(14) 3. Katanya: Kalau Nggak Ada, Baru Kerasa 3
Voni menyerah. Walau gajian seminggu lagi, tapi dompetnya udah pada jerit-jerit. Mau nggak mau dia memang harus menghubungi dinas sosial secepatnya. Siapa lagi kalau bukan sang ayah?
Seperti yang diharapkan. Nggak sampai lima menit, duit senilai 750 ribu masuk ke rekening Voni.
"Makasih, Pa."
Giri mengangguk dan menaruh ponsel di meja makan. "Sama-sama."
Sebenarnya sih kalau boleh jujur, agak berat buat Voni minta duit sama Giri. Cuma mau gimana lagi? Dia butuh duit buat ongkos dan keadaan nggak terduga lainnya. Amit-amit, dia nggak mau lagi kelaparan.
Nggak apa-apa deh. Bentar lagi gajian. Dapat duit dari Anna, ntar aku mau ajak makan Papa, Kak Jordi, dan Ciko. Sekalian mau ajak jalan Ellys dan minta maaf.
Voni sudah menyusun rencana awal bulan dengan antusias. Seenggaknya itu bisa membuat perasaannya yang agak berantakan jadi lebih tertata.
Ah, ngomong-ngomong aku juga udah lama nggak jalan sama Tora ya?
Mungkin ide bagus kalau Voni nanti ngajak Tora buat jalan. Gara-gara selalu ketemu nyaris setiap hari, kayaknya mereka jadi abai untuk cari suasana baru.
"Gimana?" tanya Voni pada Tora sebelum jam mengajarnya tiba. "Kita udah lama nggak jalan loh."
Tora mendengkus geli. "Aku pikir kamu sudah merasa cukup ketemu terus di sini. Nggak butuh jalan-jalan lagi."
"Ya butuh dong. Namanya juga orang pacaran. Lagian ketemu di sini kayak nggak ada beda dengan aku yang ketemu Pak Onal."
Tawa Tora pecah. Sekilas, ia mencubit ujung hidung Voni. Ehm memang kebiasaan Tora sih kalau lagi gemas sama Voni.
"Malah samain aku dengan Pak Onal."
"Jadi gimana? Mau nggak?"
"Pasti mau. Apa sih yang nggak buat cewek aku yang cantik dan baik hati ini?"
Kalau ada satu hal yang paling Voni suka dari Tora, itu pastilah tutur bahasanya yang lembut. Kata-kata Tora selalu terjaga, nggak pernah menyinggung, dan pastinya selalu manis. Ah, satu lagi. Kalau ribut, nggak pernah tuh Tora ngomong yang kasar-kasar.
Jadi nggak heran Voni bisa jatuh cinta sama dia. Mengingat gimana lingkungan tempat Voni dibesarkan, itu memang adalah hal wajar.
Menurut Voni, Tora adalah cowok yang benar-benar tipe idealnya. Nggak cuma cakep dan pintar, tapi juga selalu menenangkan kalau bicara. Bawaannya buat adem gitu.
Cuma ya itu. Kayaknya justru ada yang kepanasan kalau berkaitan dengan Tora. Siapa lagi kalau bukan Ellys?
Voni berdecak. Tuh kan. Dia malah jadi kepikiran Ellys lagi. Sampai-sampai dia melihat kalender duduk di meja kerja dan buang napas panjang.
Gila. Hampir tiga minggu aku dan Ellys berantem.
Terlepas dari mereka masih sering kirim pesan, tapi suasana yang tercipta mengindikasikan panas yang belum mereda. Nggak ada pesan guyon, lelucon garing, atau perghibahan para aktor Korea. Semua datar. Sedatar papan triplek tetangga.
Voni:
Lys, lagi apa?
Nggak kayak dulu, tepatnya sebelum mereka ribut. Sekarang nunggu balasan Ellys itu hampir sama dengan nunggu bintang jatuh. Nggak tau kapan dan di mana akan datang.
Masa sih aku beneran harus nunggu bintang jatuh? Buat permohonan gitu biar Ellys nggak kayak gini lagi?
Sebenarnya pernah terbersit di benak Voni buat ke rumah Ellys. Cuma dia takut. Gimana kalau mood Ellys masih nggak bagus? Yang ada bukannya hubungan mereka membaik, eh malah bisa makin buruk.
Soalnya bukan apa. Voni hapal betul karakter Ellys. Sekali dia ngamuk, dua tiga pulau terlampaui.
Ih! Pokoknya ngeri.
Jadi selagi menunggu sampai hubungan mereka benar-benar kembali baik, Voni harus bersabar hati menjawab rasa heran keluarganya. Kayak sore itu, Ciko yang lagi gitaran bertanya.
"Kangen juga sama suara cempreng Kak Ellys. Kenapa Kak Ellys nggak ada ke rumah, Kak?"
Voni menjawab seadanya. "Dia lagi sibuk."
"Sibuk?" tanya Jordi bergabung. "Perasaan dia sibuk terus."
"Kayaknya lagi dalam misi nimbun emas permata."
Ciko tergelak sementara Jordi mengerutkan dahi. Agak nggak yakin dengan jawaban Voni.
Voni memutar otak. Dia nggak mau topik Ellys berlarut-larut. Khawatir mereka curiga dan justru semua merembet ke mana-mana.
"Oh ya, Kak. Gimana kabar Kak Ugo? Udah sehat?"
Topik yang tepat. Ketika nama Ugo muncul, Jordi langsung berdecak dengan wajah kesal.
"Sudah. Dia sudah sembuh dari kapan hari. Cuma ya itu. Badannya masih rada anyep, eh dia udah keluyuran ke mana-mana. Ehm ..."
Jordi mendeham seraya mengusap kedua tangannya satu sama lain. Ekspresinya tampak berubah.
"... kayaknya dia dan Ellys sama sih. Lagi dalam misi nimbun emas permata."
Voni melirih pelan. "Ah."
Kalau Ugo sih Voni yakin memang gitu. Dia memang terkenal pekerja keras. Jagi nggak heran juga kalau dia mendadak sakit. Beda dengan Ellys.
"Cuma dibandingkan dengan Ugo, kayaknya Ellys ini kelewatan ya?"
Voni yang sudah mulai lega karena nama Ellys tergeser Ugo sontak kaget. Lagi-lagi Jordi membawa nama sahabatnya itu.
"Sudah lewat sebulan dia nggak ada main ke rumah."
"Mau gimana lagi kalau memang sibuk, Kak?" tanya Voni berusaha menjaga ekspresi wajah. "Lagian Kakak ini ngebet banget sih suruh Ellys ke rumah."
Suara Voni naik satu oktaf. Ciko yang berencana untuk mulai memetik senar gitar, mengurungkan niat. Sekarang dia lebih tertarik dengan percakapan kedua kakaknya itu.
"Kenapa?"
Mata Voni menyipit. Nada bicaranya terkesan menuduh.
"Kenapa Kakak ngebet suruh Ellys ke rumah?"
"Eh?" kesiap Jordi. "Ya ... kan aneh aja sih lihat Ellys nggak ada ke rumah."
Voni nggak percaya. "Cuma itu alasannya?"
"T-terus apa?"
"Kakak ..."
Mata Voni kian menyipit.
"... pasti ..."
Jordi menarik diri ketika Voni mencondongkan tubuh ke arahnya.
"... lebih berharap punya adek kayak Ellys ya? Timbang aku?"
Jordi melongo sedetik. Cuping hidungnya berkedut dan dia mendorong dahi Voni dengan satu jari.
"Jangan lupa buat siapin makan malam."
Bangkit, Jordi mendelik sekali. Voni cuma cengar-cengir sambil mengusap dahi.
"Masak agak banyak. Kayaknya Ugo mau mampir malam ini."
Cengiran Voni berubah cembikan sekilas. Kali ini Jordi yang mengulum senyum seraya masuk, meninggalkan dua orang adiknya yang nggak butuh waktu lama untuk mulai nyanyi-nyanyi.
"Hati senang walaupun tak punya uang."
Ciko dan Voni saling pandang. Lalu mereka kompak berkata.
"Bohong!"
Tawa dan petikan senar gitar memeriahkan sore. Nggak lama, tapi cukup untuk memberikan aura positif bagi mereka. Modal yang bagus bagi Voni dan Ciko untuk berkutat di dapur setelahnya.
Tentu saja. Voni nggak mungkin membiarkan Ciko bisa berleha-leha sementara dia harus menyiapkan makan malam. Paling nggak, Ciko bisa disuruh-suruh buat bersihkan ikan atau cuci sayur.
Pastinya. Dengan lagu yang mengiringi.
"Begini nasib. Jadi si bungsu. Ke mana-mana, apa pun itu. Selalu ku disuruh-suruh."
*
Makan malam memang selalu menjadi momen menyenangkan. Setelah seharian bergelut dengan pekerjaan masing-masing, itu adalah kesempatan untuk saling melepas penat dan menjaga keakraban. Apalagi keluarga Voni memang cenderung menjadikan meja makan sebagai tempat bercengkerama.
Banyak hal yang bisa diceritakan. Nggak jarang mereka ketawa selagi menikmati makanan. Untuk itu Voni nggak melepaskan mata dari piring Giri demi berjaga-jaga bila sang ayah abai.
"Tulang, Pa. Masih ada tulang."
Giri yang kalau malam memang kebiasaan nggak menggunakan kacamata nyaris saja tersedak tulang halus kalau nggak ada Voni. Sang putri dengan telaten menyisihkan tulang-tulang halusnya sebelum membiarkan Giri untuk lanjut makan.
Nggak bermaksud berlebihan, tapi Giri pernah sampai dilarikan ke IGD gara-gara perkara tulang ikan tersangkut di tenggorokan. Seenggaknya dia menderita selama tiga hari sebelum akhirnya tulang itu membusuk. Benar-benar menyakitkan.
"Makasih anak Papa."
Voni kembali melanjutkan makan malam. Saat itu nggak sengaja matanya melihat pada Ugo. Dia terlihat sedikit mengurus dibandingkan dengan terakhir kedatangannya.
"Kak Ugo."
Suapan Ugo berhenti di tengah jalan. "Ya?"
"Tambah," jawab Voni seraya melirik lauk pauk yang terhidang. "Baru sembuh itu harus banyak makan. Kakak kelihatan kurus."
"Ah, iya. Makasih."
Jordi melirik. "Bukan makasih," katanya seraya menarik piring nila kuah pedas. "Yang benar itu diambil."
Ugo nggak bisa menolak. Jordi langsung menaruh seekor ikan nila di piringnya. Dia cuma bisa bengong seraya membayangkan bagaimana cara menghabiskan ikan itu seorang diri.
Jordi cuma menyeringai. Kayaknya dia mengerti isi pikiran Ugo.
"Cuma seekor."
Seandainya badan Ugo sebesar Jordi, mungkin dia melihat seekor ikan nila dengan pandangan 'cuma'. Masalahnya, dia bukan Jordi.
"Iya," kata Ugo penuh arti. "Cuma seekor."
Penekanan di kata 'cuma' itu membuat Voni tertawa. Pun kalau mau dipikir-pikir, hari ini memang lumayan menyenangkan untuknya. Dia lebih banyak semringah sehingga menarik rasa penasaran Ciko.
"Kayaknya hari ini Kak Voni lagi senang. Kenapa?"
"Lagi senang?" ulang Voni santai. "Perasaan biasa aja deh."
Ciko jelas nggak percaya. Terlebih ketika satu pemikiran melintas di benaknya. Sendok di tangannya pun naik dan menuding.
"Pasti karena bentar lagi awal bulan ya? Cie! Yang bentar lagi gajian. Jangan lupa ke yang suka bantu-bantu ini loh."
Voni refleks membela diri. "Bukan cuma Kakak yang gajian. Papa gajian. Kak Jordi gajian. Kak Ugo juga gajian."
Heboh. Soal gaji memang pasti selalu buat riuh. Apalagi bagi Voni awal bulan bukan cuma gaji yang ditunggu.
Voni sudah kepikiran soal uang yang dipinjam Anna. Menimbang sepanjang hari, kayaknya duit itu mau dipakai untuk membujuk Ellys.
Sabtu dan Minggu. Voni yang memang sengaja nggak ambil kelas di akhir pekan ingin memanfaatkannya buat liburan sama Ellys.
Sewa vila di Puncak gitu. Nggak apa-apa kalau harus menguras sedikit gajinya bulan depan. Toh Voni sudah ahli soal berhemat. Yang penting Ellys bisa tau niat tulusnya.
Bulan berganti. Hari yang Voni nanti semakin mendekat. Di tanggal gaji pada akhirnya masuk, dia benar-benar nyaris nggak bisa menahan diri.
Sabar, Ni, sabar.
Voni sengaja mengulur satu hari. Agak merasa nggak enak juga sih kalau dia bicara sama Anna pas di tanggal gajian.
"Na."
Saat itu keadaan ruang guru masih sepi. Voni yang tau kebiasaan datang Anna sengaja datang lebih awal. Tentunya biar dia bisa meminta uangnya dengan lebih leluasa. Kan nggak enak kalau nagih utang pas rame.
"Ya?"
Anna memutar kursi. Manik matanya tampak berkilat kaget ketika mendapati adalah Voni yang datang.
"Kenapa, Ni?"
Voni menarik kursi sebelah. Dia duduk dan bertanya seraya tersenyum.
"Duit kemaren ..."
Anna meneguk ludah. Tentu saja Voni mendatanginya perihal uang yang dia pinjam.
"... bisa aku minta semua kan? Sesuai janji kamu. Lima juta setengah."
Wajah Anna berubah. Perasaan Voni seketika berubah nggak enak. Apalagi karena kata pertama yang Anna ucapkan adalah.
"Maaf."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro