Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(23) 4. Pelan-Pelan Saja. Biar Kerasa dan Berbekas 7

Buat orang yang dalam rencana menjalani hidup sehat serba organik, nama Rofnus sih udah nggak asing lagi. Bolak-balik masuk televisi, majalah, atau media informasi lainnya, perusahaan yang berpusat pada sayur dan buah ini adalah pilihan tepat.

Royal Flora Nusantara sih awalnya dikenal dengan pemasaran buah-buah eksotis khas Indonesia. Terus lama kelamaan ia pun melebarkan sayap demi memenuhi keinginan konsumen yang juga pengen menikmati buah-buah asing.

Sampai sekarang sih kayaknya nggak ada yang bisa menyaingi Rofnus untuk masalah sayur dan buah. Kakinya udah mantap, juga selalu jadi pilihan pertama dan utama buat mereka yang mementingkan kualitas.

Jadi Voni nggak heran kalau Purianti Sahputri meminta dirinya buat beli buah Rofnus. Sebagai tuan rumah arisan, Puri pasti mau memberikan yang terbaik kan buat tamu-tamunya?

Cuma gimana ya? I-ini bakal dibayar Tora kan buah sebanyak ini? Aku cuma nolong milihin aja kan?

Voni sih sempat mikir gitu. Mungkin itulah alasan kenapa Puri ngirim pesan ke dia, bukannya ke Tora. Udah jadi rahasia umum kan? Cewek terkenal lebih teliti dan telaten dalam memilih.

Kayaknya sih gitu.

Voni dan Tora mendorong troli yang berbeda. Untungnya mereka nggak perlu menunggu lama untuk antre di kasir. Cuma butuh tujuh menit dan giliran mereka tiba deh.

Tora mengeluarkan semua belanjaan mereka. Sang kasir dengan cepat memindai harga dan jreeeng! Totalnya keluar senilai 1.520.000 rupiah.

"Total semuanya 1.520.000 rupiah."

Sang kasir lihatin Voni dan menunggu. Dia jadi mengerjap nggak enak, terus berpaling. Niat hati Voni mau nanya sama Tora, eh cowok itu langsung dorong troli lagi.

"Aku tunggu di parkiran."

W-what?

Voni gelagapan. Tora udah keburu pergi sementara pembayaran belum selesai. Mau nggak mau, dia pun harus keluarin dompet.

Y-ya ampun. Gaji aku tinggal berapa lagi sih?

Voni sih yakin dari empat juta yang masuk di awal bulan, belum ada pengeluaran berarti yang dia pake. Itu nggak lepas dari fakta stok skincare-nya masih ada dan cukup bahkan sampe awal bulan besok.

"I-ini, Mbak."

Pembayaran selesai nggak sampe lima menit. Voni memasukkan kartu debit kembali ke dompet dengan rasa nggak nyaman. Jadi alih-alih langsung menyusul Tora ke parkiran, dia menepi bentar buat ngecek saldo rekening.

K-kayaknya 1,5 juta cukup kan buat dua minggu? Cukup kok cukup. Ini masih lebih banyak timbang bulan kemaren.

Voni tarik napas dalam-dalam. Yah, pemikiran positif memang berguna banget biar diri jadi lebih tenang.

Perjalanan menuju rumah Tora nggak terlalu lancar seperti yang sempat dibayangkan. Berkat belanjaan yang lumayan banyak dan nggak bakal bisa teratasi dengan motor, Tora pun mengendari mobil sang ayah sehingga mereka sedikit terlambat.

Pas mereka sampe, hari sudah jam setengah empat. Bentar lagi acara bakal dimulai. Jadi nggak heran kalau mereka sudah pada heboh.

"Ya ampun. Kalian lama banget. Acaranya sudah mau dimulai."

Voni tertegun. Senyum, sapaan yang sudah di ujung lidah, dan tangan yang menawarkan salam, terjeda semua. Dia rencananya mau menyapa Puri, tapi nyonya rumah udah panik seraya menerobos buat lihat belanjaan di mobil.

"Tor! Buruan angkat sirupnya duluan. Biar bisa buat minum. Aduh! Kalian ini lama banget sih. Ni? Voni?"

Voni mengerjap. "Y-ya. Tante apa ka—"

"Jangan bengong aja! Ini bawa buahnya ke dalam," perintah Puri tanpa basa-basi. "E-eh, bentar."

Kehebohan Puri teralihkan saat dia lihat kardus jeruk mandarin. Dia melongo dan coba ngecek dengan teliti.

"Kamu beli jeruk mandarin yang kecil, Ni?"

Voni gelagapan. "Yang ada cuma itu, Tan."

"Ya ampun."

Puri memejamkan mata dramatis. Dia sampe pake acara tepuk jidat, pastinya dengan hati-hati biar dandananya nggak rusak.

"Kok yang kecil sih?" geram Puri. "Maksud Tante itu jeruk mandarin honey. Yang sering dipake orang buat Imlek. Bukan yang kecil-kecil begini. Siapa yang suka jeruk ini?"

Percayalah. Ada beberapa orang yang justru lebih suka jeruk mandarin kecil. Sensasi 'hap' sekali masuk itu beda dari yang lain loh.

"M-maaf, Tante. A—"

"Sudah sudah. Sekarang kamu buruan bantu angkat. Terus coba lihat di dapur. Kayaknya piring belum selesai dilap."

Voni nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Dia langsung nerima kardus jeruk mandarin yang Puri kasih. Berikut dengan kardus buah apel merah.

Astaga! Kaki Voni gemetaran saat beban sembilan kilogram itu mendadak memenuhi tangan. Mana Puri pakai acara pukul-pukul kardus buah itu lagi. Nggak ubah kayak mandor yang kasih arahan sama anak buah.

"Buruan! Bawa ke dapur."

"I-iya, Tan."

Voni bergegas lewat pintu samping. Dia ke dapur dan langsung bertemu dengan adik Tora yang bernama Aurel Patricia.

Senyum terkembang di wajah Voni. Kayak cewek pada umumnya, dia memasang sikap bersahabat. Ingin membentuk hubungan yang baik dengan calon adik pacar.

"Rel, ka—"

"Ya ampun," seruan Aurel memotong ucapan Voni. Dia bangkit berdiri dengan tangan di pinggang. "Akhirnya Kak Voni sampe juga. Aku udah pegal ngelap piring dari tadi."

Voni bengong. Masih dengan kardus jeruk dan apel di tangan, dia tertegun nggak bergerak sama sekali.

"Nanti kalau Kak Voni udah beres susun buah, jangan lupa piringnya."

Habis ngomong gitu, Aurel langsung ngacir. Dia pergi dari dapur dan tinggalin Voni seorang diri yang kebingungan.

I-ini jadinya aku harus ngapain?

Jawabannya adalah harus ngapa-ngapain. Puri yang datang ke dapur lima menit kemudian langsung memberikan daftar apa yang harus Voni lakukan.

"Kamu susun buah di piring buah. Jangan asal susun. Harus yang rapi dan cantik. Terus piring dilap dulu. Kan nggak mungkin orang mau makan di piring yang masih ada sisa air cucian? Selesai itu ..."

Bla bla bla bla bla.

Voni pikir dunia kayak berputar-putar gitu. Omongan Puri nggak ubah kayak tangan Joshua yang mengobok-obok air pas zaman dia kecil dulu.

"Kamu jangan ke mana-mana."

Sentuhan tangan Puri membuat Voni mengerjap. Dia tertarik lagi ke dunia nyata dan Puri tersenyum.

"Ntar kamu ke depan. Gabung sama Tante dan yang lain."

Ucapan Puri memberi suntikan tenaga tersendiri buat Voni. Dia tersenyum dan mengangguk penuh semangat. Jadi kayaknya sih nggak aneh dia jadi sat set sat set gitu mengerjakan semua yang Puri suruh. Soalnya ada satu hal yang sekarang berputar-putar di benak.

Aku mau dikenalin sama keluarga dan yang lainnya loh.

Bagi setiap cewek, kayaknya sih ini adalah salah satu momen yang paling ditunggu. Yaitu, dikenalin ke keluarga, tetangga, dan teman-teman keluarga pacar.

Nggak bermaksud mendahului takdir, tapi ini memberikan sinyal tersendiri kan? Kayak lampu hijau untuk hubungan yang memang udah direstui secara nggak langsung. Iya nggak sih?

Kayaknya sih iya. Karena kalau Voni masih ada ragu maka ketidakyakinan itu pasti udah langsung gugur gara-gara mukadimah Puri di sela-sela arisan. Saat tamu sudah mulai menikmati santap berat.

"Ini namanya Voni. Pacar Tora. Mereka udah lama pacaran. Udah dua tahun."

Keriuhan khas ibu-ibu seketika pecah saat Puri memperkenalkan Voni sama teman-teman dan keluarga. Voni tersenyum, juga menyapa mereka dengan sopan.

"Pinter Tora cari pacar. Anaknya manis."

Celetukan seorang ibu membuat senyum Voni kian lebar. Untung deh Puri megang tangan dia dari tadi. Kalau nggak, mungkin Voni udah melayang dan mentok ke plafon.

"Kenal sama Tora di mana? Teman sekolah atau apa?"

Voni berpaling berkat pertanyaan tersebut dan menjawab. "Kami teman kerja, Tante."

"Oh, teman kerja."

"Jadi kerja di bimbel juga ya?"

Voni mengangguk dan pada saat itu ada sedikit perubahan yang dirasakan. Tatapan antusias ibu-ibu sedikit menurun. Bahkan ada lirikan aneh yang lantas tertuju pada Puri.

"Aku pikir Voni udah PNS. Ya ampun, Jeng. Kok Tora cari pacar gini sih?"

Ini mah bukan sedikit perubahan namanya. Voni merasa kayak ada diskriminasi pekerjaan nggak sih?

"Ck."

Decakan Puri menerbitkan harapan Voni. Dia berharap sang calon ibu mertua bisa memberikan pandangan objektif, tapi ternyata?

"Sebenarnya aku juga bilang gitu sama Tora. Mbokya cari PNS. Zaman sekarang kan? PNS itu sudah minimal syarat buat cari pasangan. Cuma gimana? Si Tora agak ngeyel."

Voni melongo. Apa dia salah dengar? Puri nggak mungkin ngomong gitu secara terang-terangan di depan dia kan?

"Jadi sebagai ibu ya aku biarin deh. Paling nggak ayah Voni PNS," sambung Puri berpaling dengan senyum manis. "Iya kan, Ni? Papa kamu PNS kan?"

"I-iya, Tan."

Puri membuang napas lega. "Udah golongan berapa? Empat B atau D ya?"

Lidah Voni jadi kelu. Wajahnya mendadak kaku. Apalagi karena kehebohan yang terjadi sejurus kemudian.

"Wah! Itu gajinya gede."

"Pensiunannya juga lumayan loh."

Voni merasa nggak nyaman. Kayaknya masalah pekerjaan, gaji, dan pensiunan Giri bukan hal yang pantas dibicarakan kan?

"Voni ini anak perempuan satu-satunya. Jadi pasti disayang sama Papanya."

Keriuhan yang sempat meredup sontak berkobar lagi. Para ibu langsung mengangguk-angguk dengan satu pemahaman sama.

"Ah, benar itu."

"Pasti. Kalau ayah itu pasti sayang sekali sama anak perempuan. Apalagi kalau anak perempuannya cuma satu. Pasti dimanja."

Voni sih memang dimanja. Cuma kali ini dia diam saja, kayak nggak mau membenarkan perkataan tersebut.

"Yang sayang itu kakaknya."

Dari Giri sekarang ke Jordi? Voni sontak berpaling pada Puri yang menampilkan ekspresi tak habis pikir.

"Dengar-dengar dari Tora, katanya kakak Voni itu nggak PNS. Padahal papanya PNS, eh dia malah buka usaha sablon atau semacam percetakan gitu deh."

"Ckckck. Padahal zaman sekarang nggak ada yang lebih menjanjikan selain kerja jadi PNS."

"Benar sih. Gaji aman tiap bulan. Jam kerja teratur. Belum lagi ada gaji 13, THR, dan intensif lainnya. Rugi banget."

"Apalagi SK bisa disekolahin kan? Kalau mau mobil atau apa, cepat cari duitnya."

Puri manggut-manggut dengan mimik simpatik. "Makanya aku cuma khawatir itu. Kalau mereka nikah, gimana kalau ada apa-apa? Untungnya ada Papa Voni, aku jadi agak tenang."

Begitulah orang tua pada umumnya. Sekalipun anak sudah bekeluarga dan secara harfiah sudah bukan tanggung jawab mereka lagi, tentunya orang tua nggak pernah benar-benar lepas tangan. Apalagi kalau itu menyangkut rumah tangga anak.

Apa pun masalahnya, orang tua akan sebisa mungkin membantu. Bahkan bila harus bertaruh nyawa. Apalagi kalau itu menyangkut anak perempuan satu-satunya yang paling disayang.

Puri menoleh dan tersenyum penuh arti pada Voni. Sekali, ia mengusap tangan Voni lembut.

"Benar kan?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro