Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(22) 4. Pelan-Pelan Saja. Biar Kerasa dan Berbekas 6

◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌

"Pagi, Ni!"

Seruan hangat itu membuat Voni yang lagi nyapu teras berpaling. Tepatnya ke pintu pagar di mana ada Lani yang lagi-lagi datang dengan piring di tangan.

"Eh, Tante!"

Voni terpaksa meninggalkan sapu sejenak. Dia buru-buru berlari demi membuka pintu pagar. Lani kelihatan kesulitan membuka kuncinya.

"Tante bawain pisang goreng."

Lani menyodorkan piring dan Voni menyambutnya berseri-seri. Tampak senang.

"Wah! Tante tau aja deh kalau Papa kemaren minta aku buatin pisang goreng," kata Voni tersenyum. "Jadi nggak perlu repot-repot deh kalau sudah dibawain Tante."

Bola mata Lani membesar. "Serius?"

"Iya. Kemaren Papa memang minta aku masakin pisang goreng, tapi belum ada pisangnya. Untung ada Tante. Makasih banyak, Tan."

"Biasa saja," ujar Lani tersipu. "Cuma pisang goreng kok."

Bukan cuma pisang goreng. Voni sebagai anak, tau banget gimana sukanya Giri dengan pisang goreng. Jadi nggak heran kalau semasa ibunya masih ada, pisang nggak pernah absen di dapur. Pasti selalu ada.

Voni sih sebisa mungkin buat meneruskan tradisi itu. Cuma gimana ya? Apalah dia dibandingkan dengan mendiang Kanti. Dia nggak setelaten sang ibu.

Apalagi Giri pun nggak memaksa Voni. Dia tau Voni sibuk dan punya kegiatan sendiri. Selain itu dia juga agak khawatir kalau melihat keberadaan pisang nggak putus-putus di dapur. Takut mendadak sedih gitu.

Ssst! Voni tau banget semelankolis apa Giri kalau itu berkaitan dengan mendiang Kanti. Bahkan taman bunga masih dirawat dengan baik sampe sekarang.

Jadi nggak heran kalau Voni berharap dapat suami seperti Giri nanti. Nggak cuma jadi ayah yang baik buat anak-anak, tapi suami yang tepat untuk istrinya.

Harapan Voni besar banget kalau itu adalah Tora. Gimana ya ngomongnya? Tora itu sosok cowok idaman banget nggak sih?

"Ni! Ayo, makan bareng! Aku udah beli makan siang."

Tuh kan. Baru saja diomongi, eh udah kejadian aja. Tora datang-datang sudah ngasih perhatian saja. Voni kan jadi speechless gitu dibuatnya.

"Kamu beli apa?"

Voni langsung bangkit dan menghampiri Tora yang memamerkan kantung makan siang.

"Makanan kesukaan kamu," kata Tora bangga. "Ayam panggang."

"Wah!"

"Kita makan sekarang? Mumpung pantri kosong."

Voni menerima tawaran itu dengan penuh semangat. Terlepas fakta bahwa baru sama beberapa malam yang lewat dia kekenyangan gara-gara ayam panggang, yang satu ini tentu saja memiliki kesan berbeda. Dibeliin Tora gitu. Gimana Voni nggak jadi semangat 45 buat makan siang?

Persis seperti yang Tora bilang tadi. Pantri lagi kosong. Belum banyak yang datang sehingga membuat mereka bisa menggunakan pantri dengan leluasa. Keduanya tampak nyaman menikmati makan siang.

"Gimana?"

Di sela-sela makan siang, Tora bertanya. Voni yang sedang mencolet timun pada sambal, mengangkat wajah.

"Enak nggak?"

Kalau boleh jujur, kayaknya Jordi ada bakat jadi kang ayam panggang. Heran. Itu kakaknya kalau masak pake bumbu apa sih? Dari nasi goreng sampe ayam panggang, rasanya bisa enak dan beda gitu.

"Enak," angguk Voni tersenyum. "Aku suka."

Tora kelihatan bangga gitu. "Tuh kan! Rasanya memang enak."

Sedikit bohong demi kebaikan nggak apa-apa kan? Soalnya kalau boleh jujur, rasanya sih B aja. Nggak ada yang menonjol atau wah. Nggak terlalu enak yang sampe buat mau nambah porsi, tapi ya lumayanlah.

Seenggaknya ayam panggang itu punya sambal yang enak. Voni jadi nggak berhenti colet-colet sambal dengan aneka lalapan yang ada.

"Oh iya, Ni. Ada yang mau aku bilangin. Hampir saja lupa."

Voni melirik tanpa menjeda suapan. "Apa?"

"Mama aku ada hubungi kamu nggak?"

Kol yang hampir tenggelam dalam sambal mendadak berhenti bergerak. Dahi Voni mengernyit untuk pertanyaan nggak terduga itu.

"Mama kamu?" ulang Voni demi meyakinkan, lalu menggeleng. "Nggak ada. Memangnya kenapa?"

Tora berdecak sekilas. "Mama pasti lupa," gumamnya. "Sabtu besok ada acara arisan di rumah. Jadi Mama mau kamu datang ke rumah."

Nah! Berita satu ini membuat kol harus mengantre lebih lama lagi.

"Tante mau aku datang ke rumah? Pas arisan?"

"Iya," angguk Tora. "Gimana? Kamu bisa?"

Pikiran Voni dengan cepat berpetualang. Arisan tentulah bukan acara kecil. Biasanya sih cenderung rame. Ada banyak tetangga, kenalan, atau keluarga.

Nggak bisa nggak. Badan Voni mendadak panas dingin dengan satu kemungkinan yang melintas di benak.

Tora dan Tante mau kenalin aku ke keluarganya gitu ya?

Pemikiran ini menghadirkan gugup nggak kira-kira. Napas Voni jadi agak susah dan kol di tangannya bergoyang-goyang samar.

"Kenapa? Kamu nggak bisa?"

Voni buru-buru menggeleng. "Bisa kok bisa. Ehm acaranya kapan?"

Sekilas, Tora membuang napas lega. Dia meneguk minum dulu sebelum menjawab pertanyaan Voni.

"Sabtu besok. Jam empat gitu."

Sabtu sore? Jam empat?

Gugup Voni digantikan oleh gugup lain. Apa itu artinya Tora akan menjemputnya di rumah? Ehm atau Voni datang sendirian ke rumahnya?

Kayaknya sih nggak mungkin kan kalau Voni datang sendiri ke rumah Tora? Lebih masuk akal kalau Tora yang menjemputnya di rumah kan?

Mungkin saja. Bisa jadi. Voni bermaksud untuk mencari tau kebenaran praduganya. Cuma sayang, Tora keburu mendahului.

"Oh ya, Ni. Sekalian sih. Kamu bisa gantiin kelas aku Sabtu besok kan?"

Pemikiran mengenai dirinya dijemput atau pergi sendiri langsung hilang dari benak. Voni mengerjap dan melongo bodoh.

"S-Sabtu besok?" tanya Voni demi meyakinkan diri bahwa ia tidak salah mendengar. "Pas arisan keluarga kamu?"

Tora mengangguk. "Kayaknya aku bakal bantu-bantu gitu. Jadi aku ragu bisa ngajar. Gimana? Bisa kan? Sekalian biar habis ngajar aku jemput kamu. Dari sini kita langsung ke rumah aku."

Bukan dijmeput di rumah seperti dugaan Voni. Walau bukan berarti Voni tidak pergi sendiri, tapi ini bukanlah hal yang dia harapkan.

"Gimana?" tanya Tora lagi. "Kamu bisakan?"

Sebenarnya Voni nggak butuh waktu buat mikir. Untuk apa? Toh, jawabannya sudah pasti bisa ditebak.

"Iya. Aku bisa."

Persis seperti yang sudah diperkirakan Tora. Voni pasti mau gantiin jam mengajarnya.

"Makasih banyak. Kamu memang baik banget."

Voni nggak ngomong apa-apa. Dia cuma tersenyum untuk menekan kecewa dalam hati. Bukan karena menggantikan Tora ngajar, tapi dia sempat berharap bakal dijemput di rumah. Kayak di drama-drama loh.

Nggak apa-apa. Seenggaknya aku ada kesempatan buat diantar balik kan?

Pikiran positif langsung menenangkan Voni. Seenggaknya dia masih ada kesempatan. Mungkin dia bisa memanfaatkan hal itu untuk mengenalkan Tora dan keluarganya secara alamiah.

Sabtu pagi, Voni sudah bersiap. Dia bolak-balik ganti pakaian yang bisa dipakai buat ngajar dan menghadiri acara arisan. Kayaknya kemeja dan celana panjang terlalu formal untuk acara arisan kan?

Voni tampil cantik. Dia sudah siap dan kali ini dia nggak butuh ojol buat ke GALAXY. Si bungsu kebetulan lagi nganggur, lagi dalam mode siap disuruh-suruh.

Denting halus menahan langkah Voni. Ada pesan masuk yang membuatnya buru-buru membuka ponsel

"Tante?"

Ternyata pesan yang masuk berasal dari orang tak terduga. Siapa lagi kalau bukan ibu Tora?

Tante Puri:
Ni, nanti jadi kan datang ke rumah Tante?
Sekalian kalau kamu datang, Tante titip ya.
Di rumah repot. Jadi kamu belikan jeruk mandarin empat kilo, apel merah lima kilo, kelengkeng empat kilo, semangka lima buah, dan sirup cocopandan sekitar tujuh botol.
Untuk buah, kamu beli Rofnus.
Buahnya premium. Bagus-bagus.
Makasih ya. Jangan sampai datang terlambat.
Tante tungguin loh.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro