Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rencana Andre

Aku baru turun dari audi putihku. Mengedarkan pandangan ke seluruh sudut dari radius mataku. Khususnya gerbang sekolah sebagai akses utama semua orang untuk masuk ke gedung sekolah. Padahal biasanya aku akan langsung masuk ke sekolah. Tanpa embel-embel memerhatikan orang-orang.

Jatuh cinta pada seseorang ternyata menimbulkan banyak kebiasaan baru. Contohnya ketika aku hendak ke luar dari mobil. Entah dorongan darimana aku mengamati penampilanku dulu dari spion. Serta setelah aku menginjak tanah, mataku dengan lihai menyorot beberapa orang. Mencari sosok yang membuatku semalaman nggak bisa tidur.

Aku tidak mengelak lagi. Justru aku nyaman dengan perasaan yang baru kurasakan ini. Jatuh cinta memang mempunyai efek yang luar biasa. Otak akan selalu diselimuti rasa bahagia. Otak akan selalu refleks membuat diri kita berusaha menjadi sosok yang terbaik.

Hingga akhirnya sudut mataku menangkap manusia yang sedari tadi kucari keberadaannya. Tanpa dikomando, kedua sudut bibirku terangkat. Bersamaan dengan kedua kakiku yang melangkah menuju gerbang utama.

Perasaan bahagia membuncah kala orang itu tersenyum lebar pada wanita paruh baya yang sedang duduk di maticnya itu. Membuatku lebih bersemangat dalam setiap langkah yang kuambil.

"Hei, Al," sapaku hangat dan membuat kedua manusia yang tadi awalnya saling tatap itu menoleh padaku.

Altra langsung menunduk dan mukanya memerah hingga telinga. Tetapi wanita di depan Altra itu menyunggingkan senyumannya padaku. Membuatku merasa senang karena keberadaanku diterima.

"Temennya Altra ya?" tanya wanita itu ramah.

"Iy—"

"Bukan!" potong Altra tiba-tiba. Kedua tangan Altra saling meremas. Aku serta wanita itu mengernyitkan dahi bingung.

"Terus siapa?"

"A-Alia pacarnya Altra."

Aku dibuat melongo atas pengakuan jujur Altra. Membuat kedua pipiku terasa menghangat. Semoga tidak sampai merah. Karena aku malu tiba-tiba diakui seperti itu.

Sebab, ini adalah pengalaman pertamaku mempunyai pacar. Dan sebuah pengakuan di depan satu orang pun, membuatku ingin segera kabur ke Negara Roma. Berharap tidak ada yang mengenalku.

"Ohh pacarnya Altra." Wanita itu tersenyum menyeringai di depanku. Membuat jantungku semakin menggila. Semoga tidak ada hujatan atau apapun yang bersifat negatif menyerangku.

"Tante baru tahu, anak tante laku juga," lanjut wanita itu membuatku semakin merasa menjadi manusia kurcaci. Kecil dan tak berdaya.

Aku tidak tahu. Hari seperti ini cepat terjadi. Bertemu calon mertua ah tidak, bukan. Maksudku bertemu orangtua dari pacar sendiri, merupakan hal yang tak pernah aku pikirkan sama sekali.

"Ohiya kenalin nama tante, Maria. Kamu Alia, 'kan?"

Aku mengangguk dan kembali menatap tante Maria.

Baik aku maupun Altra, tak ada yang berani berbicara. Entah apa yang dirasakan oleh Altra. Tetapi yang kurasakan benar-benar tidak karuan. Antara gugup dan bingung.

Aku belum sempat searching hal apa yang dilakulan ketika menemui calon mertua. Kalau tahu hal ini akan terjadi, mungkin aku akan les privat dulu sama Iqbal. Karena dia kan sudah mempersiapkan diri menjadi menantu idaman. Kuakui, pemikiran langka dan aneh Iqbal ternyata berguna untuk kondisi seperti ini.

"Kayanya tante ganggu kalian deh! Yaudah tante pergi dulu ya."

"O-oh enggak kok tante! Alia malah seneng bisa ketemu tante," jawabku kikuk. Tante Maria hanya merekahkan senyumannya padaku. Lantas beliau berujar, "Kapan-kapan main ke rumah Altra ya, Sayang. Tante mau banyak ngobrol sama kamu."

Tubuhku seketika mendadak kaku. Elusan di puncak kepalaku begitu mengejutkanku. Memang terasa nyaman, namun ada rindu yang tiba-tiba menelusup ke dalam hatiku.

Elusan seorang wanita memang terasa berbeda. Menimbulkan keinginanku semakin besar untuk memiliki ibu yang sayang padaku. Bukan ibu yang selalu menghardik keberadaanku. Seandainya aku bisa menukar semua harta yang kumiliki demi mendapat seorang ibu, aku rela mengorbankannya.

"Kamu kenapa sayang?" Elusan itu berhenti dan terganti oleh tatapan khawatir dari tante Maria. Aku sempat tertegun. Tatapan itulah yang jarang sekali atau bahkan tak pernah aku dapat dari ibuku sendiri. Sepersekian detik kemudian, aku menggeleng dan mengulas senyumku.

"Gapapa, Tante."

Tante Maria tampak tak percaya. Tapi entah karena merasa tidak enak, beliau menyunggingkan senyumannya kembali.

"Baiklah kalo gitu. Tante tinggal dulu ya. Dan kamu Altra." Tatapan tante Maria kembali menyorot Altra yang sekarang ketakutan. "Belajar yang bener. Jagain pacar kamu. Jangan dibikin repot."

Aku kira tante Maria akan memarahi Altra layaknya wanita yang melahirkanku. Tetapi ternyata hanya wejangan seorang ibu kepada anak tercintanya. Membuatku iri karena pemandangan di depanku ini.

Tak berselang lama, tante Maria pergi meninggalkan lokasi sekolah. Membuatku dan Altra berdua. Beberapa orang sempat memerhatikan kami yang masih di dekat gerbang sekolah.

Aku tidak peduli. Bersamanya aku dan Altra, menghilangkan seluruh pikiran burukku untuk membantai mereka satu per satu.

**

Aku sedang menatap sangar manusia terkutuk di depanku. Karena baru saja aku masuk kelas, manusia itu sudah menarik rambutku. Sudah kuduga sebenarnya. Cabe jenis Ayu tidak akan jauh-jauh untuk menjambak rambut.

"Ada masalah apa lagi hah?!" Aku mencoba menggertak Ayu. Seisi kelas otomatis senyap. Ayu dengan melipat tangannya tak kalah tajam dalam melihatku.

"Lo harusnya nyadar diri! Salah siapa bikin gue dihukum kemarin hah?!"

Aku mencebik, "Harusnya gue yang nyalahin! Bukannya elo yang keterlaluan bego karna gak tahu sumpah pemuda?!"

"Heh emang siapa yang ranking 3 dari bawah?!"

"Elo sendiri juga kan dibawah gue! Jadi jangan bawa-bawa ranking deh! Kaya yang elo udah pinter!" lawanku tak kalah gentar.

Muka Ayu sudah memerah. Bibirnya berkedut. Aku tahu dia sudah emosi. Sama halnya denganku yang berharap ada bom atom di tanganku dan segera meledakannya. Tapi beruntung niat buruk itu tak terjadi.

"Jaga ya tuh mulut!" Ayu kontan berjalan ke arahku. Sedetik kemudian, tangannya sudah menarik rambutku. Kepalaku seketika terasa perih. Dengan seluruh tenagaku, aku menampar pipinya. Hingga tangannya terlepas dengan mudah dari rambutku.

"Makanya jangan main jambak! Kaya banci aja lo!"

Ayu terlihat merintih. Beberapa orang sempat meringis karena mendengar suara kulit bertemu kulit yang cukup nyaring.

"Elo masih gak kapok setan!" Ayu semakin emosi. Sembari memegang pipi kanannya, Ayu tetap tak menyerah. Ia kembali mendekat ke arahku. Tetapi, suara berat khas menginterupsi niatnya. Dan mengurungkan kepalan tanganku yang sudah terkepal kuat.

"Gue bilang berhenti!"

Andre sudah berdiri di antara kami. Tapi tak bisa menghentikan tatapan tajam antara aku dan Ayu. Kami berdua masih diselimuti api emosi yang membara. Akal sehatku hampir saja mati.

"Diem lo, Ndre! Elo gak akan ngerti!" tukasku dan mendapat mata nyalang Andre yang membuatku sedikit tertegun.

"Gue emang gak ngerti. Tapi kelakukan kalian udah kaya anak kecil tau gak?!"

Sepertinya Ayu tak memedulikan ucapan Andre. Cewek itu kembali berjalan ke arahku dengan kedua tangan terkepal. Dan Andre sudah berdiri di depanku.

"Ngapain lo?"

"Minggir! Jangan mentang-mentang setan itu sahabat lo, elo harus belain dia terus! Harusnya elo adil dong, Ndre! Elo itu ketua OSIS!" Ayu berteriak kesetanan. Aku mengintip wajah Ayu yang benar-benar merah dari samping Andre.

"Gue di sini gak bela siapa-siapa. Gue cuma gak mau lo berbuat di luar akal sehat, Yu!" Ayu mengembuskan napas gusar. Cewek itu sepertinya tak punya alibi apapun lagi. Atau bisa jadi otaknya sekarang sedang menyusun strategis untuk menyelakaiku.

"Dan gue tanya. Sekarang masalah kalian apaan?"

Aku dan Ayu tak ada yang mengindahkan pertanyaan Andre. Seolah sudah janjian, aku dan Ayu saling berjalan bertolak belakang sambil mengumpat kasar.

"Bodo!"

"Udah gak mood!"

Begitulah aku dan Ayu kalau sudah bertengkar. Jika Andre ingin membahas permasalahan kami, aku maupun Ayu tak ada niatan untuk membahas.

Pertengkaran yang dibuat oleh kami pun sudah tidak terasa lagi kenikmatannya. Andre selalu bisa membuat mood kami hancur hanya karena kedatangannya.

Bukan tanpa alasan sebenarnya. Kalau kami menceritakan, Andre bisa saja memberi ceramah panjang lebar. Apalagi analogi-analoginya yang membuat aku pusing setengah mati.

Karena pernah suatu saat. Aku kehilangan penghapusku, dan aku mencurigai Ayu sebagai pelakunya. Permasalahan kecil itu pun menghasilkan pertengkaran hebat. Jam kosong yang harusnya diisi oleh tugas, malah jadi ramai karena pertengkaranku dengan Ayu. Sekaligus awal dari permusuhanku dan Ayu.

Ketika aku menjelaskan permasalahannya pada Andre, cowok itu bukannya menenangkan kami. Malah membuat kami tersudut. Belum lagi wejangan yang amat panjang lebar, bukannya menghasilkan kesimpulan malah membuat aku dan Ayu jadi bosan. Dan sejak hari itu aku dan Ayu memutuskan; akan pergi kalau Andre sudah ikut campur.

"Lo ada masalah apa lagi sama Ayu?" tanya Andre setelah kami duduk bersebelahan. Aku baru ingat tumben-tumbenan kacung yang lain nggak ikut nimbrung.

"Eh yang lain pada ke mana?"

Andre mendelikkan matanya, "Kebiasaan ngalihin pembicaraan lo!"

"Ish. Gue serius, Ndre."

"Lagi pada di kantin. Si Malik kebiasaan kabur kalo lagi ngamuk."

"Dia kenapa lagi emang?"

"Ortunya mecahin guci. Ya lo ngerti sendiri, 'kan?"

Aku mengangguk paham.

Kami berlima sudah tahu watak Malik. Dia bisa jadi melakukan hal yang diharamkan sebagai pelajar. Misalnya merokok, narkoba atau minum minuman keras. Sebab, keluarga Malik yang paling rumit di antara kami. Walaupun kami biang dari keribuatan, tapi untuk masalah melakukan hal seperti itu, sudah menjadi hal dilarang.

Apalagi untuk Andre. Cowok itu harus mempunyai citra yang baik di depan umum. Dan Malik yang paling rawan untuk terjerumus ke dalam dunia itu. Sehingga mungkin keempat sahabatku yang lain, sedang mengawasinya saat ini.

"Jadi, masalah pagi tadi itu kenapa?"

Aku mengendikkan bahuku lantas melempar punggungku ke sandaran kursi. "Biasalah. Elo gak usah tahu."

Andre tak lagi menyahut. Cowok itu sepertinya mengerti kalau moodku sudah hancur.

Mau dirayu seperti apapun aku takkan mungkin menceritakannya. Mendapat sarapan pagi dalam bentuk ceramah Andre sudah seperti kiamat kecil buatku. Karena membuatku ingin segera tewas di tempat.

"Ngomong-ngomong kemarin lo ke mana?"

Tubuhku spontan menegang. Jantungku seketika berdetak lebih cepat. Tahu darimana kalau aku sedang tidak di rumah kemarin?

"Ada. Emang lo kemarin ke rumah?" Aku berusaha sesantai mungkin dalam menjawab. Meski lidahku terasa kelu karena berbohong.

"Iya gue ke rumah elo. Tapi kata bokap lo, lo lagi main sama cowok. Siapa emangnya?"

Aku sedikit lega karena Andre tak mengintimidasiku seperti dulu. Pertanyaannya tak terkesan memaksaku lagi seperti tempo hari. Namun entah kenapa, Andre seperti itu malah menimbulkan kecurigaan. Seperti ada satu hal yang Andre sembunyikan dariku.

"Tetangga baru sih! Minta diajakkin keliling gitu."

Bagus sekali alibimu, Al. Beruntung bukan Iqbal yang sedang kutipu. Karena Andre tidak akan mudah membaca kebohongan dari ritme kalimat yang kubuat.

"Oh gitu. Kirain sama siapa. Yaudah gue ke kursi gue dulu."

Aku diam-diam bernapas lega. Beruntung bel masuk sudah berbunyi. Sebagian dalam diriku bahagia namun sebagian lagi ada sedikit yang masih mengganjal.

Andre sebelumnya tak pernah semudah itu percaya padaku. Maksudku, bukan dia yang pintar membaca kebohongan. Tetapi Andre akan terus memberondongku dengan pertanyaan yang membuatku semakin tersudut. Dan kali ini, Andre dengan tenangnya pergi setelah mendengar jawabanku.

Andre benar-benar misterius sekarang.

**

Aku baru tahu kalau jatuh cinta semenyenangkan ini. Aku baru tahu juga kalau pacaran itu sebahagia ini. Dan aku baru tahu kalau backstreet itu semenegangkan saat ini.

Saat ini, aku selesai ke luar dari tempat persembunyian paling aman dari kelima sahabatku. Setelah jam istirahat, aku izin ke toilet. Membuat kelima sahabatku itu percaya-percaya saja kalau aku sudah kebelet.

Aku tidak berniat untuk meninggalkan sahabat-sahabatku. Sebab jika aku tiba-tiba menghilang lagi, pasti akan menimbulkan kecurigaan. Salahkan aku yang memang tidak mempunyai teman selain mereka. Jadi, hanya dengan ini aku bisa bertemu Altra.

Aku sepertinya gila sekarang. Alia yang sadis mendadak menjadi perempuan yang unyu-unyu. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya ini terjadi padaku. Sebut saja aku perempuan munafik. Karena menjilat ludah sendiri. Yang katanya tidak akan mencintai dua kali, tetapi nyatanya sekarang aku jatuh cinta pada cowok idiot yang cerdas itu.

"Udah lama?" tanyaku dan membuat Altra menggeleng.

Tempat pacaran kami emang nggak elit banget. Kami sedang berada di dekat tempat Altra menembakku tempo hari. Yaitu di toilet yang mendapat anugrah sebagai tempat terbau di sekolahku.

Aku terpaksa mengajaknya ke sini. Lantaran menurutku, tidak ada lagi tempat aman. Aku masih punya otak untuk tidak mengumbar hubungan kami di depan umum.

"Alia nggak laper? Kenapa kita nggak ke kantin aja?"

"Hmm... nanti orang-orang ngomongin kita, Al."

"Kenapa? Kita kan udah pacaran. Dimas juga suka pacaran sama Lina di depan sekolah. Orang-orang juga biasa aja kok!"

"Iya. Justru nanti orang-orang tau kalo kita—"

BUGH!

Ucapanku kontan berhenti. Suara pintu yang dipukul dengan keras membuatku ketakutan seketika. Bagaimana kalau ada orang yang melihat aku dan Altra dalam posisi berdua seperti ini?

"DIEM LO CUPU!"

Aku mendengar suara yang menggelegar tak jauh dari tempatku. Bagian kecil dari hatiku sedikit lega.

Kukira yang menciptakan suara tadi adalah orang-orang yang membully para cupu di sekolah. Kalau sudah begini, saatnya aku beraksi.

Aku berbalik meninggalkan Altra yang kupikir sedang gemetaran. Tapi manusia yang saat ini sedang dalam keadaan lemah adalah prioritas utamaku.

Aku segera menuju gudang yang ada di depan toilet busuk itu. Beruntung baunya tak semenyengat biasanya. Mungkin Pak Agus juga sudah bosan karena diomeli bagian kesiswaan karena tidak juga membersihkan toilet laknat itu.

Dengan seluruh tenagaku, aku mendobrak pintu gudang. Dan tampak tiga orang di dalamnya dengan posisi berbeda. Seorang cewek sedang memegang rambut cewek lain yang duduk. Dan satu lagi sedang memegang gunting.

Ini namanya sudah dalam tingkat pembullyan tingkat tinggi.

Amarahku seketika berkecamuk di dalam dadaku. Darahku sudah mulai naik ke ubun-ubun kepalaku. Aku mengepal kuat. Dan kedua cewek yang membully itu otomatis gemetaran. Keduanya menurunkan tangannya dengan wajah yang mulai pucat.

"KALIAN NGAPAIN?!"

Suaraku menggema seantero ruangan.

"Ki-kita..." Mereka berdua menunduk takut. Tidak ada keberanian sama sekali dalam melawanku.

Aku aneh, kalau membully yang lemah mereka nggak tahu diri. Giliran melawanku, untuk mendongak saja mereka sudah ketakutan setengah mampus. Padahal di dalam riwayat hidupku, aku tidak pernah membunuh orang.

"JAWAB!"

Mereka semakin ketakutan. Apalagi cewek cupu yang tadi kena bully saja airmukanya sudah memucat.

Kesabaranku telah habis. Aku hendak menampar keras kedua cewek di depanku ini. Tetapi suara berat yang terdengar begitu asing menelusup ke dalam gendang telingaku. Membuatku otomatis mengurungkan niat burukku.

Aku mendengus kasar. Siapa sih yang mengganggu acara main-mainku? Akan kupastikan, umurnya di dunia ini tidak akan panjang lagi.

Aku pun memutar haluan. Untuk mengetahui siapa lagi yang akan menjadi korbanku hari ini.

"Altra?" Aku menautkan kedua alisku. Aku mengedarkan pandanganku. Mencari seseorang yang tadi meneriaki namaku dengan lantang.

"Elo sendiri?" tanyaku tak percaya. Ekspresi wajah Altra sulit kuartikan. Rautnya baru kulihat. Ada kecewa, marah dan kesal yang tertahan. Apa yang meneriakiku tadi adalah Altra?

Tidak! Untuk marah saja Altra tak bisa. Bagaimana dia mau membentakku dengan cara kasar seperti tadi?

"Ikut Altra."

Aku menggeleng kuat. "Nggak! Gue masih ada urusan di sini. Kalo lo mau pergi, pergi aja."

Ketika aku hendak berbalik, suara lantang tadi menginterupsi kembali. Membuat tubuhku otomatis menegang. Dan sekarang aku yakin, yang teriak tadi adalah pacarku.

"Altra nggak mau Alia marah-marah kaya tadi." Altra dengan cepat menarik pergelanganku. Membawaku menjauh dari lokasi pembantaian tadi.

Selama Altra menarik tanganku, aku berusaha mencerna kejadian tadi.

Altra berteriak lantang? Itu sesuatu yang baru kutahu. Bahkan aku tak percaya. Altra yang lemah bisa membuatku takluk? Bagaimana bisa?

Aku terus saja meruntut peristiwa aneh tadi. Sebenarnya yang tadi itu Altra atau bukan?

Kenapa aku merasakan seseorang yang lain pada pribadi cowok itu?

"Altra kecewa."

Aku baru menyadari Altra sekarang sudah ada di depanku. Tangannya sudah tidak lagi menggengamku. Aku mendongak. Wajah Altra begitu dingin. Ketidaksukaannya begitu jelas tersirat dari raut wajahnya.

"Ma-maaf."

Aku merasa tertohok dengan wajah Altra seperti itu. Seolah belati yang berhasil menghunus jantungku. Bumi yang kupijak, terasa runtuh. Kekecewaan Altra membuatku ingin segera bunuh diri detik ini juga.

"Alia jangan marah kaya tadi."

Aku mengangguk patuh. Sekilas, aku mendengar bisikkan orang-orang. Dan aku mengendarkan pandanganku lewat ekor mataku. Akhirnya yang kutakutkan ternyata menjadi kenyataan.

Aku dan Altra sedang berada di samping lapangan utama. Akses utama yang sering dilewati orang-orang. Karena jalannya yang menuju kantin.

Tunggu!

Kantin? Berarti...

"Al?"

Suara yang hampir serempak itu berhasil menambah ketakutan dalam diriku. Tanganku semakin dingin seperti sebongkah es. Seolah aku sedang diserang oleh amukkan masa satu kecamatan.

Padahal aku belum membayangkan bencana yang akan datang padaku, sekarang bencana itu benar-benar terjadi. Suara kelima sahabatku berhasil bermetamorfosis menjadi suara malaikat maut.

Aku berbalik kaku. Berharap aku bisa berdalih selihai mungkin.

"Eh kalian!" Aku menyapa seramah mungkin. Padahal dalam hati, keberanianku tidak sampai sepuluh persen. Pandangan mereka hampir semuanya sama. Yaitu memandangku curiga. Lain halnya Andre yang sudah masam ketika melihat Altra di belakangku.

"Elo ngapain di sini?"

Zaki mendekat dan berhasil membuatku kalap. Sekeras mungkin aku sembunyikan kegugupanku. Berharap banyak agar keringat dingin tidak segera ke luar dari dahiku.

"Biasa." Aku menjawab sebiasa mungkin sambil berpikir keras tentang jawabanku selanjutnya.

"Biasa apaan?" Zaki melipat tangannya sambil melirik sesekali manusia yang ada di belakangku.

"Tadi ada yang ngebully Altra, yaudah gue selamatin kaya biasa."

Sepertinya dosaku sudah mulai banyak. Entah sudah berapa kali aku berbohong hari ini. Jangan salahkan aku yang sering berbohong. Tapi keadaan seperti inilah yang membuatku terlihat seperti manusia kejam.

"Terus kenapa masih di sini? Ayo ke kantin! Keburu bel!"

Zaki hendak menarik tanganku. Tetapi tertahan, karena satu tanganku yang lain digenggam oleh Altra.

Sial! Aku lupa! Altra pasti menagih jawabanku yang menipu tadi.

Altra yang lugu memang merugikan jika kondisi seperti ini. Ketika orang normal pikir jawabanku wajar, tetapi bagi Altra itu sudah kejahatan yang mesti dihakimi.

"Alia kenapa bohong?"

Pertanyaan Altra suskes membuatku semakin tegang. Zaki menautkan dahinya bingung. Aku benar-benar berharap ingin ditelan bumi sekarang. Posisiku sekarang sudah ada di ambang batas. Tidak ada jalan mau pilih kanan maupun kiri. Semuanya serba salah.

"Gue gak bohong." Aku menghempaskan genggaman Altra. Cowok itu menatapku tak percaya.

Aku terpaksa. Ini semua demi kebaikan hubunganku dan Altra. Serta demi keselamatan Altra ke depannya.

"Yuk, Ki!"

Kini giliranku yang menarik Zaki. Dan meninggalkan Altra yang pasti tidak menerima responsku.

Biarkan aku terlihat jahat. Tetapi bukannya terkadang kita harus terlihat jahat untuk menyelamatkan hidup seseorang?

**

Aku menghempaskan bokongku ke kursi kayu kantin. Sembari memesan makanan, aku melihat Malik yang diselubungi aura hitam. Cowok itu terus-terusan menekuk wajahnya. Orang-orang saja heran dengan kondisi Malik saat ini. Pasalnya si pembuat rusuh sekarang mendadak murung tak bertenaga.

Aku pun memberi kode lewat mataku pada sahabat-sahabatku. Tetapi, mereka malah menggeleng sambil mengembuskan napas pasrah. Sepertinya Malik sekarang benar-benar marah. Mereka saja tak ada yang berani bersuara.

Sebesar apa sih masalah orangtuanya?

Aku juga merupakan korban perceraian orangtua. Tapi aku nggak tahu kalau permasalahan orangtua Malik begitu pelik. Sampai-sampai Malik bisa marah seperti itu.

Sebab, masalah Malik dan aku jelas berbeda. Menurutku, Malik nggak terima orangtuanya berpisah, lantaran cowok pecinta dangdut itu sudah merasakan kasih sayang orangtuanya dari kecil. Pastilah sebagai anak, dia nggak akan suka dan nggak akan pernah terbiasa.

Sedangkan aku. Mendapat tatapan lembut dari seorang ibu saja aku nggak pernah. Jadi, jika orangtuaku bercerai pun, aku tidak semarah Malik. Meski sebenarnya dalam hati aku mengutuk hal seperti itu. Jelas, aku sedih karena hal itu akan terjadi padaku. Cepat atau lambat.

Karena anak mana sih yang ingin orangtuanya tak serumah lagi?

"Biasa aja muka lo! Nanti juga mereka baikkan lagi. Wajar buat orang dewasa masalah rumah tangga kaya gitu." Andre tiba-tiba saja memulai ceramahnya lagi.

Malik langsung menyorot Andre dengan tatapan laser. Mungkin jika benar-benar ada laser, Andre akan hancur lebur tak berbentuk lagi. Karena saking tajamnya Malik melihat Andre.

"Elo gak ngerti!" Suara Malik tinggi satu oktaf daripada Andre. "Ini bukan masalah sepele! Orangtua gue udah bilang kata-kata cerai! Elo jangan nganggap ini mudah! Jangan mentang-mentang orangtua lo damai, elo bisa ngerendahin masalah gue!"

Malik membalas dengan semangat yang menggebu-gebu. Aku ketakutan melihat Malik seperti itu. Biasanya Malik nggak mudah dalam menyampaikan amarahnya. Tetapi sekarang, untuk pertama kalinya Malik marah dengan emosi yang begitu dahsyat.

"Bukannya gitu," ucap Andre sabar. "Kalo orangtua lo tenang, mereka bisa selesain kok!"

"Selesai? Emang ini rencana lo soal Alia yang bisa dibantu sama kita-kita?! Enggak, Ndre! Bahkan gue sabagai anaknya nggak bisa ikut campur!"

Aku manatap bingung Malik. Namaku tersebut di dalam amarahnya. Dan menyangkut kata rencana.

Kenapa ada rahasia di balik keberadaanku? Dan Andre? Rencana apa yang cowok itu buat?

"Tunggu. Rencana apa?"

Aku menginterupsi atmosfir yang mulai memanas ini. Malik kembali duduk tenang dengan wajah yang masih kesal. Berlainan dari sahabatku yang lainnya. Wajah mereka mengeras seolah telah tertangkap basah karena berbuat kejahatan.

"Malik ngawur!" Andre membuang mukanya. Aku menatap kembali Malik. Cowok itu malah mendengus kesal seraya berdiri.

"Gue mau pergi."

"Tung—"

"Gue janji nggak akan ngelakuin hal aneh-aneh!" Malik dengan cepat menginterupsi ucapan kami. Cowok itu sudah pergi dari meja entah ke mana. Dan aku masih menunggu jawaban apa yang jelas dari ucapan ambigu Malik tadi.

"Gue pikir Malik nggak bohong soal tadi."

"Elo gak liat? Malik lagi emosi. Bisa aja dia gunain alasan itu sebagai kambing hitam, Al."

Andre beralibi membuat kerutan di dahiku. "Gue pikir orang yang emosi yang lebih jujur, Ndre."

"Yaudah sih kalo gak percaya."

Bukannya melawan argumentasiku, Andre malah pergi. Aku hendak menyusulnya, tetapi aku baru ingat aku sudah memesan nasi goreng. Sayang kalau misalnya malah diambil Zaki.

"Lo pada tahu soal rencana Andre?" Pertanyaanku mengarah pada Dicky, Zaki dan Iqbal yang masih tersisa di meja. Tetapi yang menjawab hanya Dicky. Cowok itu menggeleng naif. Seolah mulutnya hilang dari wajahnya. Sedangkan keberadaan Zaki dan Iqbal sudah tidak perlu ditanyakan lagi.

Mereka seperti mencari pelarian lain untuk menghindari pertanyaanku. Kalau sudah begini, terpaksa aku harus menanyakan pada sumbernya secara langsung.

Karena aku mempunyai firasat buruk kalau sudah menyangkut Andre. Cowok itu spesies makhluk yang nekad. Bisa saja Andre melakukan hal yang tidak-tidak. Sikapnya yang penuh pencitraan belum tentu menjanjikan sikap yang terpuji pula.

Terbukti ketika Andre meneriakiku dulu dan memaksaku untuk menerimanya. Pasti ada sisi lain tentang Andre yang tentunya bahaya untukku.

Apa sikapnya yang aneh tadi pagi pun merupakan topeng Andre?

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro