Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pertemuan

"Malam ini malam terakhir bagi kita... untuk mencurahkan, rasa rindu di dada...."

Gila!

Itu gelar yang tepat untuk manusia itu!

Aku sedang menatap geli manusia yang sudah membuat konser dadakan itu. Namanya Malik. Sayangnya orang yang kusebut gila itu, sahabatku.

Malik adalah salah satu spesies makhluk hidup yang sering bikin ramai kantin. Bernyanyi, berjoged walau gayanya kaya orang kejang, tapi nggak tahu kenapa, Malik selalu berhasil membius seluruh perhatian warga kantin.

Aku hanya terkekeh melihat Malik yang sudah mode 'dangdut'. Cowok itu mendengarkan -ahh tidak. Lebih tepatnya Malik ikut bernyanyi dengan suara pria dari lagu tersebut.

Kalau Malik sudah sinting, dia bakalan nggak tahu malu. Kantin dijadikan tempat konser tunggal untuk dirinya sendiri. Ada guru datang pun, Malik seolah tak ingin tahu. Cowok itu bakalan lupa bumi kalau sudah mendengar lagu dangdut. Dan seluruh manusia yang semeja denganku benar-benar tak ada ide sama sekali untuk menghentikan perbuatan laknat Malik itu.

Mendadak Malik menatapku sangar. "Kenapa sih lo gak ikut nyanyi, Li?"

Malik sepertinya sudah marah padaku. Menyadari kalau aku tak ikut bernyanyi bersamaan dengan suara wanita dalam lagu yang sengaja Malik lantunkan dari ponselnya.

"Bosen gue! Sama Iqbal kek, Dicky kek, atau siapapun. Jangan sama gue terus, Lik!"

Aku berpura-pura jengah dengan perbuatannya. Sebenarnya, aku sama sekali tak keberatan dengan permintaan Malik. Karena aku sebelas duabelas dengannya. Dangdut, joged dan duet dengan Malik, menjadi rutinitasku kalau sudah di kantin.

Makanya aku sebut Malik sebagai 'salah satu'. Karena makhluk 'salah dua'nya adalah aku sendiri.

Sama-sama gila memang!

"Mereka mana mau! Elo kan sama kaya gue." Malik menyunggingkan senyum jailnya. "Sama-sama gak punya malu!"

"Sial lo!" geramku sambil melempar bekas susu kotakku yang kosong ke arahnya.

"Btw, si Andre kemana?" tanya Malik yang entah bertanya pada siapa. Ia sudah turun dari kursinya dan membuat kantin lengang kembali karena lagu dangdutnya sudah hilang dari peredaran udara.

"Biasalah, bapak Ketos mah sibuk," jawabku akhirnya.

Sudah kupastikan, tidak akan ada yang mau menjawab pertanyaan Malik tadi. Lantaran seisi mejaku ini benar-benar seperti kota mati. Padahal ada tiga orang selain aku dan Malik yang mengisinya. Tapi setiap otak masing-masing makhluk hidup di dalamnya, tak pernah ada yang sama.

Izinkan aku beri tahu.

Di sampingku namanya Iqbal Aziz Salman. Namanya memang ke-Araban. Persis dengan wajahnya yang khas timur tengah. Kulit putih, hidung mancung dan alis tebal. Kayanya cetakan orangtua banget tuh anak.

Iqbal hobi baca buku. Bacaannya berat-berat. Apalagi untuk bacaan anak SMA yang masih belum mengerti kejamnya hidup. Judul bukunya tak pernah sama sekali kumengerti. Ada yang judulnya Risalah Cinta dan Hidayah Hati. Bukan sejenis buku novel romantis, tetapi isinya selalu memberi analogi-analogi yang membuat kepalaku pusing setengah mati.

Dia cowok sholeh. Paling rajin sholat Dhuha. Tapi hobinya nonton bokep. Acap kali, Iqbal selalu menawariku salah satu filmnya. See? Manusia tidak selamanya sempurna.

"Buku apa lagi, Bal?" Malik bertanya setelah menyeruput jus jeruknya. Cowok itu seperti kesusahan untuk mencerna serangkaian huruf yang tercetak besar di sampul buku milik Iqbal.

"Lo gak akan ngerti, Lik."

"Gak nonton bokep, Bal?" celetuk Zaki di sela kegiatan stalking artis luar negeri.

"Semuanya habis. Gue udah tonton semua," jawab Iqbal lugas. Padahal celotehan Zaki begitu vulgar. Tetapi lelaki dengan tingkat kesholehan paling tinggi di antara kami malah cuek bebek. Seolah apa yang dikatakan Zaki tak bermakna apa-apa.

Zaki hanya bergumam. Feed di instagramnya sudah menjadi poros bagi cowok gemulai itu.

Zaki Al Fahrezi namanya. Dia suka nonton drama Korea. Bukan cuma dramanya, tapi dance-dancenya juga ia masukkan ke dalam salah satu favorit dalam hidupnya. Dan sesekali cowok ganteng itu sering membuat video dance cover.

"Eh eh gue punya tebakkan!!!" Dicky tiba-tiba saja berseru. Disusul suara nyaring sendok yang diadukan dengan mangkok. Kami hanya meliriknya sekilas.

Aku yang baru saja memberi pesan pada Andre, kemudian menyimpan ponselku.

Dicky memang kelewat polos. Dia jayus kalau masalah ngasih guyonan. Bisa dilihat dari Iqbal, Zaki dan Malik yang meliriknya tak berminat.

"Ish... gue mau ngelucu juga." Dicky memberenggut. Bukan cuma tingkahnya yang polos. Tapi mukanya juga polos bak kaos yang belum disablon. Soalnya muka Dicky rada aneh. Mau marah, mau sedih, mau ngelucu, atau mungkin mau boker pun ekspresi wajahnya sedikit. Pokoknya muka Dicky itu muka paling minim emosi.

Kemudian Iqbal hanya tersenyum miring setelah membuka halaman bukunya.

"Langsung bilang aja, Ky." Iqbal menjawab dan Dicky langsung menegakkan tubuhnya kembali.

"Apa bedanya kacang Indonesia sama kacang Arab?"

Mendengar tebakkan kali ini seolah meyakinkan, aku, Malik, Zaki maupun Iqbal meninggalkan pekerjaan kami masing-masing.

Iqbal menutup bukunya. Zaki menyimpan ponselnya dan aku menggeser kursiku. Menyorot Dicky yang sudah duduk serius di kursinya.

"Apaan, Ky? Kita kagak tau." Aku menjawab untuk mewakili suara hati para sahabatku ini. Melihat dari wajah penasarannya pun, aku sudah mengetahuinya. Kalau mereka sama denganku.

Sama-sama speechless, ketika mendengar pertanyaan Dicky yang pasti akan berhasil kali ini.

"Kalo makan kacang Indonesia namanya dikacangin..." Dicky terdengar menggantung jawaban selanjutnya. Membuat tubuh kami merapat pada cowok itu. Ekspresi meminta jawaban, benar-benar tercetak jelas di wajah kami berempat.

Lalu Dicky manatap kami satu-satu. Membuat kami semakin penasaran.

Tetapi dengan polosnya, Dicky menggeleng. "Kalau kacang Arab, gue belum nemu jawabannya."

Asdfghjkl@#$%&-*"

Jawaban Dicky begitu berfaedah sekali. Membuat perasaan gendok dan kesal bergelayut manja di hatiku.

Mungkin sama halnya dengan perasaan para sahabatku yang lainnya. Kedua mata mereka sinis sambil sumpah serapah tak absen dari mulut mereka.

Padahal kami sudah tahu kebiasaan Dicky dan sifatnya. Tetapi bodohnya kami, yang selalu saja penasaran dengan tebak-tebakkan Dicky yang tak pernah selesai mencari jawabannya.

"Basi lo!"

"Sialan!"

"Gue males ah dengerin lo lagi."

Umpatan kesal dari mereka mewarnai meja ini. Aku hanya tersenyum geli melihat sikap mereka yang berbeda-beda.

Iqbal, Zaki maupun Malik, kembali menjalani aktivitas mereka. Walau perasaan untuk membunuh Dicky masih mendesak pemikiran-pemikiran kami.

Dicky benar-benar naif. Diumpat saja dia masih anteng dengan mie ayamnya. Tidak peduli dengan wajah kami yang sudah gahar.

Dicky Hermawan. Itu nama lengkapnya kalau mau tahu. Cowok yang jadi danton di Paskibra itu, memang unik. Dibalik suara tegas menggelegarnya, Dicky mempunya sisi 'cantik' yang membuat kami nyaman-nyaman saja dengannya.

Tapi tak adil jika hanya memperkenalkan sahabat-sahabatku ini saja. Namaku Alia Adhitama, tapi aku harap tak ada yang memanggil namaku lengkap seperti itu. Aku akan menyuruh secara tegas bagi orang-orang untuk menyebut namaku Al atau Li. Jika tidak, kuyakin nasib mereka akan berakhir di UKS.

Aku mempunyai pergaulan yang semuanya lelaki. Aku memang perempuan, tapi aku benci dengan apapun yang berbau perempuan. Kalau saja ayahku tak meminta mempertahankan rambut panjangku yang sepundak, sudah pasti aku akan memangkasnya hingga benar-benar pendek.

"Wait! Gue kayanya telat lagi nih!" Seseorang sedikit mengagetkanku dari lamunan burukku tentunya.

Andre dengan ganas, meminum jus mangga yang ada di depan Zaki. Membuat pemilik aslinya tentu saja tak sadar. Jelas, Zaki akan lupa dunia kalau sudah pegang instagram.

"Elo darimana aja, Ndre?" tanya Malik sambil melipat tangannya ke atas meja. Aku hanya menoleh ke arah Andre yang sekilas tersenyum padaku.

"Biasalah, orang sibuk." Aku mendengus geli mendengar kesombongan Andre yang sudah cukup biasa kami dengarkan.

"Basi lo!" Andre kontan menoleh mendengar umpatanku. Bukannya marah, ia malah mengulas senyumnya padaku.

"Gue abis rapat perekrutan anggota OSIS baru dan gue harap..." Andre menatap kami bergantian. "Elo semua harus ikut kali ini."

Aku mengernyit tak suka. "Gak ah! Gue males ikut begituan! Gue anti deh kumpul-kumpul gak bermutu yang bikin gue ngantuk."

Seisi meja kecuali Andre mengangguk, menyetujui argumenku barusan.

"Iya. Lagian gue sibuk banyak kerjaan," jawab Zaki sambil asyik scrolling timelinenya serta menyedot jusnya yang tinggal setengah.

"Nanti gue gak bisa nyanyi-nyanyi lagi, Ndre." Kalau itu pasti alasan Malik. Dan Iqbal mengendikkan bahunya. "Gue sih sebenernya gapapa. Asal ada wifi gratis di ruang OSIS. Biar gue bisa download sepuasnya."

Aku refleks menoyor kepala Iqbal sadis. "Pikiran lo bokep mulu, Bal. Padahal lo sholeh, tapi kalau dipikir-pikir lagi, elo juga paling bejat di antara kita-kita."

Bukannya menapik pendapatku, Iqbal mengangkat salah satu alis tebalnya sembari menatapku sengit. "Masalah buat lo?"

Aku mendengus, tetapi perdebatan di antara kami segera diinterupsi oleh dehaman Andre.

"Pokoknya gue gak mau tahu. Bulan depan kalian harus daftar. Biar nanti kita kemping bareng dan cari masalah bareng. Gimana?"

Tidak ada yang menjawab. Andre kembali meminum jus mangga Zaki hingga tandas.

Suara helaan napas pasrah meramaikan meja kami kembali. Kecuali Zaki tentunya.

Aku sudah sangat terbiasa dengan situasi penuh lelaki di sekitarku. Awalnya aku harus berusaha menahan gejolak terbawa perasaan ketika mereka berlima menggodaku. Mengujarkan kata-kata manis dan mengataiku dengan perkataan gombal.

Dan hampir semua perilaku mereka menerobos benteng yang selama ini kukunci rapat. Hingga akhirnya semua perbuatan mereka, sudah menjadi hal yang percuma. Karena aku sudah terbiasa dan menganggapnya menjadi guyonan semata.

Tapi Andre. Dia satu-satunya manusia yang masih memperlakukanku lembut layaknya seorang perempuan. Membuatku harus berjuang keras untuk membangun benteng yang tebal lagi kuat.

"LO PUNYA MATA GAK SIH CUPU?!"

Suara cempreng itu menukik telingaku. Seorang cewek yang sedang mendorong bahu kanan seorang cowok di sudut kantin tertangkap oleh indraku. Entah perasaan apa, aku merasa kesal. Cowok itu tertunduk tak berani melawan. Aku memang tak suka melihat seorang yang lemah tetapi masih saja tertindas. Berkebalikan denganku yang suka menindas orang-orang yang sederajat kuatnya denganku.

Aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Pemandangan yang kini menjadi pusat perhatian kantin itu terasa salah di mataku. Aku bergegas berdiri. Tidak peduli Andre yang menahan lenganku. Aku segera menepisnya dan melangkah panjang ke arah biang onar hari ini.

"Ngapain lo?!" Aku membalikkan tubuh cewek yang tadinya sedang berkacak pinggang dengan kasar. Matanya kontan terlihat ketakutan dan tertunduk.

"Ma-maaf, Al." Cewek itu langsung ngacir ketika melihat mataku tajam.

Dasar cewek! Beraninya melawan yang lemah.

Aku beralih pada cowok yang sedang menunduk dengan kedua tangan yang saling meremas.

"Gue di sini! Bukan di lantai!" Aku menyentaknya dan membuat cowok itu sedikit memekik karena kaget. Tapi kepalanya masih tertunduk. Seolah aku adalah malaikat maut yang sedang menghakimi perbuatannya.

"Elo punya mata, 'kan?!" Aku mendorong keras tubuh cowok itu hingga ke tembok. Dan otomatis wajahnya terangkat mengarah padaku. Semua orang kontan bungkam. Aku hanya mendengar bisik-bisik dari segelintir orang.

Wajahku sudah benar-benar dekat. Emosiku telah mencapai ubun-ubun. Amarahku memang mudah meledak jika melihat ketidakseimbangan di depan mataku. Salah satunya cowok berbingkai kacamata ini. Karena sejatinya cowok itu harus kuat dan tegas. Bukan cowok layu yang cuma bisa cari bantuan.

"Kenapa lo gak lawan cewek tadi?! Elo itu cowok, Cupu!" Mata cowok itu malah menatap balik ke dalam mataku. Seakan mencari sesuatu yang tak tahu apa itu. Mau tak mau, aku pun ikut terbuai oleh bola matanya.

Pandanganku terhenti ketika retinaku menangkap tahi lalat kecil di ujung mata kanannya. Hal itu tak sempat kulihat tadi. Karena tertutupi bingkai kacamatanya. Tapi dengan kacamata yang sekarang sudah melorot, membuat mataku bisa menangkap hal kecil itu.

Otakku langsung memutar kembali rekaman kejadian itu. Seakan de javu, wajah cowok itu bergantian dengan masa lalu yang terlalu menyakitkan untuk kuingat.

Waktu terasa berhenti berdetik ketika momen ini seolah tertukar dengan kenangan pahit dahulu.

Napasku seketika menjadi sesak. Oksigen seperti menghilang dari peredaran. Membuatku semakin terperosok ke dalam masa kelam itu.

Sebelum aku benar-benar tenggelam dalam ingatan itu, kesadaranku kembali. Aku mempunyai refleks yang bagus jika ada sesuatu yang membuatku terkejut.

Aku mundur beberapa langkah. Jantungku sudah berdetak tak konstan. Aku masih memandang cowok yang terlihat idiot itu dengan mata tak percaya.

Cowok di depanku ini terlalu berbeda dengan dia. Celananya saja sudah tersampir ke atas melewati batas wajarnya. Kacamata besar serta kancing yang habis terpasang hingga terlihat mencekik, memberi kesan yang sangat berbeda.

Bagai langit dan bumi.

Bagai air dan minyak.

Semuanya terlihat berbeda.

Tetapi aku yakin.

Melihat tahi lalat kecil itu. Sesuatu yang lain di dalam hatiku bersorak gembira.

Aku tidak mengerti. Kejadian ini terlalu ambigu buatku. Dia tak mungkin kembali dengan keadaan yang tak bisa kuruntut oleh alur logika.

Tak ingin terbuai oleh keambiguan itu, aku pun pergi. Meninggalkan dengusan kesal pada cowok idiot itu.

**

"Lagi ngelamunin apa, hm?"

Dengan seenaknya Andre menyandarkan kepalaku pada bahunya. Aku yang sedang tak bergairah kali ini menurutinya. Padahal biasanya, aku akan memukul perut Andre dengan seluruh jurus karateku. Tapi sekarang, aku sedang tidak ingin membuat perkara.

Kami berenam sedang berada di rumah Andre. Salah satu rutinitas kami yang entah sejak kapan dimulai. Dimana kami tidak akan pulang langsung ke rumah masing-masing. Melainkan 'kabur' untuk kumpul walau cuma cuap-cuap nggak jelas.

Kami berdua -aku dan Andre sedang menatap kehebohan Zaki dan Malik yang sedang asyik bermain PS.

Zaki dan Malik memang berbeda aliran. Zaki yang suka Korea dan Malik yang suka dangdutan. Tapi kalau keduanya sudah disodorin oleh games, secara tidak langsung, mereka menjadi duo rival.

"Gak ada apa-apa." Aku menikmati elusan tangan Andre di kepalaku.

"Terus kenapa dari tadi gue liat lo kaya yang kurang jatah hidup?"

"Gapapa."

Aku menjawab dengan jawaban yang sama. Aku pun tidak berniat mengganti jawabanku. Guyonan Andre tadi seperti buaian angin di telingaku.

Kejadian di kantin tadi membuat seluruh duniaku menjadi tak terarah. Ingin percaya, tapi realitas tak mendukung sama sekali.

"Kalo lo ada apa-apa, cerita sama gue. Buat apa gue jadi sahabat lo, kalo lo sedih kaya gini." Aku mengangguk samar.

Sebelum membalas jawaban Andre, suara erangan dan desahan mampir di gendang telingaku.

Siapa lagi yang hobinya menonton video terlaknat selain Iqbal? Suara-suara seperti itu sudah pasti akan mengundang ereksi bagi laki-laki. Dan aku sebagai perempuan satu-satunya di rumah Andre, tidak ingin menjadi korban pelecehan.

"Matiin gak suara jijik itu?!" Aku memelotot sangar ke arah Iqbal sambil melempar bantal yang sedari tadi di atas pangkuanku.

Aku menegakkan tubuhku kembali. Dan Iqbal akhirnya mematikkan suara mengerikkan itu. Sehingga ruang tamu luas milik Andre ini hanya terdengar suara gauman motor dari games PS yang dimainkan Malik dan Zaki.

"Iya! Gue juga mau sholat dulu!" lawan Iqbal sambil memainkan sesuatu di ponselnya. Aku menatapnya tak percaya.

"Elo itu manusia teraneh tau gak? Udah buat maksiat, terus tobat! Gitu aja terus sampe bego! Kapan pahala lo kumpul hah?!"

Iqbal memutar bola matanya. "Eh, pas gue nonton ini 'kan gue juga sambil istighfar!"

Sebelum mendengar geramanku selanjutnya, Iqbal sudah ngacir duluan. Aku mendengus sebal.

Entah kenapa hari ini aku benar-benar kesal. Apa mungkin karena kedatangan cowok cupu itu mengganggu moodku juga?

Hmm... entahlah. Bisa jadi karena jadwal menstruasiku saja yang sudah mulai dekat.

Membuatku semakin menyadari kalau aku memang seorang perempuan. Tak bisa dibantah dan tak bisa diubah.

**

Lagi.

Suara itu yang menyapaku lagi.

Bukan sapaan hangat penuh kerinduan yang masuk ke gendang telingaku. Tetapi suara jemari yang beradu dengan keyboard laptoplah yang menyambutku.

Ketika aku manaiki tangga rumahku, aku menengok ke asal suara.

Suara yang dianggap biasa oleh orang-orang, malah terdengar seperti kekang buatku. Seperti menarikku untuk tetap berada di tempat. Bukan tempat dimana aku berdiri. Melainkan tempat yang begitu jauh dan menciptakan jarak antara aku dan pencipta suara ini.

Kulanjutkan langkah kaki yang sempat berhenti tadi. Menggerakkan diri untuk menjangkau sebuah knop pintu.

Pantas saja suaranya terdengar, pintu itu terbuka sedikit. Menciptakan celah dan mengeluarkan sinar lampu dari dalam.

Kubuka pintu itu dan menyembulkan kepalaku ke dalam.

"Alia pulang, Pah."

Seketika suara yang membuatku tak nyaman sedari tadi menghilang.

Pria paruh baya yang kupanggil 'Pah' tadi, mendongakkan kepalanya. Mengulas senyumannya dan menularkannya padaku.

"Kamu udah makan, Sayang?"

Aku mengangguk dan membuka pintu yang menghalangiku sedari tadi lebih lebar. Berdiri tegak dengan tangan yang diremas di belakang.

Ayahku dibalik usianya yang belum genap kepala empat itu, sudah terlihat lebih tua. Rambutnya belum memutih. Tetapi kerutan di dahi serta bawah matanya mengisyaratkan adanya ribuan hal yang beliau pikirkan dengan keras.

Apalagi ayahku harus merawatku seorang diri. Berperan sebagai ayah sekaligus ibu yang baik untukku.

Gara-gara wanita itu. Kami harus bersikap seperti ini. Dari hangat menjadi dingin. Dari dekat menjadi jauh. Dari akrab manjadi asing.

Ayahku sosok hangat, tegas dan penuh kasih sayang. Tidak ada bentakkan. Tidak ada kata-kata kasar. Ayahku terlalu sempurna dalam mendidikku. Bahkan kuanggap sebagai sahabat terbaikku ketika aku tertimpa masalah.

Namun itu dulu.

Sejak kejadian itu, jarak tercipta. Menarik kami untuk menjauh. Mengekang hati kami untuk tak saling tertaut antara ayah dan anak.

Menciptakan penghalang transparan, yang sukar dihancurkan.

"Ada yang mau kamu ceritakan, Sayang?"

Ayahku tersenyum padaku. Tetapi malah membuat dadaku terasa sesak.

Ada jutaan kata yang ingin kukatakan.

Ada jutaan asa yang ingin kusampaikan.

Ada jutaan peluh yang ingin kukeluhkan.

Tetapi ranjaman itu, menarikku kembali. Rantai yang tak kasat mata itu lagi-lagi membungkamku. Memaksaku untuk tetap mengunci mulut dan berdiam diri.

Aku kemudian menggeleng sebagai jawaban.

"Alia ke kamar dulu, Pah."

Ada kilatan kekecewaan yang kutangkap sekilas dari kedua matanya di balik lensa positif itu.

Senyuman hangatnya memudar. Tergantikan senyum kaku yang tak berasal dari sanubari.

Ada remasan yang menikam jantungku. Tapi jika aku ubah hubungan ini dan kembali hangat seperti dulu, rasanya mustahil.

Mengingat kebenaran itu sampai ke indraku, membuatku menyadari. Jarak seperti ini lebih baik daripada saling berinteraksi layaknya keluarga bahagia.

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro