(16) 3. Katanya: Kalau Nggak Ada, Baru Kerasa 5
Apa ada momen yang lebih asyik ketimbang malam Minggu di awal bulan? Kayaknya sih nggak ada.
Bayangkan ini ya. Nggak tahun baruan, tapi bakar-bakar gitu. Pastinya bukan bakar sampah atau bakar emosi, melainkan bakar sate dan ayam.
Ehm. Seenggaknya ada juga hal bagus untuk Voni dalam minggu ini. Anggap saja ini sebagai salah satu cara untuk memperbaiki suasana hatinya yang masih ugal-ugalan.
Rumah Voni malam itu rame. Nggak cuma ada teman-teman Jordi, melainkan Ciko juga. Cuma Voni sendiri yang nggak bawa temannya.
Ups! Juga nggak bawa pacar.
"Kenapa Tora nggak mau datang?"
Sambil mengipasi panggangan, Jordi melirik pada Voni di sebelah. Sang adik lagi membalur potongan ayam dengan saus. Dia berdecak sekilas.
"Bukannya nggak mau datang," ralat Voni balas melirik. "Dia lagi ada acara lain."
Mata Jordi sedikit menyipit dengan kesan menuduh. "Perasaan dia selalu saja ada acara kalau kita ada acara. Sebenarnya kamu beneran undang dia ke rumah kan? Atau nggak?"
Berbeda dengan Jordi, bola mata Voni justru membesar karena tuduhan itu. Sapuan kuas di potongan ayam berhenti dan menjawab penuh yakin.
"Iya dong, Kak. Ngapain juga aku nggak beneran undang dia?"
"Ehm."
Jordi kembali mengipas walau jelas-jelas kipas angin lebih berperan daripada dirinya. Dia terlihat nggak yakin dan seolah tengah berpikir dengan penuh pertimbangan.
"Kayaknya Tora nggak serius sama kamu."
Kuas kembali berhenti bergerak. Voni melongo dengan perkataan tak terduga Jordi.
"Apa?"
"Nggak serius," ulang Jordi serius. "Kalau serius, dia nggak mungkin menyia-nyiakan kesempatan buat ke rumah dan kenalan dengan keluarga kamu. Benar kan?"
Sudah dua tahun loh. Itu bukan bilangan tahun yang sebentar untuk sebuah hubungan kan? Apalagi untuk kasus Voni dan Tora yang kayaknya sudah dewasa. Biasanya pacaran di usia mereka lebih dalam proses untuk menuju pernikahan. Iya atau nggak?
Nah! Berbekal paham itulah kenapa Jordi sudah berulang kali suruh Voni ajak Tora ke rumah. Dia mau bertatap muka dengan Tora secara langsung. Nggak cuma sekadar say hi sepintas saat Voni dan Tora kebetulan sedang video call.
Nggak perlu ditebak. Tentu saja tujuan Jordi cuma satu. Mau tau seserius apa Tora dengan Voni. Which is ... sekarang dia malah mendapat indikasi yang nggak diharapkan.
"Bukannya nggak serius, Kak. Kami baru pacaran. Jadi ya biarin ngalir aja. Toh banyak di luar sana cowok yang sudah bolak-balik ke rumah ceweknya, tapi tetap nggak serius."
"Apalagi kalau nggak pernah datang kan?"
Ah! Jordi membalasnya dengan amat telak. Voni sampe nggak bisa oles-oles saus lagi di sate.
"Aku yakin dia cuma nunggu waktu yang tepat."
"Seperti?"
"Seenggaknya ada sedikit pegangan kalau nanti ditanya soal pernikahan," jawab Voni tersenyum. Kuas di tangannya naik dan balik menuding Jordi. "Aku tebak Kakak sudah siapkan setumpuk pertanyaan buat Tora. Kapan mau melamar? Nikahnya kapan? Rencana ntar tinggal di mana? Apa yakin cukup dengan kerja sebagai guru les? Oh, itu belum dengan mau pakai adat apa untuk nikah nanti? Plus pertanyaan-pertanyaan lainnya. Iya kan?"
Jordi tercengang dua detik. Lalu barulah dia berdecak samar.
"Wah! Kamu benar-benar sudah dewasa."
Voni terkekeh dengan mimik yang nggak sejalan. "Menurut Kakak, cowok mana yang nggak ketakutan kalau bakal ditodong gitu?"
"Cowok yang serius," jawab Jordi balas menodong dengan kipas sate. "Cowok yang serius pasti sudah punya rencana jauh ke depan. Bahkan ..."
Kipas sate kian maju ke wajah Voni. Mau nggak mau buat dia sedikit mundur.
"... dia pasti sudah kepikiran nanti mau pakai KB pil atau kondom."
Voni tercengang. Sedetik, dia membeku. Sedetik kemudian dia malah tepuk tangan tanpa suara.
"Kakak benar-benar ngasih standar yang tinggi untuk kriteria calon suami."
Jordi lanjut kipas-kipas. "Nggak usah belokin topik. Jadi Kakak mau secepatnya Tora ke rumah. Kalau nggak, mending putus."
Nggak mempan. Terlepas dari keterpanaan alamiah akan sifat Jordi, sejujurnya Voni memang berharap pembicaraan bisa berbelok.
"Iya iya iya," gerutu Voni. "Ngebet banget mau ketemu Tora. Kayak yang nggak percaya saja sama pilihan aku. Dia tuh baik. Dijamin."
Kipas berhenti bergerak. Jordi menaruh benda itu di meja dan entah sadar atau nggak, dia merenggangkan otot. Leher bergerak ke kanan dan kiri, lalu dia memainkan otot di sepanjang punggung.
"Cuma sesama racun yang bisa mendeteksi satu sama lain."
Voni bergidik. Agak ngeri gitu. Jadi nggak heran sih kalau dia buru-buru manggil Ciko. Perbincangan itu harus dihentikan secepatnya.
"Ko!"
Pandangan Voni terlempar ke seberang sana. Tepatnya di ayunan. Ciko dan teman-temannya sedang bergitar ria dengan sederet lagu yang pasrah untuk dinistakan.
"Ya?"
Voni buru-buru menyiapkan sepiring ayam panggang. "Kasih ke Tante Lani."
Berat, tapi Ciko beranjak juga. Dia menghampiri Voni dan menyambut piring dengan decakan samar.
"Apa pun acaranya, selalu si bungsu yang disuruh-suruh."
Gyo muncul di waktu tepat. Sambil mencomot setusuk sate, ia menyeletuk.
"Ya masa tamu yang disuruh-suruh?"
Ciko cuma mendengkus geli sebelum benar-benar pergi dari sana. Untungnya rumah Lani nggak jauh. Dia bakal anggap itu sebagai jalan santai malam hari.
"Disuruh sih nggak, tapi harusnya tau diri. Dasar tamu nggak ada akhlak."
Jordi melepas celemek dan melemparnya pada Gyo. Cowok itu tergelak saat celemek mendarat telak di wajah.
"Gantian," ujar Jordi. "Aku juga mau makan hasil kipasan dari tadi."
Berlalu dari sana, Jordi membawa dua piring yang penuh ayam bakar dan sate. Dia bergabung dengan Ugo dan Giri yang tengah berbincang mengenai laju pencairan es di Kutub Utara. Benar-benar topik yang bermanfaat.
Jordi geleng-geleng kepala. Niat hati mau santai, tapi topik yang diangkat Ugo dan Giri benar-benar di luar jangkauan. Jadi nggak heran kalau muka Jordi kelihatan agak tersiksa gitu. Diam-diam dia pun menebak, mungkin sebentar lagi topik bakal berpindah ke penyebab punahnya dinosaurus.
Situasi itu menarik kekehan Voni. Sambil terus mengolesi sisa ayam, dia geli sendiri melihat Giri dan Ugo tertawa seakan tengah meledek Jordi.
"Jadi kapan rencananya pacar kamu bakal datang?"
Tiba-tiba dan nggak terduga sama sekali. Voni refleks berpaling ketika Gyo menanyakan hal serupa dengan yang ditanyakan oleh Jordi tadi.
Ya Tuhan. Jangan bilang kalau Kak Jordi cerita ke mana-mana soal Tora.
Tentu saja. Itulah satu-satunya alasan kenapa Gyo mendadak menanyakan hal tersebut.
"Dari kapan hari dia sering cerita," ujar Gyo menjelaskan rasa penasaran yang tersirat di wajah Voni. "Katanya cowok kamu belum ada ke rumah. Itu buat dia khawatir."
Voni melihat sisa ayam dan sate yang belum terpanggang. Dia memperkirakan, harus selama apa lagi dia terjebak dalam topik yang sama?
"Jordi takut dia cuma main-main."
Masuk akal. Terakhir kali Voni putus cinta, dia sampe nggak nafsu makan loh. Wajar kalau Jordi jadi kepikiran.
"Ehm Tora nggak main-main kok. Lagi pula dia cowok yang baik, Kak. Jadi tolong bilangin ke Kak Jordi," kata Voni tersenyum. "Nggak perlu khawatir."
Gyo angguk-angguk saja. "Cuma kamu harus tau. Semua cewek juga ngira kalau pacarnya adalah cowok yang baik. Ehm mungkin itu sekitar sebulan, setahun, atau sepuluh tahun sebelum belang cowoknya kelihatan."
Wow! Voni nggak bisa berkata apa-apa. Sementara Gyo? Dia terlihat santai saja. Bahkan dengan entengnya ngomong.
"Cowok itu pintar berkamuflase."
Untuk kesekian kali, kipas sate naik dan menuding muka Voni. Kali ini memang bukan Jordi pelakunya, melainkan Gyo.
"Dia cuma nggak mau kamu salah pilih cowok."
Nggak. Voni nggak akan bertahan lebih lama lagi. Kenapa malam itu kayak malam penghakiman saja sih? Perkara Tora nggak bisa ikut gabung bisa berdampak sejauh ini ya?
"Ehm."
Voni menarik napas dan mendeham penuh irama. Dia ambil alih kipas dari tangan Gyo seraya berkata.
"Ayam dan satenya tinggal dikit lagi, Kak. Biar aku yang beresin. Kakak gabung saja sama yang lain."
Berbeda dengan Jordi, tentunya Gyo yang santai sangat mudah untuk terdistraksi. Fokusnya seketika beralih dan dia terima tawaran itu dengan suka hati. Nggak butuh waktu lama, celemek pun lepas dari badan. Lalu dia kembali bergabung dengan yang lain.
Sekarang Voni bisa bernapas lega. Nggak ada perbincangan yang buat mumet kepala dan semua beres dalam sekali panggangan lagi.
"Ehm seandainya ada Ellys."
Sadar atau nggak, Voni benar-benar ngomong gitu pas lihat ayam panggang dan sate yang sudah matang. Total ada tiga piring besar dengan isi yang tak sedikit.
"Harusnya kamu samperin dia."
Kipas angin berhenti berembus. Ayam di pemanggang pindah ke piring. Seseorang datang dan membantu Voni menuntaskan panggangan terakhir.
"Kak Ugo."
Ugo memastikan arang sudah benar-benar padam. "Nggak baik ribut lama-lama."
Voni membeku. Dia nggak membalas perkataan Ugo demi mempertimbangkan beberapa hal. Terutama yang paling penting adalah apakah Jordi sudah tau soal mereka? Soalnya tumben loh malam ini dia nggak bahas soal Ellys.
"Ehm Kakak ngomong soal apa ya?"
Arang sudah benar-benar padam. Nggak ada lagi bara yang menyala. Saat itu, Ugo melihat Voni dengan kerutan samar di dahi.
"Serius kamu nggak tau?"
Voni mengatupkan mulut rapat-rapat. Agaknya masih bersikeras untuk memasang sikap nggak tau.
"Ellys sudah lama nggak datang. Kalian nggak ada pergi jalan. Selain itu ..."
Ugo melihat makanan dan minuman yang tersaji di taman. Berikut dengan suasananya yang ramai penuh kehangatan.
"... nggak mungkin Ellys nggak datang malam ini."
Mulut Voni membuka. Dia bersiap untuk membela diri, tapi Ugo keburu lanjut bicara.
"Atau paling nggak, kamu biasanya pamer sama dia. VC dan ledekin dia."
Mulut Voni seketika terkatup lagi. Untung saja dia belum sempat membela diri. Kalau nggak, itu sama saja artinya dengan mempermalukan diri sendiri.
"Kak Jordi nggak tau kan?"
Ugo mengerutkan dahi. "Kenapa dari kemaren yang kamu pikir cuma Jordi?"
Bukan tanpa alasan. Melainkan Voni nggak mau Jordi sampai tau penyebab dirinya dan Ellys ribut.
Menilik dari hubungan baik Ellys dengan keluarganya, Voni bisa yakin 100% bahwa Jordi akan percaya pada omongan sang sahabat. Bila Ellys mengatakan apa yang sebenarnya terjadi malam itu sehingga dia terpaksa minta jemput Ugo, sudah deh. Selesai semua.
Voni bisa menebak skenario yang bakal terjadi. Jordi marah karena dia bukannya happy-happy, eh malah lembur. Belum lagi kalau sang kakak sampe ngomong gini.
"Di rumah kamu dimanja-manja, eh di luar kamu malah gantiin orang buat lembur?"
Ah! Hanya memikirkannya saja sudah buat Voni sakit kepala. Apalagi kalau sampai kejadian? Jordi pasti makin memandang sebelah mata pada Tora.
Nggak gitu. Tora itu baik. Cuma kebetulan aja semua jadi ribet kayak gini.
"Seharusnya bukan Jordi yang kamu pikirkan sekarang, tapi Ellys kan?"
Tanya Ugo menyentak lamunan Voni. Dia mengerjap dan cuma diam saja sementara Ugo mulai beres-beres bekas pemanggangan.
"Kalau nggak, hidup kamu bakal gitu-gitu saja kan?"
Voni mengerutkan dahi. "Gitu-gitu gimana, Kak?"
"Lesu. Nggak mood. Suntuk," jawab Ugo. "Iya kan?"
Apa kelihatan seperti itu? Sampai-sampai Ugo bisa melihatnya dengan jelas?
"Aku juga nggak mau gini, Kak. Cuma gimana lagi? Kayaknya Ellys benar-benar marah kali ini."
Wajah Voni tertunduk. Ternyata topik Tora nggak lebih melelahkan ketimbang Ellys. Seenggaknya tadi dia masih bisa bertahan dengan serbuan Jordi dan Gyo, lalu sekarang?
Voni buru-buru duduk. Membicarakan Ellys benar-benar membuat letih jiwa raganya.
"Semarah-marahnya sahabat, dia pasti tetap akan memaafkan."
Kayaknya Voni nggak sependapat. Lihat saja. Dia hanya buang napas panjang mendengar ucapan Ugo.
Seandainya memang gitu, pasti aku nggak bakal puyeng begini.
Ugo melirik. Nggak ada respon Voni membuatnya yang tengah menyisihkan bekas arang bertanya lagi. Sayang, pertanyaan ini bukan sekadar pertanyaan biasa.
"Ini nggak ada kaitannya dengan cowok kamu kan?"
Ekspresi Voni langsung berubah. Mulut menganga dan dia buru-buru menutup dengan tangan.
Gimana bisa Kak Ugo nebak gitu?
Ugo mendengkus seraya berdecak sekilas. Dia geleng-geleng dengan menyeringai tipis.
"Biasanya yang buat pertemanan rusak itu memang pacar."
Ah, tentu saja. Itu adalah masalah yang kerap terjadi di kehidupan sehari-hari. Nggak butuh otak sepintar Einstein buat menebaknya. Walau tentu saja, Voni kaget karena Ugo bisa nebak setepat itu.
Kalau mau dipikir-pikir. Dari hari pertama aku ribut sama Ellys, Kak Ugo juga sudah nebak sih.
Voni menyipitkan mata. Sekarang dia jadi ngeri sendiri sama Ugo. Apa Ugo ada keturunan cenayang? Apa ada indra keenam?
"Ternyata benar."
Voni tersadar dari kekagumannya akan analisis Ugo. Dia benar-benar nggak bisa mengelak lagi.
B-bentar. Kepalang basah kan?
Satu pemikiran membuat Voni bangkit dari duduk. Dia hampiri Ugo yang sekarang berkutat dengan kipas angin. Mencabut kabel, Ugo berencana untuk mengembalikannya ke tempat asal. Yaitu, di ruang menonton.
"Menurut Kakak aku harus gimana?"
Ugo melirik Voni yang mengikuti langkahnya. "Gimana apanya?"
"Sama Ellys," kata Voni seraya memegang kabel kipas angin yang terlepas dari genggaman Ugo. "Aku sudah minta maaf, tapi dia benar-benar kayak nggak maafin. Tiap aku chat, balasannya dingin gitu."
Voni dan Ugo masuk lewat pintu samping. Keriuhan tertinggal di belakang dan meredup.
"Aku harus gimana dong?"
Terakhir kali meminta pendapat, Voni mendapat jawaban yang nggak diharapkan. Apa kali ini juga begitu? Biarkan saja semua berlalu begitu saja?
"Gimana caranya minta maaf sama Ellys?" tanya Voni tak berdaya. "Biar kami nggak ribut lagi."
Ugo menaruh kipas angin di tempat semula. Tepat di belakang kursi santai yang selalu digunakan oleh Giri.
"Seharusnya cuma kamu yang paling tau gimana caranya minta maaf sama Ellys. Kamu yang paling tau gimana sifat dia. Benar kan?"
Voni mengatupkan mulut rapat-rapat. Mungkin Ugo nggak kasih jawaban kayak Tora, tapi tetap saja. Jawaban berupa pertanyaan balik itu bukan hal yang dia harapkan.
"Nggak ada guna kamu nanya ke siapa-siapa. Toh yang tau cuma kamu kan?"
Seenteng itu Ugo bicara, seringan itu pula langkah kakinya kembali bergerak. Dia beranjak meninggalkan Voni yang terbengong sedetik di ruang menonton. Saat sadar Ugo sudah pergi, dia berseru.
"Kak!"
Sekarang Ugo berkutat dengan alat pemanggang. Berniat membersihkannya, dia hampir terlonjak ketika Voni muncul tepat di depan muka.
"A—"
"Gimana kalau Ellys tetap nggak mau maafin?" tanya Voni cepat. "Aku sudah ada niat buat ajak Ellys liburan ke Puncak, tapi keadaan nggak mendukung. Jadi aku merasa nggak enak datang ke rumahnya kalau ... kalau ...."
Ugo membuang napas panjang. "Apa menurut kamu itu yang Ellys mau?"
Apa itu yang Ellys mau? Apa itu yang Ellys pikir? Apa itu yang Ellys harapkan?
Sepertinya Voni melupakan sesuatu yang penting di sini. Mungkin untuk itulah kenapa Ugo kembali bertanya.
"Dia benar-benar sahabat kamu kan?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro