Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sensitif

Dangdut.

Pasti langsung ingat Malik. Cowok yang suka asyik sama earphonenya emang nggak bisa dipisahan dari kata itu.

Dan kupikir, hobi seseorang mudah menyerang seperti virus ebola.

Hari ini. Kantin masih memiliki tampilan sama. Tapi suasananya beda.

Alunan lagu dengan irama menghentakkan meramaikan tempat ini. Ritme yang membius orang-orang bergoyang, berhasil membuatku berdiri. Mengikuti Malik yang sudah ada di atas sebuah kursi.

Beberapa jeda sejenak hingga akhirnya sebuah suara penyanyinya terdengar.

"Kau tebarkan pesona ke setiap wanita. Tanpa kau sadari kau sudah lanjut usia."

Aku bernyanyi ala pegoyang pantura yang sedang buming. Menyolek sesekali dagu Malik yang sudah menikmati lagu dangdut pagi ini. Dan tangan kananku memegang botol mineral yang sudah kosong; guna sebagai microfone.

Hari ini giliranku yang menggoyang kantin dan Malik sebagai om-om penyawer yang biasa ada di organ tunggal jalanan.

"ABG tua. Tingkahmu semakin gila. Tak peduli apa yang kurasa."

Aku semakin menggila. Rambutku sengaja kuacak-acak seperti jalang.

Kalian nggak percaya aku bisa berbuat seperti ini? Sungguh, aku pun tak pernah merasa seperti ini jika sedang sadar.

Namun, entah karena terlalu banyak bergaul dengan Malik, aku jadi suka lagi dangdut. Apapun liriknya, aku tak peduli. Yang penting goyang sampai pening.

Hahahah...

Ketika lantunan bunyi suling yang bersuara, beberapa orang mulai mengiringiku berjoged.

Aku memang tak menyukai seperti ini. Sungguh.

Tapi aku ingin sejenak melupakan beban yang selalu mengeroyoki otakku.

Aku tertawa kala wajah-wajah orang di kantin semakin tak terkontrol. Sebagian besar adalah lelaki. Sedangkan para perempuan tak ada yang berani berdiri. Mereka malah menatap geli atau bahkan secara terang-terangan menatapku jijik.

Inilah kenapa aku menjalankan hal memalukan seperti ini. Apa yang kulakukan sekarang adalah hal yang dibenci para perempuan di sekolahku. Karena sesuai prinsipku, aku membenci perempuan. Sekaligus aku menyukai apa yang mereka benci.

Sudah mengerti, 'kan?

Tak lama, lagu dangdutnya berhenti. Semua orang mendesah pasrah. Dan aku masih cekikikan melihat Malik yang cemberut karena ponselnya habis daya.

"Biasa aja kali muka lo," ejekku dan langsung duduk di samping Iqbal yang sedang berwifi ria. Ngapain lagi kalau bukan download video bokep?

Dan aku masih terengah-engah dengan peluh yang mulai muncul di dahiku.

"Elo makin gila, Al." Dicky menyindirku dengan wajah minim emosinya.

"Gue aja yang banci gak centil-centil amat kaya elo," aku Zaki dan membuatku berhasil melemparnya dengan kotak susu yang habis kuminum.

"Mirror dong, Ki!"

"Iya. Kaya elo gak centil aja." Malik ikut menimpali membuat Zaki memberenggut dengan mulutnya yang maju. Mukanya lucu abis. Kaya anak kecil yang habis diledeki oleh teman sepermainannya.

"Biar gue tebak." Tiba-tiba suara berat masuk ke pendengaranku."Gue ketinggalan konser Al lagi?"

"Bukan konser lagi. Elo gak akan percaya, Ndre." Malik menjawab dengan menggebu-gebu. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipisku.

Andre memang jarang sekali mampir ke kantin tepat waktu. Dia juga tak pernah lagi melihatku bernyanyi-nyanyi seperti tadi.

Entah sejak kapan, cowok itu selalu punya alasan untuk datang terakhir.

"Emang apa yang gue tinggalin?" Seperti biasa, Andre menyeruput minuman jus mangga Zaki. Tapi sekarang, tumben-tumbenan Zaki menyadarinya.

"Elo beli kek! Emang gue babeh elo!" Zaki menyerobot minuman miliknya sebelum Andre benar-benar menghabiskannya hingga tertinggal gelasnya saja.

"Pelit amat lo!"

"Bodo!" balas Zaki tak gentar.

"Jadi apa? Gimana? Si Al ngapain sekarang?" Andre terdengar begitu antusias. Tapi entah kenapa aku merasakan hal aneh dari nada suaranya. Tersirat menusuk dan ketus. Seolah ia ingin menyindirku lewat kata-katanya itu.

"Dia bener-bener kaya cewek cabe, Ndre! Pake kedip-kedip mata, acak-acakkin rambut. Pokoknya menggoda iman gue banget!" cecar Malik sepanjang kereta.

Aku tertawa kecil mengingat kembali perbuatanku hingga membuat kantin ramai tadi.

Aku memang seperti bukan diriku sebenarnya. Tapi lewat banyak bergerak seperti tadi, bebanku seolah berkurang sedikit.

Soal ibuku, soal Altra dan soal dia. Serta tidak lupa masalah Andre yang terang-terangan menunjukkan perhatiannya padaku.

"Elo ngelakuin itu, Al?" Kini Andre berpaling padaku. Seketika aku duduk tegak. Bibirku kaku. Pertanyaannya memang terdengar biasa. Tapi matanya seakan ingin memasungku.

"I-iya." Sial! Ucapanku saja jadi terbata-bata. "Emang kenapa?" Aku mengangkat daguku. Menutupi ketakutanku sewaktu melihat mata andre yang setajam kuku macan itu.

"Bisa bicara berdua?" Andre mengalihkan pembicaraan. Aku melirik sahabatku yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Malik sudah pergi mengambil power bank.

Suara Andre tadi memang tidak keras. Sehingga mungkin hanya aku saja yang dapat mendengar suaranya.

"Mau apa?"

"Gue rasa elo udah tahu." Andre kontan menarik tanganku. Dan membawaku ke luar kantin. Keempat sahabatku sama sekali tak ada yang bersuara. Hanya suara Iqbal yang meledekku yang masih bisa kutangkap lewat saraf pendengaranku.

"Kayanya ada yang cemburu!"

Aku mendengus. Sebagian dari ejekkan itu, membuat firasatku semakin tak tentram.

Genggaman Andre begitu keras di pergelangan tangan kananku.

Semua mata menyorot kami. Tepatnya Andre yang sedang menyeret tubuhku.

Apa Andre tak simpati sama sekali? Langkahnya panjang, cepat dan konstan. Aku harus berkali-kali menahan tubuhku yang hampir saja terpeleset.

Aku merasakan aura tak mengenakkan yang keluar dari tubuh jangkung itu. Membuat ritme jantungku sendiri tak kalah cepat. Rasa takut menggerayami tubuhku. Semoga tak ada apapun yang terjadi padaku setelah ini.

Ya semoga.

Tapi ternyata kata semoga itu hanya sebuah kalimat tak berguna.

Andre mendorong tubuhku pada sebuah tembok. Ia menghimpitku.

Kami sedang di bawah tangga. Tangga yang menghubungkan lantai dua dengan rooftop. Jarang sekali murid sekolah ini mampir ke lokasi kami sekarang. Jadi pantas saja Andre berani mengikis jarak antara dia dan aku.

"Elo mikir gak sama apa yang elo lakuin tadi?"

Tubuhku terpenjara oleh dua lengan Andre. Napas Andre yang menggebu menyapu wajahku. Ritme dadanya pun tak kalah cepat dengan yang kurasakan.

"Emang gue udah ngapain?" tanyaku penasaran. Meski sebenarnya aku sangat risi dengan kedekatan yang menurutku intim ini.

Aku harus berusaha tetap gentar. Aku tidak ingin bersikap seolah cewek yang rapuh. Membuat Andre semakin gencar mencari kesempatan akan kelemahanku.

"Elo goyang-goyang, nyanyi terus centil-centil kaya yang Malik bilang tadi masih gak dianggap apa-apa sama elo?"

"Iyalah. Gue 'kan gak sampe telanjang. Jadi menurut gue itu gak salah."

Andre mengatup mulutnya rapat. Tetapi matanya semakin mengilat oleh emosi. Wajahnya memerah. Urat sarafnya pun kentara sekali di pelipisnya.

Aku semakin takut. Andre sekarang begitu menyeramkan buatku.

"Elo tahu gak alesan gue datang terakhir ke kantin?" Napasku sedetik terhenti. Namun berlanjut dengan napas yang menderu. Karena jantungku semakin cepat dan konstan.
Aku menatap kedua mata hazel Andre. Cowok itu benar-benar terlihat tampan jika kupandangi lama-lama dan sedekat ini.

Pesona dan wibawa Andre begitu tercium hingga banyak yang mengidolakkan sosok andre. Tetapi kenapa? Kenapa cowok itu memiliki perasaan yang lebih dari sekadar sahabat padaku?

'Kan sesuai hukum alam; cowok baik dapat cewek yang baik. Nah, kalau ini malah sebaiknya.

Andre yang bijaksana bersanding dengan Alia yang beringasan. Benar-benar tidak ada kata cocok. Seperti langit dan bumi. Seperti air dan minyak.

Aku tetap tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Andre. Aku masih tenggelam dengan kedua mata andre yang menajam. Membuatku ingin semakin tenggelam ke dalamnya.

"Gue cemburu. Gue gak suka. Gue sejujurnya mau ikut bareng elo buat goyang gitu biar bisa jauh-jauhin elo dari cowok-cowok brengsek itu. Tapi gue terpaksa inget jabatan gue. Nama gue. Image gue di sini. Jadi, gue gak bisa ngelindungin elo. Gue diem, malah makin muak liat cowok-cowok brengsek itu ngedeketin elo. Akhirnya gue memilih untuk pergi dan nunggu elo selesai dengan tingkah elo."

Andre menghela napasnya. "Dan sekarang elo udah tahu perasaan gue. Jadi, gak ada alasan apapun lagi untuk nyembunyiin kenapa gue selalu datang ke kantin terakhir."

Aku kembali ke permukaan. Lama-lama terhanyut pada netra milik Andre, membersitkan rasa bersalah pada sudut batinku.

Sebelum aku beralibi, Andre mengucapkan kalimat yang kupikir sudah hilang dari otaknya.

"Gue cemburu karena gue suka sama elo, Al."

Lagi dan lagi.

Andre tak pernah bosan mengatakan hal tersebut. Tapi tak ada satu pun yang tersangkut ke dalam sanubariku. Bahkan membuat pipiku merona saja, itu tidak berhasil. Andre terlalu nyaman untuk dijadikan sahabat. Perlakuan manisnya pun sudah terlanjur kuanggap biasa. Seperti empat sahabatku lainnya.

Perlakukan Andre adalah salah satu dari sikap klise yang sahabat-sahabatku lakukan. Aku pun menganggap yang Andre lakukan hanya sebuah guyonan. Meski kutahu, semuanya tersurat keseriusan yang begitu mendalam.

Namun kembali lagi. Semuanya berawal dari sebuah kebiasaan.

"Gue 'kan-"

"Anggep gue sahabat?" timpal Andre. "Itu 'kan yang mau lo jawab?"

Suara Andre menerkam dadaku. Aku tak suka melihat Andre dingin seperti ini. Tidak ada mata ramah dan perhatian. Hanya kecewa dan kesal yang bisa kulihat dari sorot matanya.

"Gu-"

"KAK ALIA!" suara menggelegar menukik telingaku. Aku sontak menoleh. Dan mendapati seorang cowok yang begitu familier buatku.

Dalam satu kedip, cowok itu menarikku kasar hingga hampir membuatku terjungkal.

"Saya pikir Kakak bisa nempatin janji kakak!" aku melonjak kaget. Dimas berteriak padaku untuk kesekian kalinya. Tapi auranya tetap sama. Sama-sama mencekam buatku.

"Elo siapa?!" Andre mendorong bahu Dimas. Tetapi Dimas tak mempedulikannya. Cowok itu masih menatapku tajam.

"El-"

"Diem, Ndre." Aku menoleh pada Andre. Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Mataku berusaha menyampaikan kalau aku akan baik-baik saja saat ini. Hingga akhirnya Andre pun mundur beberapa langkah.

Aku beralih kembali pada cowok yang saat ini menatapku emosi.

"Elo mau apa, Dim?"

"Mana janji Kakak yang katanya mau jagain Altra?!" Aku memelotot. Ketika nama Altra tersebut, seketika perasaanku terasa tercubit. Mata Andre pun tak kalah terkejutnya denganku.

"Maksud elo apa?"

"Kakak gak usah pura-pura bego!"

"Heh! Gue tahu gue bego. Tapi untuk masalah Altra gue bener-bener gak tahu."

Dimas mencebik. Membuang mukanya sembarang. Dan akhirnya kembali melihatku. Tetapi kali ini matanya benar-benar setajam mata elang. Membuat bulu kudukku meremang seluruhnya.

"Altra sakit. Dan saya yakin itu semua karena Kakak 'kan yang gak jagain Altra?"

Aku melongo. Mulutku terbuka tak percaya. "Altra sakit?" cicitku.

Dimas mengangkat salah satu ujung bibirnya.
"Iya. Kenapa? Mau minta maaf? Telat! Altra gak sekolah hari ini. Dan sebagai janji Kakak, Kakak harus lakuin apa saja yang saya mau."

"Tunggu! Elo cuma ngerjain gue, 'kan? Elo cuma mau nyebak gue, 'kan? Iya, 'kan?" suaraku meninggi. Emosi sudah membuncah dadaku. Entah kenapa aku ingin menangis. Mendengar berita Altra sakit, dalam sedetik, berhasil membuatku merasa sangat bersalah.

"Buat apa saya bohong? Ibunya mengirim surat tadi pagi. Kalau Kakak gak percaya, Kakak bisa tanya temen kelas saya yang lain."

"Elo pasti nyebak gue, 'kan?!" tanyaku dengan pertanyaan yang sama. Aku mencoba menepis rasa bersalahku. Sekalipun aku tahu, semuanya terasa sia-sia.

Altra sakit karena aku.

"Gak ada gunanya juga untuk saya. Ini udah buktiin, kalo Kakak emang gak pernah ikhlas buat temenan sama Altra."

Aku benar-benar tak menyukai Dimas. Perasaan benciku pada adik kelas ini, semakin beranak-pinak. Mulutnya pedas. Membuatku ingin menjahitnya rapat dengan benang super kuat. Mencekiknya dengan keras, hingga cowok itu berhenti bernapas.

Bughhh

Aku meninju pelipis kanan Dimas dalam satu detik. Cowok itu memelototiku tajam. Ia memegangi pelipisnya yang mulai membiru. Dimas sedikit merintih tetapi matanya tak henti mengintimidasiku.

"Apa dengan ini cukup agar Kakak jauhin altra?"

"Elo siapa?" aku tak menggubris pertanyaan Dimas. "Apa elo Tuhan yang bisa tahu perasaan seseorang? Apa elo Tuhan yang tahu niat manusia?"

Dimas tak menjawab. Tubuhnya mematung. Namun rasa marah masih menyelimuti ekspresi wajahnya.

"Elo cuma manusia yang masih banyak kekurangan. Jangan asal ngehina diri gue, sedangkan elo masih belum pantes bisa disebut temen Altra. Dan...." Aku sengaja menjeda kalimatku. Dan sorot mata Dimas semakin menyeramkan. Pertanda dia tak suka dengan argumenku.

"Teman bukannya nunjukkin keburukan dunia. Tapi teman, justru berusaha menunjukkan keindahan dunia pada temannya."

Aku pergi dari hadapan Dimas. Aku tak peduli cowok itu mau menghujatku seperti apa lagi. Bahkan aku tak ingat ada Andre yang masih menyaksikan orasiku. Aku ingin menjenguk Altra. Aku ingin memastikan cowok itu baik-baik saja.
Sekalipun hari ini aku harus bolos pelajaran.

**

Aku memijit pangkal hidungku sesekali. Hari ini semesta tidak membiarkanku bernapas lega barang sedetik pun.

Baru mendapat semprotan dari Andre, aku harus dipaksa menahan emosiku untuk membunuh Dimas. Belum lagi berita Altra sakit. Seolah beban yang kutanggung sebelumnya, menjadi berjuta-juta kali lipat beratnya.

Lantas setelah ini, masalah apa lagi yang harus tanggung? Apa semesta masih ingin terus memberi cerita dramatis dalam hidupku? Apa semesta memang tidak ingin memberiku setitik bahagia?

Bahkan aku lupa bahagia dalam situasi seperti ini. Kebahagiaan yang kurasakan sama sekali tidak ada yang melekat di dalam sel ingatanku. Hanya ada rasa khawatir, lelah dan kemarahan yang semakin menjalar di dalam dadaku.

Selama perjalanan menuju rumah Altra, tak sedetik pun aku dapat tenang. Mulutku tak berhenti mengucapkan kata semoga dan baik-baik saja.

Keadaan Altra saat ini menjadi nomor satu buatku. Bahkan ketika aku pergi dari sekolah, aku hampir menabrak Andre yang menghalangi jalan mobilku.

Aku tahu Andre setelah ini akan menerkamku kembali. Tetapi tidak ada pilihan lain. Karena aku paling bertanggung jawab soal kesehatan Altra. Apapun yang terjadi padanya, akulah yang pantas disalahkan. Karena aku yang kemarin mengajaknya pergi.

Lampu merah yang jauh dari mobilku tak ada pertanda sedikit pun akan berganti menjadi hijau. Membuat ingatanku kembali melayang ketika aku mengantar Altra sampai ke rumahnya kemarin.

Hujan tak memberi tanda akan reda. Membuat kaca mobilku terus saja ditabrak oleh cairan liquid tiada hentinya. Jika saja aku bisa mengendalikan hujan, akan kubuat hujan ini berhenti selama aku di luar rumah.

Aku tak menyukainya. Aku terus memandang sinis pemandangan hujan yang selalu membuat amarahku tak terkendali.

Tetapi suara gemeletuk gigi membuatku tersadar dari emosiku. Aku menoleh ke asal suara. Hatiku terhenyak. Altra sedang menggigil dengan dirinya yang memeluk diri sendiri. Wajahnya begitu pias. Bahkan tubuhnya gemetaran hebat.

Aku cepat-cepat menepi. Altra menoleh ke arahku. Ketika akan bertanya, aku langsung mengambil jaketku di kursi belakang. Dan aku berikan pada Altra.

"Pake aja, Al."

"Ta-tapi nanti jaket Alia basah terus Alia juga gak pake jaket, nanti Alia sakit," jawab Altra meski bibirnya gemetaran.

"Gapapa. Gue gak mau lo sakit, Al. Ngomong-ngomong, hujanan kaya gini sih gue gak gampang sakit. Jadi, elo aja yang pake ya."

Altra tampak menimbang. Dirinya memandangku dan jaket hitamku bergiliran. Aku sudah tak tahan lagi. Aku takut kondisi Altra semakin parah.

"Kalo lo gak ambil, gue marah sama elo." Ketika aku hendak melemparkan kembali jaketku, buru-buru Altra menariknya. Dan memakaikannya secepat kilat. Hingga aku tertegun dibuatnya.

"Elo lucu banget sih, Al."

Aku spontan mengatakan itu. Kerusuhan Altra membuatku ingin tertawa. Sangat lucu dan benar-benar lucu. Seperti anak kecil yang ketakutan kalau mamahnya tidak memberi uang jajan.

Kemudian aku mengendarai mobilku kembali.

Suasana begitu hening. Aku penasaran, apa keadaan Altra masih tetap sama seperti tadi?
Aku berpaling ke arah Altra sejenak. Aku terkekeh geli seraya menatap kembali jalan.

Altra sedang menahan kantuk. Kepalanya beberapa kali terantuk jendela. Aku tertawa kecil kemudian tak lama aku teringat sesuatu.

"Al, jangan tidur dulu."

"Hah?" Altra gelagapan. Lalu dia akhirnya menengok ke arahku.

"Elo jangan tidur dulu," ucapku setelah beberapa saat tadi tertawa.

"Altra gak tidur."

"Jangan bohong. Bilang dulu alamat lo dimana. Kalo lo tiba-tiba tidur lagi, gue bingung mau nganter elo ke mana."

Altra mengangguk paham. Kemudian cowok itu memberitahuku alamat rumahnya. Dari ingatanku, alamat yang dikasih tahu Altra terdengar familier di telingaku. Bukan karena aku punya sanak saudara. Tetapi rumah Altra ada di lokasi yang strategis. Karena sering kulewati jika berangkat sekolah.

Setelah beberapa menit Altra menjelaskan alamat rumahnya, cowok itu tertidur dengan pulasnya. Aku tersenyum melihat wajah polos Altra ketika tertidur. Kacamatanya melorot dan mulutnya sedikit terbuka. Kepalanya bersender di jendela. Jaket yang dikenakannya begitu cocok Altra gunakan.

Beruntung saja aku tak suka warna-warna feminim. Jadi warna hitam jaketku, begitu pantas Altra kenakan.

Altra begitu tenang di alam tidurnya. Membuatku tentram dalam mengendarai mobil. Dan kupikir bermain dengan Altra tak buruk juga.

Sudah kukatakan, 'kan? Tapi biarkan aku tambahkan pujiannya.

Kupikir bermain dengan Altra akan menjadi candu baruku untuk kedepannya.

Suara klakson yang kuyakin berasal dari belakang mobilku, membuatku tersadar kembali. Aku cepat-cepat menyalakan mobilku karena lampu merah telah berganti menjadi hijau. Tinggal satu belokkan lagi, aku sampai ke rumah Altra.

Cuaca hari ini kurasa akan terus cerah. Melihat langit tak berawan, membuatku bersyukur. Karena hujan takkan turun. Apalagi sekarang masih bulan Agustus. Belum masuk ke dalam masa musim penghujan.

Kupikir kemarin hari sialku. Karena langit sepertinya sengaja membuatku teringat kembali tentang dia.

Kecepatan mobilku, aku sengaja pelankan. Rumah Altra sudah dapat kulihat dibalik kaca mobilku. Rumahnya masih jelas kuingat. Karena rumah Altra berbeda dari rumah lainnya.

Rumah Altra begitu sederhana. Pekarangannya pun tak seluas halaman rumahku. Sekitar dua meter dari pagar utama.

Rumahnya pun tak bertingkat. Catnya berwarna hijau muda dengan jendela besar serta kusen pintu yang berwarna cokelat. Cukup minimalis namun tak terkesan sempit.

Sejak aku ke rumah Altra, keyakinanku kalau Altra adalah dia semakin memudar. Menurut ingatanku, dia mempunyai mobil. Mobil merah yang membawanya pergi untuk terakhir kalinya.

Dan Altra tak mungkin mempunyai mobil semewah itu. Pekarangan rumahnya pun hanya bisa terisi satu motor. Sudah kupastikan Altra bukan hasil metamorfosis dari dia.

Kuparkirkan mobil putihku di depan pagar rumah Altra. Aku ke luar dan mataku sedikit menyipit karena langit begitu cerah hari ini. Aku memegang pagar besi yang tingginya hanya sedada dari tinggiku.

Leherku memanjang, mengamati rumah Altra yang ditutup rapat. Seoal-olah tak mengizinkan satu manusia pun untuk masuk.

Kemudian aku membuka pagar besi itu hingga menimbulkan suara engsel yang berdecit.

Lingkungan sekitar rumah Altra pun benar-benar sepi. Sama persis seperti kota mati. Walau ada beberapa kendaraan roda dua yang lewat.

Aku mengintip lewat jendela rumah Altra. Tidak ada ciri-ciri kehidupan di dalam sana. Benar-benar kosong.

Aku pun mencoba mengetuk pintu rumahnya.
"Altra!" terus-menerus aku memanggil namanya. Hingga beberapa lama kemudian aku mendengar sebuah suara.

"Sebentar!" Dan kuyakin suara itu milik manusia yang ingin kutemui hari ini.

Suara knop pintu diputar membuat perasaanku lega. Pintu di depanku itu terbuka pelan hingga menampilkan sosok jangkung dengan wajahnya yang begitu pucat pasi.

Altra di depanku tampak begitu kacau. Bak mayat hidup yang dipaksakan bergerak. Celana panjang serta jaket yang sudah lusuh menambah suasana kelam pada aura Altra saat ini.

Hidungnya merah serta bulir keringat berjejer di dahinya. Keadaan Altra sungguh mengenaskan.

"Alia?" Altra menautkan alisnya dibalik kacamata kebesarannya.

"Elo sakit?" Altra mengangguk lemah dan membuatku menghela napas pasrah.

"Kita ngobrol di dalem ya? Gue takut lo kenapa-kenapa kalo berdiri lama-lama." Altra mengangguk kembali seraya berjalan gontai masuk ke dalam rumahnya. Aku menyusul Altra di belakang dan pintu kubiarkan tertutup sedikit.

Altra mengantarku ke ruang tamu yang begitu sederhana.

Kursi rotan panjang dan kursi tunggal serta satu meja berbentuk persegi panjang. Itulah furniture sederhana yang dimiliki rumah Altra.

Aku duduk pun terdengar bunyi rotan yang bergesekkan. Begitu jauh dari kata mewah seperti rumahku.

Aku sapukan pandanganku ke seisi ruang tamu yang lebarnya lima kali lebih kecil dari ruang tamuku. Warna cat ruang tamu ini berpoleskan warna hijau muda. Terkesan sejuk jika aku sedikit lebih menikmatinya.

Tidak ada pajangan atau hiasan dinding. Semuanya terlihat polos. Kurasa hiasan satu-satunya hanya pot bunga plastik yang diletakkan di tengah meja.

Lantainya dipasang keramik putih tulang. Ada salah satu ruangan yang berada di serong kananku yang tertutup tirai. Entah ruang apa yang ada di dalam sana.

"Alia mau apa ke rumah Altra?"
Aku terpaksa memalingkan wajahku kembali ke arah Altra. Cowok itu duduk di kursi tunggal yang masih terbuat dari rotan.

Hatiku sedikit teriris dengan kondisi rumah Altra yang begitu sederhana. Sangat dan sangat berkebalikan dengan kondisi rumahku.

Terkadang aku tidak mensyukuri apa yang kumiliki saat ini. Terkadang aku memfoya-foyakan kekayaan ayah dan ibuku untuk sekadar kesenangan sementara. Terkadang aku hanya memikirkan bagaimana cara membuang uangku dibanding besarnya usaha orangtuaku untuk bekerja.

Ternyata, di balik kebahagiaanku soal materi, ada keluarga yang menjalani hidupnya begitu sederhana. Tepatnya berkebalikan seratus delapan puluh derajat dari kondisi hidupku.

"Orangtua lo kemana?" Lagi-lagi aku mengalihkan pembicaraanku. Aku sedang penasaran bagaimana kehidupan Altra berjalan. Selain mentalnya yang sakit, perekonomiannya pun jauh dari kata mewah.

Meski aku cukup yakin, keluarga Altra masih dapat dikatakan layak.

"Mamah Altra lagi jualan. Kalau ayah lagi kerja."

"Hmmm terus yang katanya sodara elo?"

"Oh Salma? Dia masih sekolah."
Aku terdiam sejenak. Antara mau menanyakannya atau aku urungkan saja. Tapi jika dipendam sendiri malah menjadi beban berat buatku. Jadi mungkin lebih baik kukatakan saja.

"Elo sakit karna hujanan kemarin ya?"

Altra sempat terperangah dengan pertanyaanku. Meski begitu, secepat itu juga Altra menetralkan kembali ekspresi wajahnya. Altra lantas menggeleng.

"Eng-enggak kok. Altra-"

"Elo gak bisa bohong, Al."

Aku cepat-cepat menimpali ucapan Altra. Seringnya aku melewati banyak waktu bersama Altra, membuatku banyak mengenal soal kepribadian Altra. Termasuk Altra yang tak bisa berbohong.

Kemudian Altra menunduk. Cowok itu meremas kedua lengannya di atas pangkuan.

"Altra gak mau Alia marah."

"Marah kenapa?" tanyaku lembut.

"Kalo Altra bilang Altra sakit karna hujanan, nanti Alia gak mau main lagi sama Altra."

Aku tersenyum. Melihat keluguan Altra dalam ucapannya. Merasakan ketulusan dari perkataannya. Mendengar ketakutan dari nada suaranya.

"Gue gak marah. Gue cuma nanya. Justru gue yang harus marah sama diri sendiri, karena buat lo kehujanan kemarin."

Altra mengangkat kepalanya. Kulihat matanya yang merah kini tampak berkaca-kaca. Satu tetes yang entah kenapa, meluncur di pipiku. Aku cepat-cepat menyekanya hingga tak berbekas.

Altra selalu biasa membuatku merasakan kepedihannya. Bahkan sempat membuatku menitikkan air mata seperti tadi.

Aku yang tidak mudah merasakan apa yang orang rasakan, kali semuanya berubah drastis. Dan hanya bersama Altra aku merasakan hal itu.

"Alia jangan marah sama Alia sendiri. Ini salah Altra yang gampang sakit. Kalo Altra kuat, Altra pasti sekarang bisa sekolah."

"Siapa sih yang bakalan tahu penyakit itu datang? Sekuat-kuatnya elo, kalo emang penyakitnya gak bisa dilawan lagi, tetep aja lo bakalan sakit. Jadi jangan nyalahin diri elo lagi ya?"

"Tapi Alia juga jangan marah sama Alia sendiri."

Aku memanggut. "Iya. Gue janji."

***

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro