Spekulatif
OSIS.
Organisasi yang biasanya bisa membuat siswa jadi eksis. Aku tidak bisa menapik hal itu. Karena rata-rata orang tersohor berasal dari organisasi itu. Mau itu anggota yang cuma masuk karena niat terkenal atau terpaksa karena kewajiban sebagai ketua kelas.
Sebab, ada beberapa tipe anggota OSIS.
Yang pertama, tipe yang kayanya jadi umum banget. Datang cuma pas ada acaranya doang. Alias untuk meraup keeksistensian di proposal atau acara besar. Kalau kumpul biasa, anggota kaya gini malasnya ampun-ampunan. Kakinya mendadak berat seperti membawa batu lima ton. Banter-banternya kumpul cuma sebulan sekali. Itu juga hanya nulis absen dan akhirnya langsung capcus buat nongki-nongki.
Terus ada tipe kedua. Datang kalau ada moodboosternya aja. Misalnya kalau ada doi datang, dia bakalan kelihatan rajin banget merhatiin. Padahal biasanya anggota tipe kaya gini paling malas buat datang. Datang pun bukan buat kumpul, tapi numpang tidur dan mimpi beberapa episode.
Ada lagi tipe yang ketiga. Tipe langka banget. Dan umumnya cuma ketua OSIS atau wakilnya saja yang punya predikat tipe ketiga ini. Anggota OSIS tipe ini rajinnya kebangetan. Proposal yang harusnya dikerjain sekretaris pun diselesaikan sendiri. Pulang paling sore di antara yang lain. Mau ada kumpul atau nggak, pasti mukanya nggak pernah absen dari ruang OSIS.
Tapi kalau aku sepertinya tidak masuk kemana pun. Kami bolos lagi di rapat OSIS kali ini. Pasalnya sekarang aku dan para sahabatku kecuali Andre sedang nangkring di depan lapangan. Duduk selonjoran sambil menikmati angin sore yang sejuk.
Meski Andre tadi sudah memaksa kami berlima, tapi akhirnya gagal juga. Satu lawan lima? Dari jumlahnya pun pasti Andre lagi yang akan mengalah.
Berbagai macam aktivitas kentara terlihat. Khususnya Iqbal yang sekarang asyik download video bokep. Sedangkan aku seperti terlihat memerhatikan anak-anak futsal menendang bola. Padahal pikiranku tidak sedang berada di tempatnya.
Sebab hatiku masih terasa tak tentram. Mengingat kejadian waktu istirahat tadi, mendadak hariku tak damai. Pasti Altra akan menagih alasanku. Tapi yang kutakutkan adalah kalau Altra sudah marah.
Aku tidak tahu persisnya kalau Altra marah akan seperti apa. Meski begitu, aku masih merasa was-was, kalau marahnya Altra akan lebih seram dari kelima sahabatku.
Apalagi mengetahui Altra dapat membentak, sudah cukup membuatku ingin gantung diri di lantai dua.
"Gue gabuuuutttt...!" erang Dicky sambil melemparkan punggungnya ke lantai.
"Balik aja sana!" saranku dan membuat Dicky menoleh dengan posisi tidurnya ke arahku.
"Yaudah yuk!"
"Nggak ah! Gue masih mau nunggu Andre."
Iqbal yang ada di sampingku sontak menoleh ketika mendengar jawabanku.
"Elo makin sini makin deket ya sama Andre."
Aku kembali memandang lapangan lagi. Aku tahu, semua sahabatku sudah mulai mengamatiku penasaran. Iqbal memang mulut ibu-ibu rempong. Keponya sudah tingkat akut.
"Elo gosip mulu, Bal."
"Ya kan gapapa kali, Al. Seenggaknya di antara kita berenam ada yang taken. Soalnya kalo gue liat, kita udah nggak pantes lagi disebut enam kacung."
Aku menoleh. "Terus apaan?"
"Enam joti. Alias jomblo sejati."
Gelak tawa mencuat dari ketiga sahabatku yang lain. Sedangkan aku hanya terkekeh geli mendengar celotehan Iqbal.
"Elo aja kali yang ngerasa gitu."
"Gue serius. Walaupaun elo kaya cewek pun, gue merasa ragu sama jenis kelamin lo."
"Heh! Gini-gini juga gue tulen ya!" semburku sengit pada Iqbal. Dan membuat cowok itu menyeringai.
"Mana gue liat!"
"Sialan!" umpatku sambil memukul kepalanya sekeras mungkin. Membuat cowok itu merintih kesakitan dan menimbulkan ringisan dari sahabatku.
"Sakit anjir!"
"Bodo!"
Iqbal masih masam saat kembali pada ponselnya. Sesekali cowok itu mengusap kepalanya yang kupikir terasa ngilu. Siapa suruh membuatku emosi.
"Btw si Malik ke mana?" tanyaku setelah tidak merasakan aura Malik yang biasanya ajep-ajep karena dengerin lagu.
"Dia balik duluan," jawab Zaki sambil jarinya yang lihat scrolling timeline IGnya.
"Ke mana? Rumahnya udah damai?"
"Dia ke rumah gue."
"Ngapain?" tanyaku menautkan kedua alisku.
Zaki memasukkan ponselnya ke saku dan melemaskan kedua bahunya. "Gak tahu. Dia sekarang hobi banget ke rumah gue kalo lagi ada masalah."
Jawaban Zaki mengundang rasa penasaran aku, Dicky, maupun Iqbal. Dicky yang tadi lagi posisi tiduran pun duduk kembali.
"Emang di rumah lo ada apaan? Mendadak buka psikiater gitu?"
Zaki mengendikkan bahunya. "Nggak tahu, di rumah gue cuma ada kak Zahra yang lagi libur kuliah."
Kami semua kecuali Zaki mengangguk. Tetapi seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam rentetan kalimat yang Zaki ucapkan. Dan Iqbal, manusia paling peka yang menanyakan keganjalan itu.
"Kak Zahra? Kakak lo yang sholehnya nyamain Oki Septiana Dewi itu?"
Iqbal memang terdengar berlebihan. Tapi kami semua tidak menapik lagi soal kakaknya Zaki. Usianya memang terpaut tiga tahun di antara kami. Meski begitu, Kak Zahra ramahnya kebangetan. Bahkan kami dianggap adik oleh dirinya. Bijaknya nggak bisa ditanya lagi. Omongannya adem banget. Cocok buat remaja macam kita-kita.
"Gue jadi curiga." Iqbal menerawang sambil mengusap dagunya. Seolah dia peramal yang mencoba memprediksi masa depan.
"Kayanya Malik bakaln jadi kakak ipar elo deh!"
"Sialan!" Zaki menimpuk Iqbal dengan batu kecil yang mudah ia raih. Dan Iqbal dengan mudah menghindar. Cowok itu bukannya diam, malah semakin menggebu untuk memanasi hati Zaki.
"Asli gue punya feeling gitu. Kan keren Ki punya kakak ipar dari sahabat lo sendiri."
"Bukannya gitu. Gue kasihan sama kak Zahra. Cewek sholeh macam kakak gue masa dapet cowok kaya Malik."
"Terus mau kaya gimana? Mau kaya gue gitu?"
Semuanya tertawa kecuali Zaki yang semakin cemberut. "Mending gue mati daripada punya kakak ipar kaya elo. Bisa-bisa kak Zahra jadi ketularan mesum, Bal."
"Ya gapapa kali. Kalo mesumnya sama suami sendiri." Iqbal semakin gencar menggoda Zaki. Cowok itu kayanya lagi gabut. Soalnya tiap dikerjai oleh Iqbal, Zaki malah ngamuk.
"Najis! Gue balik ah!" umpat Zaki. Cowok itu menggendong ranselnya lantas berdiri.
"Gue ikut deh!" timpal Dicky yang juga ikut berdiri.
"Gitu aja ngambek lo!" Iqbal pun mengikuti pergerakan mereka. Hingga tersisa aku yang masih duduk.
"Elo gak akan pulang?" tanya Dicky padaku.
"Nggak deh! Kalian duluan aja. Cepet-cepet pulang! Nanti Malik bisa iya-iya-in Kak Zahra tuh," celetukku dan mengundang tawa Iqbal maupun Dicky. Zaki mukanya semakin ditekuk. Cowok itu langsung pergi dengan kaki yang disentakkan. Seolah ingin memberitahu kalau cowok itu lagi ngambek.
Hingga aku ditinggal sendiri sekarang.
Sebenarnya aku merasa kesepian kalau ditinggal kaya gini. Tapi permasalahanku dan Altra tidak bisa dibiarkan mengendap lama. Sebagian dariku merasa bersyukur kalau sahabat-sahabatku pulang duluan. Jadi, aku tidak perlu memikirkan soal kabur dari mereka.
Hanya saja keberadaan Andre yang membuat posisiku terancam.
Bagaimana caranya aku menemui Altra kalau Andre ada di radiusku?
**
Kalau disuruh berbicara pada Pak Botak atau menelepon manusia laknat seperti Dimas, aku lebih memilih....
Dimaslah!
Karena bukan aku yang bakalan kena semprot, malah aku yang meneriaki Dimas. Meski enggak selamanya begitu. Yang terpenting aku masih punya keberanian untuk berbicara padanya.
Omong-omong soal Dimas, aku sekarang sedang menunggu jawaban telepon dari Dimas. Sudah hampir tiga kali telepon direject.
Sebagian memang salahku. Karena kuyakin, Dimas saat ini sedang ikut rapat OSIS.
Sebenarnya aku bisa saja ikut rapat hari ini. Sehingga memudahkanku agar bertemu Altra juga.
Cuma aku juga masih punya malu. Kalau tiba-tiba aku datang bersama hubungan kami yang sedang tidak baik, kupikir itu akan menjadi bumerang nantinya.
Aku menggigit kuku jariku. Berpikir keras kalau Dimas nggak bisa dimintai tolong, aku harus bagaimana. Sebab Dimas sepertinya masih punya dendam padaku. Apalagi ketika aku merendahkan harga dirinya sebagai lelaki dengan cara menonjoknya. Pasti Dimas tidak akan memaafkan dalam waktu dekat ini.
Hingga aku mendesah pasrah. Panggilan ketiga tidak juga diangkat. Sepertinya Dimas benar-benar marah padaku sekarang.
Aku masih memandang lapangan yang semakin sepi. Karena ekskul futsal yang mungkin sudah bubar.
Banyak pikiran yang terus berkecamuk dalam otakku sekarang. Belum lagi perasaanku juga terasa ada yang mengganjal.
Teka-teki soal dia belum terpecahkan. Dan sekarang semakin banyak kepingan puzzle yang harus kususun secara benar. Sehingga membentuk satu kisah yang kuingin tahu kebenarannya.
Soal rencana Andre yang membawa namaku. Soal Altra yang mendadak meneriakiku. Soal hubungan orangtuaku yang entah harus berakhir seperti apa. Soal keberadaan dia juga.
Bukan berarti aku masih mengharapkan dia. Seluruh perasaanku benar-benar telah tertuju pada sosok pacarku. Namun, bukankah bekas orang yang kita cintai pasti memiliki tempat tersendiri di hati kita? Meski hati kita sudah ada sosok yang benar-benar kita cintai.
Jujur saja, aku punya firasat soal dia. Entah itu buruk ataukah tidak. Sehingga otakku tak berhenti menanyakan soal dia.
Aku ingin meminta satu kepastian. Kepastian yang membuat perasaanku bisa utuh kembali. Dan sepenuhnya aku bisa menjalankan masa sekarang tanpa ada derita masa lalu yang mengikuti.
Lamunanku terbuyarkan ketika aku merasakan ponselku bergetar di saku seragam. Aku merogohnya dan lekas memandang nama yang tertera.
Manusia laknat.
Ya. Dimas meneleponku. Tak membuang banyak waktu, aku kemudian menjawab teleponnya.
"Ha-"
"Ini siapa?"
Aku menjauhkan ponselku sejenak. Memandang tak percaya layar ponselku. Dimas emang nggak tahu malu dan nggak tahu diri.
Pertama, bukannya menyapa dulu, dia malah langsung to the point. Bagaimana kalau yang meneleponnya itu pak Presiden? Apa Dimas akan melakukan hal yang sama? Dan kedua, apa Dimas nggak menyimpan nomorku? Benar-benar manusia yang nggak tahu diri.
Lantas aku mendekatkan kembali ponselku.
"Ini gue! Simpen makanya!"
"Kak Alia? Saya sibuk. Kalo enggak penting, saya mau tutup teleponnya."
"Nanti!"
"Apa?"
"Gue mau minta tolong."
**
Setelah lama bersitegang dengan Dimas ketika di telepon, akhirnya sampailah aku di sini sekarang. Berdiri di balik lorong menuju toilet cewek. Tempat janjian aku dan Altra. Bukan Altra sebenarnya sih! Tapi Dimas yang akan mengantarnya kemari.
Terlalu banyak drama memang. Terlalu terlihat melankolis. Mengingat sifatku yang bebal, mendadak harus bersikap romatis seperti ini. Sebagian dari dalam diriku pun sebenarnya jijik. Asli. Aku berani sumpah.
Meski begitu, aku harus terpaksa melakukan hal ini. Agar Altra tidak terlalu menghubungkan kejadian tadi pada hubungan kami. Melihat Altra tiba-tiba membentakku seperti tadi pagi, sukses membuatku hampir saja merasakan sakaratul maut. Apalagi karena kejadian aku tak menganggapnya. Sudah pasti amarah Altra akan lebih menyeramkan.
Makanya, selain aku berdiri seperti ini pun, aku terus saja berdoa. Agar Altra tak mendadak marah dan teriak seperti tadi.
Banter-banternya jika doaku ditolak, aku juga sedang mempersiapkan mental agar tetap kuat. Aneh memang. Padahal aku punya seribu jurus karate yang bisa saja membuat Altra mati di tempat. Hanya saja manusia yang sedang kuhadapi nanti adalah Altra. Sosok yang membuatku entah kenapa bisa tunduk.
Kalau saja dia bukan orang spesial, sudah kupastikan Altra takkan bernyawa sekarang.
"Dimas kenapa ngajak Altra ke sini?"
Sekonyong-konyong, suara khas itu masuk ke sel saraf pendengaranku. Membuatku menegang seketika. Seluruh verbal yang kusiapkan sewaktu tadi, musnah seketika. Hilang tak berbekas. Bagai balon yang sudah kutiup kuat, kini meletus dengan mudah.
Aku kemudian menarik napasku dalam. Menelan salivaku susah payah lantas menjilat bibirku yang terasa kering. Kemudian dengan segenap keberanianku yang kupikir tinggal nol persen ini, aku keluar dari balik tembok. Mengepalkan kuat tanganku dan berusaha kuat menatap lurus ke depan.
"A-Alia?"
Panggilan itu ke luar dengan penuh keraguan. Rasanya aku mati. Tapi nggak mungkin itu terjadi. Karena aku masih merasakan jantungku masih berdegup kencang.
"A-Altra."
Aku mendekati Altra pelan. Kedua tanganku saling meremas. Dan kini terasa basah.
"Gue duluan ya." Dimas yang sedari tadi bagai penonton, pergi meninggalkan kami berdua. Menciptakan atmosfir yang kini semakin kelabu. Entah apa yang dipikirkan ketua kelas itu. seenaknya dia meninggalkan kami dalam kesenyapan.
"A-Alia, ada apa?"
Aku menggigit bibir bawahku. Berpikir keras soal urutan kalimat yang akan kuujarkan pada Altra. Memilah kata yang cocok agar enak dan mau diterima oleh Altra.
"Gu-gue mau minta maaf. Elo jangan marah soal tadi."
Keheningan semakin kentara. Suara angin berembus saja lebih mendominasi suasana di antara kami. Aku menduduk takut. Menunggu ucapan Altra selanjutnya. Tapi beberapa detik berlalu, aku tetap tak mendengar satu patah kata pun.
"Altra gak marah."
Aku mendongak. Altra begitu dekat denganku. Padahal aku tak mendengar derap langkahnya.
Embusan napas Altra mengenai wajahku saking dekatnya. Aku takut Altra tiba-tiba punya pendengaran supersonik. Aku takut dia tuli saja. Sebab saking kerasnya jantungku berdetak.
"E-elo gak marah? Tapi gue..."
"Justru Altra marah kalo Alia nggak minta maaf kaya sekarang."
Altra menyunggingkan senyumannya. Membuat hatiku terasa sejuk. Mau tak mau aku pun ikut tersenyum juga. Kemudian, Altra menarik kedua tanganku.
"Pulang bareng?"
Aku mengangguk bahagia. Seluruh spekulasi burukku, benar-benar tak ada yang terjadi. Semuanya berjalan indah di luar ekspetasiku. Aku tidak mengerti. Tapi yang kutahu sekarang, pacarku adalah seorang pemaaf.
Hanya saja, aku merasakan satu hal yang akan terjadi. Melihat senyum Altra tadi, seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Aku tidak tahu. Entah itu buruk ataukah tidak. Namun kuharap, bencana jangan terjadi. Sudah cukup sikap Andre yang menjadi misterius hari ini.
**
Tbc tralala~
** Udah bisa nebak Altra itu siapa? Dan dia itu siapa? Atau rencana Andre?
Maunya bikin penasaran. Tapi ya kalo nggak juga, gapapa.
Btw, bentar lagi mau tamat yeay! Tinggal klimaks-selesai!
#Gampang banget tuh nulis:(#
Padahal penuh derita bikin penyelesaian itu.
Baiklah~ See u next update deh!😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro