(32) 6. Tak Biasa = Aneh 3
Bukan lagi heboh, tapi yang terjadi adalah kebakaran jenggot. Bukan cuma Ciko, melainkan juga Jordi dan Giri.
Voni pulang dengan keadaan nggak biasa. Muka tertekuk dan yang pastinya ada jejak aneh di wajah. Nggak bisa nggak. Itu pasti adalah bekas air mata yang udah mengering. Plus ditambah pula dengan warna merah di kedua mata dan puncak hidung.
Keadaan nggak biasa berlanjut. Bukan cuma soal penampilan, tapi Voni juga nggak pake acara ngasih salam dan pelukan untuk Giri seperti kebiasaannya setiap pulang. Malah lebih parahnya, dia langsung masuk kamar dan kunci pintu.
Tiga orang kaum adam di rumah itu nggak biasa berbuat apa-apa. Pada akhirnya Jordi dan Giri cuma bisa narik Ciko ke ruang menonton. Interogasi akan segera dimulai.
"Kenapa Voni?"
"Kenapa kakak kamu nangis? Ehm dia habis nangis kan?"
Ciko garuk-garuk kepala. "Kayaknya sih gitu. Pas aku jemput tadi, Kak Voni nggak ngomong apa-apa. Kak Voni diam saja. Aku tanyain ada apa, eh cuma geleng-geleng. Jadi aku nggak nanya lagi deh.
Jordi dan Giri kompak narik napas dalam. Perasaan mereka sama nggak enak. Voni yang periang mendadak balik dengan jejak air mata? Itu jelas bukan hal biasa.
"Ah! Benar!"
Ciko terkesiap sambil menepuk tangan sekali. Ada sesuatu yang belum dia katakan pada ayah dan kakaknya.
"Aku tadi jemput Kak Voni di resto seafood itu loh," lanjut Ciko seraya mengangguk berulang kali. "Seafood Tembikar."
Jordi dan Giri saling pandang. Ekspresi keduanya menunjukkan kebingungan.
"Ngapain Voni ke sana?" tanya Jordi. "Dia bukannya mau makan di sana lagi kan?"
Ciko mencibir. "Pake acara nangis-nangis? Ehm kayaknya nggak deh."
"Sudah. Biar besok coba Papa tanya sama Voni. Mungkin dia lagi ada masalah. Sekarang biar dia istirahat dulu."
Lagi pula nggak ada yang bisa mereka lakukan. Mau nanya pun gimana? Jelas-jelas pintu kamar dikunci sama Voni.
Itu sudah menjadi indikasi amat jelas. Voni lagi nggak mau diganggu. Dia mau waktu untuk istirahat dan menenangkan diri.
Rasanya nyesek banget. Sampe-sampe Voni nggak bisa napas. Heran, tapi dia udah nggak nangis lagi loh sejak Ciko datang jemput.
Tentunya sebagai orang yang paham betul gimana budaya di rumah, Voni nggak mau banget orang-orang tau kalau dia habis nangis. Mereka pasti khawatir dan mulai mikir yang aneh-aneh.
Voni ngelap air mata sampe kering pas Ciko datang. Dia berusaha tersenyum, tapi mungkin sandiwara berjalan nggak semulus harapan. Apalagi pas dia sampe rumah. Perasaannya yang kacau balau mengancam akan meledak lagi dalam bentuk air mata. Untuk itulah kenapa akhirnya dia buru-buru masuk kamar dan kunci pintu.
Papa pasti kepikiran.
Cuma gimana ya? Asli. Beneran. Voni nggak mau mendadak terisak pas lagi samperin Giri.
Kamu tuh sebenarnya sayang nggak sih sama aku, Tor?
Akhirnya Voni tau. Kalau ada satu penyebab mengapa perasaan dia kacau balau maka pastilah pertanyaan itu yang jadi sumbernya.
Voni mau banget nanya itu ke Tora tadi. Pas dia disudutkan gara-gara keceplos ngomong soal buah arisan. Juga gara-gara Tora yang langsung pergi ninggalin dia di halaman parkir resto.
Jujur saja. Ada bisikan di kepala Voni yang ngomong gini.
Paling nggak loh. Paling nggak apa dia tungguin dulu tuh ojol sampe. Biar dia bisa kasih pesan: Tolong ajak pacar saya ngobrol, Mas. Dia sering ketiduran di jalan.
Kenyataannya? Nggak!
Boro-boro ngasih pesan ke ojol. Tora langsung saja cabut seolah nggak ada dosa. Padahal jelas-jelas dia yang ngajak makan Voni. Di mana tanggung jawab Tora sebagai cowok coba?
Voni ngusap air mata yang kembali muncul di sudut mata. Dia buang napas dan berharap biar perasaannya lega. Sekalian dia nunggu, apa Tora bakal chat? Sekadar buat nanya dia udah sampe atau belum?
Ponsel Voni bergeming. Nggak ada masuk pesan apa pun.
Voni bangkit dan berencana untuk mandi. Mungkin keramas bisa membuat perasaannya jadi lebih ringan.
Ting!
Satu denting halus membuat langkah Voni berhenti. Dia yang sudah masuk selangkah ke kamar mandi sontak berpaling ke tempat tidur. Tepatnya pada ponsel yang lagi bercahaya.
Voni buru-buru ngecek. Dia berharap pesan yang masuk dari Tora, tapi ternyata ....
Kak Ugooo:
Sorry, Ni.
Chat kamu baru aku baca.
Tadi lagi motret.
Gimana?
Kamu sudah balik atau?
Voni buang napas. Sebenarnya dia tadi kirim pesan ke Ugo dulu sebelum akhirnya minta jemput sama Ciko. Sempat mikir mungkin Ugo merasa direpotkan sampe-sampe nggak respon, tapi ternyata ada alasan kenapa dia nggak baca dan balas pesan Voni tadi.
Voni:
Udah, Kak.
Tadi aku minta Ciko jemput.
Kebetulan dia juga baru balik dari kampus.
Kak Ugooo:
Oh, syukurlah.
Kamu istirahat.
Aku masih mau lanjut editing bentar.
Voni:
Seharusnya Kakak yang istirahat.
Kakak kerja sampai malam terus kan?
Apa memang mau nimbun emas permata?
Kak Ugooo:
Hahaha.
Semoga saja nanti aku punya timbunan emas permata.
Nanti aku kasih kamu sebongkah berlian.
Voni tergelak. Bukan karena membayangkan dia dapat sebongkah berlian, melainkan lanjutan pesan Ugo yang membuatnya terbahak.
Kak Ugooo:
Katanya batu berlian punya banyak manfaat.
Contohnya mencerahkan ketiak, mengurangi bau badan, menghaluskan kulit, dan mencegah iritasi.
Itu sih yang sempat aku baca di artikel kesehatan H&H minggu lalu.
Voni:
Itu batu tawas, Kak.
Batu tawas.
Bukan batu berlian.
😂😂😂
Nggak pake acara ngecek artikel kesehatan yang dimaksud, Voni udah yakin 100%. Pastilah batu tawas yang dimaksud Ugo.
"Ya kali. Masa berlian dipake gosok-gosok ketiak?"
Kak Ugooo:
Oh, itu batu tawas ya? 🤔
Soalnya gambarnya mirip sih.
Voni:
Itu tanda kalau Kakak sudah banyak kerja.
Sampe batu tawas dibilang batu berlian.
Kak Ugooo:
Kamu benar.
Karena itu aku bakal buru-buru.
Voni:
Aku nggak ganggu lagi.
Selamat kerja, Kak.
Kak Ugooo:
Sip!
Buat tabungan beli batu tawas 😎
Lagi-lagi batu tawas. Voni jadi terkekeh sendiri bayangin Ugo kerja keras banting tulang demi beli batu tawas. Bisa dapat sebanyak apa?
Voni menggeleng berulang kali. Udah. Dia nggak mau bayangin sebanyak apa batu tawas yang bisa Ugo beli. Sekarang waktunya buat dia keramas dan terus istirahat. Dia beneran berasa capek.
Sementara itu di luar kamar, ada pemandangan serupa kayak semalam. Ada Jordi dan Ciko yang nempelin telinga di pintu. Persis kayak cicak kembar beda ukuran.
"Ehm," deham Jordi penuh irama. "Habis nangis, dia malah ketawa-tawa."
Ciko meraba tengkuk. "Aku jadi merasa nggak enak, Kak. Nggak mungkin kan kalau Kak Voni kesambet?"
Jordi diam sejenak. Dia bersedekap dan usap-usap dagu, mikir. Sejurus kemudian ia menggeleng penuh keyakinan.
"Kayaknya nggak sih. Kan kamu rajin ngusir penunggu pohon beringin di depan."
Ciko mengerutkan dahi. Agak bingung gitu.
Memangnya kapan aku pernah ngusir penunggu pohon beringin di depan?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro