuju helai rambutnya yang terurai.
Mata Voni memejam sekilas. Ada gelenyar asing merambat dan membuatnya meremang. Samar sentuhan jari Ugo di pipi membuat tubuhnya bersiaga.
"K-Kak."
Jari Ugo berhenti bergerak. Mengerjap sekali dan lantas dia tatap Voni.
"A-aku."
Voni berani bersumpah. Dia sudah menyiapkan kata-kata untuk diucapkan. Namun, tatapan Ugo membuat semua kosakata itu lenyap dari lidahnya.
Pada akhirnya nggak ada yang bisa dikatakan Voni. Dia cuma diam dan berusaha mengingatkan diri, bahwa paling nggak dia harus tetap bernapas.
Hening menyelimuti. Sunyi hadir dan bahkan tarikan napas nggak menghadirkan suara sedikit pun.
Hanya ada tatapan lurus yang menyatukan dua pasang mata. Gelap saling memaku. Lekat tanpa kedip sekali pun.
Detik berganti. Ketika itu Voni menyadari bahwa ada yang berbeda dengan udara yang dihirupnya. Oksigen nggak terasa melegakan, melainkan justru membakar.
Detak jantung Voni meningkat. Deru napasnya pun melaju. Semua sistem organ tubuhnya kembali menunjukkan ciri-ciri ketidakwarasan. Tepat ketika ada gaya gravitasi aneh yang mengambil alih dirinya.
Voni memejamkan mata. Dia berikan pemasrahan ketika hal terakhir yang dilihatnya adalah wajah Ugo mendekat.
Agaknya untuk beberapa saat, Voni nggak akan butuh udara. Dia menahan napas. Jantungnya berdegup semakin cepat. Lantas ada embusan hangat yang terasa membelai wajahnya.
Voni menunggu. Dia berdebar dalam penantian. Kemudian ....
"Maaf."
Mata Voni seketika membuka. Dilihatnya Ugo yang menarik diri dan segera mengambil kotak makan.
"Sebaiknya aku pulang sekarang. Makasih untuk gulainya."
Voni tergugu. Persis korban hipnotis, dia linglung untuk beberapa saat. Menyedihkannya adalah ketika dia sadar maka sudah nggak ada lagi Ugo di sana.
Ugo sudah pergi. Dia pergi setelah buat Voni nggak napas selama beberapa detik. Hebat sekali!
"Y-ya Tuhan."
Voni menarik udara kayak habis tenggelam. Dia ngos-ngosan dan tiba-tiba merasa lemas. Jadi kayaknya nggak aneh kalau lihat dia jatuh lunglai di lantai.
Mata terpejam. Napas kacau. Jantung berdetak nggak karuan. Voni butuh waktu buat menenangkan diri.
Semenit. Dua menit. Tiga menit.
Voni butuh waktu lebih lama lagi. Saking lamanya, Ciko keburu pulang dan nyanyiannya langsung tergantikan seruan kaget.
"Ya ampun, Kak!"
Ciko melompat kaget. Dia megang dada kiri dengan tatapan horor yang melihat Voni terduduk lemas di lantai. Mana pake acara rambut terurai menutup wajah lagi.
"Kakak ngapain?" tanya Ciko frustrasi. "Cosplay jadi guru ngesot?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro