Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(34) 6. Tak Biasa = Aneh 5

Ujung-ujungnya bukan cuma martabak yang dinikmati malam itu. Pas Voni pulang dan orang rumah lihat kalau Ugo yang ngantar—plus bawa camilan, Giri manggil Ciko.

"Ambil duit di dompet. Beli bakso depan."

Memang sih agak nggak cocok gitu. Bakso dan martabak, entah apa konsep makan malam yang Giri pikirkan. Cuma kayaknya lagi nggak ada yang bisa siapin makan malam. Voni baru balik sementara yang lain baru saja melewati hari penuh lelah.

Ciko balik sekitar dua puluh menit kemudian dengan lima bungkus bakso komplit. Dia langsung menyiapkan semua di ruang menonton dan mencibir ketika Voni bergabung di waktu tepat.

"Bisa banget," cibir Ciko sambil duduk di lantai. "Pas udah beres semua, baru deh nongol."

Voni tergelak. Dia milih duduk di sebelah Ciko seraya memperbaiki letak handuk di kepala.

"Nggak boleh menggerutu. Ntar pahalanya hilang."

Cibiran Ciko seketika berubah jadi senyum lebar ala iklan pasta gigi. Semua yang ada di sana melihatnya dan terkekeh.

Giri duduk di kursi malas kesukaan. "Oh ya, Go. Makasih loh buat seafood kemaren. Rasanya mantap."

Dua ibu jari Giri mengacung kompak. Ugo yang duduk di seberang bersama Jordi mengangguk senang.

"Sama-sama, Om. Kemaren memang mau mampir. Eh, kebetulan lagi sama Voni," kata Ugo seraya teringat akan hal lain. Dia bangkit sebentar demi mengambil dompet dan mengeluarkan sesuatu. "Hampir saja lupa."

Jordi melirik. "Apa?"

"Voucher es krim. Tadi habis motret dan dikasih voucher. Lumayan kan buat kalian weekend. Voni juga bisa ajak Ellys."

Jordi mengambil alih lima kupon dari tangan Ugo. Bertuliskan nama D'Ingin, restoran es krim itu juga menawarkan beragam camilan dan menu penutup lain. Sebut saja kayak keik dan puding.

"Kamu?"

Ugo menancapkan garpu di bakso. "Sabtu Minggu besok aku penuh. Ada acara ulang tahun dan lamaran."

"Kak Ugo mau kerja keras buat beli batu tawas, Kak."

Celetukan Voni yang tiba-tiba nyaris buat Ugo tersedak bakso. Sementara Jordi refleks berpaling pada sang adik.

"Batu tawas?"

"Iya," angguk Voni geli. "Katanya banyak manfaat buat kesehatan."

Ugo buru-buru minum sebelum tawa meledak. Bisa gawat kalau dia tergelak dengan bakso di mulut. Salah-salah, kesedak parah bisa buat pindah dunia.

"Serius?"

Pertanyaan dan ekspresi Jordi membuat geli Voni semakin menjadi-jadi. Ugo yang jadi objek hanya bisa menggeleng dengan kekehan yang masih tersisa.

"Nggak ada. Untuk apa aku beli batu tawas? Dasar aja Voni."

Jordi mengerutkan dahi seraya melihat Ugo dan Voni bergantian. Kayaknya cuma dia yang nggak tau soal batu tawas.

Entahlah. Jordi cuma angkat bahu sekilas dan lanjut makan lagi. Urat kedua sudah melambai-lambai minta dimakan dari tadi.

Bakso habis dilanjutkan martabak. Voni menghangatkan makanan manis itu sejenak sebelum disajikan. Rasanya yang legit pas banget jadi teman buat bersantai.

Semula Voni berencana langsung ke kamar—bersantai ala cewek dengan tiga potong martabak yang sudah disisihkan. Cuma ada sesuatu yang membuat langkahnya berhenti.

"Kak Ugo."

Ugo yang baru saja mengambil sepotong martabak mengangkat wajah. Dia lihat Voni bertanya padanya sambil memeluk nampan.

"Kakak mau bawa ayam ungkep nggak? Tadi pagi aku buat ayam ungkep. Kalau mau, aku siapkan. Kan lumayan buat sarapan besok."

"Untuk apa ditanya?"

Adalah Giri yang membalas perkataan Voni. Tangannya naik dan menunjuk dapur.

"Siapkan saja yang banyak. Sekalian lalapan dan sambalnya. Anak bujang mana ingat sarapan kalau nggak disiapkan."

"Ah, iya, Pa."

Voni mengangguk dan beranjak dari sana. Dia ke dapur sementara Ugo melotot dengan martabak yang kembali diletakkannya di piring. Kata-kata Giri dan kepatuhan Voni membuat dia buru-buru berkata setengah berseru.

"J-jangan banyak."

Samar, terdengar tawa Voni. "Apa, Kak? Yang banyak?"

"Jangan banyak," ulang Ugo dan bangkit sementara orang-orang tergelak. "Nanti nggak habis."

Ugo nggak mau ambil risiko. Dia jarang ada di apartemen. Bisa dikatakan kalau dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar untuk bekerja. Untuk itu jelas sudah kalau makanan yang banyak bukan hal tepat buatnya, apalagi karena dia tinggal sendiri.

"Ni!"

Bergegas, Ugo sampai di dapur tepat ketika Voni mengeluarkan sekotak ayam ungkep dari kulkas. Sementara di kitchen island sudah penuh sama selada, kol, dan timun.

"Apa, Kak?" tanya Voni dengan ekspresi enteng. "Mau request sesuatu?"

Ugo mendekat. "Jangan banyak. Cukup dua potong."

"Dua potong mah cuma buat sekali makan."

"Memang. Itulah maksudnya."

Ayam ungkep berpindah tangan. Ugo mengambil alih sebelum Voni benar-benar membuatnya harus makan ayam seorang diri selama beberapa hari.

"Dua potong lebih baik."

Memplesetkan slogan khas BKKBN, Ugo memilih paha dan sayap. Dua bagian ayam berpindah tempat pada satu kotak bekal.

"Makasih."

Voni menerima kotak ayam ungkep dengan mengerucutkan bibir. "Tambah lagi, Kak. Masa cuma dua potong. Buat sarapan dan makan malam."

"Nah itulah masalahnya," tukas Ugo sambil mengacungkan penjepit makanan di depan wajah Voni. "Aku kan biasa pulang malam dan beli makan sekali jalan. Jadi ketimbang mubazir ya mending dua potong saja."

Ugo segera mengembalikan ayam ungkep di kulkas sebelum Voni kembali mendesak. Pun langsung mengambil alih buat menyiapkan sendiri lalapannya sementara Voni membuat sambal goreng.

Cabe keriting, cabe rawit, bawang merah, bawang putih, dan tomat berkumpul di wajan berisi minyak goreng. Ditumis sebentar dan kemudian Voni menguleknya. Sambal dadakan pun selesai nggak sampe lima menit.

Voni mengemas semua dalam satu tempat dengan rapi. Dia menyerahkannya pada Ugo sambil buang napas.

"Kayaknya Kakak memang beneran mau nimbun emas permata ya?"

Ugo mendengkus geli. "Bukannya mau nimbun emas permata, tapi namanya juga kerjaan."

Lebih dari sekadar pekerjaan. Voni belum pernah ketemu sama orang yang suka lembur kayak Ugo. Heran deh. Entah memang karena tekanan pekerjaan atau apa sih yang buat cowok itu hobi pulang malam?

"Sebenarnya aku juga nggak mau sering-sering pulang malam. Cuma gimana ya? Perasaan aku nggak tenang kalau balik sementara kerjaan belum selesai. Kayak ada yang mengganjal gitu. Belum lagi kalau ada foto yang kurang klik. Pokoknya aku benar-benar nggak bisa narik napas kalau belum beres."

"Dasar! Ini nih yang orang bilang workaholic."

Ugo tergelak. Dia nggak nampik karena memang menyadari. Kayaknya dia memang cenderung suka kerja.

"Plus perfeksionis," tambah Voni dengan mata menyipit. "Hati-hati loh. Lama-lama bakal mudah sakit karena capek."

Gelak Ugo berubah decakan. Ia tampak geregetan dengan omongan Voni.

"Ya jangan didoakan juga, Ni. Masa doakan yang buruk sih?"

"Aku bukannya doakan yang buruk, Kak. Itu buat kesehatan Kakak juga. Lagian ..."

Voni melihat Ugo dengan sorot berbeda. Agak nggak yakin gitu, dia sampai menelengkan kepala ke satu sisi.

"... kalau Kakak kerja terus, kapan ada waktu buat sendiri?"

"Waktu buat sendiri?"

"Kakak nggak ada pacar kan?"

Mata Ugo membesar. "Tiba-tiba bahas pacar?"

Mulai. Pertanyaan dijawab pertanyaan. Untungnya Voni nggak keberatan sama sekali buat ngomong jujur.

"Agak aneh sih. Kalau aku perhatikan," kata Voni sambil benar-benar memperhatikan Ugo. "Kayak nggak masuk akal kalau Kakak nggak punya pacar."

Ugo mendeham tanpa ngomong apa-apa. Cuma sesekali saja matanya mengerjap, kayak sedikit nggak nyaman dengan topik tersebut.

"Cakep, ada kerjaan tetap, dan baik. Kenapa Kakak nggak punya pacar?"

Bukan cuma pertanyaan, melainkan ekspresi Voni memperlihatkan rasa penasaran yang besar. Rasa mustahil loh ada cowok seperti Ugo yang jomlo. Kayak dia mau ngomong gini: Hey, Ladies! Kalian pada ke mana?

"Ehm."

Kali ini dehaman Ugo terdengar lebih nyata dan berirama. Voni yang nyaris tenggelam dalam lamunan nggak habis pikir seketika tertarik kembali ke dunia nyata.

"Memangnya penting ya punya pacar?"

O oh! Jawaban yang nggak diantisipasi oleh Voni. Dia melongo sedetik dan mengerjap di detik selanjutnya.

"Entahlah. Di mata aku, pacaran kayak nggak penting. Harus berurusan dengan perasaan orang yang nggak bisa aku perkirakan apa. Belum lagi kalau semisalnya ada hal-hal yang nggak enak ke depannya. Jadi buang-buang waktu dan tenaga kan?"

Buang-buang waktu?

Voni hanya bisa manggut-manggut mendengar jawaban Ugo. Sekarang dia jadi bingung sendiri. Entah jawaban Ugo yang mana yang lebih baik, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan atau menjawab dengan jawaban panjang lebar yang membuat Voni mengerutkan dahi.

"Cuma aku yakin sih. Pacaran nggak selamanya buang-buang waktu dan tenaga dengan catatan."

Ugo mengangkat satu tangan dengan telunjuk yang menuding Voni. Seolah-olah dia tengah meyakinkan poin penting di sana.

"Ketemu sama orang tepat."

Untuk ini, Voni jelas sepakat. "Benar sih."

"Sayangnya nggak semua orang bisa beruntung buat ketemu yang tepat. Jadi kenapa harus ambil risiko buat habiskan hidup sama orang yang nggak tepat?"

Ah! Kenapa Voni tiba-tiba merasa kayak ada yang meremas jantung ya? Dia jadi berasa nggak bisa napas. Lidahnya pun kelu untuk beberapa saat.

Ugo jelas tau kalau omongannya menghadirkan satu sentakan buat Voni. Soalnya kelihatan jelas di wajah.

"Terus kamu sendiri gimana?"

Pertanyaan Ugo menarik tatapan Voni. Cewek pemilik gigi kelinci itu mengerjap dalam antisipasi yang telat dibangun. Terlebih karena Ugo kembali melayangkan tanya yang semakin membuatnya tertohok.

"Bukannya kamu sudah rasain langsung ya nggak enaknya pacaran sama orang yang nggak tepat?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro