Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(38) 7. Ups! Tanda-Tanda! 4

Ugo lagi di dalam lift. Seorang diri dan iseng aja buka Whatsapp dalam perjalanan yang nggak seberapa lama itu. Cuma beberapa detik dari lantai tiga belas ke sembilan.

Lingkaran hijau di profil Voni menarik perhatian Ugo. Dia klik dan status terbaru Voni langsung muncul. Cuma satu emoticon, tapi kayak lagi merefleksikan suasana hatinya.

Nggak pake mikir, Ugo balas status Voni bertepatan dengan berhentinya lift. Pintu membuka dan Ugo keluar sambil memasukkan kembali ponsel ke saku.

Tujuan Ugo ke lantai sembilan adalah buat ketemu Melin. Ada agenda nggak tertulis yang buat mereka sering ketemu. Berkaitan dengan materi terbit majalah.

Tangan menunjuk layar komputer, Melin melirik. Matanya cenderung menyipit dengan kesan menuduh iya, eh nggak yakin juga iya.

"Go," panggil Melin berirama. "Kamu dengerin kan apa yang aku bilang?"

Dahi Ugo berkerut samar. "Iya. Aku dengerin kok."

"Ehm bagus deh."

Omongan Melin nggak senada dengan ekspresi wajahnya. Apalagi karena setelahnya dia nggak langsung lanjut bahas soal materi terbit, melainkan melirik ke ponsel Ugo yang kembali berdenting halus.

Ada pesan masuk. Ugo ngecek dan sekelumit senyum tipis kelihatan melengkung di wajahnya.

Voni:
Aaah!
Nggak sabar!

Ugo memutuskan untuk nggak balas pesan Voni. Sekarang waktunya buat fokus lagi. Dia masukin ponsel ke saku celana dan nanya ke Melin.

"Terus?"

Melin buang napas dan diskusi pun dilanjutkan kembali. Keduanya saling bertukar pikiran dan secara garis besar, Ugo udah nangkap materi foto yang diinginkan buat edisi selanjutnya. Untuk itu dia nggak lupa buat tulis beberapa poin penting di satu buku catatan kecil.

Sepuluh menit berlalu. Ugo sudah beranjak dari meja Melin. Dia jalan sambil baca sekali lewat artikel yang tertempel di papan pengumuman dan langkahnya sontak berhenti. Bukan karena ada artikel yang menarik perhatiannya sih, melainkan karena ada Des yang tiba-tiba melintas di depan.

"Siang, Bu Des."

Des berhenti. Dia nurunin kacamata dan melirik Ugo dengan bola mata yang naik ke atas.

"Siang, Ugo."

Ugo tersenyum dan teringat dengan niatnya tempo hari. "Oh ya, Bu. Saya mau ucapin makasih."

"Makasih?" tanya Des dengan mengerutkan dahi dan menajamkan lirikan. "Buat?"

Ekspresi Des buat Ugo salah tingkah. Dia mendeham dan mengusap kedua tangan satu sama lain.

"Buat artikel anak-anak Ibu. Ternyata bermanfaat banget."

Des langsung tersenyum hingga mata menyipit. "Oh, tentu. Artikel terbit itu pasti bermanfaat semua."

Kayaknya suasana hati Des lagi bagus. Seenggaknya sih itu yang Ugo tangkap sebelum memutuskan buat nyapa tadi.

"Mungkin memang saya cuma ditakdirkan buat ngurus artikel dan semua yang berkaitan dengan majalah saja."

Firasat Ugo berubah. Des menurunkan kembali kacamata dan buang napas panjang. Wajahnya sekarang kelihatan lesu.

"Sebenarnya ..."

Kaki Des bergerak. Bukan buat jalan ke ruangannya, melainkan buat menghampiri Ugo.

"... kepala saya pusing banget beberapa hari ini. Aduh."

"Pusing? Gara lato-lato, Bu?"

Des membesarkan mata. "Kamu tau? Astaga. Ternyata semua orang sudah tau."

Jelas saja semua orang tau. Mulut ke mulut anak majalah memang nggak ada duanya. Dijamin deh. Satu gedung itu udah pada tau tentang Des dan masalah anaknya. Apalagi efeknya kelihatan banget. Emosi Des kadang naik-turun dan wajahnya kelihatan lelah karena kurang tidur.

"Cuma sekarang bukan lato-lato saja yang buat saya nggak bisa tidur. Kamu tau yoyo kaki? Ehm ada juga yang nyebutnya hula hoop kaki. Nah! Sekarang Dedek juga mainin itu tiap saat. Ya Tuhan."

Des langsung megang kepala. Mata terpejam dramatis dan buat Ugo kasihan juga.

"Sebenarnya saya nggak jadi masalah kalau Dedek main tiap saat. Cuma masalahnya ada satu, Go. Nilai Dedek anjlok terus. Semester kemaren aja udah anjlok sampe dasar. Terus apa kabar buat semester ini?"

Ugo jadi kasihan lihat Des. Kayaknya label wanita karier dan ibu rumah tangga benar-benar pertaruhan besar buat kewarasan Des. Nggak heran sih kalau lihat dia jadi sering marah-marah. Kayaknya Des stres.

"Mungkin Ibu perlu liburan sebentar," kata Ugo penuh simpatik. "Jangan sampai kurang istirahat, Bu."

Lirikan tajam Des kembali lagi. "Kayak kamu nggak aja. Saya dengar dari orang-orang. Kamu sering lemburan sampai malam."

Ugo tergelak sementara Des berdecak. Dia kelihatan mau beranjak, tapi nggak lupa buat mengolok Ugo.

"Jangan keseringan lembur. Nanti kamu nggak dapat jodoh. Baru tau rasa. Ck. Cakep sih cakep, tapi kalau nggak punya pasangan ya buat apa? Modal kok disia-siakan sih?"

Olokan Des buat Ugo menggaruk kepala sekilas. Dia cengar-cengir dan memutuskan untuk kembali ke lantai tiga belas. Lanjut kerja, dia sama sekali nggak tersinggung atau kepikiran sedikit pun soal jodoh.

Kalau ada, oke. Kalau nggak ada, juga oke.

Bagi Ugo, jodoh adalah hal yang nggak bisa didikte. Semacam misteri di atas misteri. Apalagi karena jodoh erat banget hubungannya dengan sesuatu yang nggak bisa dilihat. Yaitu, perasaan.

Terkesan jauh dari kata logika, Ugo sedikit agak skeptis juga sih kalau berbicara soal perasaan. Bukannya apa, tapi ada beberapa tanya yang mulai berputar di kepala kalau sudah menyinggung fenomena aneh itu.

Gimana bisa? Kapan awal mulanya? Benarkah dia orangnya?

Setidaknya itulah tiga garis besar yang kerap Ugo pertanyakan. Entah sejak kapan, tapi nyatanya pertanyaan-pertanyaan itu muncul gitu aja seiring usianya bertambah.

Ugo ingat betul. Dulu dia sama sekali nggak begini. Tepatnya ketika masa SMA, kuliah, dan di awal meniti karier. Lalu semua mulai berubah ketika usianya mengalami peralihan seperempat abad.

Nggak perlu ditebak. Persis olokan Des, itulah yang dilakukan Ugo dulu. Dia benar-benar memanfaatkan modal.

Ugo cakep, by the way. Pembawaan hangat dan penampilan menarik. Terlebih lagi dia punya keunggulan tersendiri. Matanya tajam dalam nangkap detail-detail-berguna banget sih untuk karier fotografinya.

Jadi nggak heran kalau Ugo kelihatan kayak tau semua. Dia bakal lihat lawan bicara, terus semua kayak sat set sat set gitu aja. Otomatis saja kesan perhatian bakal tersemat ke dia. At least, cewek mana yang nggak merasa terbang melayang-layang ketika merasa diperhatikan cowok? Apalagi cowoknya semacam Ugo.

Ah, itu belum ditambah sama kemampuan Ugo buat merayu. Mulutnya memang manis dan ngobrol sama dia dijamin enak. Plus dia juga pendengar yang pengertian.

Coba deh dihitung. Berapa modal yang dipunya Ugo? Apalagi ditambah fakta dia berasal dari keluarga baik-baik dan punya kerjaan tetap. Harusnya sih sekarang nilai dia udah naik dari tahun ke tahun-persis kayak harga tanah dan emas.

Jadi terang saja wajar kalau orang-orang banyak yang nggak habis pikir kalau Ugo itu jomlo. Bahkan sampe mereka geleng-geleng kepala. Dia kayak menyia-nyiakan modal kan? Persis omongan Des tadi.

Untuk itu nggak aneh kalau anak-anak lantai tiga belas sering gibahin Ugo. Sebagai sesama cowok, sifat Ugo kayak keanehan tersendiri. Sementara untuk Ugo, itu lumrah sekali.

Udah bukan masanya lagi. Itulah kalimat pamungkas Ugo.

Masa untuk bersenang-senang dan tebar pesona sudah lewat. Lapar dan haus hasrat muda udah Ugo sumpal. Sekarang dia cuma mau fokus ke karier. Apalagi karena pengalaman bertahun-tahun dulu sedikit banyak mempengaruhi pandangannya sekarang.

Memang, itulah asal muasal tiga pertanyaan Ugo. Semacam kayak kesangsian akan adanya perasaan loh. Kok bisa timbul dan hilang gitu saja?

Jadi ketimbang buang-buang waktu untuk hal abstrak yang #@$%&*%$@#, Ugo putusin buat fokus sama kerjaan aja. Sesuatu yang bisa dilihat dan dipikirkan secara logika lebih membuatnya tenang.

Denting halus mengusik konsentrasi Ugo. Satu pesan yang masuk membuat keyakinannya makin mantap. Sesuatu yang nggak bisa dilihat dan dipikirkan secara logika memang bisa banget buat gelisah.

Voni:
Kak 😭

Itu pertama kalinya Voni kirim pesan ke Ugo pake emoticon nangis. Sontak buat dia buru-buru balas pesan itu.

Ugo:
Kamu kenapa?

Ugo putusin buat tunda bentar editing. Gimana bisa dia ngedit sementara pikirannya jadi ke mana-mana?

Ugo:
Lagi di mana?

Voni:
Aku lagi di jalan balik.

Ugo:
Terus?

Voni:
Aku nggak tau.
Aku cuma merasa lagi sedih gitu.

Ugo buang napas. Otaknya langsung mutar untuk nebak.

Ugo:
Kenapa sama cowok kamu?

Ugo nunggu. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Sayangnya balasan nggak dia dapatkan. Padahal kelihatan loh Voni ngetik, tapi kok lama banget?

Sebanyak apa sih yang mau dia ketik?

Ugo sempat mikir kalau Voni bakal jawab pertanyaannya dengan panjang lebar, tapi bukan itu yang terjadi. Sebaliknya, Voni nggak balas dan terus nggak daring lagi.

Ponsel mendarat di meja. Ugo bersedekap. Dia masih nunggu, tapi Voni memang nggak balas pesannya.

"Aneh," gumam Ugo. "Dia kenapa?"

Ugo diam sesaat. Dia lihat jam di layar komputer dan berpikir cepat. Besok dia ada acara ulang tahun dan lamaran. Dia harus udah siap dari jam sembilan mengingat agenda pertama dimulai jam sepuluh.

Sebenarnya sih Ugo bisa saja lembur. Toh jam sembilan bukan waktu yang terlalu pagi. Kesiangannya Ugo juga paling bangun di jam delapan. Dia gesit dan nggak butuh waktu lama buat bersiap. Cuma ....

Ugo buang napas. Kayaknya dia harus istirahat cukup malam ini. Dia nggak mau ambil risiko buat besok.

Kerjaan disimpan. Komputer dipadamkan. Ugo langsung beres-beres dalam waktu singkat. Lima menit kemudian, dia ambil jaket dan tas.

Ugo balik di saat cahaya matahari masih ada. Pemandangan agak langka karena dia justru lebih sering lembur di akhir pekan. Sampe-sampe buat satpam di pos tersenyum lebar dan melambai saat Ugo kasih klakson.

"Selamat weekend, Mas Ugo!"

Motor bergerak lincah. Berhenti di satu tempat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan dan akhirnya benar-benar berhenti ketika tiba di tujuan.

Ugo membuka pintu pagar dan masuk. Keadaan rumah tampak sepi. Nggak ada tanda-tanda ada Ciko atau Giri. Ehm kalau Jordi sih udah bisa dipastikan. Menjelang akhir pekan memang kerjaannya kadang numpuk. Itu sih salah satu alasan lain kenapa dari dulu Voni sering-nyaris selalu-hubungi dia kalau balik telat di hari Jumat.

Turun dari motor, Ugo nggak lupa sama kantung plastik warna hitam. Isinya adalah makanan beraroma khas bumbu kacang dan kecap sebanyak lima porsi.

Ugo ngetuk pintu seraya melepas sepatu. Nggak pake lama, ada langkah halus terdengar. Disusul oleh kesiap kaget.

"Kak Ugo?"

Berjarak nggak seberapa, Voni melotot. Syok gitu melihat kedatangan Ugo yang sama sekali nggak diduga.

Ugo masuk seraya tersenyum tipis. Tangannya terangkat tepat di depan wajah Voni dan sukses membuat cewek itu semakin melotot.

"Masih mau kan satenya?"

*

bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro