Mereka cemburu
Sepi.
Kata itu yang biasanya cocok untuk rumahku di pagi hari. Lantaran Bi Mirna membuat keributannya; memasak, ketika shubuh. Dan ayahku pun pergi di pagi buta.
Alias aku yang selalu bangun lebih lama dibandingkan mereka.
Nah, hari ini terasa berbeda. Bukan, bukan ayahku yg telat bangun. Apalagi Bi Mirna yang panik karena dapur kebakaran.
Begini maksudnya.
Seselesainya aku melakukan persiapan untuk ke sekolah, aku pun ke luar kamar.
Tetapi pagi ini membuatku merinding. Suara yang kuyakin berasal dari televisi, terdengar ketika aku menuruni tangga.
Apa mungkin dunia gaib sekarang sedang melakukan modernisasi?
Daripada perasaanku dirundung rasa penasaran yang ambigu, aku mempercepat langkahku.
Berharap, aku tidak akan mempunyai traumatis seperti Zaki.
Hingga akhirnya mataku menangkap sosok yang selama ini tak kuharapkan kehadirannya. Meski aku baru melihat dari belakang, sukses membuatku seketika naik darah.
Tetapi secepat mungkin aku tenangkan emosiku. Setelah kuingat, kalau manusia itu adalah manusia yang melahirkanku.
Hah! Untuk mengatakan hal itu saja lidahku terasa ngilu.
Aku mencoba tak mengindahkan kehadirannya. Melanjutkan langkah untuk ke pintu utama.
Bahkan nafsu sarapanku sudah menguap entah kemana. Tergantikan oleh rasa malas melihat manusia itu di depan mataku.
"Mana sopan santunmu pada ibumu, Alia?"
Aku mendengus dan terpaksa menghentikan langkahku. Aku berbalik dengan malas.
Tampak seorang wanita sedang bertumpang kaki dengan tabloid di atasnya.
"Kurasa aku tak punya ibu."
Bukannya marah, wanita itu malah tersenyum sinis, berpaling dari tabloidnya untuk menatapku.
"Aku harusnya tak menuruti ayahmu untuk mengurusmu jika akhirnya kamu jadi anak tak tahu diri, Alia."
Penjelasannya memang tak membentak. Wanita itu justru tersenyum mengatakannya. Tetapi nada suara dan makna di larik kalimatnya, aku tak suka. Sama sekali bukan emosi yang baik yang terkandung di dalamnya.
"Aku juga tidak berharap kamu mengurusku."
"Baguslah. Aku juga tak bisa melakukannya."
Aku memutar mataku kemudian memangku tangan. "Terus kenapa kamu pulang?" Bahkan panggilan 'ibu' tak sudi kuucapkan padanya.
Perbuatannya dahulu, tak bisa kumaafkan dengan mudah. Wanita itu bukannya meminta maaf dan menyesali perbuatannya, sekarang ia malah asyik-asyik bertumpang kaki. Bahkan dengan sarkastiknya mengataiku. Seolah-olah aku ini bukan anak kandungnya.
"Terserah. Ini rumahku. Kau hanya anak tak tahu malu yang menumpang di rumahku."
Sakit!
Ibu mana yang tega mencabik hati putrinya secara gamblang? Sungguh! Jika ada pun, pasti ibu itu adalah seorang wanita gila. Dan sayangnya wanita gila itu adalah wanita yang melahirkanku.
Emosiku sebenarnya sudah menggerayami sel saraf tubuhku. Banyak pikiran buruk untuk menghabisi wanita itu.
Entah dengan menggunakan seribu jurus karateku atau dengan mengambil pisau di dapur. Namun lagi-lagi aku harus ingat. Kalau saja tidak ada wanita itu, aku tidak akan hidup di dunia.
Sebelum aku benar-benar mewujudkan niat laknatku, aku kembali memutar haluan. Tidak peduli dia mau menghujatku seperti apa lagi. Lantas menepis semua rencana buruk untuk membunuh ibuku sendiri.
**
Enam kacung (6 anggota)
Al: Gue kantin ya bro!
Setelah mengirim sebuah pesan ke grup sahabatku, aku membuka pintu mobil lantas mengayunkan kaki dari tempat parkir.
Sesuai dengan pesan tersebut, aku tidak langsung ke kelas. Cacing di dalam perutku sudah unjuk rasa untuk minta jatah. Jadilah aku membelokkan diri ke arah kantin.
Kalau saja tidak ada wanita itu, sudah pasti aku akan langsung menyapa para kacung yang biasanya sudah nangkring di kelasku atau di kelas Zaki.
Kantin pagi ini tampak sepi. Mungkin rata-rata dari populasi sekolahku sedang berjemaah mengerjakan tugas.
Sebenarnya aku ada tugas dari Bu Sari. Tapi namanya juga murid 'teladan', pastilah aku akan mengerjakannya di papan tulis nanti.
Ada segelintir orang yang ada di area kantin. Mungkin nasib mereka sama sepertiku. Belum sempat mengisi perut dengan kebutuhan primer.
"Bu, nasi kuning satu porsi ya!"
Aku berteriak setelah duduk di salah satu kursi. Tempat favoritku serta lima kacung lainnya. Yaitu tepat berada di tengah.
Menurut kami, ah mungkin menurut aku dan Malik saja. Kalau di tengah itu tempat strategis bagi aku dan Malik untuk menyelenggarakan konser dadakan. Karena akan langsung menjadi pusat perhatian.
Sebenarnya tidak berada di tengah pun aku sudah menjadi pusat perhatian. Tapi namanya juga Malik, suka ngeri kalau marah.
"Tumben datang pagi."
Aku sedikit melonjak kaget karena pundakku ada yang menepuk. Belum sempat menengok, kelima sahabatku sudah datang dan seketika melingkari meja.
Iqbal seperti biasa membawa buku. Zaki yang biasa membawa ponsel. Malik dengan earphonenya. Serta Dicky dengan wajah polosnya.
Ah ya aku lupa satu lagi. Andre dengan wajah tertekuknya datang dengan malas.
Kupikir kalau tidak ikhlas mending jangan datang. Membuat moodku tambah ambruk saja.
"Napa muka lo, Ndre?" tanyaku enteng. Tak peduli kalau aku mendapat mata elang dari Andre.
"Harusnya elo udah tau, Al."
Suara Andre lebih tinggi satu oktaf daripada nada suaraku. Membuatku meringis mendengarkannya. Keempat sahabatku yang lainnya sontak menengadah -berpaling dari kesibukannya.
"Kalian kenapa?" tanya Dicky polos.
Andre mendengus sambil membuang muka pada arah sembarang. Aku menautkan alisku tak percaya. Itu ekspresi Andre yang baru kulihat.
Biasanya Andre bakalan kalem banget. Nggak pernah dia kesal sampai mencebikkan mulut seperti itu. Macam perempuan PMS saja.
Atmosfir kami diinterupsi terlebih dahulu oleh ibu kantin yang memberikan sepiring nasi kuning padaku.
Dan dengan lahap, aku langsung menyuapkannya ke dalam mulutku. Menunda terlebih dahulu perang dingin antara aku dan Andre.
"Elo belom sarapan, Al?" Aku melirik Iqbal sekilas lantas menggeleng seraya memasukkan nasi pada mulutku lagi.
"Elo biasanya 'kan makan di rumah?"
"Males."
"Males atau ada sesuatu di rumah elo?"
Sial! Iqbal memang paling peka di antara yang lain.
Cowok itu juga kadang tahu apa yang aku rasakan.
Mungkin kupikir itulah dampaknya dia membaca buku-buku seperti itu. Karena perasaan Iqbal terhadap lingkungan, semakin kuat.
"Gak ada. Gue kesiangan. Nanti kalo telat berabe."
"Elo 'kan biasanya anteng aja kalo telat. Malah jadi bulan-bulanan Bu Sugeng."
Iqbal memang tidak tahu tempat ketika mengintrogasiku. Semua mata di meja ini langsung menatap penasaran ke arahku. Nasi kuning yang tinggal setengahnya lagi ini sudah tampak tak nikmat.
Andre yang tadinya membuang muka sudah menatapku tajam. Seakan meminta jawaban yang jujur padaku.
Tapi maaf. Aku sedang tidak ingin bermellow-mellow ria hari ini. Justru aku pergi ke sekolah, untuk melepas beban yang terus mencekik otakku.
Hingga akhirnya satu penyelamat datang.
Aku melihat Altra baru datang dan duduk di ujung kantin sendirian. Aku pun bergegas berdiri. "Gue pergi dulu ya."
Andre, Iqbal, Zaki, Malik serta Dicky hendak mencegahku. Tetapi aku langsung melenggang pergi tanpa memberitahu tujuanku.
"Gue boleh duduk di sini?" Altra yang tadinya memperhatikan suasana kantin lantas mendongak. Matanya membulat tetapi kemudian Altra tersenyum dan mengangguk.
"Boleh."
Aku pun duduk di depan Altra.
Perasaan muakku yang nangkring di pagi hari sudah pergi. Entah kenapa melihat Altra tersenyum membuat perasaanku sedikit senang.
Senyum Altra dengan dia memang sama persis. Tetapi bedanya Altra tak memiliki lesung pipi.
"Elo sarapan di sini?"
"Iya. Mamah Altra kesiangan, jadi Altra gak sarapan di rumah."
"Terus kenapa gak sama Dimas?"
Tiba-tiba raut wajah Altra terlihat murung. "Dimas gak mau."
"Kenapa?"
Altra menggelengkan kepalanya lemas. "Gak tahu. Dari pagi Dimas gak ngomong sama Altra. Dimas aja duduknya pindah sama Ilham. Jadi Altra sendirian sekarang."
Sekilas aku merasakan apa yang Altra rasakan. Membuat hatiku seperti terpelintir ketika melihat wajah tak semangat Altra.
Sebenarnya apa yang dipikirin ketua kelas songong itu sih?! Apa dia nggak mikir kalau Altra sangat membutuhkan dia? Bagaimana kalau ada yang membully Altra lagi? Bagaimana caranya Altra meminta pertolongan kalau dia malah dijauhi?
Dimas gila! Bisa-bisanya dia meninggalkan seseorang serapuh Altra?
Harusnya tempo hari aku meninjunya hingga pingsan. Atau mungkin karena godamanku kemarin otak Dimas malah jadi bergeser dan kehilangan satu selnya?
Fool you, Al! Jangan berhiperbola kembali!
"Ada gue, Al. Elo jangan ngerasa sendiri. Selama Dimas gak mau ngomong, masih ada gue kok! 'Kan kita teman?"
Entah kenapa di akhir kalimat tadi aku senang ketika mengucapkannya. Karena membayangkan kalau intensitas bertemu dengan Altra akan meningkat.
Wait! Ada apa denganku? Ah ya mungkin itu hanya rasa simpatiku saja. Aku tidak mungkin 'kan meninggalkan Altra ketika satu-satunya orang yang dia percayai pergi.
"Tapi nanti Altra ngerepotin Alia."
"Enggak kok! Malah gue seneng bisa nemenin elo."
Seulas senyum kembali tercetak manis di wajah Altra. Cowok itu lebih pantas tersenyum daripada takut atau cemberut. Terlihat lebih... tampan.
"Altra seneng Alia mau jadi temen Altra. Kalau gak ada Alia, Altra bingung nanti ngomong sama siapa."
Aku mengangguk. "Iya. Gue juga seneng kok."
"Hmm ohya, Al..." lanjutku kemudian. Aku gugup untuk meminta hal ini. Tetapi melihat Altra tersenyum tadi, membuatku penasaran.
"Apa?"
"Elo bisa buka kacamata lo gak? Ya gue penasaran aja"
Tak menjawab, Altra langsung membuka kacamatanya. Kemudian menatapku.
"Gimana?"
Tubuhku mendadak kaku. Aku menelan ludah susah payah. Seolah-olah ada batu besar yang mengganjal tenggorokanku.
Wajah Altra begitu amat sangat atau paling tampan. Tidak! Wajahnya begitu mirip dengan dia. Belum lagi tahi lalat kecil itu begitu pas sekali di tempatnya.
"Alia?" Altra mendekatkan wajahnya padaku.
Aku gugup. Benar-benar bisu. Napasku terhenti. Seluruh oksigen seakan menjauhiku.
"A-apa?" Sialan! Mulutku tidak bisa dikompromi.
"Muka Alia kok merah?" Aku memelotot dan spontan menutup kedua pipiku.
Kenapa aku jadi mudah merona kalau melihat wajah Altra sedekat ini?
Kemudian kegugupanku diintrupsi oleh datangnya sepiring nasi goreng dari ibu kantin. Membuatku jadi bernapas lega karena Altra kembali ke tempat duduknya.
Cowok itu juga memakai kacamatanya kembali.
Tanpa pengetahuan siapapun aku menghembuskan napas lega. Oksigen kembali masuk ke dalam paru-paruku. Otakku kembali berfungsi seperti sedia kala.
Tetapi jantungku.
Jantungku masih berdebar dengan ritme yang begitu cepat. Berharap debarannya tidak sampai ke pendengaran Altra yang sedang melahap sarapannya.
Kenapa, Al? Kamu membuat keambiguanku semakin tak terarah? Kamu Altra atau dia?
**
Hari ini seperti biasa aku pergi ke kelas Altra. Sudah menjadi kebiasaanku setiap istirahat untuk ke kelasnya. Sudah dua minggu Dimas tak berbicara juga pada Altra. Membuatku harus menjadi penggantinya.
Bukannya aku tidak ingin meluruskan apa yang dipikirkan Dimas. Hanya saja emosiku selalu tak stabil setiap berpapasan dengan Dimas.
Kedekatanku dan Altra semakin kentara. Orang-orang yang sekelas dengan Altra pun sedikit demi sedikit tak ketakutan lagi melihatku. Semuanya karena Altra lagi.
Dengan lugunya Altra menasehatiku seperti ini, "Alia, jangan marah-marah lagi. Sekelas Altra pada takut semua. Kalau Alia senyum, nanti orang-orang seneng. Terus gak takut lagi deh sama Alia."
Aku yang tak bisa menolak Altra, jadilah aku seperti sekarang; menyapa dengan senyum tipisku.
Dan catat! Hanya untuk orang yang-orang sekelas dengan Altra. Sisanya aku masih sering membully para pembully.
"Kak Alia cari Altra ya?" Seorang cewek yang kuketahui namanya Rahma menyapaku ketika sampai di depan kelas Altra.
Cewek itu asalnya gemetaran kalau kutanyai soal Altra. Tetapi sejak Altra menyuruhku untuk tersenyum, cewek itu akrab denganku.
Aku pun mengangguk. Dan Rahma kembali masuk ke kelasnya. Posisi Rahma tergantikan oleh manusia tak tahu malu.
Dimas keluar dengan mata tak sukanya padaku. Aku pun tak kalah sengit memandangnya. Dimas mengalah dan pergi meninggalkan dengusan kesal padaku.
Lain kali kalau emosiku sedang stabil, aku akan ajak dia berbicara empat mata. Atau mungkin aku akan memberinya satu hukuman yang bisa dia kenang sepanjang masa.
"Alia?"
Lamunanku buyar ketika sosok jangkung sudah ada di depanku dengan senyumannya. Aku pun membalasnya dengan senyum tulusku juga.
"Kantin?" Altra menangguk dan mengikuti langkahku.
Kami sama-sama beriringan. Altra yang begitu asyik berceloteh dan aku yang terus menanggapinya dengan kekehan geliku.
"Temen SMP lo ada yang masuk sini juga gak?" tanyaku setelah Altra menceritakan teman SMP Rahma yang selalu mengambil pulpennya.
Kemudian Altra menggeleng. "Altra gak tahu. Altra lupa. Altra gak inget temen SMP Altra siapa aja."
"Kok lo lupa?"
"Kata mamah, Altra tidur lama. Jadi gak sekolah. Waktu bangun, Altra emang gak inget apa-apa."
Langkahku terhenti. Mendengar pengakuan Altra otakku mendadak tak berjalan. Keterkejutanku membuntukan pikiranku juga.
"Elo tidur?" Aku mencerna ucapan Altra yang ambigu.
Tidur bisa membuat ingatan orang hilang? Tidur atau.... koma?
Altra pernah koma?
"Elo bangun dimana?"
"Di rumah."
Ah iya. Altra dari keluarga kurang beruntung. Dengan perekonomian yang kupikir tidak berada di atas rata-rata, tidak mungkin membiayai rumah sakit.
Apalagi jika Altra koma. Biaya kamarnya pun akan terus naik seiring dengan lamanya tidur Altra.
Otakku kembali berfungsi meruntut alur yang selama ini terpecah. Apa Altra hasil transformasi dari dia?
Tidak mungkin. Koma tidak bisa merubah kepribadian... nanti, itu bisa terjadi. Aku pernah membacanya ketika aku penasaran pada keadaan Altra.
Namun bukannya dia merupakan anak yang cukup berada? Dibandingkan keluarga Altra yang begitu sederhana.
Senyuman Altra pun minus lesung pipi. Sudah pasti Altra bukan dia.
"Alia kenapa?"
Aku terperangah. Altra sudah jauh di depanku. Membuatku berlari untuk menyusul ke arahnya.
Pikiranku masih berkelana akan jati diri Altra. Otakku masih terus memberontak untuk mengumpulkan data. Berusaha menyambungkan kesamaan Altra dengan dia.
Tapi kenapa aku malah tak tenang? Kalau Altra adalah dia, lantas kenapa?
**
Aku baru saja melangkahkan kakiku ke area kantin. Tetapi suara berat yang sudah kukenal memanggil namaku.
Tak perlu mencari sumber suara itu darimana. Karena pelakunya kini sedang melambaikan tangannya padaku sambil berdiri di atas kursinya.
"Konser yuk Al!" ajak Malik padaku. Entah untuk ke berapa kalinya, aku menggeleng.
"Lain kali aja ya, Lik!" Aku membalas lambaian tangan Malik dan mengembalikan perhatianku pada cowok yang sedang ada di sampingku.
"Kok lo bengong?" tanyaku pada Altra yang sedari tadi diam memperhatikan kehebohanku dan Malik.
"Alia kenapa gak bareng sama temen-temen Alia?" tanya Altra dan aku langsung mengarahkan Altra pada meja yang ada di pojok kantin.
Tempat ini sudah menjadi tempat favoritku bersama Altra. Kebersamaan kami, bersamaan dengan berubahnya kebiasaanku.
Yang biasanya aku langsung menandai tempat di kantin bersama kelima sahabatku, kini berganti. Aku dan Altra memilih meja khusus untuk dua orang.
"Terus nanti elo sama siapa?" tanyaku lagi setelah kami berdua duduk di kursi kayu.
Altra menggaruk kepalanya sembari terlihat berpikir.
"Tapi nanti temen-temen Alia kesepian. Altra juga ngerasa gitu waktu Dimas jauhin Altra."
Aku mengulas senyumku. "Gapapa. Temen-temen gue banyakkan kok! Kalo gak ada gue pun mereka gak akan kesepian."
"Kayanya seneng punya temen banyak ya? Gak akan kesepian."
"Iya. Asalkan elo pilih temen yang sepemikiran sama elo. Kalo beda pemikiran, bukannya seru. Malah ngebatin terus."
"Maksud Alia?" Altra memiringkan kepalanya bingung. Aku tertawa kecil sambil menggelengkan kepala geli.
Melihat wajah polos Altra sangat menghiburku. Bahkan suara Malik yang menggelegar dengan lagu dangdutnya, tak aku gubris. Meski hampir sebagian populasi manusia di kantin sudah mulai berjoged, tak mampu merebut perhatianku.
Waktuku terlalu berharga walau hanya untuk berkedip. Semua itu terjadi jika aku bersama Altra. Ya, hanya Altra dan dia.
"Nanti juga elo ngerti, Al. Mending kita makan dulu. Gue pesenin dulu ya."
Altra pun mengangguk semangat seperti anak kecil. Membuatku lagi-lagi tersenyum bahagia. Lantas beranjak dari tempat dudukku.
**
Aku tertawa ngakak. Bahkan suaraku menggema satu ruangan.
Lelucon di televisi yang kutonton sekarang tak bisa membuatku menahan tawaku. Perutku saja sudah terasa ngilu.
"Anjir! Ngakak sumpah mukanya! Hahaha!" Aku menyeka air mataku yang keluar.
Aku benar-benar memberikan penghargaan tertinggi pada orang itu. Pekerjaan sebagai pelawak sepertinya memberikan pahala yang banyak. Karena bisa menghibur orang sepertiku saat ini.
Setelah aku memberhentikan tawaku perlahan, perasaanku mulai janggal. Kelima sahabatku tampak diam. Padahal guyonan di televisi saat ini tak bisa dipungkiri lagi tingkat lucunya. Tetapi mereka tetap tak bersuara.
"Kalian kenapa?" Aku menyapu pandanganku. Aku sebagai cewek duduk paling ujung. Dan di sampingku ada Zaki yang sedang scrolling timeline instagramnya. Bahkan cowok itu cuma memutar bola matanya tak peduli.
Seisi ruangan seketika diselimuti aura menakutkan. Firasatku mulai buruk. Seluruh manusia kecuali aku, memancarkan laser dari matanya. Membuatku sedikit takut.
"Biasa aja kali. Kenapa sih? Gak biasanya kalian ngeroyok gue?" aku berusaha tenang. Aku mendengar Andre yang mendengus. Kupikir sudah saatnya dilakukan 'Introgasi para kacung' atau sering kami singkat IPK.
"Udahlah daripada diem-diem kaya banci, kita IPK aja."
"Gue sih gapapa," Malik yang duluan bersuara. Cowok itu turun dan duduk di atas karpet merah milik rumah Zaki ini. Disusul olehku yang duduk di depannya.
"Yang lain gimana?" tanyaku sembari bergantian menatap para sahabatku.
Tak lama, Zaki dan Iqbal menyusul aku dan Malik. Lantas diikuti Dicky dan terakhir Andre.
Andre, sejak pengakuan perasaannya jadi berubah drastis. Andre jadi cowok baperan. Bukan cowok kalem dan anteng. Malah jadi cowok suka ngambek dan marah-marah nggak jelas.
"Oke kita mulai aja."
Aku menaruh botol plastik bekas minumku tadi di tengah-tengah kami. Teknis IPK ini sama seperti permainan truth or dare. Cuma kami memiliki cara sendiri untuk memodifikasinya. Dan lihatlah nanti bagaimana permainan IPK ini berlangsung.
"Gue yang puter, oke?" Tak ada yang menjawab. Hampir seluruh sahabatku ini memangku tangan.
Wajah mereka benar-benar ditekuk. Tidak ada keramah-tamahan sama sekali. Dicky yang lugu saja sekarang terlihat cemberut.
Karena tidak ada yang menggubris pertanyaanku juga, akhirnya aku berinisiatif memutar botol plastik ini. Isinya yang tinggal setengah, membuat botol ini bisa berputar di tempat. Sehingga tak lama, akhirnya botol tersebut berhenti.
Entah sebuah kesengajaan, kebetulan, atau memang aku yang memiliki daya gravitasi yang tinggi. Botol itu mengarah padaku. Membuatku sejenak menahan napas lalu kuhela sekilas.
"Kalian mau ngomong apa sama gue?" Aku ikut-ikutan memangku tangan. Kelima sahabatku sudah memandangku sengit.
Baiklah meski aku cewek satu-satunya, aku takkan gentar. Permasalahan yang entah itu apa, harus selesai detik ini juga. Dengan kata mufakat di akhir debatnya.
"Elo milih kita atau Altra?" Aku menautkan alisku. Aku jelas kebingungan. Kenapa nama Altra sampai dibawa ke dalam IPK ini?
Karena IPK ini hanya membahas hal-hal yang ada di lingkaran persahabatan kami. Kecuali kalau itu... hal yang bersangkutan dengan lingkaran persahabatan kami.
Ya, pasti ada sesuatu.
"Kok lo nanyain itu?" Aku bertanya pada Malik. Cowok yang di otaknya cuma ada dangdut itu menatapku bengis.
"Tinggal lo jawab. Apa sih susahnya?!" Hatiku meringis. Mendengar Malik sedikit berteriak, membuatku kalap.
Namun aku terlalu jago untuk berdalih. Aku mencoba masih tegap untuk menamengi diri dari unjuk rasa mereka.
"Gue gak milih keduanya. Puas?"
"Gak ada jawaban gitu. Elo harus milih salah satu."
"Gue gak mau. Kalian itu dua hal yang gak bisa dibandingin tau gak?"
"Oh elo udah nerima Altra yang baru datang daripada persahabatan kita yang udah jalan setahun, gitu?"
Zaki kini yang sedang protes. Aku menoleh ke arah Zaki yang ada di sampingku. Aku masih tak mengerti jalan logika mereka.
Altra dan Altra. Kenapa nama cowok itu datang di tengah-tengah kami?
"Bukan maksud gue gitu, Ki." Aku mengalihkan padanganku pada kelima sahabatku. "Kalian punya peran masing-masing di hidup gue. Kalian sahabat gue dan Altra cuma orang cupu yang butuh gue. Jadi, gue gak bisa nempatin kalian di perbandingan kaya gitu."
Iqbal dengan mengangkat salah satu alis tebalnya bertanya, "Oke. Gue persingkat aja pertanyaannya. Kalo misalnya salah satu dari kami berlima dan Altra tenggelam, elo mau milih siapa yang mau loe tolongin duluan?"
Aku dibuat kelimpungan oleh pertanyaan itu. Tidak ada pilihan yang baik menurutku. Aku memang jago dalam berdalih untuk memalsukan ekspresi.
Tetapi entah kenapa, jika berdalih lewat kata-kata sahabatku ini selalu tahu. Apalagi Iqbal yang kadar kepekaannya kuat banget.
Perasaanku gamang. Antara memilih mereka ataukah Altra. Pertanyaan yang cukup sederhana. Namun kalau aku salah memilih, sama saja aku bunuh diri.
"Waktu kita gak lama, Al," peringat Iqbal di sela aktivitasku berpikir. Aku menggigit bibir bawahku. Memikirkan jawaban apa yang harus aku sampaikan.
"Gue milih Altra," jawabku akhirnya. Terdengar suara helaaan napas gusar yang entah dari siapa.
Semua mata sahabatku seperti bersiap mengulitiku. Aku tahu jawabanku memang begitu terdengar kejam.
"Gue milih dia, karena dia sendiri. Dia gak ada temen. Sedangkan kalian, kalian masih berlima. Belum lagi ada gue. Apa gue masih bisa disebut manusia baik kalau gue ninggalin dia sendirian gitu?"
"Loe mikir gak sih? Kita barengan setahun ini dan elo berubah ninggalin kita?"
Pertanyaan lantang Iqbal mengundang kernyitan bingung di dahiku.
"Gue gak ninggalin kalian."
"Bukan enggak, tapi belum," tukas Iqbal.
"Gue juga kesepian gak ada elo, Al." Malik terlihat memberenggut. "Gak ada yang nemenin gue nyanyi lagi. Gue juga gak ada yang bela lagi kalau gue dihujat. Elo sekarang beda, Al. Beda banget."
Perasaan bersalah seketika menikamku. Ternyata mereka marah karena perhatianku tertuju untuk Altra. Padahal bukan maksudku untuk berpaling dari mereka.
Aku hanya berusaha menolong Altra yang sedang dijauhi oleh Dimas. Tidak ada maksud apapun. Sungguh.
"Gue udah gak mau basa-basi lagi." Andre yang sedari tadi hanya menjadi penonton sekarang bersuara. Nadanya tak kalah dingin dengan ketiga sahabatku tadi.
Karena Dicky tak masuk di dalamnya. Cowok itu memang bakalan diam kalau lagi marah.
"Sekarang elo mau tetep sama kita atau si cupu?"
Oke, aku baru tau sekarang. Kalau Andre sebelumnya pendiam, akan tiba-tiba ganas kalau sudah bicara lagi.
Kukira pertanyaannya akan lebih halus dan lembut. Harusnya aku ingat, Andre bukanlah Andre yang dulu. Cowok itu berubah menjadi cowok baperan.
"Kalian udah kaya bocah tau gak?" Aku mendengus kesal.
Melihat tingkah kekanakkan mereka, membuatku sebal. Padahal mereka itu cowok.
Tolong garis bawahi. Kalau mereka itu adalah spesies cowok. Bukannya cowok itu pakai logika, 'kan? Kenapa jadi baperan gini kalau aku tinggal?
"Terserah elo mau bilang apapun sama kita. Karena cuma ini caranya biar kita tetep berenam, Al."
Andre memang bijaksana kalau kasih wejangan. Tetapi wejangan kali ini sedikit membuatku tak suka. Ada siratan egois dalam kalimatnya.
Namun aku tak mau berdebat kembali. Membuat mereka diam saja, sudah membuatku berhasil kelimpungan. Apalagi kalau memang benar-benar aku ke luar dari grup ini. Sudah pasti akan membuat hidupku tak tentram.
Mungkin harusnya aku selesaikan masalah Altra dengan Dimas pada awalnya. Kalau saja aku selesaikan dahulu, pasti IPK yang dilaksakan enam bulan sekali ini takkan pernah ada.
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro