Masuk OSIS
Aku baru saja menekan remote televisi dan melemparkan bokongku ke sofa. Tapi bel pintu rumahku tiba-tiba berbunyi. Membuatku mengurungkan niat untuk mencari channel acara yang seru.
Aku sedikit meringis. Telingaku pengang. Suara bel rumahku terus-menerus menukik telingaku. Seakan orang yang memencet bel rumahku itu memang berniat merusaknya.
Aku menghela napasku. Aku sudah tahu manusia jenis apa yang memainkan bel rumah orang terus-terusan seperti itu.
“Alia, buka pintunya Nak, papah lagi sibuk sama berkas-berkas papah!” teriak ayahku dari salah ruangan. Bahkan ayahku yang berada di lantai dua terdengar jengah.
Dasar makhluk alien! Bisa-bisanya mengganggu ketenangan hidup orang-orang.
“Iya, Pah!” tanpa disuruh dua kali pun, aku sudah langsung ke pintu utama.
Tampilanku tidak terlalu terbuka. Cukup celana panjang dengan kaos kebesaran. Karena aku tahu, manusia-manusia di depan rumahku ini berjenis kelamin lelaki semua.
Ketika aku membuka pintu kembar kayu jati rumahku, dengan seenak jidat kelima sahabatku masuk. Tidak ada salam atau basa-basi. Seolah rumahku ini hotel berbintang lima yang bisa digunakan keluar masuk begitu saja.
Aku mendengus kesal melihat kelima sahabatku itu lengkap. Mereka masih berseragam. Itulah kebiasaan sahabat-sahabatku ini. Kalau ada salah satu yang absen pas lagi kumpul, pasti langsung neror satu-satu rumahnya.
Dan sekarang mereka dengan santainya duduk di seluruh sofa yang ada di rumahku.
“Ngapain kalian di mari?” tanyaku setelah duduk bersila di atas permadani. Aku jadi bingung sendiri. Siapa yang tamu dan siapa yang tuan rumah ya?
Kuselidiki kembali. Mereka terlihat lelah. Semuanya bersandar begitu enak di sofaku. Menutup mata seraya menikmati AC di rumahku.
Dasar nggak tahu diri!
“Cape nih, Al. Bikinin minum kek.” Aku baru tahu ada tamu manja macam Dicky. Kampret emang tuh danton satu. Bukannya menjawab pertanyaanku, malah menjajahku layaknya babu.
Andre yang biasanya menyapaku lebih dulu, sama-sama terlihat lemas. Memang apa sih yang sudah mereka lakukan?
Sebelum aku mengadili mereka, aku langsung pergi ke dapur mengambil beberapa botol air putih dingin dan sirup dari kulkas. Sembari menapik ide untuk memasukkan sianida ke dalamnya.
Lantas aku suguhkan minuman-minuman ini pada mereka. Sebab Bi Mirna -pembantu rumahku- sedang sibuk mencuci di belakang.
Baru saja aku menyimpannya di atas meja, semua minuman dingin yang kubawa sudah tandas. Bahkan seragam mereka tak sedikit berwana oranye karena ketumpahan sirup. Salah mereka sendiri. Suruh siapa minum sirup dengan kecepatan motor Rossi seperti itu?
Kupikir-pikir mereka seperti seekor unta saja. Berbekal banyak air untuk berjalan lima tahun di gurun Sahara.
“Jadi bisa kalian jelasin kenapa pada lemes kaya gini?”
Hening.
Hanya suara helaan napas Andre yang bisa kudengar.
Tidak ada satu pun yang menjawab. Setelah minum minuman segar, kupikir mereka akan menjawab. Eh ternyata malah balik lagi tepar.
“Elo kenapa, Ky?” Aku pun mulai bertanya dari sebelah kanan.
“Ya lo tau 'kan gue habis ekskul.”
“Kalo lo, Bal?”
“Gak ada wifi tadi. Jadi gue lemes nungguin Dicky sampe lumutan gak ada hiburan.”
Sialan si Iqbal. Dasar penjahat kelamin! Aku kira di sudah melakukan hal-hal terlaknat. Ternyata cuma gara-gara wifi dia menderita.
“Kalo lo, Ki?”
“Likers instagram gue turun, dari postingan sebelumnya. Padahal foto gue udah bagus.”
Nih lagi anak alay satu. Cuma likers kurang aja kaya dikurangin jatah hidup. Apalagi fotonya sama sekali nggak ada yang like. Sudah pasti si Zaki sudah mati berdiri.
“Kalo elo, Lik?”
Malik duduk tegak kembali sembari mengedikkan bahu. “Gue ikutin mereka aja.”
ORANG GILA!
Tadinya aku akan mencibir Malik seperti itu. Tapi malah dengusan kesal menjadi perwakilannya.
Sebelum aku berubah pikiran untuk mencekik Malik, mataku beralih pada Andre.
“Elo pasti karena OSIS lagi ya, Ndre?”
Andre mengangguk sambil memijit pangkal hidungnya. Dia memang paling kelihatan lelah banget di antara yang lain. Tapi anehnya selalu saja bisa membagi waktu antara jadwal OSIS yang semrawut dengan jadwal kami kumpul.
“Kenapa gak pulang aja? Lo kayanya lemes banget.”
“Enggak deh. Gue di sini aja istirahatnya. Gapapa 'kan?”
“Oke gapapa. Lagian besok libur. Kalian juga gak mau ikut nginep juga?”
Keempat sahabatku kecuali Andre langsung terlihat antusias.
“Kita setuju!” jawab mereka serempak.
Setengah menyesal aku mengajukan ideku. Sudah kupastikan, malam ini aku tidak akan bisa tidur. Dan besok pagi pasti akan ada kekacauan.
Sudah jadi salah satu kebiasaan juga kelima sahabatku menginap. Karena jarang-jarang aku bergabung dengan mereka sampai larut malam.
Banyak alasannya. Pertama, ayahku pasti akan marah dan kedua, aku masih menyadari kalau aku perempuan.
Rumahku memang lengang seperti tak ada jiwa di dalamnya. Ayahku sering berkutat di ruang kerjanya. Dan tolong jangan tanyakan tentang wanita yang melahirkanku. Aku masih muak menceritakannya.
Parahnya lagi, aku adalah anak satu-satunya di rumah ini. Kurang belaian kakak, jadilah aku merasa kesepian.
Aku memang tidak mempunyai sahabat cewek. Karena kalau sama cewek, aku tidak bisa ngakak bebas. Di sekolahku cewek-ceweknya jaim semua. Cuma jago dandan dan nggak ngotak semua. Kecuali si Mira yang otak buku.
Jadi, sepuluh besar dominan diisi sama para cowok. Salah satunya si Andre.
Kalau Iqbal jangan ditanya. Otaknya saja penuh kemesuman. Bagaimana mau mikir panjang.
“Kebetulan! Gue bawa film bagus nih,” cetus Iqbal tiba-tiba.
“Jangan cemarin otak kita-kita, Bal!” tegurku tapi langsung mendapat mata elang dari Iqbal.
“Enak aja! Gue gak akan kasih video bokep kali kalo kalian sendiri yang minta. Ini film baby boss, yang baru turun layar kemarin.”
“Bagus deh! Kita maraton film aja. Gue juga punya tabungan film horror semua,” ucapku bangga. Tapi muka Zaki seketika langsung pucat.
“Gak ada film lain apa?” tanya Zaki cemas.
Ahh aku lupa. Zaki punya trauma sama hal-hal berbau mistis. Lantaran entah nasibnya yang sial, dia pernah lihat hantu di sekolah. Berambut panjang dan bergaun putih. Itu yang Zaki deskripsikan soal makhluk gaib tersebut. Dan sejak itu, Zaki tidak berani pulang senja dari sekolah.
“Elo mau nonton upin ipin the movie aja?” celetukku dan mengundang gelak tawa di antara sahabatku.
Zaki memberenggut. Argumennya kalah kali ini. Sudah pasti malam ini Zaki akan absen menonton dan memilih molor duluan.
**
“Lo lagi ngapain di sini?”
Aku menoleh ke arah Andre yang duduk di sampingku. Sekarang kami sama-sama di beranda rumahku. Yang lain mungkin sedang asyik maraton film. Tapi aku merasa tak nafsu kali ini. Kebiasaanku memang ketika lagi bosan; berdiam diri di luar rumah ketika malam.
Biasanya aku akan berdiri di balkon kamar. Tapi aku sebagai tuan rumah, tidak mungkin membiarkan sahabat-sahabatku menonton di ruang tamu dan aku malah masuk kamar.
“Gak lagi ngapa-ngapain. Gue cuma nikmatin udara malem aja.”
Aku mengeratkan jaket hitamku. Suasana malam yang tentram dan tenang membuatku nyaman. Udara sejuk alami dari tanaman yang ayahku kembang biakkan, menambah otot-ototku semakin rileks.
Apalagi rumahku terletak di perumahan yang cukup lengang. Membuat hati dan pikiranku sedikit damai.
“Gimana perkembangannya sampai sekarang? Elo jadi bisa matematika?”
Aku mengangguk sambil menatap halaman rumahku.
“Altra di luar ekspetasi, Ndre. Dia enak kalau ngajarin. Daripada Bu Sari yang kerjaannya marah-marah mulu sama gue. Gue pikir dia bisa jadi guru nanti. Buktinya gue jadi ngerti banget sama matematika.”
Andre tak menjawab dengan cepat. Suara helaan napas menelusup ke gendang telingaku.
“Elo mulai seneng ya sama Altra?”
“Maksud lo?” aku menoleh.
“Gak maksud apa-apa. Gue cuma nanya aja.”
Aku kembali meluruskan pandanganku. “Gue sih ngerasa biasa aja. Lagian dia 'kan anaknya cupu. Gerah gue lama-lama sama dia. Ya untung cuma bertahan sebulan. Kalau enggak, gak tahu deh nasib gue.”
Entah sudah berapa kalinya, Andre selalu menyinggung soal Altra. Membuatku sedikit risi akan hal itu. Apa tujuan Andre menanyakan soal Altra?
"Elo kayanya penasaran banget soal Altra, Ndre?" Aku terkekeh menutupi kecurigaanku.
"Iya sih! Gue gak pernah liat langsung anaknya gimana, Al. Apalagi si Zaki bilang dia ganteng. Kan gue jadi merasa tersaingi."
Aku tergelak. Kepercayaan diri Andre selalu menjadi hiburan untukku. Bukan terkesan sombong malahan. Tapi lebih pada guyonan khas Andre. Kecurigaanku menjadi pudar sekarang. Tapi tetap saja perasaanku sama sekali tak nyaman.
"Haha... elo kok jadi over confident gini, Ndre."
Bukannya membalas gurauanku, Andre menatapku. Tatapan menyelidik membuatku sedikit merinding.
"El-lo kenapa?"
Jantungku mendadak dag-dig-dug. Takut-takut Andre punya rencana laknat padaku. Namun, ketakutanku memudar ketika Andre mengangkat kedua ujung bibirnya.
"Elo cantik Al kalau ketawa gitu."
Hatiku terhenyak. Napasku sempat terhenti tadi. Sepertinya aku harus menggembok kuat gerbang menuju hatiku lagi. Bahkan mungkin harus dua kali lebih kokoh lagi.
Aku bukan perempuan tomboi yang benar-benar menyerupai laki-laki. Aku masih memiliki kodrat perempuan yang selalu menggunakan perasaannya.
Karena ucapan Andre tadi, berhasil menimbulkan perasaan tak menyenangkan mendesak dadaku.
Aku pun tertawa kecil untuk menyembunyikan kegugupanku.
"Elo udah tau 'kan, ngegombalin gue gak akan bisa berhasil."
Andre mengendikkan bahunya. "Siapa tau elo baper sama cowok ganteng kaya gue."
Aku berdecak. "Mau lo mirip Justin Bieber juga nggak akan mempan, Ndre."
Andre terkekeh. “Elo emang cewek unik tau gak?”
Aku tersenyum miring. “Dan elo cowok yang lebih unik karena mau sahabatan sama gue dan empat kacung lainnya.”
“Oke. Gue sadar diri. Bukannya gue unik. Gue cuma rendah hati aja sahabatan sama kalian.”
“Sial parah lo!”
Andre terbahak. Kami berdua pun tertawa bersama. Momen seperti inilah yang jarang kami lewati bersama bila di sekolah. Salahkan Andre karena menjadi ketua OSIS kelewat rajin.
Setelah tawa kami sama-sama selesai, Andre mendadak serius memanggil namaku.
“Kenapa?”
“Kali ini elo sama yang lain masuk jadi anggota OSIS ya?”
“Kenapa deh elo maksa banget sama kita-kita? Elo tau banget 'kan kita paling males ngumpul-ngumpul formal kaya gitu.”
“Iya gue tahu. Tapi seenggaknya tiap kumpul gue gak bosen-bosen banget. Lagian bentar lagi ada kemping buat semua anggota OSIS. Gue mau bareng kalian pada hari itu.”
Aku mengembuskan napasku gusar. “Kayanya elo sengsara banget ya kalo gak ada kita.”
“Sebut aja gue gitu. Please ya, Al. Gue butuh suntikkan semangat dari kalian.”
Andre kalau sudah mode memelas gini, aku tidak akan pernah tega. Cowok yang tegas sewaktu memimpin upacara ini, sangat berbeda seratus delapan puluh derajat jika bersama kami.
Di depan umum Andre selalu terkesan berwibawa, tapi jika bersama kami Andre selalu lupa diri. Sepeti saat ini. Cowok itu malah seperti anak kecil yang minta dibelikan permen warna-warni.
“Oke deh. Nanti gue pikir-pikir dulu,” jawabku akhirnya. Andre kemudian merekahkan senyumannya lebar.
“Thanks ya, Al. Gue tahu gue bisa percaya sama elo. Karena elo paling normal diantara yang lain.”
Ish sialan! Nggak ada pujian yang lebih mengenakkan lagi gitu?
Aku pun hanya mengangguk walau hati sebenarnya sudah gendok setengah mati.
**
“Ternyata matematika gak susah-susah banget ya kalau diusahain.”
Aku meregangkan tubuhku yang kaku. Aku telah selesai mengerjakan sepuluh soal dari bab pertidaksamaan. Bab baru yang Altra ajarkan kali ini. Dan sekarang cowok itu tengah fokus memeriksa hasil karyaku.
Kali ini aku bisa sedikit bebas. Bu Sari sedang ada keperluan dinas ke luar kota. Membuat jam kosong ketika jam terakhir. Tapi tetap saja aku harus menunggu Altra. Karena aku masih sayang nyawa. Kalau Bu Sari tahu perbuatanku, bisa-bisa aku satu kelas dengan Altra.
Mungkin aku bisa saja mengancam anak cupu itu. Tapi aku masih punya hati untuk melakukannya.
Altra juga spesies yang terlalu jujur. Kenapa bisa tahu? Dia ceplas-ceplos sekali orangnya seperti anak kecil.
Tiap akhir minggu, ternyata Bu Sari meminta laporan tentang proses belajarku. Dan Altra dengan naifnya memberitahukan kalau aku sesekali membentaknya. Sehingga aku harus mendapatkan layanan ceramah nonstop lagi dari beliau.
“Eh, Al… gue mau tanya dong.”
Altra tak membalas. Tapi gumamannya sudah cukup bagiku untuk menanyakan hal yang membuatku penasaran.
“Elo suka dibully gitu gak di kelas?”
Aku berani sumpah kalau aku memang penasaran. Orang yang jadi biang onar saja kadang kala kalau pulang sekolah tak pernah selamat. Tapi melihat Altra yang cocok jadi target utama pembullyan, seragamnya masih aman-aman saja kalau aku lihat.
“Suka. Tapi untung ada Dimas yang marahin mereka,” jawab Altra sambil menyimpan pensilnya -selesai memeriksa hasil jawabanku.
“Dimas?” Aku mengernyitkan dahi mendengar satu nama yang asing bagiku. Bahkan aneh saja kalau Altra menyebutkan nama orang lain selain nama dirinya dan namaku tentunya.
“Iya. Dimas itu temennya Altra dan ketua kelas. Jadi, orang-orang takut sama Dimas.”
“Elo punya temen juga,” ujarku tak percaya.
“Emang punya. Alia sama Dimas 'kan temennya Altra.”
Aku kontan melongo. “Sejak kapan lo ngaku-ngaku jadi temen gue? Perasaan kita cuma sebatas guru sama murid aja deh.”
Altra menatapku meski matanya tak fokus. Orang yang mempunyai sakit mental, kupikir itu jadi ciri khasnya kali ya. Tak mampu fokus dalam satu titik.
“Enggak. Menurut Altra, Alia temen Altra. Soalnya kita sering ketemu dan Alia juga baik sama Altra.”
Aku terkekeh mendengar kenaifan Altra. Benar-benar kasihan sekali kalau sampai ada yang membuat Altra sengsara. Altra terlalu rapuh seperti anak kecil yang baru memahami dunia. Pasti sedikit saja disakiti, mentalnya akan semakin sakit.
“Oke deh. Gue jadi temen lo.”
Altra tersenyum. Membuat debaran jantungku mendadak memekik. Aku kontan menggigit bibir bawahku sembari tersenyum kaku. Altra terlalu banyak kejutan buatku. Tapi dengan kejutan itu pula aku semakin nyaman bila di sekitar Altra.
“Ohiya, Alia bisa antar Altra ke ruang OSIS?” Aku sedikit tertawa kecil mendengar logat anak kecil yang Altra ucapkan.
“Ngapain?”
“Altra mau ngumpulin formulir. Altra mau jadi anggota OSIS kaya Dimas.”
“Elo yakin?” Dahiku mengerut tak percaya. Apakah dunia di sekitarku sudah mulai menggila? Altra pasti akan menjadi bahan bullyan di dalam OSIS. Apalagi di dalam organisasi itu hanya orang-orang tertentu saja yang ada.
Kalau tidak bijak, pasti paras yang sempurna yang bisa bertahan di dalam sana. Dan Altra? Aku benar-benar tidak bisa membayangkan hidup cowok itu akan lebih menderita bagaimana lagi.
“Altra yakin. Tapi Alia jangan kasih tahu Dimas ya. Dimas itu gak setuju. Yaudah Altra ngumpulin terakhir aja deh.”
Aku mengigigit kuku jariku. Khas dari diriku kalau sedang berpikir keras.
Bagaimana caranya mengelabui Altra? Dia terlalu polos untuk ditipu. Aku saja tidak tega mengatakan kebohongan padanya. Tapi 'kan manusia di luar sana berbeda dengan pemikiranku.
Arrghhhh….
Kamu cowok pertama yang membuatku bingung untuk melakukan apa Altra!
“Disana gak aman, Al. Manusianya jahat semua. Makanya Dimas ngelarang elo masuk sana.”
“Tapi Dimas bukan orang jahat.”
“Iya, emang bukan. Tapi dia kepaksa masuk OSIS karena dia itu ketua kelas. Elo harus nurutin dia, Al.”
Altra menggeleng. “Gak mau. Altra harus tetep ikut, Alia. Altra mau nemenin Dimas.”
Kalau sudah begini, aku tidak bisa merayu Altra lebih jauh lagi.
Tawar-menawar dengan Altra seperti tawar-menawar dengan anak kecil. Dimana orang dewasa harus terpaksa mengalah kalau anak kecil itu tetap keras kepala.
Satu ide sempat terlintas di benakku. Apa aku harus menerima tawaran Andre untuk masuk OSIS? Sekaligus untuk melindungi Altra kalau-kalau cowok itu kena bully.
Sepertinya ide itu tidak terlalu buruk juga. Lagian tidak enak juga pada Andre karena sudah percaya padaku.
“Yaudah. Elo beresin bukunya. Kita bareng-bareng ke sana.”
“Yes! Makasih ya Alia.”
Aku hanya menarik kedua ujung bibirku terpaksa. Semoga pilihanku ini benar dan terbaik.
**
“Elo mau masuk ke OSIS, Al?”
Wajah Andre mendadak sumringah melihat kedatanganku –tanpa ucapan salam, ke ruang OSIS. Ia bergegas berdiri dari tempat duduknya dan menghampiriku yang ada di dekat pintu.
Ruang OSIS ini benar-benar sepi sekarang. Kalau saja Andre tak ada dengan laptop kesayangannya, sudah kupastikan ruangan ini akan kosong melompong.
“Seperti yang lo liat.” Aku mengendikkan bahuku. “Gue juga mau nganterin temen gue yang mau masuk OSIS.”
“Siapa?” Andre mengernyit kebingungan. Sepertinya dia aneh kalau aku sebut kata teman. Soalnya aku memang tidak akrab dengan manusia lain selain kelima sahabatku.
Aku menggeser tubuhku. Dan keberadaan Altra yang baru buat Andre, membuat ketua OSIS itu menatapku tak percaya.
“Dia tutor elo?”
Dari ekor mataku, Altra semakin gemetaran kala mendengar suara tinggi Andre.
Sedangkan Andre sedang memperhatikan Altra dengan sorot yang menyelidik. Seolah-olah Altra penjahat kelamin yang berpura-pura menjadi idiot.
“Iya dia tutor gue. Gimana? Gapapa, 'kan?” tanyaku setengah kesal.
Andre menatapku dan melihat Altra kembali.
"Kok gue kaya yang pernah liat dia ya?"
Entah pada siapa pertanyaan itu diajukan. Aku sedang tak ingin menggubrisnya.
"Andreeeeee gimanaaa jadinya?" aku merengek. Benar-benar terpaksa aku lakukan. Agar Andre mengalihkan pandangannya padaku. Sebab Altra sudah terlihat ketakutan setengah mati ketika Andre ada di depannya.
Dan akhirnya aku berhasil. Andre menghela napasnya dan menatap Altra sekilas. Kemudian Andre melihat ke arahku lagi.
“Ya Al, elo tau sendiri 'kan OSIS itu gimana. Keras banget dalemnya. Main kastanya keliatan. Gue gak yakin.”
Aku tersenyum mendengar penolakan Andre. Akhirnya aku punya alasan untuk dikatakan pada Altra.
Kulihat kedua lengan Altra saling meremas. Kepalanya menunduk. Tapi mau bagaimana lagi. Ini 'kan demi kebaikan cowok cupu itu.
“Elo denger 'kan OSIS itu gimana? Jadi mending gak usah aja ya?”
Altra terlihat perlahan mengangkat wajahnya. Matanya mulai berair.
Sial! Aku jadi merasa sangat bersalah kalau begini.
“Altra mohon. Bantuin Altra, Alia.”
“Al, dia—“ tukas Andre tapi segera kuisyaratkan untuk berhenti protes dulu.
“Altra mau barengan sama Dimas. Altra gak mau Dimas sendiri yang dijahatin orang. Dimas orangnya baik.”
Jantungku terasa diremas melihat air mata Altra yang sempat menetes sekali. Biasanya aku akan kesal dan marah kalau melihat laki-laki lemah. Tetapi Altra malah berhasil membuat hatiku seakan terpelintir.
“Altra, Dimas kuat kok kalau sendiri. Altra gak masuk OSIS aja udah bisa barengan sama Dimas, 'kan?”
Dan untuk pertama kalinya, aku berbicara begitu lembut dan ayu pada manusia selain pada lima sahabatku di SMA Bhakti ini.
Membuatku berpikir untuk mendapat penghargaan karena perubahan yang signifikan ini.
“Altra harus tetep ikut!”
Aku mendesah pasrah. Altra tidak bisa dibantah. Semakin aku melarangnya, semakin besar pula rasa bersalah yang mencekikku.
Aku menunjukkan wajah memelasku pada Andre. Yang jarang sekali aku lakukan pada siapapun. Tapi Andre sempat menggeleng. Dan cepat-cepat aku tambahkan, “Gue gak akan masuk OSIS kalau elo gak nerima dia.”
Andre terlihat menahan napasnya. Lalu sedetik kemudian ia mengembuskannya.
“Oke, gue pegang janji lo, Al.”
Aku tersenyum puas. “Thanks, Ndre.”
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro