Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Delapan

"Beneran nggak papa kalo gue duluan?"

Cewek dengan tinggi 160 cm itu melepas pengait helm bogo hitam lalu menyerahkan pada cowok yang menatap dirinya dalam. "Nggak papa, gue bisa naik ojol nanti. Lo pulang duluan aja, sana," usirnya.

Hula menelusuri minimarket, memboyong beberapa snack dan minuman di lemari pendingin untuk stok beberapa hari ke depan. Membawa semua belanjaan ke kasir setelah dirasa cukup, Hula mengeluarkan gawai setelah menjatuhkan bokong pada kursi di luar minimarket.

"Anjir!" umpatnya. Sejak kapan hape gue mati? Hula mengeluarkan minuman kaleng pada kantung plastik sedikit tak sabar. Meneguknya setengah, dia membatin, Gimana gue bisa pulang? Jalan kaki? Ya, kali!

Sementara Hula masih memikirkan nasib, Byal menghampiri dengan Kawasaki-nya saat melihat Hula berada di sana. Akan tetapi, Byal memasuki minimarket dan membeli minuman kaleng dengan berpura-pura tak melihat Hula yang juga tak sedang melihat ke arahnya.

Keluar setelah berinteraksi dengan kasir, Byal menyapa Hula dengan raut terkejut yang dibuat-buat, menunjukkan seolah pertemuan mereka bukanlah disengaja. "Lo di sini?" tanyanya.

Pake nanya, lagi, batin Hula menjawab.

"Kok belum pulang?" Byal memandang langit yang ternyata tidak mendung. Dia hampir tak punya kesempatan untuk mengantar Hula dengan alibi hujan yang bisa saja turun.

Hula bangkit, membawa langkah menjauhi Byal seraya menjawab, "Ini mau pulang."

"Eh, Hula!"

Hula merotasikan bola mata dengan decakan setelahnya.

Byal menyalakan mesin sepeda motor lantas mengendarainya sepelan mungkin mengiringi langkah Hula. "Mau bareng?" tawarnya.

"Nggak." Hula menjawab sedetik setelahnya.

Byal tak menyerah, dia mendongak menatap langit yang sangat cerah. Tak ada mendung, panas pun jadi. Rupanya, ia bisa menarik alasan karenanya. "Panas, loh. Lo yakin mau jalan kaki sejauh enam ratus meter?"

Enam ra-ratus meter? Hula memelankan langkah kakinya. Anjir! Bisa pengkor kaki gue!

"Bareng aja, yuk. Toh, kita satu perumahan. Cuma beda kom-"

"Lo duluan aja. Gue bisa jalan kaki. Atau naik angkot."

"Gue temenin aja kalo-"

"Sendirian." Cewek yang menenteng kantung plastik cukup besar itu mengambil langkah panjang. Meninggalkan Byal yang terdiam di atas sepeda motornya.

"Anjir. Tau gini suruh si Parna nungguin aja, tadi."

Menengok ke belakang sesekali tanpa menghentikan langkah, Hula menggerutu karena angkot yang tak kunjung lewat. Dia tak tau saja, penantiannya akan sia-sia. Karena jalanan yang dilewatinya bukan termasuk jalur angkot.

Cewek itu menghentikan langkah sejenak. "Ini seriusan nggak ada angkot?" Kalau pun ada, Hula tak yakin bersedia menaikinya. Melanjutkan perjalanan lesu, Hula terperanjat saat Byal tiba-tiba ada di sampingnya.

"Ngapain?"

Byal memasukan kedua tangan pada saku celana. "Temenin lo."

Hula melirik belakang punggung cowok beralis tajam itu. "Motor lo, mana?"

"Gue simpen di parkiran minimarket."

Bodoh, Hula mengumpat. Dia meragukan cowok menjulang di sampingnya benar-benar Ketua OSIS di sekolahnya. Tak ingin peduli, Hula menggeleng pelan lalu melanjutkan petualangannya.

"Kantungnya mau gue bawain, nggak?"

Setelah melintasi jalanan yang tak terlalu ramai dengan kendaraan, mereka memasuki sebuah perkampungan. Hula setengah memeluk kantung palstiknya. "Nggak usah."

Cewek yang membiarkan rambut sebahunya terurai itu merutuki letak perumahan yang tak berada di tengah kota. Jika tak melalui jalan raya, dia harus melewati sebuah perkampungan. Sebenarnya ia cukup enggan, karena menurutnya daerah tersebut terlalu ramai penduduk.

Banyak dari mereka yang berkumpul di satu titik, lalu memperhatikan siapa pun yang lewat sampai punggungnya tak terlihat. Dia malas melewati mereka karena harus memasang wajah ramahnya. Jika tidak, dia akan dicap buruk oleh mereka.

Sebenarnya, Hula tak peduli. Hanya saja, yang lebih parah, mereka selalu membawa-bawa didikan orangtua. Hula tak mau Herma dianggap tak becus mendidik dirinya. Namun, sekuat apa pun Hula berusaha, raut mukanya selalu terlihat judes di mata siapa pun.

Hula tersadar dari lamunannya saat mendengar sebuah tawa. Melirik Byal yang nasih setia mengiringi langkahnya, Hula mengernyit bingung. Byal sedang menertawakan apa?

"Emang, ya ... lucu banget kalo dibayangin. Gue sampe nangis berhari-hari karena harus pisah sama lo."

Oh, flashback.

Hula tertawa garing. Lalu menggeleng pelan seraya membatin, Nggak jelas.

Setelah hampir lima belas menit berjalan, sampailah mereka pada gapura sebuah perumahan. Menyapa pak satpam yang sedang berjaga di pos, Hula bertanya saat Byal ikut belok di tikungan pertama. "Bukannya rumah lo di komplek A? Kok malah belok?"

"Gue mau anter lo sampe depan rumah."

Hula sempat menghentikan langkah sejenak, lalu kembali melangkah karena malas mendebat cowok tak jelas yang Hula tak mengerti jalan pikirannya.

"Lo nggak mau pulang?" Hula mengelap peluh yang menetes di pelipisnya. Membuang napas berat, ia memperhatikan Byal yang meniti rumahnya.

"Ternyata rumah lo nggak banyak berubah."

Hula bersandar pada pagar yang tak terlalu menjulang. Dia memandang Byal dengan tatapan malas. Tapi sepertinya, Byal menganggap raut wajah Hula saat ini, merupakan pemandangan biasa pada seorang Hula.

"Mama lo ada di rumah?" tanyanya-terlalu-antusias.

"Byal."

Dipanggil demikian, Byal menatap tepat di mata Hula. Untuk seperkian sekon, keduanya bertahan tanpa berniat mengalihkan perhatian. Dada Byal berdesir, sedang Hula sedikit salah tingkah karena ditatap sedemikian dalam.

"Lo nggak mau pulang?"

"H-hah? Oh." Byal berdeham canggung. Tangannya ia gunakan untuk menggaruk tengkuk yang sebetulnya tak gatal. Baru saja cowok itu hendak pamit, Herma berseru menghampiri keduanya.

"Hula bawa siapa? Kok nggak diajak ke dalam?"

Shit.

"Aduh ... maaf, ya, Byal ...." Bahana Herma mengisi tiap sudut ruang tamu. "Hula ini emang judes dari kecil. Galak, lagi," sambungnya.

Byal masih tak berhenti dengan tawa renyahnya. Sedangkan yang menjadi topik pembahasan, memasang wajah jutek seraya memakan snack yang baru dibelinya di minimarket.

"Kamu tau nggak, masa pas SD," ungkapnya.

Byal kembali menaruh atensi pada wanita baya yang menggendong bayi laki-laki seraya hilir mudik di ruangan yang tak terlalu luas.

"Tiap ada yang ganggu Hula, Hula selalu ngumpat, jingbokcuh." Herma terbahak-lagi.

"Jingbokcuh?" Byal mengernyit.

Herma menatap Hula yang memajukan bibir bawah sekilas, lalu menjawab, "Iyaaa. Anjing, goblok, cuih."

Herma dan Byal semakin tak bisa mengontrol tawa membahananya. Untuk sejenak, Hula merasa terhipnotis oleh visual Byal yang sedang tergelak.

"Setelah dapet pelototan dan ancaman pengurangan uang jajan sama papanya, baru, deh. Hula nggak berani lagi ngumpat begitu. Asal kamu tau, pemotongan uang jajan itu bak mimpi terburuk buat Hula."

Byal dan Herma masih berusaha meredakan tawa. Merasa kesal, Hula memberikan teguran saat merasa Herma sudah membongkar aib masa kecilnya. "Maaa, ih. Udaaah."

Herma menyerah. Dia pergi ke dapur untuk membawa camilan yang lain untuk Byal yang kini mengelap air di sudut matanya. Byal memperhatikan Hula yang tenggelam dengan snack-nya. Rambut sebahu itu sedikit menutupi pipi yang memerah menahan malu.

Merasa diperhatikan, Hula menatap Byal lalu bertanya sewot, "Apa liat-liat?!"

Byal sedikit tersentak, bibir yang semula terbuka kembali bungkam saat seorang pria paruh baya muncul dengan raut terkejut yang kentara.

Hilmi dengan wajah kakunya-seperti biasa.

***

Makasih udah mampir!

Tasikmalaya, 8 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro